Share

6. Kopi Darat

“Okey, we can meet later in BIP, is that okey?” Kejora tengah berbicara dengan seseorang di balik telpon.

Dengan pekerjaan yang masih menumpuk akibat akhir tahun dan audit besar-besaran, maka semua karyawan terkena dampaknya, seperti Kejora salah satunya. Dia bolak-balik ke ruangannya lantas menuju ruangan lain, membuat laporan, menyocokkan dana dan sebagainya sembari dengan benda pipih bernama android itu menempel terjepit antara bahu dan telinganya saat ini.

Kania sendiri sudah tak terkena masalah beruntun, karena memang dia hanya menghitung pengeluaran sang atasan saja dan setiap minggu dia membuat laporannya, berbeda dengan bagian administrasi keuangan bidang lainnya, seperti Kejora salah satunya.

Dia malah mengekori Kejora yang bergerak ke sana kemari tanpa henti bak setrika yang tengah menghangatkan pakaiannya.

“Okey, we will meet at 07.00 pm, bye ....” Kejora menutup panggilannya dan mendesah lelah.

Di tangannya masih ada dua tumpukan laporan lagi yang harus dia serahkan kepada atasannya.

“Gimana? Gimana? Jadi ketemuan sama si abang bule?” berondong Kania yang masih merasa penasaran dengan kenalan Kejora melalui aplikasi kencan itu.

Kejora tersenyum lelah, dia tertawa setelahnya. Mengikuti saran gila dari Kania memang tak ada benarnya. Namun, dia juga membutuhkannya. Jadi, mau tak mau dirinya lebih baik melakukan refreshing sejenak di tengah hiruk pikuknya pekerjaan saat ini.

“Sudah deh, aku aja yang mengerjankan, kamu udah ke BIP aja, kasihan kalau dia sampe nunggu loh ...,” seloroh Kania yang menyerobot tumpukan laporan milik Kejora.

“Tapi, Kan—” Suaranya terhenti dengan interupsi dari Kania saat ini.

“Sudah saatnya kamu berburu pria juga kok, biar nggak jomblo terus, biar bisa double date,” imbuh Kania cepat-cepat.

Kejora menyambar tasnya lantas akan pergi meninggalkan Kania, namun sahabatnya itu malah mencekal tangannya. “Wait! Wait! Wait! Kamu mau pergi gini aja?” Kania malah mengarahkan hidungnya mengendusi pakaian Kejora.

Wanita itu menatap dari ujung kaki sampai ujung kepala, menelisik Kejora yang merasa bingung dan risih dengan tingkah sahabatnya kali ini. “Ih, kenapa sih, Kania?” tanyanya sambil sedikit memundurkan tubuhnya saat ini.

“Kamu serius mau ketemuan kek begini? Isssh! Tak patut! Sini!”

Grep! Kania menegaskan pegangannya di bahu Kejora. Dia menuntun tubuh Kejora untuk duduk di kursi berputar, lantas mengeluarkan seperangkat alat make up dan juga satu kemeja floral yang sellau dia bawa sebagai baju ganti untuknya.

Kejora hanya bisa pasrah. Sebenarnya tubuhnya sudah luluh lantak namun dia tak enak menolak niat baik sang kenalan yang ingin mengajaknya kopi darat saat ini.

Kejora pasrah saat rambutnya disisiri lantas dikepang ke samping, lalu wajahnya dibersihkan dari segala debu dan sisa-sisa keringat dan Kania melakukannya dengan senang hati, memberikan sentuhan sedikit riasan ke wajah Kejora yang mulus.

“Duh! Wajah kamu mulus banget, nggak pernah jerawatan deh ini,” oceh Kania yang masih asik menepuk-nepuk wajah Kejora dengan spons beralas cushion miliknya.

“Heum ....” Kejora hanya bisa berdeham saja.

Sentuhan terakhir.

“Buka bibirnya dong!” perintah Kania dengan tak sabaran.

Kejora menuruti perkataan sang sahabat terbaiknya. Sahabatnya itu memoleskan lipstick nude kesayangannya yang harganya mencapai satu juta, hadiah dari Adam katanya. “Coba, dicap-cap!” Kania sampai memeragakan pergerakan bibir terbuka dan menutup untuk merapikan lipstick di bibir Kejora.

Kejora bagai anak-anak yang bisa didandani sesuka hati oleh Kania saat ini. “Dah, sana! Ganti baju dan langsung berangkat!” Kania mendorong tubuh Kejora menuju toilet terdekat.

Kali ini Kejora harus mengakui bagaimana Kania membuat wajahnya terlihat segar dan pakaian yang dikenakannya begitu cocok bukan main di tubuhnya. Kecantikan yang terpantul di cermin membuat senyuman di bibir gadis itu terulas indah.

“Cantik!” pujinya pada dirinya sendiri.

Kerutan matanya hilang, terlihat berbinar dengan sedikit rona di pipinya. Wajah kuning langsatnya sangat cocok dengan riasan yang diaplikasikan oleh Kania.

Dia mencangkol tas selempangnya dan menuju area parkir. Hampir tiga hari ini dia membawa mobil yang baru dibelikan oleh ayah tirinya.

Menjelang malam sabtu rupanya jalanan menjadi macet panjang seperti ini. Kejora mendesah lelah, benar-benar tak bisa diprediksikan kalau Bandung pun bisa semacet ini. Mobilnya bahkan bergerak hanya dua menit lantas terhenti kembali.

Di luar mobilnya, langit sore dengan jingganya mulai menghiasi atas bumi. Kejora bisa melihat mega yang indah ini sesering mungkin ketika berada di Indonesia. Senyumannya terulas kecil, dia menikmati senja yang ada di sini.

Suara klakson yang bergantian dan tak sabaran ingin menerobos menjadi satu hal yang paling tak dia sukai. Kalau begini dia seharusnya memilih kafe pinggir jalan yang sepi saja bukannya bertujuan ke Mall begini.

Kejora keluar dari mobilnya, dia berjalan penuh rasa percaya dirinya, membuat atensi bercampur arogansi yang menguar menjadi kharisma yang sangat kentara. Bahakn pengunjung di sana yang berpapasan ikut melihat tak teralihkan selama beberapa detik.

Dia berbeda di pandangan mata mereka.

Oke, dia mencari salah satu kafe yang dituju oleh dia dan Mike Gilbert untuk sekedar kopi darat dan bersantai. Kejora melihat salah satu pria asing berkebangsaan Eropa yang tengah menunduk, memainkan ponselnya dengan arah miring darinya.

Berkali-kali Kejora memastikan kalau memang itu adalah Mike yang akan ditemuinya.

Drrrt ... drrrt ...

“Astaga!” Kejora terkejut saat ponsel yang dipegangnya bergetar dan Mike menghubunginya. Kali ini dia merasa gugup bukan main sampai-sampai dia tak bisa mengangkat telpon dari Mike karena jarinya tak sanggup menggeser ikon hijau dalam beberapa detik.

“Halo, Mike,” sapanya usai berhasil menjawab panggilan pria bule itu.

“Where are you? Are you arrive here?” tanya pria yang tengah duduk dan kini berbicara di ponsel.

Oke itu dia!

“Just see on your right side, Mike,” timpal Kejora dengan senyuman terulas meski gugup saat ini.

Deg! Deg! Deg!

Jantung gadis itu bekerja ekstra tanpa diperintah saat ini, ketika mata biru pria itu memandangnya. Kali ini seolah-olah tubuhnya ditarik gravitasi yang meningkat berkali lipat.

Deg! Kepala Kejora pening seketika di saat pria bertubuh tinggi besar itu tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya.

‘Oh My God!’ Batinnya berteriak kegirangan dengan segala kesempurnaan fisik yang dimiliki pria itu.

Bahkan pria bernama Mike itu berdiri dan menuju ke arahnya. Rambut ikalnya yang memiliki warna jahe sangat unik. Khas sekali keturunan Eropanya, benar-benar berbeda dari banyaknya warga Belanda yang pernah Kejora jumpai.

Tubuh gadis itu kaku dan semakin tak bisa digerakkan ketika Mike berjalan ke arahnya sampai mereka saling berhadapan saat ini.

“Hai, Jora?” Dan saat itu juga, suara dari Mike menggema di telinganya, membawakan alunan nada yang semakin memaku tubuhnya sejajar dengan pusat bumi, sementara manik hitamnya membulat menatap penuh kagum pada sosok Mike Gilbert yang tengah menyapanya sambil tersenyum indah. Satu kata, tampan!

(Ps, jangan lupa tambahkan ke library dan komen-komen yaaa)

Camaraderie

Halo, jangan lupa tambahkan ke rak buku kalian ya, komen-komennya dong sama gem juga boleh, hihi buat menyemangati otor untuk nulisnya nih, see youuuu

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status