Rara saat ini sedang berada di dalam mobil Aldebaran. Dia tengah duduk diam sambil sesekali menoleh ke arah pria arogan itu. Suasana canggung menyelimuti, entah bagaimana dengan Aldebaran. Rara menimbang sejenak sebelum melontarkan pertanyaan yang sejak tadi mengganggunya.
“Apa aku terlihat seperti sopir pribadimu?!” tegas Aldebaran masih dengan atensinya lurus ke depan. “Aku tidak suka basa-basi,” lanjutnya lagi.
Rara menggigit bibir bawahnya. Aldebaran memang sangat tanggap. Dia bisa menebak gerak-gerik Rara. Rara sedikit membalikan badan ke arahnya.
“Kita kau ke mana? Dan pekerjaan yang Pak Al maksud itu apa?” tanya Rara sedikit ragu-ragu.
Tidak ada jawaban. Aldebaran memutar kemudi, lalu mengambil jalan lain. Alis Rara berkerut, ini jalan menuju rumahnya. Rara menoleh lagi, tidak ada penjelasan sedikit pun. Sebenarnya apa yang mau dilakukan Aldebaran. Dia ingin kembali bertanya—mengurungkan niat, menatap wajah Aldebaran dari samping membuat nyali Rara sedikit menciut. Jangan sampai diturunkan di jalan, mengingat sifat Aldebaran yang arogan, Rara tidak mau mengambil risiko.
Rara mengalihkan pandangannya keluar. Lebih baik melihat pemandangan jalan, suasana masih tampak ramai. Akibat macet yang panjang, Rara terlambat pulang. Ibunya pasti khawatir.
Rara menarik napas kecil, dia mengusap kaca yang berembun. Pikirannya membaur bersama rinai hujan, kembali pada beberapa waktu yang lalu.
Rara melepas diri dalam dekapan Aldebaran. Aroma parfumnya yang khas membuat Rara hampir saja terbuai.
“Ayo, Jihan. Aku akan mengantarmu pulang!” Angga menarik tangan Rara lagi.
Rara menahan langkah. Angga menoleh diam melihat Rara melepaskan tangannya dari genggaman Angga.
“Maaf, Pak Angga. Aku tidak bisa ikut pulang. Pak Al sudah berbaik hati memperkerjakan aku. Pak Angga tidak perlu khawatir, aku bisa menjaga diri.”
Aldebaran melipat kedua tangannya di depan dada. Senyumnya tersungging tipis menatap Angga yang tidak bisa berbuat apa pun.
“Kau tidak boleh melakukan apa pun, Al. Aku hanya mengingatkanmu!” tukas Angga.
“Kau sudah dengar sendiri. Gadis itu sudah mengatakannya dengan jelas. Lagi pula, dia tidak masuk dalam daftar wanita yang biasa kukencani. Kau tenang saja!”
“Aku juga punya pacar, Pak. Bahkan wajahnya masih lebih tampan darimu!” sanggah Rara merasa tidak terima.
“Pria itu pasti sakit mata!” cibir Aldebaran lalu berbalik masuk ke dalam kamarnya.
“Dasar ....” Rara mendesah kasar. Dia menahan ucapannya. Rara kembali merapalkan kata sabar dalam hatinya.
“Apa kau bisa tahan dengan sikap Al padamu?”
“Tidak masalah, Pak. Aku bisa menghadapinya.”
“Dia suka mengencani banyak wanita, kau jangan sampai lengah.” Angga mengulas senyum sembari menepuk bahu Rara.
“Iya, Pak. Aku akan mengingatnya.” Rara tersenyum canggung. Dia memandang punggung Angga yang sudah hilang di balik pintu.
Rara terperanjat saat Aldebaran menginjak rem mobil mendadak. Hampir saja keningnya menyentuh dashboard. Aldebaran menoleh kesal padanya. Alis Rara bertaut, melihat Aldebaran mendadak mendekatkan wajahnya.
“Apa mau aku turunkan di jalan?!”
Rara sontak menjauhkan diri. Dia meneguk ludah melihat tatapan Aldebaran berubah murka. Apa yang membuat Aldebaran begitu marah? Rara merasa bingung. Dia sejak tadi tidak melakukan apa pun, hanya duduk diam dan .... raut wajah Rara berubah. Apa dia melakukan kesalahan?
“Turun!” titah Aldebaran.
Rara melihat ke luar. Mereka berada di jalanan senggang. Rumah Rara masih sedikit jauh. Ini juga bukan jalur angkutan umur yang biasa lewat. Keadaan sekitar juga sepi, apalagi di luar masih hujan. Rara juga tidak punya payung. Masa iya dia harus pulang dengan basah kuyup dan berjalan kaki?
Rara menutup mulutnya saat suara menggelegar terdengar dari bagian dalam perutnya. Dia belum makan sejak siang. Hanya sarapan bubur tadi pagi itu pun tiga suap saja. Astaga, memalukan!
Aldebaran tidak melepaskan tatapannya sejak tadi. Tanpa tahu apa kesalahannya, Rara hanya bisa menuruti perintah Aldebaran dan segera turun dari mobil.
Baru saja satu kakinya hampir menyentuh permukaan tanah yang basah, tangan panjang Aldebaran sudah lebih dulu menahan pergerakannya dengan menarik ujung lengan kaos Rara. Dia bahkan enggan menyentuh lama-lama. Secepat mungkin Aldebaran menurunkan tangannya. Rara menoleh kaget dan mengangkat kakinya kembali.
“Ada apa, Pak?” tanya Rara bingung.
“Tutup pintunya!”
Rara mengangguk pelan. Dalam hatinya dia berucap syukur. Setidaknya Aldebaran tidak sekejam itu.
“Aku sejak tadi bertanya di mana rumahmu? Apa karena lapar sampai telingamu tidak berfungsi dengan baik?!” Aldebaran kembali melanjutkan perjalanan.
Kata-katanya selalu saja kasar! Tapi memang benar aku lapar sekali. Aku juga tidak mendengar karena membayangkan kejadian tadi, batin Rara.
“Pak Al mau ke rumah aku? Bukankah tadi katanya masih ada pekerjaan?!”
“Lanjutkan besok pagi. Hari ini sudah cukup!”
Rara berkomat-kamit tidak jelas. Sikap pria arogan itu benar-benar susah ditebak. Sering sekali membuat Rara kesal. Benar kata Angga, apa mungkin Rara bisa menghadapi sikap arogannya itu?
“Belok kanan, Pak!” Rara berseru setelah hampir saja mobil Aldebaran berbelok ke arah lain.
“Maaf, Pak,” katanya lagi.
Rara memperbaiki posisi duduknya. Dia mengulum bibir melihat lirikan maut dari Aldebaran seperti akan menerkamnya.
“Berhenti di sini, Pak!”
Aldebaran menghentikan mobilnya. Dia memandangi rumah Rara yang sangat sederhana. Rara melepas sabuk pengaman lebih dulu. Hujan juga tampak mulai reda.
“Ambil ini!” Aldebaran menyodorkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu.
“Untuk apa, Pak?”
“Hasil kerjamu hari ini!”
Rara menggeleng pelan. “Aku tidak bisa menerima sebanyak ini, Pak.”
“Ambil atau kau bisa cari pekerjaan lain!”
Rara terdiam. Ancaman Aldebaran membuat Rara tidak ada pilihan lain. Itu uang yang cukup untuk membeli obat ibunya.
“Terima kasih, Pak. Aku pasti akan bekerja dengan baik!”
Tidak ada tanggapan. Seperti biasa—acuh dan dingin.
Rara lantas turun. Dia melambaikan tangannya melihat mobil Aldebaran yang memelesat pergi.
Rara mendadak terdiam di tempat saat melihat Ivan—kekasihnya berjalan ke arahnya.
“Apa itu yang kaulakukan di belakangku?!” sentak Ivan memegang satu tangan Rara yang menggenggam uang pemberian Aldebaran.
Rara menyentak tangan Ivan. “Aku tidak seperti apa yang kau pikirkan!”
“Siapa pria yang mengantarmu pulang dan uang apa itu?!” Ivan menatap penuh selidik.
“Aku bekerja dengan pria itu. Ini upahku hari ini!” Rara memalingkan wajah—marah.
“Kata ibumu kau bekerja sebagai OB di perusahaan?”
“Tidak lagi. Aku bekerja sebagai asisten pribadi pria tadi.” Rara masih enggan menatap Ivan.
“Rara! Uhuk ... uhuk ....” Nirmala berjalan sedikit membungkuk, tangannya menumpu pada dinding yang terbuat dari kayu itu.
“Ibu!” Rara berlari kecil ke arah Nirmala.
“Kenapa baru pulang? Bukankah kata Rara pulangnya jam lima?” Nirmala lantas menoleh ke arah Ivan yang mendekati mereka.
“Nak Ivan sudah menunggu dari tadi,” kata Nirmala lagi.
Rara menoleh kesal. Dia masih marah dengan Ivan yang tidak ada kabar seminggu lebih. Bukankah wajar jika Rara bereaksi seperti itu?
Ivan mengulas senyum manis. “Tidak masalah, Bu. Aku juga belum lama menunggu.”
Rara tahu itu pengalihan suasana hanya untuk merebut perhatian Nirmala. Entah mengapa, Rara merasa hubungannya dengan Ivan tidak seperti dulu lagi.
“Kita masuk, Bu. Di luar dingin,” ujar Rara merangkul bahu Nirmala.
Setelah berganti pakaian, Rara menemui Ivan yang duduk di depan rumah. Teras rumah Rara yang berukuran kecil. Hanya ada bangku panjang yang terbuat dari bambu. Sekeliling hanya dipenuhi pohon pisang dan kebun kecil yang dibuat Rara untuk bercocok tanam.
“Ke mana saja kau selama seminggu?” tanya Rara tanpa basa-basi.
“Aku sibuk kerja di luar kota!” jawab Ivan lembut. Dia memegang kedua tangan Rara. “Apa kau marah padaku?”
“Tentu saja! Kau tidak memberikan kabar selama seminggu lebih. Ponselmu juga tidak bisa dihubungi!” Rara merengut.
“Maaf, aku terlalu sibuk sampai tidak sempat mengabarimu. Aku janji tidak akan melakukannya lagi, karena sekarang aku sudah menetap di sini,” terang Ivan sembari mencium punggung tangan Rara.
“Apa aku masih satu-satunya perempuan di hatimu? Kenapa rasanya hubungan kita seakan menjauh? Kehadiranmu bahkan tidak membuatku merasa berdebar seperti sebelumnya,” ungkap Rara. Dia menunduk menatap fotonya bersama Ivan yang dijadikan wallpaper layar ponsel.
Ivan menarik Rara dalam dekapannya. “Jangan berkata seperti itu. Kau satu-satunya di hatiku. Kali ini aku akan selalu berada di sisimu.”
Rara melepas pelukan Ivan. Dia menatap lekat wajah kekasihnya itu lalu menaruh kepalanya di bahu Ivan.
“Kau tahu, aku selalu percaya padamu.”
“Ya, aku tahu itu.” Ivan menggenggam tangan Rara. []
Rara berjalan terhuyung-huyung sambil memegang barang belanjaan milik Aldebaran. Tangannya sudah tidak kuat lagi memegang paper bag dan beberapa dus yang berisi sepatu. Sebisa mungkin, Rara membawa dengan hati-hati. Dia tampak kelelahan, sejak tadi Rara berputar-putar mencari barang yang ditulisnya sesuai perintah Aldebaran. Sudah hampir sejam lebih, Rara berada dalam sebuah pusat perbelanjaan.“Pria arogan itu membuatku harus bekerja keras untuk ini. Mana semuanya berat. Ya, ampun tanganku tidak kuat lagi.”Rara melepaskan beberapa paper bag dan dus sepatu ke lantai begitu saja. Dia duduk bersandar pada pembatas pagar untuk melepas penat sejenak.Ponsel Rara berdering, pria arogan itu menelpon. Segera Rara menggeser icon berwarna hijau.“Iya, Pak.”“Sudah semua, Pak. Aku istirahat sebentar. Kakiku sangat lelah, sejak tadi berputar-putar mencari daftar barang yang Pak Al inginkan.”
Pagi-pagi buta Rara sudah melakukan olahraga lari. Aldebaran memang sangat menyebalkan. Dia menyuruh Rara datang menemuinya jam lima pagi. Jalanan masih tampak sepi, hanya beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Rara bahkan tidak boleh terlambat walau satu detik pun. Pria arogan itu menunggu di taman.Napas Rara tersengal ketika baru saja sampai. Dia memegang dadanya yang naik turun. Aldebaran memakai earphone dengan kedua mata terpejam. Tangan Rara menggapai ujung bangku, masih mengatur napasnya, serasa jantungnya hampir copot. Rara duduk sebentar dan meluruskan kakinya.“Aku tidak menyuruhmu duduk,” ucap Aldebaran masih dengan mata terpejam.“Istirahat sebentar, Pak. Aku berlari sejauh 700 meter untuk sampai ke sini,” keluh Rara.“Aku tidak mendengar apa pun! Bawakan aku air. Ada di mobil. Cepat ambil!” perintah Aldebaran. Masih dengan mata terpejam. Entah lagu apa yang ia dengar.Rara mendengus. Dia
Rara merasa tidak asing dengan suara wanita itu, dia seperti pernah mendengar suaranya. Tatapan Rara kembali mengarah pada Aldebaran yang menyentak tangan wanita itu dengan kasar. “Aku masih sama. Tidak berubah!” jawab Al tegas. Rara mengingatnya. Dia wanita yang pernah menelepon Aldebaran. Raut Rara berubah ketika mengingat perkataan Angga waktu itu. Dia pasti Monika, batin Rara menerka. “Aku merindukanmu, Al. Bisakah kita bicara berdua saja?” tanyanya. Dia menoleh ke arah Rara. Rara menyadari maksud tatapan wanita itu, mencoba untuk melepaskan diri. Tidak berhasil. Aldebaran makin mengencangkan cengkeramannya. Rara bahkan meringis dengan suara tertahan. Rasa perih menjalar di area pergelangan tangan. “Aku sibuk! Tidak punya waktu untuk bicara denganmu!” kata Aldebaran tanpa menatap wanita itu. “Sekali ini saja, biarkan aku
Range Rover hitam milik Aldebaran melaju di atas jalan bebas hambatan. Guratan tegas di wajahnya yang tampan sedang tidak baik-baik saja. Pikiran-pikiran meresahkan mulai tumbuh lebat di kepalanya. Semenjak pertemuan kembali dengan Monika setelah tiga tahun, Aldebaran tidak bisa mengontrol diri. Dia bahkan mengabaikan panggilan masuk dari Firman yang sejak tadi berharap cemas di tempat lain. Aldebaran melewatkan syuting hari ini. Pikirannya kalut, dia butuh tempat untuk menenangkan diri. Setelah membela jalanan lenggang ibukota, mobil mewah Aldebaran memasuki pelataran sebuah tempat yang tentunya masih sepi pengunjung, lalu menepikan mobilnya. Aldebaran segera masuk ke dalam, dia mengedarkan pandangannya, lalu menuju tempat yang biasa ia duduki, di sudut ruangan yang tenang dan nyaman. Seseorang datang dengan nampan berisi sebotol minuman dan gelas kaca. Sudah menjadi hal lumrah jika Aldebaran sudah datang berkunju
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Rara memarkirkan mobil Aldebaran. Di sana, Firman dan dua orang pria sudah menunggu mereka. Firman dan dua pria itu memapah Aldebaran menuju lift. Rara menghela napas. Tugasnya sudah selesai, dia harus segera pulang. Rara lantas beranjak, dia menapak santai hingga mendekati ke arah gerbang. Mendadak, Rara menahan langkah, tangannya meraba saku celana mencari ponselnya. Tidak ada. Rara menepuk dahi, ponselnya tertinggal di dalam mobil Aldebaran. Rara menghentak kesal, dia harus kembali dan meminta kunci mobil untuk mengambil ponselnya. Rara menarik napas kesal merutuki dirinya yang suka pelupa. Dia melangkah cepat ketika pintu lift itu terbuka, belum juga menutup sempurna, seseorang mengganjal dengan satu tangan. Rara sedikit bergeser, memberi ruang kepada seorang wanita yang seusia dengan Aldebaran. Dia terlihat menawan, rambut cokelat kemerahan dibiarkan tergerai dengan ujung yang men
Seorang pria dengan kisaran umur empat puluhan tengah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Tampak dari interior bangunan itu terlihat sangat mewah. Beberapa mahakarya luar biasa terpajang berjejer di sana. Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. Lelaki muda berpakaian semi formal dengan sebuah amplop berwarna cokelat di tangannya. Dia menunduk hormat dan menaruh di atas meja. Pria itu membuka amplop dengan cepat. Tatapannya memandang serius pada sebuah foto yang diambil secara diam-diam. Foto itu yang diambil saat Rara duduk di halte beberapa hari lalu. Pria itu kembali melihat foto berikutnya. Alisnya menukik melihat sosok laki-laki yang terasa tidak asing bersama Rara. “Bukankah dia putra tunggal Mahesa Wijaya?” “Benar, Pak. Dia Aldebaran.” “Kenapa gadis ini bisa bersamanya?” “Gadis itu bekerja sebagai asisten pribadinya. Sebelumnya, gadis
Dua puluh menit kemudian, mobil Aldebaran memasuki halaman RAM Corp. Aldebaran turun lebih dulu, lalu diikuti Rara. Setelah hampir sebulan, Rara menginjakkan kakinya lagi di perusahaan besar itu. Matanya menjelajah ke setiap sudut. Jika bukan pria arogan itu, Rara ingin bekerja di perusahaan ini walau bukan di posisi karyawan, bagi Rara bisa bekerja seperti orang lain pada umumnya bagi Rara sangat bahagia. Namun, dia tidak menampik, gaji yang ditawarkan Aldebaran jauh lebih besar. Demi menabung untuk mengusahakan biaya operasi Nirmala, Rara tidak punya pilihan lain. “Pak Al, apa yang akan kulakukan di sini? Apa aku harus menunggu di lobi?” tanya Rara yang sejak tadi mengikuti langkah Aldebaran. Beberapa pasang mata memandangnya dengan raut sinis. Ada yang merasa iri melihat Rara berjalan sedekat itu dengan Aldebaran. Selain tampan, popularitas yang juga tak kalah menjulang menjadi idaman para wanita. Aldebaran hany
Rara memperhatikan sekeliling, dia menunjuk salah satu toko yang menjual pakaian wanita. Angga mengikuti langkah Rara dengan senyum yang terus mengembang. Angga kembali menahan langkah, melihat panggilan masuk di ponselnya. “Apa yang kaulakukan?!” sergah salah seorang pegawai perempuan dengan sinis. Dia tak lain adalah tetangga Rara yang memiliki sifat sombong. Amelia namanya. Rara seketika berhenti di tempat. Dia melihat batasnya berdiri dengan pintu, lalu menoleh ke sumber suara. “Amel! Kau bekerja di sini?” Rara mendekat ke arah Amel. Amel mengangkat lima jarinya ke udara. Dia menghentikan langkah Rara sebelum mencapai padanya. “Eh, ada apa, Mel?” “Tidak perlu dekat denganku! Kau harus tahu batas, orang sepertimu tidak bisa belanja pakaian mahal di sini,” cibir Amel menyunggingkan sudut bibir. “Kau masih saja