Sarah menggeleng cepat. “Enggak. Harus jadi ke rumah sakit di mana Adit berada. Kita naik motor aja. Yang penting bisa ketemu Adit. Mama nggak peduli dingin atau pegal. Sekarang tolong, kita harus segera pergi.”Tanpa banyak bicara lagi, Hardian pun membantu Sarah berdiri dari kursi roda. Ia menuntun ibunya ke motor matic yang terparkir agak di sudut. Sarah naik perlahan ke boncengan belakang. Tubuhnya masih lemah, tapi matanya penuh tekad.Sementara itu, kursi roda mereka tinggalkan begitu saja di dekat parkiran, tersandar pada dinding beton.Hardian mengenakan helmnya, lalu menyalakan mesin motor yang sedikit menggerung pelan. Hembusan angin malam menerpa wajah mereka.“Pegangan ya, Ma,” katanya cepat.Sarah mengangguk dan memeluk pinggang Hardian. Saat motor mulai melaju, ia menoleh sejenak ke belakang—ke arah gedung rumah sakit yang perlahan menjauh.Mereka melaju menuju pintu keluar.Pintu gerbang parkir rumah sakit hanya dijaga satu petugas malam yang duduk mengantuk di dalam po
“Tenang, biar aku yang ngomong,” kata Hardian.Dengan cepat, ia berbalik dan membuka pintu. Seorang perawat perempuan muda dengan clipboard di tangan langsung tersenyum sopan saat pintu terbuka."Selamat malam, Bu Sarah. Maaf mengganggu. Saya mau cek suhu tubuh dan tekanan darahnya sebentar, ya."Hardian mengangguk dan mempersilakan masuk, sementara Sarah buru-buru menegakkan duduknya di kursi roda, menyembunyikan tangan di bawah selimut.Perawat itu masuk, meletakkan clipboard di meja, lalu mengambil termometer dan tensimeter dari troli kecil yang ia dorong.“Kenapa Bu Sarah pindah ke kursi roda? Apa tadi merasa tidak nyaman di tempat tidur?”Sarah mengangguk pelan. “Iya ... pegal, Suster. Saya nggak bisa tidur. Jadi minta anak saya bantuin duduk dulu sebentar,” jawabnya pelan.“Kenapa tidak duduk di ranjang saja?”“Saya juga bosan. Jadi duduk di kursi roda ingin keluar sebentar. Putra saya yang dorong kursi rodanya,” jawab Sarah beralasan.Kening suster yang memasang namanya ‘Ratih’
Hardian kembali masuk ke kamar rawat dengan mendorong kursi roda dari arah lorong. Rodanya berderit pelan saat ia melintasi ambang pintu. Matanya langsung menatap Sarah yang sudah bersiap turun dari ranjang."Pelan-pelan, Ma," katanya cepat. Ia segera mendekat dan menahan tangan Sarah agar tak kehilangan keseimbangan. “Aku tadi diam-diam ngambil kursi rodanya.”Sarah mengangguk. Satu tangan menopang perut, sementara tangan lainnya masih terhubung dengan selang infus. Botol infus menggantung di tiangnya, bergoyang sedikit ketika Sarah bangkit."Mama bisa, pelan aja," gumam Sarah, lebih pada dirinya sendiri.Namun ketika mereka bersiap, Hardian terlihat ragu. Ia berdiri diam beberapa detik, lalu berkata, "Ma, ini kayaknya bakal susah deh. Kita pasti ketahuan. Mama kan baru masuk rumah sakit kemarin sore. Dokter pasti nggak bakal izinin Mama keluar."Sarah menatapnya tajam, tapi penuh pengertian. "Kita kan bukan mau kabur selamanya, Hardi. Mama cuma mau ke rumah sakit lain. Lihat keadaan
Rumah sakit sunyi. Jam menunjukkan pukul 1.43 dini hari. Hanya suara alat monitor jantung dan gemerisik pendingin ruangan yang mengisi kesunyian kamar tempat Sarah dirawat.Cahaya lampu temaram membuat bayangan di dinding bergerak perlahan. Sarah terlelap di atas ranjang, wajahnya pucat namun tenang, efek dari obat penenang yang ia minum tiga jam sebelumnya.Namun di dalam tidurnya, Sarah bermimpi.Ia berada di sebuah ruangan gelap. Bukan kamar rumah sakit, bukan pula rumahnya. Semua terlihat asing. Ia tidak tau sedang ada di mana. Tapi di sana, ada Adit. Berdiri di ujung ruangan, membelakanginya."Adit ...?" panggil Sarah pelan.Adit tidak menjawab. Ia seperti tak mendengar.Sarah melangkah perlahan, mencoba mendekati. Tapi semakin ia berjalan, jarak antara mereka tak pernah berubah. Seolah Adit terus menjauh, padahal ia tak bergerak. Sarah mulai panik. Hatinya seperti digerogoti rasa bersalah yang mengerikan."Adit, tunggu ... dengar aku!"Lalu, tiba-tiba, Adit menoleh. Wajahnya puc
Hardian dan Tigar saling menatap. Tatapan mereka mulai berubah.Bukan lagi sekadar bingung, tapi cemas. Sudah hampir lima menit sejak ketukan terakhir di pintu kamar mandi, dan tak ada suara balasan dari dalam."Kok nggak ada tanggapan dari Adit, ya?" tanya Hardian, kali ini suaranya lebih pelan."Apa kita dobrak aja pintunya?" Tigar mulai resah. Ia berdiri, menatap gagang pintu seolah bisa melihat temannya di balik sana.Hardian mengangguk cepat. "Aku juga kepikiran itu. Si Adit bisa aja jatuh atau pingsan di dalam. Soalnya terakhir dia keliatan banget gak enak badan."Tapi begitu Hardian hendak mengangkat kaki untuk bersiap menendang, Tigar cepat-cepat menahan lengannya. "Tunggu! Ini pintu kamar mandi bisa rusak. Yang punya kosan pasti minta ganti rugi."Hardian mengernyit. "Lo serius mikirin uang ganti rugi sekarang? Ini nyawa temen lo, Gar! Lo lebih milih pintu dari pada Adit?"Tigar menghela napas panjang. Kata-kata Hardian benar. Ia melirik sekali lagi ke arah pintu kamar mandi,
Hardian memarkirkan motornya di depan kosan dengan cepat, lalu matanya melirik ke belakang, memastikan Adit masih membonceng. Tapi bahkan sebelum mesin mati sempurna, Adit sudah melompat turun dan melangkah cepat ke arah pintu."Eh, Dit! Pelan-pelan lah!" seru Hardian, tapi Adit tak menggubris. Dia terus melangkah cepat, seperti sedang dikejar sesuatu yang tak kasat mata.Tepat saat pintu kos terbuka, Tigar yang dari dalam hendak keluar malah hampir tersenggol."Woi! Gila, Dit! Lo mau ngapain sih? Nabrak orang kayak truk rem blong!" serunya, nyaris kehilangan keseimbangan.Adit tak menjawab. Ia hanya menunduk, menyingkir sedikit, lalu langsung masuk ke kamar mandi. Pintu tertutup dengan suara 'bruk!' yang nyaring.Tigar menoleh ke arah Hardian yang baru saja turun dari motor dan berjalan santai ke depan kosan. "Dia kenapa, Di?" tanyanya sambil mengerutkan dahi.Hardian mendesah panjang. "Ketemu cewek gila, terus si Adit mual.""Cewek gila? Gila yang gimana nih? Gila karena cakep bange