Share

bab tiga

Author: naftalenee
last update Last Updated: 2021-12-18 21:04:02

Selama beberapa detik, Sena tidak mengatakan apa-apa selain memandangi wanita di depannya dengan berusaha untuk tetap menunjukkan ekspresi normal.

“Mbaknya mau pergi ke mana? Saya antar,” kata Sena dengan sangat hati-hati.

“Pergi, saya harus pergi jauh dari sini.” Wanita bernama Winena–berdasarkan identitas diri yang sempat Sena lihat–itu menggeleng panik. Matanya memancarkan ketakutan dan perlahan air mata menggenang di pelupuk. Suaranya terbata-bata saat kembali berkata, “Dia mengusir saya pergi. Saya nggak tahu harus ke mana. Saya … saya nggak punya tempat untuk pulang.”

Sena menahan napas. Tenggorokannya tiba-tiba seperti tersumbat sesuatu hingga rasanya seperti tercekik. Dadanya pun sesak.

Sena tidak perlu diberitahu dua kali. Ia merasa ada sesuatu hal yang berbahaya yang tengah mengancam wanita di depannya. Bukannya ia ingin berasumsi, tetapi Sena bisa melihat tanda-tanda perlawanan dari memar-memar yang membiru di pergelangan tangan. Sena seketika teringat foto-foto di berkas perkara kasus KDRT yang belum lama ini ia baca.

“Berengsek,” geram Sena tanpa sadar.

Laki-laki itu seketika teringat akan kakak sepupunya yang dulu pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangganya dan sampai sekarang masih belum pulih luka psikisnya. Sena menjadi sangat marah saat menghadapi situasi seperti ini. Hasrat ingin melindungi setiap orang yang mengalami kemalangan dalam hidup menghantam dada. Inilah salah satu alasan ia agak keberatan menangani kasus KDRT. Ia terlalu mudah terbawa perasaan hingga sulit mengedepankan logika.

 Sena tak akan pernah lupa kala dulu dirinya sempat melampiaskan amarahnya dengan memukuli mantan suami kakak sepupunya hingga laki-laki bangsat itu babak belur.

“Ada keluarga atau kerabat dekat yang bisa dihubungi, Mbak? Ini sudah malam dan nggak aman buat Mbak−”

Wanita itu menggeleng. “Boleh saya menginap di tempat Anda?”

Selama beberapa detik Sena hanya memandangi wanita di depannya dengan mulut terbuka karena permintaan barusan terlalu mengejutkan. “Maaf, saya kira−”

“Anda kelihatannya bukan orang jahat.” Wanita itu kembali memotong ucapan Sena. “Kalaupun Anda ternyata orang jahat, saya nggak akan melaporkan Anda ke polisi−toh mereka tidak akan banyak membantu,” sambung wanita itu lirih, seperti berbicara untuk dirinya sendiri. “Saya cuma mau menumpang semalam saja. Saya mohon.”

Sena sampai tak dapat berkata-kata. Laki-laki itu memaksa otaknya untuk berpikir dengan cepat. Terlalu berisiko menampung seorang wanita di apartemennya yang hanya ia huni seorang diri. Bukan, bukan berarti Sena tidak mau menolong. Namun, jika ada tempat yang lebih nyaman untuk wanita itu selain di apartemen Sena, maka Sena tidak akan berpikir dua kali untuk membawanya ke sana. Dan satu-satunya tempat yang terpikir di kepala Sena adalah hotel.

“Nama saya Winena,” ujar wanita berpakaian compang-camping itu lagi tanpa ditanya. “Saya … saya cuma butuh tempat untuk istirahat malam ini saja.” Wanita bernama Winena itu menunjuk pakaiannya. “Dengan penampilan seperti ini, saya nggak bisa ke hotel untuk sewa kamar. Saya nggak bisa ke toko untuk beli pakaian. Karena semua mata yang memandang ke arah saya menganggap saya orang gila yang harus dijauhi.”

Hati Sena kembali teriris. Waras atau tidak. Normal atau tidak. Bagi Sena tidak sepantasnya manusia-manusia yang terlihat ‘tak normal’ di mata mereka dipandang lebih rendah dan dijauhi layaknya virus mematikan. Namun, begitulah dunia yang Sena tinggali. Ada orang-orang yang baik dan peduli. Ada orang-orang yang abai terhadap sekitar. Dan ada orang-orang jahat yang tak memanusiakan manusia.

Sena melihat ke sekeliling. Dan matanya menemukan sebuah ruko yang menjual pakaian wanita. Dan kebetulan sekali di samping ruko ada apotek.

“Mbak Winena, bisa tunggu saya di mobil?” pinta Sena setelah memutuskan untuk membantu Winena bagaimana pun caranya.

“Saya boleh menginap?” Winena menatap Sena dalam harap.

Sena tersenyum tipis seraya menunjuk ruko yang ada di seberang jalan. “Saya belikan pakaian baru untuk Mbak Winena dulu. Setelah itu saya antar Mbak Winena ke hotel yang ada di dekat apartemen saya. Bagaimana?”

Pancaran kesedihan di mata Winena memekat. Entah murni karena rasa peri kemanusiaan, di mana Sena ikut merasakan kepedihan hingga mampu bersimpati terhadap seseorang yang tidak ia kenal atau karena alasan lain yang belum Sena ketahui sebabnya.

Dan Sena pun buru-buru menambahkan dengan yakin, “Lebih aman di sana daripada di apartemen saya, Mbak. Saya akan pastikan kalau tidak akan ada lagi yang memandang Mbak dengan pandangan merendahkan dan Mbak bisa tidur di hotel dengan nyaman.”  

Winena memandangi Sena lekat-lekat. “Sudah lama sekali saya nggak diperlakukan sebaik ini, bahkan oleh keluarga saya sendiri.”

Lagi, Sena tertohok. Sudah seberapa banyak rasa sakit yang ditelan paksa oleh wanita di depannya ini? Bagaimana wanita itu bertahan dengan rasa sakit yang menggerogotinya? Sena tidak tahu. Yang Sena tahu adalah kenyataan bahwa ia paling tidak bisa berdiam diri melihat kemalangan menimpa orang lain.

“Mari, Mbak.” Sena mempersilakan Winena untuk masuk ke dalam mobil dan kemudian laki-laki itu melajukan mobilnya ke arah toko baju.

Tak hanya membelikan Winena baju baru dan alas kaki yang lebih dari layak pakai, Sena juga membantu mengobati luka-luka di lengan dan kaki Winena. Kemudian, Sena benar-benar memesankan kamar hotel yang cukup nyaman untuk Winena. Sebelumnya, Sena pun tak lupa untuk terlebih dahulu mengajak Winena untuk makan.

Winena sempat menolak saat diajak makan, namun Sena sedikit memaksa dengan berkata, “Ibu saya pernah memberi saya sebuah nasihat. Apa pun yang sedang terjadi dalam hidup, meski hal itu menghancurkan kita begitu dalam, satu hal yang tetap harus kita lakukan adalah makan. Mungkin memang nggak banyak membantu menyelesaikan masalah kita, tapi setidaknya kita bisa mendapatkan energi untuk bertahan.”

Bukan nasihat yang mengharukan. Namun, berhasil membangkitkan nafsu makan Winena yang sempat hilang.

“Boleh saya tahu nama kamu?” tanya Winena sebelum keduanya berpisah di lobi hotel.

Sena baru sadar kalau dalam satu jam kebersamaannya dnegan Winena, ia belum memberitahukan namanya. Sena mengulurkan tangan dan berkata, “Nama saya Banyusena.”

Winena tersenyum samar dan menjabat tangan Sena. “Terima kasih banyak, Banyusena. Saya nggak akan pernah melupakan kebaikan kamu untuk saya.”

 Sena dan juga wanita bernama Winena itu tak pernah tahu kalau pertemuan mereka malam itu akan membawa takdir pahit untuk keduanya di masa depan.

***

Sena yang masih terbuai oleh mimpi indahnya itu dibangunkan dengan cara yang tidak begitu menyenangkan oleh suara keras dari ponselnya yang berdering meraung-raung. Sena mengerang kesal karena ia merasa baru tidur sebentar, tetapi dipaksa bangun oleh pengganggu yang ternyata adalah atasannya.

Masih jam setengah enam pagi, dan nama Pak Rudi sudah terpampang di layar ponselnya. Sena bangkit dari posisi tengkurapnya dengan susah payah lalu duduk bersandar di headboard. Ia menguap lebar sekali sebelum mengangkat panggilan dari atasannya.

“Ha−”

Dan ia tidak diberi waktu untuk sekadar mengucapkan ‘halo’ oleh Pak Rudi yang langsung berkata dengan setengah berteriak panik, “Armandio Jati bunuh diri di tahanan semalam.”

Sena memproses ucapan Pak Rudi dengan sedikit lambat hingga Pak Rudi harus mengulangi ucapannya sekali lagi. Dan Sena hanya bisa termangu di tempat selama beberapa saat. Dalam perjalanan karirnya tidak ada yang lebih buruk dari ini. Mendengar kabar bahwa seseorang yang baru kemarin ia pidanakan dalam keadaan sehat dan hari ini orang tersebut sudah tak bernyawa.

“Jasad Armandio Jati sudah dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi,” terang Pak Rudi yang tak terlalu digubris oleh Sena.

Hingga sambungan terputus, Sena masih belum beranjak dari atas tempat tidur. Dengan tangan gemetar Sena membuka portal berita di internet. Ia sempat berharap atasannya hanya berhalusinasi. Namun, harapan hanyalah harapan. Apa yang disampaikan Pak Rudi benar-benar terjadi. Karena saat ini tajuk berita ‘Armandio Kusuma Jati Bunuh Diri di Sel Tahanan’ memenuhi kolom berita di internet.

This can’t be happening. He can’t be dead,” lirih Sena tak berdaya. 

***

Di lain tempat, pada waktu yang hampir bersamaan, Winena berdiri di depan jendela kaca. Sedang menatap pemandangan kota Jakarta di pagi hari melalui kamar hotelnya di lantai sembilan. Seperti yang Sena katakan semalam, Winena bisa tidur dengan nyaman. Bahkan ia begitu lelap hingga paginya ia merasa cukup segar. Sungguh ironis memang. Saat ibunya di rumah sakit-sakitan, ayahnya dikurung di penjara yang mustahil mendapatkan ruang yang nyaman, dan kenyataan bahwa kemarin ia baru saja digugat cerai oleh suaminya, ia masih bisa tidur nyenyak di tempat yang aman dan nyaman.

Namun, kemalangan tak senantiasa membiarkan Winena merasakan kenyamanan itu dalam waktu lama. Karena tepat saat ia baru akan menikmati kenyamanan itu, suara jernih dari pewara berita pagi mengabarkan berita terburuk yang Winena alami dalam 28 tahun hidupnya.

“Terpidana korupsi Armandio Jati mengakhiri hidupnya di dalam sel tahanan, satu hari setelah dipidana 10 tahun penjara atas kasus penggelapan dana. Diduga penyebab bunuh diri yang dilakukan Armandio Jati karena depresi atas vonis yang dijatuhkan hakim. Ditemukan sebuah surat untuk anak tunggal Armandio Jati yang ditulis sebelum terpidana mengakhiri hidup dengan….”

Winena tidak sanggup mendengarkan kata demi kata sang pewara yang seakan menguliti dirinya hidup-hidup.   

“Ayah,” bisik Winena saat nama ayahnya berkali-kali disebut dalam berita itu.

Winena meraih remote TV dan memencet-mencet tombolnya hingga berpindah ke saluran lain. Namun, berita itu disiarkan hampir seluruh saluran televisi lokal. Tidak ada tayangan lain.

“Ayah,” Winena kembali menggumam lirih.

Tidak ada kekuatan yang tersisa untuk menopang tubuhnya. Winena ambruk. Menatap layar televisi dengan nanar. Ia menolak untuk percaya kalau ayahnya sudah meninggalkan dunia tanpa pamit.

“Kenapa Ayah tega melakukan ini?”

Di detik selanjutnya Winena menjerit dalam tangis. Meluapkan kesedihan dan rasa sakit yang berjejalan masuk ke setiap sel tubuhnya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
ria ria
awalnya aja seru,, penuh konflik.. mau dilanjut thor.. semangat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   Epilog

    Anakku tersayang, WinenaSaat kamu menerima surat ini, mungkin Ayah sudah tidak ada di dunia lagi. Melalui surat ini, Ayah ingin mengatakan betapa besar rasa syukur dan rasa bangga Ayah bisa memiliki kamu sebagai anak. Kamu sudah berkali-kali mendengar dari Ibu kalau dulu kami sangat menanti-nantikan kehadiran anak dalam pernikahan kami yang sudah bertahun-tahun. Saat kami sudah nyaris menyerah, kamu hadir melengkapi kebahagiaan kami. Kamu selalu menjadi kebahagiaan kami, Win.Bahkan, saat hubungan Ayah dan Ibu sudah tidak seperti dulu lagi, kami selalu mencintai kamu sama besarnya seperti saat kamu masih berada di rahim ibumu.Tentang keadaan Ayah dan Ibu yang telah berubah dan akhirnya berimbas ke kamu, menyakiti kamu, Ayah minta maaf, Nak. Maaf, karena Ayah sudah merusak keluarga impian yang selalu kamu inginkan.Winena, Ayah sangat menyesal karena menciptakan dunia yang mengerikan untuk kamu tinggali. Tetapi Ayah yakin kalau kamu akan bisa menemukan dunia yang lebih indah daripada

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   bab sembilanpuluh tujuh - takdir cinta sang anak koruptor

    "Kamu ingat nggak sih, Win, kalau kamu masih punya utang ke aku yang belum kamu bayar?" Sena memainkan rambut panjang Winena. Ujung-ujung jarinya perlahan turun, menyentuh tulang selangka Winena yang tidak tertutup apa-apa. Setelah pergumulan Sena dan Winena di atas tempat tidur beberapa saat yang lalu, mereka masih bergelung di balik selimut tanpa mengenakan pakaian kembali. Bukan karena malas bergerak, tetapi Winena tidak cukup puas jika hanya satu ronde. Mereka hanya istirahat sejenak sebelum melanjutkan kesenangan bersama. "Utang apa? Es krim?" Winena mengernyit. Sena berdecak, tetapi tak urung terkekeh. Soal cemilan, mereka punya selera yang berbeda sehingga mereka tak pernah mengusik cemilan milik masing-masing. Tetapi semuanya berubah begitu saja saat Winena hamil. Segala jenis cemilan yang dulu tidak disukainya, kini semuanya masuk ke perut. Terutama cemilan-cemilan milik Sena yang dulunya selalu dihindari Winena. "Bukan, Sayang. Tapi soal renang. Udah berapa kama sejak kam

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   bab sembilanpuluh enam - happy ending

    Dua tahun kemudian.....Rasanya, seperti mimpi.Tujuh tahun yang lalu, saat Winena menikah dengan Faris rasanya tidak seperti ini. Saat itu, Winena hanya melewatinya dengan hati yang berbunga-bunga dan perasaan yang menggebu-gebu ingin segera menyambut kehidupan rumah tangganya bersama Faris.Bersama Sena, Winena terus-menerus menemukan perjalanan yang benar-benar baru yang menantang dan penuh kejutan. Segalanya terasa berbeda. Dan Winena tidka punya waktu untuk membandingkan dengan pernikahan pertamanya dahulu. Sebab, Winena terlalu bahagia karena akhirnya bisa mengikatkan diri dalam janji suci pernikahan bersama Seba setelah lika-liku hubungan mereka selama dua tahun terakhir.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena mendengar namanya disebutkan dengan merdu dalam ijab qabul. Winena menangis terisak saat haru menyelebungi seluruh sel dalam tubuhnya yang meneriakkan kebahagiaan.Rasanya, seperti baru pertama kali Winena merasakan jantungnya berdebar keras saat akan menyambut malam

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   bab sembilanpuluh lima - be with me

    Nindi sontak kembali berbalik untuk menatap Sena dan langsung memberikan tatapan tajam dan sengit yang bisa diartikan sebagai, "Kenapa wanita itu ada di sini?" "Lho, Mas nggak bilang kalau lagi ada yang jenguk." Ibu masuk diikuti Winena yang sama sekali tidak menatap Sena. "Kalau tahu begitu tadi porsinya bisa Ibu lebihin biar kita bisa sekalian makan siang bersama." "Nindi udah mau balik kok, Bu," balas Sena dengan tatapan yang tidak lepas dari Winena yang sibuk mengeluarkan makanan dari kantong plastik yang tadi wanita itu bawa. "Cantik namanya. Persis seperti orangnya," puji Ibu. "Teman Sena di kejaksaan juga, Mbak Nindi?" Sena dapat melihat gerakan tangan Winena yang terhenti selama beberapa detik sebelum kembali melanjutkan kegiatannya. Wanita itu masih pura-pura tidak memedulikan Sena maupun Nindi. "Bukan, Tante." Nindi yang lebih dulu mendekat untuk menyalami tangan Ibu. Hanya jabat tangan singkat, tanpa mencium punggung tangan. "Saya public figure. Bekerja di dunia hibura

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   bab sembilanpuluh empat - harapan

    Sena termenung lama menatap ke luar jendela rumah sakit setelah rekan-rekan kerjanya yang menjenguknya satu per satu pamit undur diri. Sudah beberapa hari lalu Sena mendengar cerita singkat dari Tante Elis bahwa Winena sekarang ada di Jakarta. Bahwa Winena sudah keluar dari tempat kerjanya di Yogyakarta karena keadaan Om Tirta memburuk. Winena ada di dekatnya. Setelah tiga bulan lamanya Sena berjauhan dengan Winena, kini Sena bisa kembali berdekatan dengan wanita yang ia cintai dan rindukan dengan sangat. Sena sempat berharap setelah mengetahui bahwa wanita itu juga sempat menunggui dirinya selama operasi yang kedua. Namun, hingga satu minggu kemudian, saat Sena sudah diizinkan pulang, Winena tidak datang lagi. Sena sadar bahwa dirinya sekarang tampak sangat menyedihkan karena masih mengharapkan sosok yang telah mencampakkannya tanpa mau diajak kompromi sama sekali. Namun, harap itu benar-benar tak bisa dipupus, terutama setelah kunjungan Tante Elis yang tidak lagi menunjukkan kebe

  • Takdir Cinta Sang Anak Koruptor   bab sembilanpuluh tiga - titik balik?

    "Ibu mau minta maaf, Win," ucap Ibu setelah sepuluh menit menit awal hanya berbasa-basi.Pagi tadi, saat Winena sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit, Ibu mengirim pesan. Mengingatkan Winena tentang rencana pertemuan mereka. Dan Winena pun langsung setuju untuk bicara di kantin rumah sakit saja sekalian makan siang."Minta maaf untuk apa, Bu?""Karena pernah melukai hati kamu dengan kata-kata menyakitkan dan membuat hubungan kamu dengan Sena rusak. Ibu sangat menyesal karena menempatkan kalian pada situasi sulit. Maafkan Ibu ya, Nak."Winena dihantam rasa sakit di dada karena ucapan Ibu yang terdengar begitu sedih. Membuat Winena ingin menangis. "Bukan salah, Ibu. Perpisahan saya dan Sena terjadi karena pilihan saya sendiri."Ibu tersenyum sedih. "Pilihan kamu itu ada karena penolakan demi penolakan keras Ibu terhadap kamu, kan? Ibu yang minta kalian berpisah. Ibu yang menginginkan kalian hanya berteman."Winena diam saja. Sebab, apa yang dikatakan Ibu benar adanya. Namun, Winena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status