Mobil berwarna hitam metalik melaju pelan melewati jalanan yang meliuk di kaki pegunungan. Aroma khas daun teh yang lembap memenuhi udara, sementara hamparan kebun menghijau di kedua sisi, seolah ikut menyambut dua pria asing yang tengah membawa misi dari masa lalu.Di balik kemudi, Shaz menggenggam setir dengan kedua tangan. Tatapannya fokus, namun hati dan pikirannya masih jauh, tertinggal di tempat bernama ketakutan. Ia hampir tak mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari hotel pagi itu. Hanya suara GPS dan hembusan napas panjang yang memenuhi kabin.Raheem, duduk di kursi penumpang dengan pandangan tak kalah tegang, sesekali melirik ke arah luar jendela. “Tempat ini… terasa seperti perhentian terakhir, ya?”Shaz mengangguk sekali. “Kalau kita salah alamat, aku nggak tahu lagi harus kemana.”Angin tipis pegunungan berembus lewat celah kaca, namun suasana di dalam mobil tetap terasa pengap. Shaz memegang setir erat-erat, seolah jalan yang ia tempuh kali ini adalah jalan satu-sa
Kafe itu masih sama.Aroma kopi hangat masih menguar dari mesin espresso di balik meja kasir. Tapi bagi Shaz, tempat itu seperti lukisan lama yang warnanya memudar—masih familiar, tapi tak lagi menyimpan kehangatan.Ia berdiri di depan meja pemesanan. Matanya menelusuri wajah-wajah barista yang sibuk. Tak satu pun yang ia kenali.“Bahkan semesta seperti menutup semuanya dariku,” gumamnya lirih. “Karyawan yang dulu memberi tahu tempat tinggal Alysaa… tidak ada.”Shaz melangkah pelan ke arah kursi pojok yang pernah ia duduki saat pertama kali datang ke Bandung bersama Raheem. Kursi itu masih di sana. Sunyi. Seolah menunggu luka lama untuk duduk kembali.Raheem mendekat, membawakan dua gelas kopi dan sepiring kue kecil.“Sudah, duduklah. Kita pikirkan lagi. Mungkin ada petunjuk lain,” ujarnya sambil menyodorkan gelas kopi ke Shaz.Shaz mengambilnya tanpa banyak bicara. Cairan hangat itu menyentuh bibirnya, tapi tak menyentuh hatinya.“Kau tahu kontaknya Maya atau Radya?” tanyanya pelan,
Bandara Kuala Lumpur dipenuhi suara langkah tergesa, pengumuman keberangkatan, dan aroma kopi dari kios di sepanjang terminal. Tapi tak satu pun dari itu menyentuh kesadaran Shaz. Ia duduk di kursi tunggu dengan punggung membungkuk, tangan terkepal, dan mata tak lepas dari layar ponsel yang kosong dari notifikasi.Raheem duduk di sebelahnya, menatap sahabatnya dengan raut prihatin. Bahkan ia tak perlu bertanya untuk tahu bahwa Shaz sedang mencoba menahan napas yang sejak lama terasa menggantung.“Raheem,” gumam Shaz pelan, “nomormu masih diblokir?”Raheem menggeleng pelan. “Iya, Shaz. Dia benar-benar... menghilang.”Shaz memejamkan mata. Wajah Alysaa—matanya yang jernih, bibir ranumnya—terus muncul di bayangannya. Tapi kali ini, senyumnya menjauh. Buram. Terhapus perlahan.“Bagaimana kalau… dia sedang hamil?” suaranya terdengar rapuh.Raheem menghela napas. “Kalau dia yakin hamil, mungkin dia nggak akan segan buat cari kamu. Tapi kalau dia yakin tidak…” Ia menatap Shaz dengan sorot la
Lantai 17 Mora Global Malaysia siang itu terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena suhu udara, tapi karena amarah yang nyaris tak tertahankan.Shaz melangkah cepat melewati lorong kantor. Matanya tajam. Nafasnya memburu. Setiap langkahnya menimbulkan ketegangan yang menyusup ke udara. Beberapa staf melirik, bertanya-tanya dalam hati—apa yang sedang terjadi pada pria yang biasanya tenang itu?Pintu ruangan Nalinee terbuka sedikit. Shaz tak mengetuk. Ia mendorongnya langsung.“Nalinee.”Gadis itu mendongak dari balik layar laptopnya. Senyumnya lebar seperti biasa. "Hai, Shaz!" ucapnya ceria, seolah tak terjadi apa-apa.Shaz tak membalas senyuman itu. Matanya menatap lurus, dingin dan menusuk. “Kau yang kirim video itu pada Alysaa?”Nalinee membeku. Senyum di wajahnya perlahan luruh. “Shaz, aku—”“Jawab aku,” bentaknya, nadanya dalam dan tegas.Nalinee tercekat. Matanya bergetar, bibirnya menggigil. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi Shaz yang belum pernah ia lihat—marah, terluk
Langit Kuala Lumpur malam itu seperti tak bernyawa—gelap, berat, dan tanpa bintang. Shaz menepikan mobilnya di parkiran apartemen dengan kepala penuh gejolak. Ia bahkan tidak mematikan radio, tidak membawa tas kerjanya, hanya berjalan lurus ke dalam bangunan seperti tubuh tanpa jiwa. Ketika pintu apartemen terbuka, aroma kari ringan dari dapur menyambutnya samar. Raheem sedang duduk di meja makan dengan kaus santai dan rambut sedikit basah habis mandi. Ia menoleh cepat. "Hey, bro. Tadi kau meneleponku? Saat ku-telepon balik, kau nggak angkat. Ada apa?" Wajah Raheem tampak cemas, matanya menyipit penuh tanya. Shaz berdiri di ambang pintu, tubuhnya bersandar pada kusen. Napasnya pelan, berat, seperti seseorang yang baru saja kehilangan hal paling berharga dalam hidupnya. "Aku kehilangan Alysaa… lagi," bisiknya nyaris tanpa suara. Raheem langsung bangkit dari kursi. "Apa?" "Dia blokir aku," suara Shaz retak, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa. Raheem mendekat cepat, duduk di sam
Jam makan siang di lantai 17 Mora Global Malaysia biasanya menjadi waktu paling sibuk—meeting tak resmi di pantry, bunyi sepatu para eksekutif berlalu-lalang, dan suara lift yang naik turun tak henti-henti. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, setelah lebih dari seminggu, Shaz duduk sendiri di ruangannya. Sunyi. Sebungkus nasi lemak di meja masih utuh. Tangannya memegang ponsel, membuka WhatsApp—berharap bisa menarik napas, meski sebentar. Notifikasi pesan yang belum dibaca berjejer. Dan di antaranya, satu nama muncul berulang. Alysaa. Dengan jari gemetar, ia membukanya. Layar berganti—menampilkan satu video pendek. Berdurasi tak sampai satu menit. Shaz menatap thumbnail-nya. Hatinya mencelos. Play. Suara Zara terdengar pelan tapi jelas: “Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” Wajahnya sendiri muncul di layar. Kaku. Bingung. Dan yang paling menyakitkan… diam. Lalu pesan dari Alysaa menyusul: “Bisa tolong jelaskan tentang video ini, Shaz?” Tapi bukan itu yang membuat napas Sh