Rumah sakit sunyi. Jam menunjukkan pukul 1.43 dini hari. Hanya suara alat monitor jantung dan gemerisik pendingin ruangan yang mengisi kesunyian kamar tempat Sarah dirawat.Cahaya lampu temaram membuat bayangan di dinding bergerak perlahan. Sarah terlelap di atas ranjang, wajahnya pucat namun tenang, efek dari obat penenang yang ia minum tiga jam sebelumnya.Namun di dalam tidurnya, Sarah bermimpi.Ia berada di sebuah ruangan gelap. Bukan kamar rumah sakit, bukan pula rumahnya. Semua terlihat asing. Ia tidak tau sedang ada di mana. Tapi di sana, ada Adit. Berdiri di ujung ruangan, membelakanginya."Adit ...?" panggil Sarah pelan.Adit tidak menjawab. Ia seperti tak mendengar.Sarah melangkah perlahan, mencoba mendekati. Tapi semakin ia berjalan, jarak antara mereka tak pernah berubah. Seolah Adit terus menjauh, padahal ia tak bergerak. Sarah mulai panik. Hatinya seperti digerogoti rasa bersalah yang mengerikan."Adit, tunggu ... dengar aku!"Lalu, tiba-tiba, Adit menoleh. Wajahnya puc
Hardian dan Tigar saling menatap. Tatapan mereka mulai berubah.Bukan lagi sekadar bingung, tapi cemas. Sudah hampir lima menit sejak ketukan terakhir di pintu kamar mandi, dan tak ada suara balasan dari dalam."Kok nggak ada tanggapan dari Adit, ya?" tanya Hardian, kali ini suaranya lebih pelan."Apa kita dobrak aja pintunya?" Tigar mulai resah. Ia berdiri, menatap gagang pintu seolah bisa melihat temannya di balik sana.Hardian mengangguk cepat. "Aku juga kepikiran itu. Si Adit bisa aja jatuh atau pingsan di dalam. Soalnya terakhir dia keliatan banget gak enak badan."Tapi begitu Hardian hendak mengangkat kaki untuk bersiap menendang, Tigar cepat-cepat menahan lengannya. "Tunggu! Ini pintu kamar mandi bisa rusak. Yang punya kosan pasti minta ganti rugi."Hardian mengernyit. "Lo serius mikirin uang ganti rugi sekarang? Ini nyawa temen lo, Gar! Lo lebih milih pintu dari pada Adit?"Tigar menghela napas panjang. Kata-kata Hardian benar. Ia melirik sekali lagi ke arah pintu kamar mandi,
Hardian memarkirkan motornya di depan kosan dengan cepat, lalu matanya melirik ke belakang, memastikan Adit masih membonceng. Tapi bahkan sebelum mesin mati sempurna, Adit sudah melompat turun dan melangkah cepat ke arah pintu."Eh, Dit! Pelan-pelan lah!" seru Hardian, tapi Adit tak menggubris. Dia terus melangkah cepat, seperti sedang dikejar sesuatu yang tak kasat mata.Tepat saat pintu kos terbuka, Tigar yang dari dalam hendak keluar malah hampir tersenggol."Woi! Gila, Dit! Lo mau ngapain sih? Nabrak orang kayak truk rem blong!" serunya, nyaris kehilangan keseimbangan.Adit tak menjawab. Ia hanya menunduk, menyingkir sedikit, lalu langsung masuk ke kamar mandi. Pintu tertutup dengan suara 'bruk!' yang nyaring.Tigar menoleh ke arah Hardian yang baru saja turun dari motor dan berjalan santai ke depan kosan. "Dia kenapa, Di?" tanyanya sambil mengerutkan dahi.Hardian mendesah panjang. "Ketemu cewek gila, terus si Adit mual.""Cewek gila? Gila yang gimana nih? Gila karena cakep bange
Adit menelan ludah. Wajahnya pucat, dan detak jantungnya mulai tak beraturan. Tatapan Bela yang menembus begitu dalam barusan membuatnya limbung. Dan sekarang perempuan itu bertanya lagi dengan suara nyaris bergetar."Kamu Arga kan?"Adit mengerjap pelan. "Kamu siapa?"Bela menatapnya, kali ini lebih dekat. Jarak mereka hanya selemparan napas. Matanya menyiratkan harapan. "Kamu Arga ... aku yakin. Kamu nggak berubah. Cuma makin tinggi, makin dewasa ... tapi tahi lalatmu, suaramu, gantungan kunci rasi bintang itu. Semua masih sama."Hardian yang sejak tadi diam di samping Adit, ikut menyipitkan mata. "Arga? Siapa lagi ini? Nama samaran kamu, Dit?" tanyanya, setengah bercanda tapi lebih banyak curiga.Adit memalingkan wajah. Ia benar-benar tak paham. "Aku ... aku nggak tahu. Aku Adit. Nama kecilku memang Arga, tapi itu waktu aku masih di panti asuhan. Siapa kamu?"Bela terdiam. Ada luka kecil yang tampak di matanya. "Aku Bela, Dit. Kita dulu bareng di panti. Aku gadis kecil yang sering n
Adit bisa merasakan tatapan Bela yang menyentuh pipinya dari samping. Tatapan itu diam-diam, tapi cukup intens untuk membuat lehernya kaku. Ia melirik sekilas, hanya untuk memastikan, dan benar saja, Bela sedang menatapnya.Tapi begitu mata mereka bertemu, Bela buru-buru mengalihkan pandangan ke arah danau, pura-pura tertarik pada bayangan lampu yang bergoyang di permukaan air.Adit menarik napas panjang. Malam sudah larut. Angin makin dingin. Dan dia tahu, tidak semestinya duduk berdua dengan perempuan asing di taman seperti ini. Bukan karena takut orang lain salah paham, tapi lebih karena ... hatinya masih belum utuh. Ia belum siap membuka diri lagi, apalagi dengan seseorang yang baru ia temui."Aku mau pulang," ucap Adit akhirnya, sembari berdiri dan merapikan jaketnya. "Kalau kamu nggak pulang apa? Katanya tadi habis pulang kerja dan sekalian lewat kan? Ini sudah mulai larut loh ...."Bela ikut bangkit. Ia mengangguk, senyumnya masih lembut. "Iya. Aku memang sekalian lewat. Kosanku
Damar berjalan pelan ke arah parkiran rumah sakit. Langkahnya berat, seperti terseret oleh pikirannya sendiri yang kalut. Percakapannya dengan Hardian barusan terus terulang-ulang di kepala.Putranya yang dulu kecil dan suka minta digendong, kini berbicara padanya seperti orang asing yang sudah dewasa dan kecewa.Sampai di mobilnya, Damar membuka pintu lalu duduk di balik kemudi. Tapi ia tidak langsung menyalakan mesin. Tangannya hanya menggenggam setir, diam. Matanya menatap kosong ke arah gelapnya pelataran parkir rumah sakit.Lama.Damar menghela napas panjang, sangat panjang. Lalu bersandar, mendongak ke langit-langit mobil. Hatinya sesak. Bukan karena perdebatan, bukan karena Adit, tapi karena perlahan ia sadar, satu-satunya orang yang selama ini dia kira akan selalu berpihak padanya, mulai menjauh.Hardian.Anak itu kini lebih memilih ibunya. Lebih percaya pada ibunya. Bahkan lebih membela Adit, sahabatnya, ketimbang dirinya. Damar tahu, itu bukan sepenuhnya salah Hardian jadi b