Di kamar rawat Sarah, udara terasa sunyi meskipun monitor medis terus berbunyi pelan. Sarah memejamkan mata beberapa detik setelah tangisnya mereda. Jesica duduk di samping ranjang, menggenggam tangan sahabatnya yang dingin dan lemah."Darius nggak mungkin melakukannya, Sarah," kata Jesica, memecah keheningan. "Dia memang dekat dengan Damar, tapi aku nggak pernah lihat dia sekejam itu. Dia bukan tipe manusia yang nekat nyuruh orang nabrak sampai hampir bunuh orang lain."Sarah menatap langit-langit, matanya sembab. "Aku juga pikir Damar nggak mungkin melakukan ini. Dia bisa benci aku ... tapi Hardian? Dia anak semata wayangnya. Damar nggak akan pernah berniat melenyapkan anaknya sendiri."Jesica mengangguk perlahan, meskipun wajahnya tak sepenuhnya yakin. "Kalau begitu ... mungkin ada orang lain yang benci sama kamu, Sarah. Mungkin bukan Damar. Bukan Darius. Tapi orang lain yang punya dendam. Khususnya sama kamu.”Sarah mengerutkan kening. "Aku nggak punya musuh, Jes. Selama ini aku n
Damar mencibir sinis. "Kamu pikir aku sebodoh itu sampai nyuruh orang nabrak istri dan anakku sendiri? Adit, kamu terlalu banyak nonton film kriminal.""Kamu juga terlalu banyak berbohong," sahut Adit tajam. "Kamu pikir aku nggak tahu kamu pasang orang buat ngintilin aku dan Sarah selama ini? Kamu pikir aku nggak tahu kamu yang nyuruh orang itu foto dan rekam semua pergerakan kami?""Kamu itu siapa, Dit? Mentang-mentang dekat sama Sarah, kamu sok merasa berhak menuduhku?" Damar berdiri, kini berdiri menghadap Adit. "Kamu cuma anak baru puber kemaren yang cuman iseng sama Sarah kan?” ejeknya sinis. “Sedangkan aku suaminya! Aku yang sah secara hukum! Jadi jangan seenaknya ngomong ya!""Kamu suaminya, tapi kamu juga penyebab semua ini! Kalau bukan karena kamu, Sarah nggak akan stres. Hardian nggak akan harus masuk ICU begini. Dan sekarang kamu pura-pura peduli?""Jaga omonganmu! Jangan seret-seret aku dalam tragedi ini! Aku bukan seseorang yang menyebabkan Hardian berada di ranjang pesak
Di parkiran Big Mart, sekitar pukul 01:20Darius memelototi GPS di ponselnya sambil memutar kemudi, lalu berhenti tepat di deretan parkir sepi di pojok belakang swalayan Big Mart. Lampu-lampu parkir hanya sebagian yang menyala. Suasananya temaram dan sepi, menyisakan bayang-bayang gelap yang bergerak liar diterpa angin malam.Ia mengenali sosok Aji dengan jaket biru gelap dan topi baseball hitam. Pria itu berjalan cepat, kepalanya tertunduk dan punggungnya membungkuk seolah berharap tidak terlihat siapa pun. Saat Aji memastikan plat mobil di depannya sesuai dengan yang diberitahu Damar, ia langsung mempercepat langkahnya.Darius segera membuka pintu mobil.Tanpa bicara, Aji menyelinap masuk dan menutup pintunya rapat dan cepat. Darius segera menginjak pedal gas dan membelokkan mobil menjauh dari swalayan.“Ada yang melihat kamu masuk mobilku?” tanya Darius cepat, matanya menatap kaca spion berkali-kali.“Sepertinya tidak,” jawab Aji, nadanya gugup. Ia mencoba duduk tenang, tapi telapa
Darius sudah tancap gas dengan mobilnya menuju swalayan Big Mart untuk menjemput Aji yang sedang ketakutan karena merasa diikuti oleh tiga orang laki-laki yang menurutnya kemungkinan besar adalah polisi berpakaian preman.Setelah Darius menghilang bersama mobilnya ke arah jalanan besar, Damar duduk dengan tubuh condong ke depan, kedua siku menumpu lutut, dan tangan meremas rambutnya sendiri.Kepalanya terasa berat. Sejak tadi jantungnya berdegup tidak karuan. Perasaan tak enak menghimpit dadanya seperti batu besar yang menggantung di dalam rongga dada. Firasatnya buruk. Sangat buruk. Dan itu bukan perasaan biasa. Ada sesuatu yang terasa begitu gelap dan mengancam.Meski Damar adalah suami yang telah menyakiti, memanipulasi, dan mengkhianati dengan segala sisi kejamnya sebagai manusia, tetapi sebagai seorang ayah, ia mencintai Hardian lebih dari apa pun. Putranya … darah dagingnya itu adalah satu-satunya cahaya dalam hidupnya yang kelam. Dan kini, entah kenapa, koneksi batin itu sepert
Lampu di ruangan rawat inap redup. Jam dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Tapi mata Sarah tak kunjung terpejam. Tubuhnya boleh terluka, tapi pikirannya terus-menerus kembali ke satu hal—Hardian. Wajah anak laki-lakinya yang pucat dan tubuh yang tergeletak tak berdaya di ICU seperti membekas di retina.Ia mendesah berat, lalu menatap langit-langit. Matanya berkaca-kaca. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya. Tangannya meraih sisi ranjang, lalu dengan napas tertahan ia mencoba menurunkan kaki.Rasa nyeri langsung menyengat. Kakinya yang dibalut gips seperti memberontak, tapi tekadnya jauh lebih kuat. Sarah menggigit bibir, peluh menetes di keningnya, tapi ia tetap berusaha duduk di pinggir ranjang. Ia ingin turun dari ranjang pesakitan ini!Pintu mendadak terbuka. Adit masuk dengan membawa segelas air hangat, namun langsung memekik pelan, “Sarah! Kamu ngapain?!”Dengan cepat, ia meletakkan gelas dan berlari ke sisi ranjang, lalu membopong tubuh Sarah dengan hati-hati.Sarah mer
Damar melangkah perlahan menjauh dari para polisi dan Adit. Ujung-ujung sepatunya nyaris terseret lantai, seperti beban berat sedang menggantung di pundaknya. Pikiran berkecamuk, pengakuan Sarah barusan menghantamnya seperti palu godam. Sial. Ini semua terlalu cepat. Terlalu kacau. Aji sungguh amatir!Bisa-bisanya dia memperkenalkan seseorang seperti Arya padanya. Dan sekarang Hardian malah yang terluka parah. Bukannya Sarah!Lalu ketika di tempat kejadian bisa-bisanya si Arya malah berani berbicara dengannya di telepon tanpa memastikan dahulu Sarah masih hidup atau mati. Sekarang bukan hanya Sarah yang tahu, tapi juga pihak kepolisian mulai mencium aroma sabotase. Ini bukan sekadar kecelakaan ... ini bisa jadi pasal percobaan pembunuhan.Tubuhnya lunglai ketika akhirnya tiba di ruang tunggu ICU. Kursi besi panjang yang dingin seperti ikut mencubit kulitnya, mengingatkannya bahwa dunia nyata tidak bisa ia kendalikan seperti narasi dalam pikirannya. Pandangannya kosong, menatap ke de