Share

TAK ADA MAAF

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-06-27 04:22:13

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin... tapi Bu Susi tidak bisa kami selamatkan."

Ucapan dokter itu terdengar seperti petir di siang bolong. Dunia seolah runtuh di hadapan Nadia dan David.

Tubuh Nadia lunglai. Ia menangis dalam pelukan David, tubuhnya gemetar hebat. "Kenapa… kenapa saat Mama mertua sudah menerima aku… justru sekarang dia pergi?" isaknya lirih.

David memeluknya erat, namun wajahnya kosong. Hatinya remuk, hancur tak bersisa. Tapi seperti biasa, David tak pandai mengekspresikan duka. Ia hanya membatin dengan getir, "Siapa yang tega menabrak ibuku?"

Perlahan, ia mengeluarkan ponsel dari saku dan menghubungi satpam di rumahnya.

“Lihat rekaman CCTV di depan gerbang. Cari tahu siapa yang menabrak Ibu saya,” ucap David datar, tapi tegas. Setelah itu, tanpa menunggu jawaban, ia langsung menutup telepon.

Ia kembali memeluk Nadia lebih erat, lebih dalam. Tapi kali ini, bukan hanya untuk menenangkan istrinya David sedang menyembunyikan tangisnya sendiri di da
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   END....

    Ia menunduk sejenak, menarik napas panjang. "Aku... sempat ingin menanyakan. Tapi kupikir... mungkin kamu yang nggak mau membahasnya," jawab Aldo akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. Tasya tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Aku paham. Aku pun dulu menghindar, tapi bukan berarti aku lupa. Kak Nadia satu-satunya keluarga yang pernah melindungiku... meski kami sempat menjauh." Tasya berbicara pelan, namun suaranya jernih dan mantap. Kata demi kata mengalir, seperti aliran sungai yang akhirnya menemukan jalan keluar setelah lama tertahan oleh batu-batu luka dan penyesalan. Ia menceritakan semuanya tanpa disaring, tanpa dihias. Tentang dirinya yang dulu masih dipenuhi amarah dan iri. Tentang Nadia, kakaknya yang selalu melindungi namun akhirnya justru ia jauhi. Tentang perceraian, pengkhianatan, pelarian, dan keputusan besar untuk meninggalkan Indonesia. Aldo mendengarkan dengan saksama. Tak ada satu pun jeda yang ia potong. Matanya sesekali membesar, lalu k

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA DUINIA SEMUNGIL INI YA..

    Sementara itu, jauh di belahan dunia lain… Taysa hidup dalam damai. Ia tak tahu bahwa saat ini, kakaknya sedang bertengkar hebat dengan perempuan yang merebut suaminya. Ia tak tahu bahwa Nadia membela dirinya mati-matian, bahkan sampai melupakan dirinya sendiri demi membela sang adik. Kalau Taysa tahu... Mungkin ia akan pulang. Ia akan memeluk kakaknya erat-erat, menangis di dadanya, dan berkata: “Terima kasih karena tidak pernah benar-benar meninggalkanku.” Tapi untuk saat ini, Taysa menikmati kedamaiannya di negeri asing yang kini ia sebut rumah Amerika. Beruntung, Arumi, putri sulungnya, begitu mudah beradaptasi. Di sekolah barunya, Arumi cepat akrab dengan teman-temannya. Ia fasih berbahasa Inggris dan sangat mandiri untuk seusianya. Sementara bayi mungilnya dititipkan pada seorang pengasuh tepercaya di rumah, Taysa sibuk menjalankan restoran kecil masakan khas Indonesia yang baru saja ia buka. Dan ternyata… sambutan orang-orang luar biasa. Restorannya rama

  • Sekarang Giliranku   KERIBUTAN DI CAFE

    “Udin dan Taysa… sudah bercerai,” ujar Dina akhirnya, suaranya bergetar. “Kami baru menikah kemarin. Setelah… setelah seminggu lalu Taysa mengusir Udin dan pergi entah ke mana…” Setiap katanya terdengar terbata, seperti menyusun kepingan kebenaran yang berserakan. Tapi nada suaranya tak sepenuhnya meyakinkan. Nadia menyipitkan mata. Ia merasakan ada yang janggal. Matanya menelusuri wajah Dina seperti mencari celah kebohongan yang mungkin tersembunyi. Sebelum sempat ia bicara lagi, suara David memotong udara. “Jangan berbohong. saya bisa saja memasukkan kalian ke penjara.” Seketika semua kepala menoleh ke arahnya termasuk Nadia. Suaranya datar. Pelan. Tapi ada sesuatu yang begitu dingin dalam nada itu. Serius. Mengancam. Wajah David kini berubah. Tidak lagi tenang seperti sebelumnya. Kali ini... datar. Kaku. Sorot matanya tajam, nyaris tak berkedip. Wajah yang biasanya hangat, kini seperti topeng tanpa emosi membeku, menakutkan. Nadia bahkan terdiam. Ia mengenal sisi ini.

  • Sekarang Giliranku   AMERIKA

    Pagi di Amerika saat musim salju terasa seperti dunia yang baru saja terlahir kembali hening, bersih, dan membeku dalam waktu. Cahaya matahari masih malu-malu menembus langit kelabu, menciptakan semburat oranye pucat di balik awan dingin. Pepohonan berdiri kaku, ranting-rantingnya menggigil, dibalut es tipis seperti renda kristal alami. Jalanan sunyi, hanya suara gemerisik lembut salju yang jatuh dari atap atau suara jejak kaki pertama di trotoar yang mengganggu keheningan suci itu. Asap putih mengepul dari cerobong-cerobong rumah, naik perlahan dan lenyap di udara beku. Dari jendela-jendela rumah, lampu-lampu kuning masih menyala hangat, memantul lembut di kaca yang dilapisi embun beku. Aroma kayu terbakar dan kopi hangat menyelinap ke luar melalui celah pintu yang sebentar terbuka saat seseorang menyapa pagi. Taysa menghembuskan napas lega. Sudah seminggu sejak ia pindah ke Amerika, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Damai. Tak ada lagi rasa taku

  • Sekarang Giliranku   MASA LALU YANG TAK PERNAH BERAKHIR

    "Mas, itu sudah sepuluh tahun yang lalu! Kenapa kamu masih mempermasalahkannya?!" seruku sambil menatap tajam ke arahnya. Aku benar-benar tak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan itu semua? Apa tak ada alasan lain yang lebih manusiawi? Udin menggeleng pelan. Tatapannya menembus mataku, dalam... tapi dingin. Tak ada lagi sisa cinta. Tak ada kagum. Tak ada pengagungan seperti dulu. Aku mundur perlahan. Jujur saja, ini sangat menyakitkan. "Aku lelah, Tasya... Aku lelah," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik namun menancap tajam. "Bertahun-tahun aku berjuang memperbaiki nama baikmu. Sampai aku lupa bagaimana caranya menjadi diriku sendiri. Aku terlalu sibuk memikirkan kamu... perasaanmu... dan pandangan orang-orang terhadapmu." Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Seperti sedang membebaskan sesak yang ia simpan bertahun-tahun. Aku hanya diam. Menunggu... Kalimat berikutnya apa? Apalagi yang akan dia katakan? "Ini mungkin... balasan untukmu, Ta

  • Sekarang Giliranku   MASALALU MENJADI BOOMERANG

    "Mas... kau sungguh akan meninggalkanku?" Tasya bertanya dengan suara bergetar, tak menyangka bahwa Udin benar-benar mengucapkan kata-kata itu. Udin mengangguk pelan. Matanya mulai basah, namun ia menahan tangisnya. Sebenarnya, ia tidak ingin pergi tapi hatinya terlalu lelah dengan kehidupan yang harus selalu tampak sempurna. Ia rindu menjadi dirinya sendiri. "Aku lelah, Tasya..." Ucapnya lirih, napasnya tercekat. Tasya menunduk. Air matanya jatuh tanpa henti. "Mas... kita sudah tak lagi di kampung. Kita di sini berjuang bersama," katanya sambil mencoba menahan kepergian suaminya. Udin menggeleng lemah. Ia tahu itu. Tapi hatinya sudah terlalu dalam tertambat pada orang lain... pada Dina. "Lihat anak kita, Mas," lanjut Tasya. Suaranya bergetar, tak mampu lagi berpura-pura kuat. Tubuhnya gemetar saat membayangkan wajah kedua putri mereka. Ia telah berjuang mati-matian mempertahankan rumah tangga ini demi anak-anak. Tapi Udin... justru berselingkuh di belakangnya. "Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status