Share

30 Hari Pernikahan
30 Hari Pernikahan
Author: Little Basti

Kesulitan Gea

"Gea?" panggil ibunya.

Gea menoleh ke sumber suara, yang mana terlihat ibunya yang baru datang berjalan ke arahnya.

"Gimana, bu? Apa Pakdhe mau bantu pinjemin uang?"

Wanita paruh baya yang di penuhi guratan kesedihan itu pun duduk di samping putrinya, sebelum membuka mulutnya.

"Gea, Pakdhe Rio nggak bisa bantu kita. Karena jumlah uang yang kita butuhkan sangatlah besar nominalnya. Pakdhe nggak punya uang sebanyak itu."

Mendengar ucapan ibunya itu, tubuh Gea seketika lemas, luruh dalam keputusasaan. Kemana lagi mereka harus mencari uang, untuk membayar tagihan rumah sakit ini. Apa bila mereka tidak bisa mendapatkan uang itu, maka nyawa ayahnya tidak bisa di selamatkan lagi.

"Tapi-" Ibu Gea nampak ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Tapi apa, Bu?" tanya Gea penasaran.

"Tadi Pak Mahendra telepon ibu."

"Pak Mahendra itu siapa, Bu?"

"Temen Ayah, waktu sekolah. Dia dulu pernah membantu Ayah saat keluarga kita ini sedang terkena masalah."

"Lalu?"

"Dia bilang, dia bisa membantu keadaan kita, tapi dengan syarat."

Gea tersenyum mendengarkan hal tersebut, ia merasa mendapatkan harapan untuk Ayahnya.

"Tapi syaratnya apa, Bu?"

Bu Tania nampak ragu untuk mengatakannya. Takut nanti putrinya akan marah dan menolak persyaratan yang di minta pak Mahendra.

"Syaratnya apa, Bu?" tanya Gea lagi.

"Emmmpp. Pak Mahendra bersedia membantu kita, tapi dengan syarat kamu harus menikah dengan putranya dua hari lagi."

Bak di sambat petir tepat di atas kepalanya, Gea terkejut mendengar hal itu. Kewarasan dan hari nuraninya bergejolak di dalam hati. Antara menolak demi hati dan perasaannya, atau menerima demi kesembuhan Ayahnya.

Sanggupkah Gea mengorbankan dirinya sendiri untuk keselamatan Ayahnya.

Bu Tania sudah tau pasti putrinya akan menolak persyaratan itu, saat melihat sikap dan gelagatnya yang sangat terkejut.

"Apa kita jual Toko kue kita saja, ya?"

"J-jangan, Bu."

Toko kue itu merupakan sumber penghasilan mereka setiap hari, dan sejak ayahnya bangkrut dari usahahya. Jika, usaha satu-satunya yang tersisa itu di jual, dari mana lagi mereka bisa makan.

Sedangkan gaji Gea sendiri tidak akan mampu mencukupi kehidupan mereka berempat. Di tambah adiknya yang masih membutuhkan biaya sekolah.

"A-aku mau, Bu," ucap Gea dengan suara tercekat. "A-aku mau menikah dengan putra Pak Mahendra."

"Jangan memaksa perasaanmu, jika kamu nggak yakin bisa melakukannya, Nak."

Bu Tania sendiri tidak tega harus menukarkan putrinya demi uang. Tapi, di sini suaminya sangat membutuhkan uang itu untuk biaya operasinya.

Gea meraih tangan Ibunya dan mengatakan, "Ibu nggak usah khawatir, Gea ikhlas dan rela melakukan ini semua demi keselamatan Ayah."

"Gea-" Tanpa bisa berkata-kata, ibu Tania menangis sambil memeluk putrinya itu. Beliau tidak perna menyangka, nasib putrinya akan menjadi seperti ini.

Setelah pulang dari rumah sakit, Gea sedang terduduk lesu di dalam kamarnya. Menggenggam secarik kertas, rincian biaya rumah sakit yang harus dia lunasi sesegera mungkin.

"Jika memang ini jalan satu-satunya, agar Ayah bisa cepat sembuh. Aku rela menjalani perjodohan ini, Yah," gumamnya.

Dirinya yang hanya karyawan biasa di sebuah kantor periklanan, tidak punya uang sebanyak itu. Bahkan, tabungannya yang dia kumpulkan selama bekerja pun, sudah raup untuk biaya pengobatan Ayahnya, dan membantu biaya sekolah adiknya.

Tiing...

Dering pesan masuk terdengar dari ponsel Gea. Tertera nama Ibu di layar benda pipih tersebut. Ia pun segera membukanya, dan membaca isi pesan dari ibunya itu.

"Nak, nanti malam bakal ada yang dateng buat jemput kamu, ke rumah Pak Mahendra."

"Kamu siap-siap, terus dandan yang sopan. Jangan sampai membuat pak Mahendra berubah pikiran, dan membatalkan bantuan untuk pengobatan Ayah." lanjut isi pesan tersebut.

"Iya, Bu. Gea akan berusaha sebaik mungkin," balasku.

**

Saat malam tiba, Gea memandang pantulan wajahnya di kaca mobil yang di tumpanginya. Menguatkan perasaannya, untuk siap menghadiri undangan makan malam dari pak Mahendra. Sekaligus mempertemukan Gea dengan calon suaminya.

Tadi, sebelumnya, Gea dijemput dengan sopir pribadi Pak Mahendra, langsung di depan rumahnya yang sederhana. Jantungnya berdegup kencang, saat menaiki mobil mewah tersebut.

Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, Gea sampai di halaman rumah pak Mahendra yang sangat luas dan indah. "Luar biasa indah dan mewahnya rumah ini," batin Gea.

Gadis dua puluh dua tahun itu tak habis pikir, kenapa orang sekaya Pak Mahendra mau menjadikannya seorang menantu dengan imbalan uang untuk biaya pengobatan Ayahnya juga. Hal itu membuat Gea berpikir yang tidak-tidak mengenai calon suaminya nanti.

"Apa anaknya c*c*t, ya? atau anaknya itu nggak laku-laku makanya di cariin jodoh sama orangtuanya?" pertanyaan itu terus bergulat di pikiran Gea.

Setelah dibukakan pintu mobil, Gea turun dan langsung di sambut hangat oleh kepala pelayan wanita di rumah itu. Gea hampir tidak berkedip saat mengagumi kemewahan milik keluarga Mahendra tersebut.

Langkahnya terasa sangat berat saat memasuki rumah besar dan sangat mewah tersebut. Statusnya akan segera berubah dalam dua hari lagi. Padahal sebelumnya ia tidak punya kekasih ataupun teman dekat pria.

Tapi, dalam hitungan jam, ia akan bertemu dengan calon suami dadakannya. Gea tidak bisa membayangkan bagaimana rupa dan paras laki-laki yang akan menjadi suaminya itu.

"Gea."

Sontak Gea terkejut dan sadar dari lamunannya, mengagumi rumah tersebut. Kemudian beralih ke sosok yang baru saja memanggil namanya.

Berdiri seorang laki-laki dengan setelan jas berwarna hitam di hadapannya. Namun, Gea merasa tidak asing dengan wajah laki-laki itu, tapi ia lupa siapa namanya.

Mata Gea langsung mmembulat, saat mengira itu adalah calon suaminya.

Laki-laki tersebut mengulas senyuman lalu mendekati Gea. "Bener ini kamu Gea Marisa kan?" tanyanya.

Gea di buat semakin kebingungan, karena dirinya tidak ingat sama sekali dengan laki-laki di hadapannya ini. Sedangan laki-laki itu begitu yakin mengenal dirinya.

"Astaga Gea, kamu nggak inget aku sama sekali?" tanyanya lagi dengan wajah kecewa.

Gea mencoba berpikir dengan keras, mengingat-ingat kembali siapa laki-laki ini. "D-dion?" ucap Gea ragu.

"Yaaa, akhirnya kamu inget namaku juga," sahutnya senang.

"Jadi, kamu orangnya? Woowww amazing... Aku nggak nyangka banget kalau kamu yang bakal jadi pengantinnya. Kalau ini sih, sepertinya udah jodoh dari yang di atas."

Oh Tuhan, tidak. Enggak mungkin Dion yang akan jadi calon suaminya. Tuhan, Gea nggak mau...!

Kenapa Engkau kirimkan aku kepada laki-laki seperti Dion untuk jadi calon suamiku?

Karena Dion merupakan teman sekelas Gea waktu SMA dulu. Mengingat hal itu, Gea langsung teringat kenakalan dan betapa menyebalkannya Dion bersama ketiga temannya yang bernama Rafel, Darel, dan Geo. Ingatan-ingatan itu membuat hati Gea semakin kesal.

"Dion." Panggil seorang laki-laki yang terlihat lebih dewasa dari Dion keluar dari dalam rumah.

"Ya, Kak Gad. Ada apa?"

"Ayo, berangkat sekarang."

"Siap."

Gea melihat kepergian dua laki-laki tersebut, dengan kening mengerit. Pasalnya Gea begitu familiar dengan wajah laki-laki yang dipanggil kakak oleh Dion.

Semenjak melangkahkan kaki ke rumah ini, Gea di buat bingung dengan orang-orang di dalamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status