Sepekan sudah Alex tak ada kabar. Sudah beberapa kali aku mencoba menelponnya. Namun, kedua nomornya tak satu pun aktif. Wa terakhir yang kukirim pun juga belum dia baca. Sehingga aku tak bisa mengetahui kabar beritanya. Membuatku cemas, khawatir, memikirkannya apa yang tengah terjadi pada suamiku.
Apakah mungkin gawainya tak mendapatkan sinyal di sana? Ah! Rasanya tak mungkin, di negara yang maju akan teknologinya, bisa susah mendapatkan sinyal. Kecemasanku semakin menjadi.
Aku menerawang jauh ke cakrawala dari balkon kamar. Berharap mendapatkan jawaban dari atas sana. Agar bisa melampiaskan kerinduan yang kian mendalam. Pada belahan jiwa yang telah menemani selama dua puluh tahun ini.
Alex, dimana kamu, Sayang? Aku sudah rindu padamu. Aku kesepian tanpamu. Aku ingin bercinta denganmu. Menuangkan semua nafsuku hanya untukmu. Aku butuh pelukanmu yang hangat, agar tak kedinginan seperti ini.
Tiba-tiba suara gawaiku berbunyi dari dalam kamar. Aku bergegas beranjak dan melangkah mendekati nakas, tempat aku meletakkan benda itu di sana. Berharap Alex yang menelponku, memberitahukan kabarnya dan menanyakan kabarku.
Terlihat di layar gawai dua belas digit nomor yang tak terdaftar dalam kontak dan berasal dari negeri jiran. Aku Menarik napas pelan dan mengembuskannya kembali. Seakan-akan ingin membuang kekecewaan yang menyangga di dada ini karena yang menelpon ternyata bukan Alex.
Segera kuangkat benda pipih itu. Menggeser ilustrasi bergambar telpon hijau, kemudian mendekatkan ke telinga dan segera menyapa orang di seberang sana dengan salam.
"Assalamualaikum," sapaku terlebih dahulu, karena tak sabar menunggu pemilik suara yang berada di ujung telepon.
"Waalaikumsalam Rania. Halo, kamu Rania, bukan?" suara wanita berlogat melayu muncul di sana. Gaya bicaranya renyah mencerminkan bahwa wanita ini supel dan pembawaannya selalu ceriah, seolah-olah tak punya beban dalam hidupnya.
Aku mengernyitkan dahi dan memicingkan mata. Menggigit ujung kuku ibu jari tangan, seraya mencoba mengingat-ingat siapa empunya suara itu. Aku bergeser mendekati ranjang yang berada di sebelah nakas. Kemudian duduk di bibirnya. Sepertinya aku kenal dengan suara ini. Tapi siapa? Aku mencoba untuk mengingat-ingatnya.
"Ya, betul. Maaf, dengan siapa ya?" tanyaku menyelidik. Karena ragu dan memastikan pemilik suara ini adalah orang yang pernah kukenal.
"Alhamdulillah, setelah sekian lama saya mencari kabar kamu. Akhirnya menemukan juga nomor teleponmu!" jawab pemilik suara itu dengan logat Bahasa melayu.
"Ish, masak kamu lupa dengan suaraku? Ya ampun, Rania! Jadi sedih aku mendengarnya," lanjutnya dengan suara meracau menunjukkan kalau dia benar-benar sedih.
"Sarah?" Aku mencoba menebak. Siapa lagi kalau bukan dia. Salah satu temanku dengan logat Bahasa melayu dari negeri Jiran.
"Aaah! Syukur lah kalau begitu. Ternyata kamu masih ingat dengan suaraku. Duh! Rindu sekali aku dengan kamu, Rania." Dengan cepat suaranya kembali menjadi ceria lagi.
Aku merasa suprise Sarah menelponku. Ia adalah sahabat karibku dari SMA hingga kami kuliah bersama-sama di Malaysia. Orang tuaku yang bekerja sebagai salah satu staf di KBRI, membuat keluargaku sempat lama tinggal di sana. Aku dan Sarah terpisah karena harus melanjutkan S2 di New Zeland.
Kemudian orang tuaku kembali ke tanah air karena tugasnya di Malaysia telah berakhir. lalu memutuskan menghabiskan masa pensiunnya di sini. Sehingga aku dengan Sara terpisah dan kami pun kehilangan komunikasi karena kesibukan masing-masing.
Kemudian aku bertemu dengan Alex di New Zeland. Perkenalan kami bisa dibilang singkat. Sikapnya yang penyayang kala itu, sehingga aku merasa nyaman bila berada di sisinya. Selalu menunjukkan bahwa dia adalah lelaki yang sangat bertanggung jawab. Membuatku jatuh hati dan menetapkan pilihan kepadanya.
Setelah Alex merasa yakin bahwa aku juga mencintainya, dia memberanikan diri untuk melamarku. Dan kami pun memutuskan untuk menikah.
Awal kehidupan dalam membangun rumah tangga, kami benar-benar melakukan dari nol. Menjadi seorang pekerja di sana hingga memutuskan untuk kembali ke tanah air dan membuka usaha di sini.
Merangkak dari bawah, persaingan bisnis yang ketat tak membuat kami menyerah sedikit pun. Hingga kini aku dan Alex mempunyai beberapa anak perusahaan yang ikut menopang pergerakan bisnis keluarga kami.
Wajar saja Sarah tak kenal dengan Alex. Sebab setahu dia pria yang pernah menjadi teman dekatku dulu adalah Jojo, seorang kakak tingkat ketika kami masih duduk dibangku kuliah.
Hubunganku dengan Pria itu terhitung lama juga dan sangat dekat. Sehingga banyak yang memprediksi bahwa hubungan kami berlanjut hingga kejenjang pernikahan. Akan tetapi, tebakan itu salah.
"Bagaimana kabarmu, Saudaraku?” Sarah menyadarkanku dari lamunan, mengenang masa lalu yang indah bersamanya kala itu.
“Baik, sangat baik,” balasku menjawab pertanyaan Sarah yang agak menyekat di dada.
“Oh, ya. Dari mana kamu dapat nomor aku, Sarah?” Aku coba menyelidiki, karena selama ini aku dan Sarah benar-benar putus komunikasi.
“Bagaimana kamu ini, jaman sekarang media sosial dan teknologi sudah canggih, kenapa kamu masih tanyakan hal itu? Ah, tak penting lah aku dapat nomor kamu dari mana. Media sosial sekarang banyak. Yang penting aku bisa menghubungimu sekarang,” ucapnya dengan penuh semangat.
"Ish, sudah mulai main rahasia denganku, ya. Awas kamu, tunggu pembalasanku." Kami berdua tergelak bersahut di ujung telepon. Ada rasa rindu yang singga di hati ini. Mengenang kisah lalu, saat masih bersama. Bercanda, menangis, bahagia hingga saling cerita peristiwa-peristiwa yang tengah kami hadapi, baik suka maupun duka.
"Rania, apakah kamu baik-baik saja?” tanya Sarah. Entah apa maksud dari pertanyaannya.
“Ya. Aku, baik-baik saja,” jawabku sedikit terpengaruh dengan pertanyaannya. Apa lagi saat ini suasana hati ini sedikit terganggu karena Alex yang tak kunjung beritanya.
“Kamu yakin? Sebab, aku merasakan dari nada kamu bicara, ada sebuah beban yang sedang kamu sembunyikan. Benarkah begitu, Rania?” selidiknya. Sepertinya dia bisa membaca suasana hatiku walau melalui telpon. Tak terasa netraku menghangat. Buliran bening tiba-tiba mendesak ingin keluar. Menguak kelopak mata untuk menumpahkannya. Sehingga seketika membuatku terisak menahan sesak di dada.
“Hai! Kenapa kamu menangis? Bicaralah padaku. Ada apa sebenarnya yang terjadi, Rania?” desak Sarah hingga membuat air mataku semakin deras mengalir.
“Suamiku, Sar. Sudah sepekan dia tak ada kabar. Aku khawatir dengannya,” ucapku dengan tangis yang semakin menggeru.
“Ada apa dengan suamimu? Siapa lelaki itu? Yang pasti bukan Jojo, kan?” Pertanyaan yang bertubi-tubi menghujaniku.
“Bukan. Bukan Jojo. Suamiku—Alex. Satria Alex Darmawan. Kami saat itu bertemu di New Zeland kemudian menikah. Dan kami pulang ke tanah air untuk berbisnis, setelah beberapa tahun kami menikah dan mempunyai anak,” jelasku.
“Oh, oke. Begini saja. Bagaimana kalo kita bertemu saja. Kebetulan besok aku akan ke Indonesia ada sedikit urusan di Jakarta. Kamu bisa jemput aku di bandara? Lagi pula aku sudah rindu sekali ingin bertemu dengan kamu,” kicaunya penuh semangat.
“Nanti, biar kita bisa cerita banyak, oke?” lanjutnya.
"Bisa. Oke, aku setuju. Besok aku akan jemput kamu di bandar." Tanpa berfikir panjang, aku langsung menyetujui permintaan Sarah. Karena aku juga sudah rindu dengan wanita bersuara cempreng dan renyah ini. Hitung-hitung sekalian untuk menghibur diri untuk melupakan kabar dari Alex yang tak kunjung berbalas.
Bersambung …!
Setelah Sarah pamit untuk menutup telponnya, aku pun bersiap-siap merebahkan tubuh di atas ranjang. Sendiri, tanpa Alex di sampingku. Aku merasa benar-benar kesepian di kamar ini. Dingin, tak ada pria yang biasanya selalu dengan senang hati bisa memelukku. Dada yang bidang serta tangan yang kekar, membuatku selalu nyaman berlama-lama di sana. Sambil mendengarkan alunan detak jantung yang seirama dengan napasnya.Menit kemudian, mataku mulai terasa berat. Kelopaknya sudah tak mampu menahan bola manik untuk tetap terjaga. Perlahan cahayanya mulai redup, lalu terpejam untuk membawaku ke alam bawah sadar.Berselang tak lama, tiba-tiba pipiku merasakan belaian halus dari tangan yang sangat kukenal. Mengusap lembut disetiap incinya. Membuatku dengan mudah bisa menebak siapa gerangan yang berada di belakangku. Memberikan kejutan cinta yang hangat.Aku menoleh ke samping kanan. Tanpa diberi aba-aba aku bergegas bangun dan menubruk pria berbadan atletis itu. Memeluk tubu
Kurebahkan kembali tubuh ini. Setelah menghabiskan air mineral di dalam gelas hingga kurasa tubuh kembali segar. Mencoba kembali memejamkan mata disisa malam ini.Akan tetapi, sudah beberapa menit mata ini tak mau terpejam. Pikiranku melayang terbawa mimpi yang baru saja kualami. Rasanya seperti benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja aku menjadi gelisah. Membayangkan mimpi itu akan menjadi kenyataan.“Ya Tuhan. Jangan sampai terjadi,” gumamku. Kuusap wajah ini. Agar bayangan suram itu menghilang. Tak lagi menggangguku yang sedang kesepian.Kuambil gawai yang tergeletak di sebelahku. Mengusap layarnya, mencoba mengecek beberapa chat di sana. Siapa tahu ada berita dari Alex. Akan tetapi, harapan itu membuatku kecewa. Tak ada satu pun chating dari Alex.Kulirik jam di dinding, jarum pendeknya menunjukkan angka dua, sedangkan jarum panjang menunjuk keangka lima. Ah, ternyata waktunya untuk mengadu disepertiga malam.Bergegas aku beran
Netraku seketika terbelalak, serasa ingin keluar dari kelopaknya. Jantung berdegup sangat kencang hingga mampu memompa kobaran api dalam darah. Walau aku masih belum percaya dengan mata sendiri, tapi aku yakin aku hapal betul sosok itu. Walau dalam gelap sekali pun."Halo, Rania. Are you alrigh?" Tanya Sarah saat melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah."Ada apa, Rania? Jangan kamu buat saya jadi takut juga! Kamu tidak melihat monster, kan?" celetuk konyol Sarah, namun tetap tak kugubris. Aku masih fokus melihat sosok pria yang sangat kukenal sedang berdua-duaan begitu mesra dengan wanita, seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.Aku bangun dari tempat duduk. Untuk lebih memastikan, aku menghampiri pria itu. Dia nyaris membelakangiku. Sehingga dia tak sadar aku mendekatinya."Alex?" Panggilku sedikit ragu. Pria itu menoleh. Bagaikaan teror menyalip wajahnya. Seketika ekspresinya b
Aku keluar dari kamar Rania. Menuruni anak tangga satu per satu. Sambil melihat suasan rumah Rania yang besar. Rumah yang sangat megah. Disepanjan dinding tangga, dihiasi dengan foto-foto yang terpajang di sana. Aku tertarik untuk melihatnya.Perlahan aku amati satu demi satu foto-foto itu. Tampak sebuah foto pernikahan Rania bersama suaminya. Rania tampak cantik sekali dengan pakaian pernikahannya yang serba putih dan mahkota di kepalanya. Senyumnya selalu memikat pria yang melihatnya. Tak terkecuali Irwan saat kuliah dulu. Aku sempat iri dengannya kala itu.Jojo, kakak tingkat kami saat kuliah dulu. Terkenal pria yang cool dan tak mudah jatuh cinta dengan wanita mana pun. Walau banyak perempuan yang ingin menjadi kekasihnya. Akan tetapi ketika dia mengenal Rania, Jojo langsung jatuh hati tanpa ada yang bisa menghalangi.Aku beralih melihat foto disebelahnya. Tampak dua gadis yang tersenyum manis. Hidungnya mancung, kelopak mata yang sedikit berkantung, gigi gi
Pagi ini saya ingin berkeliling halaman rumah Rania yang luas. Melemaskan otot-otot kaki yang terasa kaku. Sekaligus berkenalan dengan pelayan lain yang ternyata masih ada beberapa pelayan yang bekerja di sini.“Hai, Pak,” sapaku pada seorang tukang kebun yang sedang merawan tanaman. Bapak perawat tanaman itu menyahut dengan menganggukan kepala dengan sopan sambil menyunggingkan bibirnya.Tanaman-tanaman yang dirawatnya tampak indah. Tentunya membuat semakin cantik halaman rumah ini. Semua terlihat terawat dan segar. Beberapa pohon perdu pun tengah dipangkas. Bunga-bunga yang indah terlihat basah seperti habis disiram.Haaa! Tempat yang benar-benar nyaman. Membuat aku betah untuk tinggal di sini. Tapi, ish. aku hanya bisa bermimpi bisa punya rumah senyaman ini.Dari kejauhan saya lihat Lily berlari menuju ke arahku. Dari wajahnya, dia terlihat panik. Tampaknya ada sesuatu yang membuat dia ketakutan seperti itu.“Ada apa,
“Kalau begitu saya akan memberikan dia obat penenang. Tapi nanti diberikan seperlunya saja ketika dia benar-benar membutuhkan obat itu. Dan, saya percaya pada anda. Tolong bantu sepupu saya agar dia tidak mengalami hal-hal yang sama sekali tidak kita inginkan.” Dokter itu memohon padaku dengan tatapannya yang penuh harapan.“Anda bisa mengandalkan saya, Dokter.” Aku meyakinkannya, agar Dokter Harun tidak meragukan kemampuanku untuk mendampingi Rania dalam masalah ini.***Tiga hari sudah aku tergelatak di atas ranjang. Setelah Harun memeriksaku dan Sarah selalu merawat dan memberikan semangat untukku, kini berangsur-angsur kondisiku mulai membaik. Hatiku sedikit tenang, walau terkadang masih terbawa emosi karena mengingat peristiwa di bandara.Aku mencoba untuk bisa mengendalikan emosiku. Demi kedua putriku yang kini sedang sekolah di Amerika.Gawai yang kuletakkan di atas nakas berbunyi. Kulihat Sarah mengambil benda itu la
Aku berdiri di pinggir balkon kamar. Menikmati cakrawala yang dihiasi bintang. Tampak rembulan yang malu untuk bersinar. Terhimpit diantar awan menghitam.Angin malam berhembus sepoi-sepoi. Mengurai rambut lepas tergerai. Wajah sembab pun tak luput dibelai. Membawa rasa menjadi gontai.Hah! Aku menghela napas panjang, lalu menghempaskan perlahan. Melepas sesak yang mengganjal di dada. Agar keluar bersama beban.“Menghirup angin malam kadang-kadang membuat kita terbebas dari tekanan. Tetapi kadang-kadang ia membuat kita terbawa oleh hayalan.” Tiba-tiba suara Sarah muncul dari belakangku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Rupanya ia sudah berdiri di tengah pintu yang menghubungkan kamar dan balkon.“Sarah? Sudah lama di situ?” sambutku, lalu menyunggingkan bibir dan kembali menikmati pemandangan malam. Menyandarkan tubuh di pagar dinding balkon. Menumpuhkan siku untuk menopang lipatan tangan di dada.Sarah melangkah mendek
Dua bulan sudah Sarah tinggal di rumahku. Dia begitu banyak membantu dalam memulihkan kejiwaanku yang saat itu terganggu karena Alex yang sudah mengoyak hatiku.Berangsur-angsur aku bisa mengendalikan emosi. Mengikhlaskan semua yang sudah terjadi denganku. Sehingga aku bisa kembali bekerja dan memimpin Goden Group lagi semenjak Alex menghilang dari perusahaan itu.Selama ini Golden Group memang dalam kendali Alex. Namun, semua itu tak lepas dari campur tanganku. Sehingga ketika perusahaan ini mengalami kekosongan kepemimpinan, aku sebagai wakil Presdir bisa mengambil alih kendali.Seperti saat ini, semenjak terjadi insiden yang tak mengenakkan Alex pun tak pernah terlihat di ruangannya. Begitu pula dengan Chateryn. Mejanya tampak kosong, sehingga pekerjaan yang harus dia tangani aku alihkan pada staf lain.Aku masuk ke ruangan yang biasa digunakan Alex untuk melakukan aktivitasnya yang menyangkut dengan perusahaan ini. Memeriksa beberapa berkas laporan yang s