Beranda / Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / TAK ADA YANG MEMBELA NYA

Share

TAK ADA YANG MEMBELA NYA

Penulis: Ayuwine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-22 08:55:54

David sudah berdiri di sana. Entah sejak kapan. Tasya pun bahkan tak menyadarinya padahal tubuhnya tegap, sorot matanya menusuk seperti biasa.

Tasya hanya bisa tertunduk. Perasaannya campur aduk kaget, kecewa, dan malu bercampur menjadi satu. Tangisnya yang baru saja mereda kini kembali menggenang di pelupuk mata.

“Kenapa kamu berpikiran seperti itu?” suara David terdengar dingin, namun tegas. “Setelah kakakmu memaafkanmu dengan begitu tulus? Kalau saya jadi dia, nggak akan sudi lagi menganggapmu sebagai adik.”

Duar!

Kalimat itu seperti petir yang menyambar langsung ke jantung Tasya.

Ia terlonjak dalam diam, spontan mendongak. Menatap mata David mata tajam yang tak memberinya ruang untuk bersembunyi. Tatapan itu bukan hanya marah... tapi kecewa.

Dan bagi Tasya, rasa itu lebih menyakitkan dari sekadar bentakan.

“Jangan ikut campur!” bentak Tasya, suaranya pecah oleh emosi. “Kamu gak tahu apa yang aku rasakan! Bahkan kamu cuma orang luar yang sok tahu!”

Kepalang basah,
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Sekarang Giliranku   TAK ADA YANG MEMBELA NYA

    David sudah berdiri di sana. Entah sejak kapan. Tasya pun bahkan tak menyadarinya padahal tubuhnya tegap, sorot matanya menusuk seperti biasa. Tasya hanya bisa tertunduk. Perasaannya campur aduk kaget, kecewa, dan malu bercampur menjadi satu. Tangisnya yang baru saja mereda kini kembali menggenang di pelupuk mata. “Kenapa kamu berpikiran seperti itu?” suara David terdengar dingin, namun tegas. “Setelah kakakmu memaafkanmu dengan begitu tulus? Kalau saya jadi dia, nggak akan sudi lagi menganggapmu sebagai adik.” Duar! Kalimat itu seperti petir yang menyambar langsung ke jantung Tasya. Ia terlonjak dalam diam, spontan mendongak. Menatap mata David mata tajam yang tak memberinya ruang untuk bersembunyi. Tatapan itu bukan hanya marah... tapi kecewa. Dan bagi Tasya, rasa itu lebih menyakitkan dari sekadar bentakan. “Jangan ikut campur!” bentak Tasya, suaranya pecah oleh emosi. “Kamu gak tahu apa yang aku rasakan! Bahkan kamu cuma orang luar yang sok tahu!” Kepalang basah,

  • Sekarang Giliranku   SEPERTI TIDAK ADIL

    Aku berjalan begitu saja melewatinya, tak ingin menambah canggung di antara kami. Namun tiba-tiba, tangan hangatnya menyentuh pergelangan tanganku, membuat langkahku terhenti. “Kak... tunggu...” lirihnya pelan. Aku menoleh. Napasnya tersengal, wajahnya pucat, seolah sedang menahan sakit. Aku terkejut. Amarahku yang sempat membuncah tadi mendadak berubah jadi rasa khawatir. “Tasya, kamu kenapa? Ayo duduk dulu,” ujarku panik, segera menuntunnya ke arah kursi kayu yang berada di ruang tengah. Dia menuruti dengan lemah, duduk perlahan sambil memegangi perutnya. “Kak, jangan marah... tadi itu cuma salah paham,” katanya lirih, nyaris seperti bisikan. Astaga... ternyata dia merasa bersalah. Dan aku... Aku benar-benar merasa egois telah meninggalkannya begitu saja tanpa memberi kesempatan penuh untuk menjelaskan. Aku mengangguk pelan, berusaha menetralisir suasana. “Sudah... jangan terlalu banyak pikiran. Fokus saja pada kandunganmu, Tasya. Jaga baik-baik keponakan Kakak

  • Sekarang Giliranku   MALAM YANG HANGAT

    "Mas..." panggilku dengan suara bergetar. Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihat Tasya adikku sendiri berada di dalam kamarku. Sementara David, suamiku, berdiri di depannya hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Keduanya menoleh bersamaan, ekspresi kaget terpampang jelas di wajah mereka. Mata mereka membesar, seolah tak percaya aku ada di sana. "Nadia..." suara David terdengar panik. "Kak... ini... ini nggak seperti yang kakak pikirkan," Tasya terbata-bata, suaranya gemetar, wajahnya pucat. Aku berdiri terpaku. Hatiku seakan diremas. Napasku memburu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? "Aku kira tadi kamu yang memberikan aku handuk," ujar David, mencoba menjelaskan. Tapi aku tak menjawab. Lidahku kelu. Mataku menatap lurus pada Tasya dengan kemarahan yang perlahan menggelegak dalam dada. Ingatan itu kembali menyeruak masa lalu yang menyakitkan, saat dia merebut Raka dariku. Dan sekarang? Apa dia juga ingin mengambil David dariku? Tiba-tiba saja Udin masuk k

  • Sekarang Giliranku   RASA IRI

    "Kak, aku senang banget kakak bisa datang ke sini," ucap Tasya dengan antusias, mencoba menyembunyikan rasa gundah dan iri yang diam-diam mengendap di hatinya. Kini, Nadia dan suaminya, David, bersama putri kecil mereka, Vivi, telah sampai di rumah sederhana milik Tasya dan Udin. "Maaf ya, Kak, rumahnya kecil," ujar Udin dengan nada sungkan, terlebih saat melihat Vivi yang tampak sedikit gelisah dan tidak nyaman dengan lingkungan asing itu. "Jangan bilang begitu. Ini rumah yang indah, nyaman, dan udara di desa masih seperti dulu ya, sejuk dan adem," balas Nadia dengan senyum hangat, berusaha mencairkan suasana agar tak terlalu kaku. Tasya dan Udin hanya tersenyum menanggapi ucapan sang kakak. Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari luar rumah. Teriakan beberapa ibu-ibu memanggil nama pemilik rumah terdengar jelas dari halaman depan. "Ada apa, ya? Sepertinya di depan ramai sekali," ujar Nadia, menoleh ke arah jendela dengan dahi berkerut, mencoba menangkap suara-suara bising

  • Sekarang Giliranku   TIDAK ADA YANG TAHU KECUALI DIRI NYA SENDIRI

    Sementara itu, di desa, di kediaman Tasya dan Udin. Sudah sebulan sejak Tasya meminta maaf kepada sang kakak, Nadia. Kini, sebuah kabar bahagia hadir di hidup mereka Tasya tengah mengandung dua minggu. “Mas... akhirnya...” ucap Tasya penuh antusias, matanya berbinar haru. Udin hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum tulus. Dalam hatinya, ada rasa takut yang tersembunyi. Ia takut kehamilan ini akan melukai tubuh rapuh istrinya, tapi ia juga berharap semoga janin kecil itu mampu bertahan dan tumbuh dengan kuat. “Kamu jangan capek-capek, ya. Kalau mau ke toilet, pelan-pelan aja. Jangan terburu-buru,” ujarnya, mengingatkan dengan lembut. Tasya mengangguk patuh, lalu terkekeh kecil. Melihat ekspresi polos dan lucu itu, Udin merasa gemas. Hatinya hangat. Ia benar-benar merasa menjadi pria paling beruntung di dunia karena memiliki Tasya. Meski masa lalu Tasya kelam, dan nama baiknya sempat tercoreng, tapi siapa yang bisa menolak pesona seorang Tasya? Ia memang berasal d

  • Sekarang Giliranku   DI BENCI

    Aku berjalan santai bersama suamiku menuju pintu utama. Sepanjang jalan, para pekerja di rumah ini menyapa kami dengan ramah. Hangat. Penuh rasa hormat. Hati kecilku dipenuhi rasa syukur. Betapa berbedanya hidupku sekarang. Dulu, saat bersama Raka, mana pernah aku diperlakukan seperti ini? Jangankan dihormati, dihina pun sering. Aku banting tulang membeli rumah, mobil, beserta isinya sementara dia? Ah, kalian pasti tahu. Sebelum kami sampai di pintu utama, asisten rumah tangga sudah membukanya lebar-lebar, seolah tahu kami akan datang. Begitu masuk, aku melihat Vivi ,putri kecilku yang manis berdiri di dalam. Sekarang dia sudah duduk di bangku kelas empat SD. Waktu terasa cepat. Senyumku langsung merekah. Aku merentangkan tangan, berharap dia berlari dan memelukku seperti biasanya. Namun senyumku mendadak pudar. Vivi melewatiku begitu saja. Tanpa kata, tanpa pelukan, bahkan tanpa tatapan. Ia langsung berlari ke arah David, ayahnya, yang berdiri di belakangku. Aku menoleh

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status