Amee. Ya, Rhea masih mengingat wanita dengan perawakan kurus di depannya itu. Bagaimana tidak, mereka pernah duduk bersebelahan saat kelas X SMA.
Dengan panik, Rhea menarik lengan Amee hingga wanita itu terduduk di sebelahnya sambil membekap mulutnya. “Amee ....”
Belum sempat Rhea berbicara, Amee langsung memotong ucapan Rhea, “Ya ampun Jingga ... kangen banget tau nggak sih? Kayak ilang ditelan bumi aja lo.”
Rhea tersenyum kaku, sambil melirik ke arah Naren yang kini menatapnya semakin tajam.
“Panggil gue Rhea ya, Mee.”
“Hah, kenapa? Dulu kan gue manggil lo Jingga. Aneh ah rasanya.”
“Eh lo apa kabar?” tanya Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Baik. Lo gimana? Kok tiba-tiba ada di Jakarta lagi? Katanya lo pindah ke Batam.”
“Iya, gue kerja di sini sekarang.”
Ega tampak kebingungan ketika melihat Rhea mengobrol akrab bersama seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ia memilih meletakkan nampan berisi dua mangkuk soto dan sepiring nasi di atas meja dan mengangguk ramah ke arah wanita yang tidak dikenalnya itu.
“Thank you, Ga. Kenalin ini Amee, temenku dulu.”
“Amee.” ucap Amee memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. “Pacarnya Jingga atau temennya Jingga?”
Ega tertegun sesaat.
‘Ah, iya.’ Akhirnya Ega paham kalau teman-teman Rhea dulu memanggilnya Jingga. “Pengennya sih jadi pacar, tapi ditolak melulu.”
“Apa sih, Ga. Temen Mee, temenku di Batam.”
Amee mengerling jahil ke arah Rhea. “Bagi nomer hpmu dong.” Amee menyerahkan ponselnya kepada Rhea bisa memasukkan nomornya.
“Nih. Lo mau pergi?”
“Iya, ada janji gue sama temen. Kita mesti ketemu lagi loh ya, nggak mau tau gue.”
“Iya, kalo lo masih inget rumah gue, dateng aja, gue masih tinggal di rumah yang dulu kok.”
Amee tersenyum gembira menerima ajakan Rhea untuk main ke rumahnya. Dulu, saat mereka SMA, rumah Rhea bisa dikatakan menjadi salah satu basecamp-nya. Orang tua Rhea yang ramah namun tidak kepo dengan urusan anaknya membuat teman-teman dekat Rhea sering mengunjungi rumahnya.
“Dulu kamu dipanggil Jingga?” tanya Ega.
Rhea hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ega. “Ga, kamu balik ke Batam kapan?”
“Besok malem.”
“Mau kuanter?”
Ega adalah orang yang sangat baik bagi Rhea. Terlalu baik. Apalah artinya ia mengantar Ega sampai ke bandara.
“Nggak usah, nanti kamu sendirian balik dari bandara.”
“Nggak apa-apa kali, ada taksi, ada bus damri, aman lah.”
Ega menggeleng. “Nggak usah Rhe, mana tega aku. Temenin aku seharian ini sama besok. Itu aja udah cukup buatku.”
Rhea mengalah, Ega memang tidak mudah tergoyahkan, seperti Ega yang selalu ada di sisinya meskipun perasaannya tak berbalas.
“Rhe, orang itu ngelihat ke sini terus dari tadi. Arah jam dua dari kamu. Kamu kenal?” tanya Ega. “Tadi kayaknya juga dia ngajak ngomong kamu waktu kamu antre minum.”
“Atasan di kantor, tapi bukan atasan langsung sih.”
“Oh, ngelihatnya intens banget soalnya. Naksir kamu jangan-jangan.”
“Mana ada. Lihat aja dia bawa gandengan.”
“Iya juga ya.” Ega terkekeh, dia memang terbiasa menajamkan insting kalau berada di sekitar Rhea, untuk melindungi wanita itu.
Ega mengecek jam tangannya. “Dua puluh menit lagi filmnya mulai Rhe.”
“Oh iya, ini udah hampir kelar kok.”
“Pelan-pelan aja, masih lama kok.” Ega mengarahkan tisu untuk mengusap ujung bibir Rhea.
Dengan refleks Rhea meraih tisu itu dan mengusapnya sendiri. Dan anehnya, Rhea langsung melirik Naren, khawatir lelaki itu melihat Ega yang hampir menyentuh bibirnya, meskipun dengan tisu.
‘Ya ampun Rhe. Apa urusannya sama Naren? Kenapa sih dia kayak magnet?’ Kembali ia mengumpati diri sendiri.
Rhea mempercepat proses makannya. Selain karena film yang akan ditontonnya segera dimulai, keberadaan Naren cukup mengganggunya.
“Aku udah.”
“Bentar, aku habisin minumku dulu,” jawab Ega.
“Aku bayar dulu ya.”
“No.” Ega menarik pergelangan tangan Rhea. “Aku aja.”
“Aku kan tuan rumah, Ga.”
Ega berdiri menuju kasir, dengan tangannya yang masih menggenggam pergelangan tangan Rhea.
“Gantian lah, Ga. Kan nonton udah kamu yang bayar.” Rhea masih berusaha merayu Ega.
“Aku nggak pernah diajarin ngebiarin cewek yang bareng sama aku ngebayarin apa yang kumakan Rhe.”
Rhea menghembuskan napas, lagi-lagi ia gagal membuat Ega goyah akan keinginannya.
“Iya, tau deh yang dokter, uangnya banyak.”
“Mana ada, banyakan juga pengusaha.”
Rhea mendengar seseorang terkikik di belakangnya. Ia hampir berteriak kaget saat melihat Naren berdiri tegap di belakangnya dengan jarak yang hanya sejengkal.
“Kamu sudah mau balik?” tanya Naren dengan gaya santainya.
“Mau nonton dulu, Pak.” jawab Rhea singkat. “Saya permisi dulu, Pak.” Rhea segera menarik tangan Ega untuk menjauh. Untung saja Ega sudah selesai membayar makanan mereka.
“Kenapa sih, Rhe? Kan nggak sopan ninggalin atasanmu begitu aja.”
“Bukan atasan langsung ini. Lagian kan ini hari libur.”
“Trus kalo hari libur dia bukan atasanmu?”
“Ya bukan dong. Dia juga nggak berhak nanya-nanya privasiku.”
“Mukamu merah tau, Rhe. Kamu suka sama dia ya?” Ega mungkin baru mengenal Rhea beberapa tahun, namun dari dalamnya perasaannya pada Rhea, Ega bisa tahu kalau ada sesuatu yang aneh dengan Rhea.
“Nggak. Apaan sih. Jadi nonton nggak nih? Jangan bikin aku nggak mood deh, Ga.”
“Iya, iya, sorry.” Ega merengkuh pundak Rhea. Hanya sejauh itu yang bisa dilakukannya. Gesture terdekatnya dengan Rhea yang membuat wanita itu bisa menerimanya tanpa ada perasaan tidak nyaman.
“Eh, kita ketemu lagi.” ucap Naren yang telah (lagi-lagi) berdiri di belakang Rhea.
Rhea yang sudah kangen dengan rasa popcorn caramel XXI memutuskan memesan popcorn dan minum tanpa menunggu Ega yang sedang ke toilet. Tanpa disangkanya, Naren akan muncul lagi di dekatnya.
Rhea hanya mengangguk singkat menghadapi Naren.
“Kamu mau nonton film apa?”
“Nggak tau saya, Pak. Tiketnya dibawa pacar saya.” dustanya.
“Wah pacarmu otoriter juga ya, masa film yang mau ditonton aja nggak didiskusikan sama pasangan.” ledeknya.
“Tapi dia setia, Pak.”
“Loh kamu pikir saya nggak setia? Saya nggak pernah punya pacar dua apalagi tiga di satu waktu loh.”
“Saya nggak ngomongin Bapak kok.”
Rhea mendengus kesal, ‘Ya memang lo nggak selingkuh, tapi mantan pacar lo bejibun.’ batinnya kesal. Oh, wait, kenapa dia harus kesal padahal dia juga menjadi salah satu nama dari deretan mantan pacar Narendra.
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n