Share

Chapter 6

"Jalan, woi!" 

Perempuan itu menepuk pundak Raja. Di balas anggukan pelan, Raja mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang.

"Nggak pernah lihat cowok seganteng kamu. Baru pindah ya?" tanya perempuan itu berpegangan pada pundak Raja.

"Hm," sahut Raja tidak terlalu menanggapi ucapan perempuan yang tidak ia kenal.

"Pantes aja sih. Awas aja, aku kasih tahu ke kamu. Di daerah sini, pantang lihat cowok ganteng dikit. Pasti langsung kayak cacing kepanasan. Mau yang muda atau yang tua, sama aja. Jadi, jangan pernah risih sama warga di sini, karena dengan mereka melalukan itu, artinya mereka suka sama kamu," ujar perempuan itu panjang lebar. 

Raja mengangguk saja, dia sedikit tidak paham dengan apa yang di ucapkan oleh perempuan di belakangnya itu.

"Eh, woi! Warung belok kanan lah, bukan lurus. Kentara kali kalau nggak pernah ke warung, ya?" 

Suara perempuan itu kembali terdengar. Raja memutar stang sepedanya ke arah kanan. Dan terlihat, toko yang cukup besar yang sudah ramai akan pengunjung anak muda.

"Itu memang jadi tempat tongkrongan mereka." 

Perempuan itu memberitahu. Raja hanya diam mendengarkan saja.

Dia berhenti, dan perempuan di belakangnya itu turun. Setelah menstandar kan sepedanya, dia ikut masuk.

"Eh, lo. Anak pindahan ya?" tanya salah satu anak muda yang berkumpul di toko itu.

Atensi mereka teralih pada Raja. Terus terang menatap lelaki jangkung itu, membuatnya sedikit risih dengan tatapan itu. Raja mengangguk pelan.

"Di mama rumah lo?" tanya lelaki dengan rambut yang di cat biru.

"Tetangga gue Jangan ganggu dia." 

Suara perempuan yang menumpang tadi terdengar.

"Mau beli apa aja?" tanya perempuan itu lagi. 

Raja memberikan secarik kertas yang isinya seluruh belanjaan yang akan ia beli. Sengaja membuatnya agar tidak kelupaan.

"Semua ini?" 

Raja mengangguk polos.

"Oke." 

Perempuan itu kembali masuk ke dalam toko itu.

"Sini duduk, ngapain berdiri aja?" 

Raja menurut, duduk di salah satu kursi panjang yang kosong.

"Risih karena di lihatin sama mereka?" tanya seorang lelaki bernama Bian.

Raja mengangguk jujur. Mereka tertawa terbahak-bahak, membuat Raja bingung. Apakah ada yang salah? 

"Jujur amat sih lo." 

Suara Bian kembali mengudara.

"Salah kalau jujur?" tanya Raja.

"Nggak salah sih, tapi lo kelewat jujur anaknya. Mana mukanya polos amat lagi," celetuk Reinhard. 

"Nggak usah merasa risih. Di sini udah biasa kayak gini. Salam kenal, gue Bian. Panggil aja Iyan," ujar Bian bertos ala anak laki-laki. Raja mengangguk lalu membalas tos tersebut.

"Gue Reinhard. Panggil aja Re." 

"Gua Alfa." 

"Gio." 

"Marva." 

"Mervi." 

"Ojal." 

"Ze." 

"Fahri." 

"Niko." 

"Viko." 

"Salam kenal semuanya. Gue Raja," ujar Raja saat mereka semua memperkenalkan diri mereka.

"Oke. Salam kenal balik. Mulai sekarang lo teman kita. Jadi, kalau ada yang ganggu lo, kasih tahu secepatnya ke kita supaya kita hajar yang ganggu lo itu," ujar Bian.

"Kalau ada yang nggak lo paham sama wilayah daerah ini, bisa tanya ke gua. Gua hapal semuanya di luar otak." Itu suara Mervi.

"Memangnya lo punya otak?" 

Suara perempuan itu mengudara. Mengalihkan pandangan mereka pada perempuan tersebut yang memegang kantung plastik sangat besar.

"Mau buat hajatan?" tanya Ze. Fila menggeleng. 

"Belanjaan dia." 

Fila menunjuk ke arah Raja.

"Sebanyak itu?" 

Pandangan Ze teralih pada Raja.

"Enggak kek nya. Cuma mau beli telur, mie instan, sama sosis doang. Kagak sebanyak itu." Raja menjawab. 

"Iya, tahu. Tapi kan tadi uang nya masih ada sisa. Jadi aku beliin semua cemilan. Nggak papa, kan?" Raja menggeleng pelan.

Fila tersenyum puas. Belanjaan itu ia serahkan pada Marva, membuat lelaki itu bingung. 

"Apa nih?" tanya Marva.

"Bawa. Kita berdua naik sepeda, jadi nggak bisa bawa belanjaan segitu banyaknya." 

Fila menjelaskan. Marva menghela napas panjang. Sudah ia duga.

"Lain kali kalau mau ke warung, jangan ajak dia. Ntar lo bangkrut," ujar Bian menasihati. Raja membalasnya dengan senyuman saja.

"Raja?" 

Yang di panggil mengalihkan pandangannya.

"Om Renon?" Raja menyalami pria itu.

"Kapan kamu sampai?" tanya Renon.

"Tiga jam yang lalu, Om. Om tinggal di daerah sini juga?" tanya Raja. 

Pria itu mengangguk sebagai jawaban.

"Papa kamu mana? Nggak biasanya nyuruh anaknya ke warung," ujar Renon.

"Papa pergi ke rumah temannya." 

Renon mengangguk pelan.

"Main ke rumah Om. Ntar kita mabar bareng," ujar pria itu menepuk pundak Raja.

"Aman itu, Om." 

Raja membalasnya dengan senyuman.

"Ze, pulang kamu. Bunda kamu ngambek sama Ayah. Bantu Ayah. Buruan!" 

Sedangkan Ze yang sedang menikmati mie rebus itu mengalihkan pandangannya, menatap Ayahnya.

"Ayah apain lagi Bunda sampai ngambek?" 

"Tadi nggak sengaja bakar poster punya Bunda kamu." 

Ze mendengus kesal.

"Kenapa nggak sekalian album nya aja yang di bakar sih? Kenapa harus posternya?" 

"Nggak usah banyak omong kamu. Buruan pulang sebelum kucing kamu mati jadi pelampiasan," cerca Renon.

Ze menghela napas lagi. Lalu bangkit. 

"Om Lan. Utang dulu, ntar di bayar sama Bunda!" teriak lelaki itu.

"Oke." 

"Gua balik, jangan kangen." 

Ze tersenyum menggoda seraya berlari pelan menyusul langkah Ayahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status