"Mas, itu sudah sepuluh tahun yang lalu! Kenapa kamu masih mempermasalahkannya?!" seruku sambil menatap tajam ke arahnya. Aku benar-benar tak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan itu semua? Apa tak ada alasan lain yang lebih manusiawi? Udin menggeleng pelan. Tatapannya menembus mataku, dalam... tapi dingin. Tak ada lagi sisa cinta. Tak ada kagum. Tak ada pengagungan seperti dulu. Aku mundur perlahan. Jujur saja, ini sangat menyakitkan. "Aku lelah, Tasya... Aku lelah," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik namun menancap tajam. "Bertahun-tahun aku berjuang memperbaiki nama baikmu. Sampai aku lupa bagaimana caranya menjadi diriku sendiri. Aku terlalu sibuk memikirkan kamu... perasaanmu... dan pandangan orang-orang terhadapmu." Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Seperti sedang membebaskan sesak yang ia simpan bertahun-tahun. Aku hanya diam. Menunggu... Kalimat berikutnya apa? Apalagi yang akan dia katakan? "Ini mungkin... balasan untukmu, Ta
"Mas... kau sungguh akan meninggalkanku?" Tasya bertanya dengan suara bergetar, tak menyangka bahwa Udin benar-benar mengucapkan kata-kata itu. Udin mengangguk pelan. Matanya mulai basah, namun ia menahan tangisnya. Sebenarnya, ia tidak ingin pergi tapi hatinya terlalu lelah dengan kehidupan yang harus selalu tampak sempurna. Ia rindu menjadi dirinya sendiri. "Aku lelah, Tasya..." Ucapnya lirih, napasnya tercekat. Tasya menunduk. Air matanya jatuh tanpa henti. "Mas... kita sudah tak lagi di kampung. Kita di sini berjuang bersama," katanya sambil mencoba menahan kepergian suaminya. Udin menggeleng lemah. Ia tahu itu. Tapi hatinya sudah terlalu dalam tertambat pada orang lain... pada Dina. "Lihat anak kita, Mas," lanjut Tasya. Suaranya bergetar, tak mampu lagi berpura-pura kuat. Tubuhnya gemetar saat membayangkan wajah kedua putri mereka. Ia telah berjuang mati-matian mempertahankan rumah tangga ini demi anak-anak. Tapi Udin... justru berselingkuh di belakangnya. "Ak
Udin hanya menatap sekilas, lalu berlalu begitu saja. Hati Tasya terasa diremas sakit, tentu saja. Namun, ia berusaha sabar. Ia mencoba mengerti, mungkin suaminya sedang kelelahan. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah dengan gontai, mengikuti Udin ke dalam kamar. Di dalam kamar, suara air bergemericik menandakan bahwa Udin sedang mandi. Dengan telaten, Tasya membereskan baju-baju suaminya yang berserakan di lantai. Tanpa sengaja, tangannya menjatuhkan sebuah kertas dari saku kemeja Udin. Tasya mengernyit. "Apa ini?" bisiknya bingung. Tanpa pikir panjang, ia membuka lipatan kertas itu. Ternyata, itu adalah surat pembelian emas namun tanggalnya menunjukkan pembelian itu dilakukan sebulan yang lalu. "Apa?" ucapnya lagi, kaget. Ia bingung. Untuk siapa? Atau milik siapa? Pintu kamar terbuka. Udin berdiri terpaku di ambang, menatap sang istri yang tengah memegang surat pembelian itu. Tasya menatapnya dengan penuh tanya. “Mas…” panggilnya pelan. Namun belum sempat ia melanjut
Seminggu telah berlalu. Segalanya tampak berjalan dengan baik. David dan Nadia perlahan mulai menerima kepergian Susi dengan hati yang lebih ikhlas. Rasa duka itu masih ada, tapi kini tersimpan lebih dalam mereka memilih untuk terus melangkah demi masa depan yang sedang mereka bangun. Kandungan Nadia pun terus dipantau secara rutin. Bayi dalam rahimnya tumbuh sehat dan aktif. Hal itu menjadi cahaya baru dalam hidup mereka, harapan yang membuat langkah mereka tetap tegak meski diterpa kehilangan. Nadia pun mulai memberikan perhatian lebih pada Vivi. Ia masih ingat betul kejadian waktu itu saat Vivi marah dan menunjukkan kecemburuan terhadap bayi yang belum lahir. Nadia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ia sadar, cinta tak hanya soal membagi waktu, tapi juga menjaga perasaan setiap hati yang terlibat. Meski hingga kini David dan Nadia belum tahu siapa yang menghasut Vivi, siapa yang menanamkan rasa cemburu itu, Nadia memilih untuk percaya. Percaya bahwa mungkin,
“David… aku mohon, maafkan aku…” Suara Hana bergetar, nyaris tenggelam dalam isak tangisnya yang pecah. “Tolong bebaskan aku. Aku janji… aku akan pergi jauh dari sini. Aku akan kembali ke Amerika… aku akan menjauh… membuat hidup kalian tenang. Aku mohon… David… aku mohon…” Tangisnya tak tertahan. Wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar hebat. Suaranya penuh ketakutan dan permohonan yang tulus atau setidaknya tampak tulus. Matanya menatap David penuh harap, berharap ada sedikit belas kasihan. Sedikit saja… agar ia bisa lepas dari mimpi buruk ini. Namun David tidak bergeming. Tatapannya tetap dingin, dan nada suaranya… menghantam keras seperti palu. “Kalau aku membebaskanmu…” Ia menatap lurus ke mata Hana. “…apakah ibuku akan kembali?” Sekejap, dunia seakan membeku. Kalimat itu memukul keras, menembus dada Hana hingga ke tulang. Tubuhnya langsung membungkam. Bibirnya menutup rapat. Perlahan, ia menggeleng lemah… tak mampu menjawab. Tangisnya kembali pe
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin... tapi Bu Susi tidak bisa kami selamatkan." Ucapan dokter itu terdengar seperti petir di siang bolong. Dunia seolah runtuh di hadapan Nadia dan David. Tubuh Nadia lunglai. Ia menangis dalam pelukan David, tubuhnya gemetar hebat. "Kenapa… kenapa saat Mama mertua sudah menerima aku… justru sekarang dia pergi?" isaknya lirih. David memeluknya erat, namun wajahnya kosong. Hatinya remuk, hancur tak bersisa. Tapi seperti biasa, David tak pandai mengekspresikan duka. Ia hanya membatin dengan getir, "Siapa yang tega menabrak ibuku?" Perlahan, ia mengeluarkan ponsel dari saku dan menghubungi satpam di rumahnya. “Lihat rekaman CCTV di depan gerbang. Cari tahu siapa yang menabrak Ibu saya,” ucap David datar, tapi tegas. Setelah itu, tanpa menunggu jawaban, ia langsung menutup telepon. Ia kembali memeluk Nadia lebih erat, lebih dalam. Tapi kali ini, bukan hanya untuk menenangkan istrinya David sedang menyembunyikan tangisnya sendiri di da