Share

Chapter 5

"Aku nggak izinkan kamu bawa Raja pergi, Mas," ujar Jia.

"Aku nggak butuh izin dari kamu untuk membawa Raja kemanapun aku pergi," balas Heru yang telah memasukkan koper miliknya ke dalam bagasi mobil.

"Di mana Raja?" tanya Heru pada bodyguard nya.

"Masih di atas, Tuan," jawab salah satu di antara bodyguard Heru.

"Sudah siap semuanya?" tanya Heru sesaat setelah dia melihat Raja yang tengah berjalan ke arahnya dan membawa sebuah kardus besar, yang tidak ia ketahui isinya apa. Raja mengangguk pelan.

"Masukkan semua barang-barang milik Raja ke bagasi mobil."

Heru memerintahkan bodyguard nya untuk memasukkan semua barang-barang Raja yang jumlahnya tidak sedikit.

"Baik, Tuan."

Beberapa pria berbaju hitam memasukkan barang-barang milik Raja ke mobil belakang.

"Raja, kamu beneran mau tinggalin Mama? Kamu udah nggak sayang sama Mama? Kalau kamu pergi, Mama sama siapa, Ja? Nggak kasihan kamu sama Mama emangnya?" tanya Jia menatap Raja melas.

"Awalnya aku memang kasihan sama Mama. Tapi, aku berpikir. Memangnya Mama nggak kasihan ke Raja udah bikin Bunda pergi dan aku jadi di salahkan dan di tuduh pembunuh sama Ayah? Apa Mama kasihan ke aku? Nggak, kan. Bahkan Mama lebih memilih untuk diam dan bersikap seolah tidak tahu apapun, dibandingkan Mama jujur ke aku semuanya."

Jawaban Raja barhasil membungkam Jia. Tidak menyangka bahwa Raja akan berbicara seperti itu padanya.

"Raja, Mama nggak bermaksud untuk bohongin kamu. Mama cuma nggak mau kamu--"

"Udah lah, Ma. Aku nggak mau bahas masalah ini lagi."

Raja menyela ucapan Jia. Masuk ke dalam mobil begitu saja, lalu diikuti oleh Heru yang duduk di sebelahnya.

Mobil itu pergi begitu saja, dengan dua mobil di bagian depan, dan dua mobil lagi di bagian belakang.

"Jangan sampai seribu kebaikan kamu hilang, hanya dikarenakan satu kesalahan kamu yang menjadi penghalang."

Kata-kata Heru sebelum pria itu pergi, membayang di pikiran Jia.

Apakah Raja sekarang membencinya?

Apakah sekarang Raja akan melupakannya?

Setelah semua yang ia lakukan untuk anak itu?

Dari dalam mobil, semuanya hening, tidak ada yang membuka suara. Raja diam dengan menatap kota Bandung pada malam hari, yang tentunya sangat ramai orang berlalu lalang. Masih memikirkan ucapannya yang tadi, apakah itu terlalu kelewatan?

"Awalnya aku memang kasihan sama Mama. Tapi, aku berpikir. Memangnya Mama nggak kasihan ke Raja udah bikin Bunda pergi dan aku jadi di salahkan dan di tuduh pembunuh sama Ayah? Apa Mama kasihan ke aku? Nggak, kan. Bahkan Mama lebih memilih untuk diam dan bersikap seolah tidak tahu apapun, dibandingkan Mama jujur ke aku semuanya."

Raja menghela napas berat. Memejamkan matanya sejenak, menghilangkan rasa bersalahnya tadi.

"Kenapa?" Raja menoleh ke arah Papa nya.

"Kenapa apanya?" Raja bertanya balik.

"Kenapa cuma diam aja? Nggak ada niatan untuk ngomong gitu?" tanya Heru.

"Nggak tahu mau tanya apa. Dan, yang mau di pertanyakan itu terlalu banyak. Takutnya Papa stress dan depresi dengan pertanyaan aku."

"Anak aneh," gumam Heru.

"Sama, Papa juga aneh."

***

Mobil yang di tumpangi oleh Raja, sampai di sebuah rumah yang ukurannya cukup besar. Pandangannya mengarah pada sebuah halaman rumah itu yang cukup luas.

Mobil tersebut berhenti, lantas Raja turun dari mobil bersamaan dengan Heru. Koper miliknya sudah di bawa terlebih dahulu oleh bodyguard Heru. 

"Kamar kamu yang pintunya berwarna biru tua. Nggak papa, kan?" tanya Heru begitu sampai di dalam rumah.

Raja menggeleng. "Memangnya kenapa, Pa?" 

"Ya, siapa tahu kamu nggak suka sama warna pintunya," celetuk Heru. Raja tersenyum tipis.

"Nggak masalah. Yang terpenting, warna dalamnya nggak biru. Kurang suka," jawab Raja.

"Ya sudah, kamu beberes dulu sana. Papa mau ketemu sama teman Papa dulu. Nggak apa-apa kalau Papa tinggal kamu sendiri di rumah?" Raja menggeleng.

"Nggak masalah. Asal bawa kue coklat aja udah jadi tebusannya." Heru menggelengkan kepalanya geli. Raja sama dengan Widya. Adiknya itu.

"Kalau udah selesai beberes, keliling-keliling gih sana, biar kenal sama lingkungan baru kamu." Raja mengangguk dan menurut saja.

***

Selepas beberes pakaiannya, Raja keluar dari rumah itu, mencari sebuah warung untuk mengisi kulkas nya yang kosong. Padahal, hari sudah gelap. Dan menunjukkan pukul sembilan malam.

Udara yang sejuk karena mau hujan, membuatnya merasa nyaman.

Raja suka dengan suasana seperti ini. Dingin dan menyejukkan.

Beberapa menit ia berkeliling menggunakan sepeda yang di sediakan rumah barunya itu, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari di mana letak warung yang berdekatan dengan rumahnya.

Sialnya, kenapa tadi tidak bertanya terlebih dahulu? 

"Eh, ada cowok ganteng. Mau ke mana, Mas?" 

Suara itu membuat Raja menghentikan mengayuh sepedanya. Menoleh dan tersenyum tipis.

"Mau ke warung," jawab Raja sedikit canggung. 

Sebelumnya, Raja tidak pernah seperti ini. Terbiasa semua serba ada karena telah di sediakan oleh Jia, Mama nya, membuatnya sedikit bingung jika turun tangan langsung untuk ke warung.

"Kebetulan. Aku juga mau ke warung. Nebeng ya?" 

Tanpa mendengarkan jawaban Raja, perempuan itu naik ke belakang sepeda Raja.

"MAMA! AKU KE WARUNG BENTAR. ITU AYAM NYA DI TENGOK!" teriak perempuan itu membuat Raja terlonjak kaget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status