Langkah kaki Shaz menggema lembut di lantai marmer Hotel Luma Orchid, semakin mendekati sosok perempuan yang berdiri beberapa meter di depannya. Alysaa mematung. Matanya basah, namun tetap menatap Shaz dengan keberanian yang gemetar.Saat jarak mereka tinggal dua langkah, Shaz berhenti sejenak... Lalu kemudian mereka saling bergerak di saat yang sama. Tanpa kata, tanpa aba-aba.Pelukan itu bukan hanya antara dua tubuh, tapi dua waktu. Dua jiwa yang sama-sama kehilangan dan sama-sama bertahan dalam diam yang panjang.Shaz memeluk Alysaa erat, lebih erat dari yang pernah ia lakukan sebelumnya. Tangannya menyentuh lembut puncak kepala Alysaa, jemarinya menyusup pelan ke helaian rambutnya yang masih harum seperti dulu, lalu mengecupnya—seolah seluruh rindunya luruh dalam satu ciuman itu“Ini kamu…” bisik Shaz di pelipisnya. “Akhirnya, kamu…”Alysaa mengangguk dalam pelukan itu. “Aku capek, sayang… capek menahan semuanya sendiri.”Shaz tak menjawab. Ia hanya menggenggam jemari Alysaa, dan m
Suasana kantor Mora Global mulai lengang. Jam kerja nyaris usai. Dari balik jendela lantai 17, langit Kuala Lumpur memancarkan semburat oranye keemasan. Zara berjalan pelan ke meja Shaz, langkahnya tenang namun penuh harap. “Mr. Shaz, kita jadi berangkat sekarang?” tanya Zara lembut.“Ah, aku beres-beres dulu, sebentar ya.”Zara mengangguk dengan senyum lembutnya. Hari itu menjadi hari paling membahagiakan baginya, karena akhirnya dia memiliki keberanian untuk mendekati pria yang ia sukai semenjak kedatanganya pertama kali.Shaz berdiri, memasukkan laptop ke dalam tas kerja. “Aku bawa mobil kantor. Tapi tak apa, kita bisa bareng kan?”"Tentu"Mereka berdua berjalan beriringan menuju parkiran, senyum Zara terus merekah saat berjalan bersama pria idamannya itu. Dari kejauhan, Nalinee yang kebetulan melintas di lorong melihat adegan itu. Shaz tersenyum kecil, dan Zara yang tampak begitu akrab di sisinya. Matanya menyipit, ada sesuatu yang merayap di hatinya. Campuran tidak nyaman dan ke
Pagi di Kuala Lumpur menari perlahan lewat cahaya matahari yang menyusup di sela tirai putih apartemen. Aroma kopi menyebar dari dapur, sementara Raheem sibuk di meja makan dengan laptop terbuka, beberapa berkas proyek berserakan di sisinya.Shaz muncul dari balik lorong kamar, rapi dengan kemeja biru laut dan jas biru dongker yang elegan. Ia mengenakan jam tangan di pergelangan kirinya, wajahnya bersih, tatapannya seperti biasa—tenang, tapi masih menyimpan musim yang belum berlalu.“Shaz, kau akan pulang malam hari ini?” tanya Raheem tanpa menoleh, masih sibuk membaca dokumen izin bangunan di layar.Shaz merapikan lengan jasnya setelah memasang jam tangan. “Belum tahu, lihat saja nanti. Kenapa?”Raheem mengangguk pelan. “Hanya bertanya.”Shaz duduk sejenak sambil memeriksa notifikasi di ponselnya.Raheem akhirnya menoleh dan tersenyum. “Restoran milikku, Raheem’s Briyani House sepertinya akan segera mulai dibangun bulan depan. Semua perizinan hampir rampung. Tinggal satu tanda tangan
Angin sore berhembus ringan, menyapu dedaunan palem yang berjejer rapi di sisi luar hotel berarsitektur kolonial modern itu. Bangunannya enam lantai, dengan jendela-jendela besar berbingkai kayu putih dan balkon-balkon kecil berisi kursi rotan tua yang tampak usang namun elegan.Begitu taksi berhenti di depan lobi, ketiga perempuan itu turun dengan langkah pelan. Tas-tas mereka terseret ringan di permukaan jalan berbatu yang tertata rapi.Alysaa menatap bangunan itu beberapa detik. Matanya menyisir sisi-sisi jendela yang tampak kosong.“Bagus sih… tapi sepi banget,” gumam Maya sambil membuka kacamata hitamnya.Alysaa terkekeh, “Kalau kita bawa Jena ke sini, pasti tiba-tiba dia nunduk sambil merinding.”Radya langsung tertawa, “Iya, ngeliat setan dia nanti! Terus langsung nangis bilang auranya beda!”Maya menoleh tajam sambil setengah tersenyum, “Hushh, jangan ngomong sembarangan, ya.”“Kenapa?” Radya menaikkan alis iseng.“Gak boleh gegabah kalau ngomong, apalagi di tempat asing,” jawa
Di balkon apartemen, Shaz duduk diam. Tangan kirinya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, sementara matanya menerawang jauh menembus kabut pagi. Sudah seminggu sejak malam itu di apartemen Nalinee, tapi hatinya tetap tidak tenang.Hujan semalam masih menyisakan embun di pagar balkon. Dan di dada Shaz, masih tertinggal kabut rindu yang tak pernah reda.Di dalam, Raheem berdiri sambil menggulir layar ponselnya. Wajahnya bimbang. Ia sudah menimbang hal ini berhari-hari—dan akhirnya ia memutuskan: Shaz tak bisa terus seperti ini.Ia membuka akun Facebook-nya. Jempolnya berhenti di satu nama yang sudah lama ia curigai, yang sering dilihat Shaz diam-diam. Ia menatap foto profil itu lama.Alysaa S. Ramadhani.Raheem menekan tombol Message.Inbox FacebookRaheemAssalamualaikum, Alysaa.Maaf kalau aku tiba-tiba menghubungi kamu seperti ini. Aku tahu kamu mungkin tidak mau tahu apa-apa tentang Shaz lagi. Tapi… izinkan aku bicara sebentar. Aku Raheem — sahabat dekatnya sejak kecil.Aku k
Begitu menjejakkan kaki di KLIA2, angin pagi mengusap wajah Shaz—tapi ia tidak bergeming. Tak ada rindu, tak ada lega. Hanya ruang kosong di dadanya yang terasa semakin luas.Wajah itu… kosong.Tak ada lagi kilau harapan yang dulu menyala di matanya. Yang ada hanya tatapan mati—tajam tapi hampa, seperti pria yang kehilangan sesuatu yang bahkan tak bisa ia sebut namanya.Raheem berjalan di sebelahnya, sesekali melirik Shaz dengan khawatir. Tapi ia tak mengatakan apa-apa. Ada duka yang terlalu rumit untuk dibahas saat ini.Hari-hari berikutnya…Shaz memulai hari-hari barunya di Mora Global Malaysia. Kantor megah di jantung Kuala Lumpur, dengan jendela kaca tinggi dan ruangan bergaya Skandinavia modern. Ia tampil prima. Jas rapi, langkah tenang, tutur kata yang penuh kharisma.Tapi semua itu hanya... topeng.Setiap malam, Shaz duduk diam di balkon apartemen mereka, menatap lampu-lampu kota sambil menenggak kopi pahit yang tak pernah habis. Dan saat pagi datang… dia kembali ke kantor, men