Narendra Rafardhan Candra, dengan latar belakang keluarga yang bobrok--Ayah yang suka berganti perempuan dan ibu yang lari dengan pria lain--membuatnya tidak percaya akan hubungan cinta. Entah berapa puluh wanita yang menyandang titel pacar tiga puluh hari seorang Naren, yang diperlakukan dengan baik, tetapi tanpa cinta. Hingga Naren bertemu kembali dengan Rhea Jingga Swastamita, satu-satunya mantan kekasihnya yang tidak genap tiga puluh hari menjalin hubungan dengannya. Haruskah Naren menggenapkannya?
Lihat lebih banyak“Hei Ren,” sapa Dio yang terlihat membawa tumbler dengan merk sebuah gerai kopi ternama.
Siapa yang tidak mengenal Narendra di perusahaan tempatnya bekerja. Casanova yang juga menjabat Direktur Legal. Tidak ada seorang pun di perusahaan itu, atau mungkin bahkan di Jakarta, yang memiliki jam terbang pacaran sebanyak dirinya.
“Lo masih sama Ratri?” Dio menarik lengan Naren untuk mengajaknya ke tukang bubur yang berada di belakang kantor mereka.
Dio yang juga merupakan teman semasa kuliah Naren dan masuk ke perusahaan yang sama—hanya berbeda departemen—tentu saja tahu sepak terjang Narendra.
“Ratri?”
“Shit! Masih aja lo ya. Abis macarin anak orang trus dilupain begitu aja.”
Naren masih terlihat berpikir keras mengingat-ingat siapa sosok Ratri yang dibicarakan Dio.
“Adiknya Friska, temen kuliah kita. Friska juga pernah lo pacarin. Pasti lo lupa juga. Udah deh, capek bikin lo inget. Intinya, sekarang lo lagi ada cewek nggak?”
“Ada. Danisha.”
“Siapa lagi itu Danisha?”
Naren mengedikkan bahu. “Cewek. Ketemu di car free day.”
“Anjir! Gue bener-bener harus berguru dari lo deh.” Dio menatap Naren dengan penuh harapan.
Naren membiarkan Dio mencari tempat duduk, sementara dia memesankan 2 mangkuk bubur ayam buatnya dan temannya itu.
“Lo bawa kopi dari tempat mahal, tapi sarapannya bubur ayam,” ledek Naren.
“Lah, siapa bilang ini isinya kopi?” Dio terbahak. “Orang isinya air putih. Go green, Ren.”
“Hmm ... apalagi kalo liat duit ya, mata lo juga go green.”
“Sialan! Jadi menurut lo departemen finance mata duitan?”
“Iya, emang gitu kan.”
Dua mangkuk bubur ayam beserta dua gelas teh tawar hangat kini terhidang di depan mereka.
“Eh Ren, lo udah denger belum sih kalo bakalan ada pegawai pindahan dari cabang?”
“Oh, yang program penghargaan itu jadi lanjut?” tanya Naren terlihat tidak terlalu tertarik.
“Iya, 2 orang, cewek, gue harap sih lo ngalah kali ini, biarkan cowok-cowok di kantor ini juga dapet kesempatan untuk deketin mereka. Dan salah satunya bakal masuk ke departemen gue. Awas aja lo mainin dia.”
“Kenapa gue harus ngalah?” senyum licik terpancar dari wajah Naren. “Ya tapi kan belum tentu juga gue tertarik.”
“Lo kapan tobatnya sih?”
Naren pun tidak pernah tahu kapan dia bisa bertaubat dari petualangan tiga puluh harinya.
“Jadi si Danisha ini sisa berapa lama lagi waktunya?”
Bagi yang tidak mengenal mereka berdua, percakapan mereka terdengar seperti membicarakan seseorang yang sedang sakit keras dan menghitung waktu hidupnya berapa lama lagi. Namun bukan itu. Waktu yang dimaksud Dio adalah hitungan masa pacaran Naren dan cewek yang bernama Danisha itu.
Naren mengeluarkan ponselnya dan mengecek aplikasi reminder yang dia gunakan juga untuk mencatat jadwal meetingnya.
“Gue jadian sama dia tanggal 5 bulan ini, karena bulan ini ada 30 hari, berarti gue bakal mutusin dia tanggal 4 bulan depan.”
Dio mendecakkan lidahnya, “Gue nggak habis pikir, dari mana sih lo terinspirasi pacaran tiga puluh hari gitu? Lo nggak takut kena karma?”
“Emang ada karma di dunia ini?” Naren tersenyum meremehkan. Ya, dia memang tidak pernah percaya adanya karma. Ibunya yang pergi meninggalkannya dengan lelaki lain dan ayahnya yang sering berganti perempuan membuatnya tidak mengakui adanya karma.
***
“Hai, boleh kenalan?” sapa seorang gadis berkaca mata. Gadis itu mengenakan celana kulot berwarna navy dan atasan blouse bermotif floral.
“Hai, Aku Kaira Felora. Panggil aja Kaira. Kamu yang pindahan dari kantor cabang juga kan?”
Gadis itu menyambut uluran tangan Kaira. “Aku Rhea.” Terlalu rumit baginya jika harus menyebutkan nama panjangnya, maka dia memilih mengenalkan nama panggilannya saja.
Hanya ada dua gadis itu di dalam ruang meeting. Entahlah ke mana pegawai yang tadi mengarahkan mereka ke ruangan itu.
“Deg-degan nggak sih?” tanya Kaira.
“Iya, kayak baru masuk kerja ya. Padahal aku di kantor cabang udah enam tahunan, apa lebih ya?” Rhea menggaruk tengkuknya sambil berpikir.
“Kamu dapet halangan nggak sih waktu ditawarin pindah ke kantor pusat? Dari keluarga, pacar, atau suami gitu?”
Rhea tersenyum mengingat saat-saat ia menyampaikan berita kepindahannya ke kantor pusat. “Boro-boro, papa sama mamaku malah seneng banget. Disuruh ngurus rumah yang di sini. Beberapa tahun lagi papaku pensiun, mungkin abis itu pada pindah ke sini. Oh iya, aku dulu sekolah di sini, cuma karena papaku sering pindah tugas, jadi ngikut Papa ke mana-mana.”
“Kalo pacar atau ... suami?”
Rhea menatap Kaira dan memahami maksud ekspresi yang ditunjukkannya, “Aku nggak ada pacar dan belum nikah. Nggak usah ngerasa nggak enak gitu ah, udah kebal aku dapet pertanyaan itu. Makanya orang tuaku udah resah dan gelisah.” Rhea terbahak. “Justru aku pindah karena capek denger omongan orang. Kamu gimana?”
“Aku ... sebenernya hampir lamaran beberapa bulan lalu, tapi gagal, dan yaaa ... sama kayak kamu, males denger omongan orang, makanya aku nerima tawaran ini.” Kaira mendadak terlihat sendu. “Eh ini kita baru kenalan kenapa udah ngomong yang pribadi banget gini ya?”
“Abisnya nggak mungkin kan kita ngomongin strategi perusahaan.”
Keduanya terbahak, lalu tiba-tiba terdiam ketika seorang lelaki yang diprediksi Rhea sebagai Direktur HRD masuk ke dalam ruang meeting diikuti beberapa orang di belakangnya.
Rhea dan Kaira berdiri dan mengangguk dengan sopan.
“Selamat pagi. Saya Radith, Direktur HRD.”
Keduanya menerima jabat tangan dari lelaki itu.
“Pertama, saya ingin berterima kasih atas kinerja yang kalian berdua berikan di kantor cabang, dan saya harap kalian bisa memberikan sumbangsih yang sama besar atau bahkan lebih besar di kantor pusat. Kedua, saya ucapkan selamat datang di kantor pusat, dan selamat bekerja, semoga betah ya. Boleh saya kenalan dulu?”
“Saya Rhea Pak.”
“Rhea, yang dari kantor cabang Batam kan?”
“Iya Pak.”
“Ok, nanti kamu ditempatin di divisi audit internal, di bawah Departemen Finance ya. Sesuai dengan keahlianmu. Dan kamu berarti Kaira?”
“Iya Pak, saya Kaira dari kantor cabang Surabaya.”
“Kamu nanti di bawah humas ya. Kayaknya kita cukupkan perkenalan kita ya. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas kinerja kalian. Oh iya, hampir lupa, sebagai salah satu reward buat kalian, Pak Presdir ngajak makan siang nanti sama beberapa orang lainnya. Nanti biar sekretaris saya yang hubungi kalian ya.” Lelaki bernama Radith itu memberikan kode kepada sekretarisnya untuk membantu Rhea dan Kaira.
Usai perkenalan singkat itu, Rhea dan Kaira terpaksa berpisah karena lokasi departemen mereka yang berbeda.
Keduanya kembali bertemu saat Dinda—sekretaris Direktur HRD—memanggil mereka untuk berangkat menuju hotel tempat diadakannya makan siang bersama.
“Aku cuma ngantar kalian sampai sini ya.” ucap Dinda yang menitipkan mereka ke sekretaris Presdir yang terlihat sedang mangamati siapa saja yang belum sampai di restoran Hotel Pullman yang berada di kawasan bundaran HI itu.
“Loh, Mbak nggak ikut?”
“Nggak, itu kan acara buat para direktur sama kalian. Aku sih mau makan di GI sama temen.”
“Serius Mbak?” tanya Kaira yang mulai gelisah.
“Iya, beneran. Good luck ya. Nggak usah tegang. Direktur kita ganteng-ganteng kok. Lumayan buat cuci mata.” Dinda meninggalkan keduanya sambil terkekeh.
Erika--sekretaris Presdir yang bertugas mengatur jamuan itu—mengantarkan keduanya ke salah satu meja yang sudah di-booked.
“Santai aja, belum pada dateng, boleh kok kalo mau langsung ambil makanan yang ada. Buat ngemil-ngemil dulu. Aku tinggal dulu ke depan ya.”
“Ini ngapain sih kita mesti diajak makan gini?” Rhea menghembuskan napas berat setelah Erika pergi.
Kaira hanya terkekeh melihat ketidaknyamanan Rhea.
“Pak Dio.” Rhea yang mengenali direktur di departemennya itu, merasa sedikit lega karena akhirnya melihat sosok yang dikenalnya.
Dio melempar senyumnya. Ia datang bersama Naren dan langsung mengambil posisi duduk di depan kedua wanita itu.
Pandangan Rhea tidak bisa beralih dari lelaki yang duduk di samping Dio. Rasanya seperti tersedot ke masa lalu. ‘Naren?’
Kesadaran itu seketika menamparnya dan membuatnya menundukkan kepala, berharap lelaki itu tidak menyadari keberadaannya, ‘Kenapa ada dia? Dia inget gue nggak ya? Mampus gue.’
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen