Ran dibawa masuk oleh Joan ke dalam sebuah hotel bintang lima. Lelaki itu menggendongnya dan bergegas untuk bertemu dengan resepsionis mengambil kunci kamar yang sudah ia pesan beberapa waktu yang lalu.
Joan memesan kamar dengan keamanan yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Malam ini adalah malam yang sangat ia nantikan. Ran akan menjadi miliknya. Ya, hanya miliknya dan selamanya. Begitulah yang tertanam di pikiran Joan saat ini.
Begitu tiba di kamar, Joan membaringkan Ran di tempat tidur yang besar dan sangat empuk. Tempat tidur dengan seprai berwarna putih itu sangat kontras dengan dress yang Ran kenakan. Ia terlihat begitu kecil berada atas di sana.
Joan menanggalkan satu per satu kancing kemejanya. Otot badannya yang kekar dan roti sobek yang ada berjumlah enam itu terlihat menggoda. Salah, bukan menggoda, karena tidak ada yang spesial dari lelaki itu. Ia adalah lelaki jahat yang mengambil kesempatan dalam keadaan yang seharusnya tidak seperti ini.
Mata Joan tidak berhenti menatap Ran yang terbaring tidak berdaya. Ia benar-benar telah terkuasai dengan hasutan iblis yang membuatnya menjadi lelaki tidak bermoral. Apakah pantas tindakannya disebut sebagai bukti cinta?
Joan melempar kemejanya dengan sembarang ke lantai. Kemudian, ia menanggalkan ikat pinggang kulitnya.
“Ran, setelah ini kamu tidak akan mungkin bersama dengan Darell lagi. Mana mungkin Darell mau dengan sesuatu yang sudah menjadi bekas dari orang lain,” ujarnya menyeringai. Ia merasa bangga, bisa memiliki Ran dengan cara yang sangat mudah.
Dahulu ia pernah dihina-hina, bahkan ditolak mentah-mentah oleh Ran saat masih SMA. Setelah ini, mungkin Ran yang akan memohon-mohon atau berlutut kepadanya.
Joan mendekati bibir tempat tidur. Ia naik perlahan dan mulai melakukan tujuannya kepada Ran.
***
“Sial! Siapa laki-laki itu? Berani sekali ia membawa Ran kabur!” Charlie memukul stir mobil dengan keras karena berada dalam emosi yang tidak stabil saat ini.
Charlie, kakak sepupu dari Ran. Papanya adalah adik dari mamanya Ran.
Begitu diberi tahu oleh Rangga mengenai Ran yang dibawa pergi, perasaannya menjadi kacau tidak menentu. Ia tidak tahu ke mana adik sepupunya itu dibawa.
Charlie hanya tahu kalau di dekat sini ada dua hotel. Ya, yang satu adalah milik temannya dan satunya lagi itu milik papanya.
Charlie memilih untuk pergi ke hotel tempat temannya. Sedangkan untuk hotel papanya itu pasti akan langsung ketahuan karena ia meninggalkan pesan pada resepsionis dan manajer untuk memperhatikan pengunjung yang datang.
Pikiran Charlie saat ini benar-benar terfokus pada Ran saja. Tidak ada hal lain!
“Ran, kalau terjadi sesuatu padamu, aku akan mengutuk diriku seumur hidup karena tidak bisa melindungi,” gumam Charlie berbicara dengan napas yang memburu. Awas saja ia mendapatkan pelaku yang membawa Ran, pasti akan ia habisi.
Charlie telah sampai di hotel bintang lima dengan warna cat dominannya adalah hitam. Hotel itu begitu megah. Tampilan luar saja sudah memukau, apa lagi di dalamnya?
Akan tetapi, untuk saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengagumi hotel tersebut.
Pria bertubuh tinggi itu berjalan masuk ke dalam hotel. Baru saja ia menginjakkan kaki di lantai hotel, sudah ada yang mendatanginya.
“Ada yang bisa kami bantu, Tuan?” tanya beberapa orang karyawan dari hotel ini.
“Saya ingin bertemu dengan Roger,” ujar Charlie.
“Baik Tuan, mari Tuan,” ucap seorang karyawan langsung mengarahkan Charlie ke ruangan pria bernama Roger. Roger adalah temannya semasa sekolah dulu.
Setelah masuk ke ruangannya Roger dan berbincang dengan Charlie, resepsionis yang bertugas malam itu pun dipanggil untuk menghadap pada mereka berdua.
Resepsionis diminta untuk menunjukkan apakah orang seperti yang Charlie katakan datang atau tidak ke hotel itu.
Awalnya resepsionis itu terlihat gugup, tetapi karena Roger menghardiknya, resepsionis itu pun akhirnya membuka suara.
“Iya, Pak. Memang benar ada, tapi dia adalah tamu VVIP kita, Pak.” Resepsionis itu menundukkan kepalanya setelah mengatakan itu.
“Kamar nomor berapa?” teriak Charlie dengan emosi yang sangat tinggi. Tidak bisa dibiarkan. Ran benar-benar dalam bahaya saat ini!
“Cepat katakan!” bentak Roger pada resepsionis wanita itu.
“Ka-mar no-mor 277, Pak,” jawabnya resepsionis itu gemetar. Tangannya sudah berkeringat dingin. Kakinya terasa tidak sanggup lagi untuk berdiri. Bosnya dan seorang pria yang tidak ia kenal terlihat sangat marah, seolah ini adalah kesalahan dirinya. Padahal, ia hanya melakukan tugas biasa saja.
“Biar gue selesaikan, Ger,” putus Charlie.
“Kalau butuh sesuatu lo langsung hubungi gue. Berikan kuncinya kepada Charlie,” ujar Roger pada resepsionis itu.
Resepsionis itu sungguh sangat bingung. Bagaimana caranya memberikan kunci kamar yang sudah ada orang di dalamnya? Itu tentu akan mengganggu privasi tamu mereka. Akan tetapi, apa boleh buat? Ini adalah instruksi dari atasannya, kalau tidak dipatuhi ia bisa dipecat.
Bergegaslah resepsionis itu kembali ke tempatnya dan mengambil kunci cadangan dari kamar itu.
Tanpa menunggu lagi, Charlie berlari untuk naik lift dan pergi ke kamar dengan nomor 277 untuk kelas VVIP tersebut.
“Dia pikir dia itu siapa? Berani-beraninya membawa Ran yang polos itu ke sini!” gumam Charlie kesal.
Yang Charlie ketahui bahwa adik sepupunya itu adalah seorang gadis polos. Ia pikir gadis itu masih anak berusia 12 tahun yang belum tahu apa pun? Oh ayolah, Charlie. Ran sudah berusia 19 tahun sekarang, bukan gadis polos lagi.
Begitu tiba di depan kamar dengan nomor 277, Charlie langsung membuka pintu kamar tersebut. Ia masuk ke dalam dan sungguh—ia sangat terkejut dengan keadaan di dalam kamar itu.
Napas Charlie langsung tidak beraturan. Dadanya naik turun dan matanya merah penuh kemarahan.
Charlie berlari ke tepi tempat tidur lalu menarik laki-laki itu dan membantingnya dengan kasar ke lantai.
“Siapa kau! Kenapa bisa masuk ke sini?” tanya Joan tidak habis pikir.
Bagaimana bisa ada orang lain yang masuk ke sini? Padahal, tempat ini sudah ia persiapkan dengan matang dan bayarannya sudah dibayar lunas oleh seseorang untuk membantunya mendapatkan Ran seutuhnya.
“Kau yang siapa? Kau pikir pantas untuk berbuat seperti ini pada Ran?”
Bugh!
“Apa kau pikir bisa mendapatkan dia dengan mudah?”
Duak!
“Selagi saya masih hidup, jangan harap kau bisa menyentuhnya!” tegas Charlie dengan emosi tingkat tinggi.
Pukulan demi pukulan dilayangkan oleh Charlie tanpa ampun. Ia tidak tahu lagi bagaimana meluapkan emosinya. Ia sudah naik pitam karena melihat adik sepupunya diperbuat seperti itu oleh seorang laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali.
Joan sudah babak belur akibat pukulan Charlie. Meski begitu, ia tetap mencoba bertahan dan melawan. Lelaki itu tidak terima dengan apa yang Charlie lakukan padanya.
“Siapa kau sebenarnya? Tempat ini sudah dipesan dengan pelayanan yang paling aman dan tidak akan diganggu oleh siapa pun!” bentak Joan pada Charlie. Akhirnya Joan pun mengakui perbuatannya dan ini memang sudah direncanakan dengan baik.
“Saya adalah pelindung Ran. Dari dia masih dalam kandungan saya sudah ditakdirkan untuk melindungi dia, jadi tidak ada yang boleh menyakitinya!” Charlie memberikan pukulan tepat pada perut Joan hingga lelaki itu mengeluarkan darah di mulutnya. Ia terduduk dan tidak berdaya.
Saat seperti itu, Charlie menoleh pada Ran yang terbaring tidak sadarkan diri di tempat tidur. Ia melihat pakaian Ran sudah berantakan. Dress itu sudah robek di bagian atasnya.
Segera Charlie melepaskan jas yang ia kenakan dan menutupi tubuh Ran dengan jas itu.
Di saat Charlie meletakkan jas pada tubuh Ran, Joan bangkit lalu menarik Charlie menghadapnya. Ia menyemprotkan semacam cairan kepada Charlie cukup banyak hingga Charlie tidak bisa melihat untuk sementara.
Kesempatan itu pun Joan pakai untuk kabur dari sana. Ia menutup pintu kamar tersebut kemudian berlari keluar dari hotel secepat mungkin. Ia tidak ingin mati dipukul oleh pelindungnya Ran. Ia juga tidak ingin ditangkap polisi karena misinya untuk memiliki Ran gagal.
“Sial! Cairan apa yang dia semprotkan padaku!” Charlie merasa ia tidak bisa melihat apa pun dengan jelas. Ia hanya melihat warna yang kabur dan kepalanya tiba-tiba menjadi pusing.
***
Bersambung—
“Aku di mana?” tanya Ran begitu ia bangun. Ia merasa asing dengan tempat ini.Ran mengucek kedua matanya. Ia ingin memastikan di mana ia berada sekarang.Ran menoleh ke arah samping.“Apa!” teriak Ran sambil menutup mulutnya. Ia melihat ada punggung yang sangat lebar tanpa ada kain yang menutupi. Seperti punggungnya laki-laki.Cepat-cepat Ran melihat dirinya. Pakaiannya juga sangat berantakan, bahkan ada bagian yang robek.“Oh My God!” jerit Ran tercekat. Matanya membulat sempurna.Ia memandangi punggung pria itu dengan tidak berkedip. Pikirannya bertanya-tanya, perihal apa sebenarnya yang terjadi semalam? Apa saja yang sudah ia lakukan hingga menjadi begini?“Shit! Kenapa aku nggak ingat apa pun?” tanyanya sambil memukul kepala. Ran mencari ingatan mengapa sampai hal seperti ini terjadi, tetapi nihil. Tidak ada yang bisa ia ingat.Tepat saat itu juga pintu kamar te
“Kamu mau apa?” tanya Ran kepada Charlie.Pria itu menjangkau rambut Ran lalu menghirup aromanya. Ia seperti menikmati wangi rambut Ran yang begitu lembut dan menenangkan hidung itu.Ran dengan cepat menepis tangan Charlie untuk melepaskan rambutnya.“Kenapa Ran?” tanya Charlie dengan santai. Seolah apa yang dilakukannya sama sekali tidak salah.“Kamu udah janji kalau nggak akan apa-apain aku,” ujar Ran dengan lantang. Matanya menatap tajam pria itu.“Memangnya aku mau ngapain kamu?” tanya Charlie sambil memajukan wajahnya ke depan—semakin dekat dengan wajahnya Ran.Ran menggeleng pelan. “Nggak tahu,” jawabnya cepat.“Jangan terlalu banyak berpikir, Ran. Kamu kebanyakan melamun,” ucap Charlie sambil mengusap puncak kepala Ran.Charlie pun berbalik dan pergi keluar dari kamar. Ia tidak jadi melanjutkan untuk membantu memasukkan pakaian Ran ke dalam lemari.Ran merasa heran dengan apa yang terjadi, termasuk terhadap reaksi diri
Charlie memperhatikan foto tersebut. Ia menelisik detailnya dengan saksama.Foto itu adalah foto Ran dan Charlie yang tidur di kamar hotel. Foto itulah yang menjadi alasan mengapa papanya Ran sampai datang ke hotel, hingga membuat mereka berdua berakhir dengan pernikahan tanpa rencana.“Lie, dia mengancam akan menyebarkannya. Kalau sampai itu terjadi …?” Ran menatap ke arah Charlie dengan rasa takut yang melingkupinya. Sungguh, Ran benar-benar sangat takut kali ini. Ia tidak ingin reputasi baiknya hancur karena sebuah foto yang entah siapa mengambil gambar tersebut.Di dalam foto itu tidak terlihat jelas wajahnya Charlie, hanya wajahnya Ran yang terlihat jelas.“Jangan khawatir, kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini, Ran.” Charlie membawa Ran ke dalam dekapannya. Ran meluapkan air matanya di dada bidang Charlie.Dengan sentuhan yang lembut yang diberikan oleh Charlie pada punggungnya membuat tangis Ran mered
Setelah menangis cukup lama, Ran pun tanpa sadar dari tidurnya. Ia tidak tahu kalau dirinya tertidur dalam pangkuan Charlie. Hingga saat ia bangun, baru ia merasa kalau ada yang memeluk tubuhnya.“Aku … kenapa bisa berada di dalam pelukannya?” pikir Ran mencoba ingat apa yang terjadi sebelumnya.Setelah mengumpulkan nyawa dan membulatkan mata lebar-lebar, akhirnya Ran ingat kalau setelah Charlie berkata akan selalu ada di sisinya dan menjadi tameng untuknya, membuat ia memeluk pria itu tanpa berpikir panjang. Ia meluapkan kesedihannya dalam pelukan Charlie. Semua ketakutan dan kekhawatirannya ia tumpahkan hingga tak sadar jadi tertidur.Ran mencoba untuk melepaskan dirinya dari pelukan Charlie. Ia menyingkirkan tangan Charlie dengan hati-hati. Lalu, ia melihat kalau baju Charlie di bagian dada masih kelihatan agak basah.“Kamu sampai tertidur juga karena tidak ingin melepaskanku,” gumam Ran. Ran melihat jarum jam dinding yan
Ponsel Ran tiba-tiba berdering. Ia tidak menanggapi pertanyaan yang Charlie lontarkan padanya. Ia langsung menyambar ponsel itu dan mengangkatnya.“Halo Yun, kenapa tadi lo matiin panggilan gue?” tanya Ran dengan nada ketus. Bukan menunggu temannya menjawab duluan, ia malah menyemprot dengan kata-kata.“Sorry, gue lagi di jalan, mau angkat, tapi malah ketekan matiin,” jawab gadis itu disertai tawa.“Oh! Sekarang lo di mana? Masih di jalan?” tanya Ran lagi.“Enggak, sekarang udah sampai di rumah. Kenapa Ran? Ada yang bisa gue bantu?”“Hmm, gue minta tolong buatin tugas yang dikasih sama Pak Hamdi minggu kemarin. Lo bisa?” tanya Ran dingin. Padahal, ia yang butuh bantuan, tetapi seolah orang lain yang membutuhkan.“Gue nggak bisa bantuin lo, soalnya banyak banget tugasnya. Gue aja seharian kemarin bikin sampai nggak sempat pergi jalan sama pacar gue,” terang Yuni.
Ran kini tengah fokus menonton film di televisi kamarnya Charlie. Charlie mengatur film yang menurutnya bagus untuk Ran jadikan referensi review tugas.Dengan serius Ran mengamatinya. Ia bahkan mencatat hal-hal penting yang bisa ia jadikan bahan penyusun review.Charlie memperhatikan gadis itu. Ia terlihat sangat serius, membuat senyum pun terbit di wajahnya Charlie.“Sudah sangat lama tidak melihatnya seserius ini,” gumam Charlie.Charlie pergi keluar dengan membawa laptopnya. Ia pergi menuju ruangan kerjanya dan mulai mengerjakan pekerjaan yang terbengkalai akibat acara pernikahannya dengan Ran.Saat sedang fokus bekerja, Charlie kepikiran dengan Ran. Ia pun balik ke kamar dan melihat Ran tertidur pulas di tempat tidur. Di depan Ran, ada tablet yang ia serahkan pada gadis itu untuk membuat tugas.Ternyata Ran sudah menyelesaikan tugasnya, hanya perlu memperbaiki sedikit kesalahan pada beberapa penulisan.“Ran, kamu
Ran tengah mencetak tugasnya yang ia kerjakan semalam untuk diserahkan pagi ini. Sementara itu, Charlie pergi mandi dan bersiap-siap untuk ke kantornya.Selesai mencetak tugas, Ran keluar untuk melihat apa yang bisa ia santap untuk sarapan pagi. Di lemari makanan ada roti tawar dan juga selai cokelat. Sepertinya memang disediakan oleh Charlie. Sangat kebetulan sekali kalau selai cokelat itu adalah kesukaannya.Ran mengeluarkan roti dan selai cokelat itu. Ia membawanya ke meja makan. Lalu, ia mengambil dua piring. Ia oleskan roti tersebut dengan selai cokelat. Satu untuknya, satunya lagi untuk Charlie.Untuk mengoles roti Ran masih bisa, karena tidak terlalu sulit, meski selama di rumah ia pasti dibantu oleh pelayan atau tidak kakak iparnya, Lidya. Namun, sekarang tidak ada yang bisa membantu, ia juga ingin melakukannya sendiri.Ran merasa puas karena bisa menyiapkan sarapan seperti ini. Ia bergegas menuju lemari pendingin untuk mencari susu cair. Kebetula
Ran tiba di kantornya Charlie. Ia berjalan masuk ke dalam dan langsung menemui resepsionis.“Halo Mbak, ada yang bisa kami bantu?” tanya resepsionis itu dengan ramah, tetapi sangat jelas kalau itu dibuat-buat.“Saya ingin ketemu Charlie,” ujar Ran langsung.“Apakah sudah membuat janji dengan Bapak Charlie?” tanya resepsionis itu.“Tidak,” jawab Ran dengan mengerutkan kening. Apa perlu membuat janji dahulu baru ia bisa bertemu? Oh ayolah, ia bukan klien dari Charlie, kenapa harus membuat janji segala?“Maaf kalau begitu, Mbak bisa menunggu dahulu. Sekarang Bapak Charlie sedang bersiap-siap untuk rapat. Mungkin akan selesai pukul sebelas nanti,” jelas resepsionis itu.“Apa? Gila ya, gue harus nunggu sampai jam sebelas untuk menemuinya? Sekarang lo tunjukin lift mana yang bisa gue naikin untuk ketemu dengan atasan lo itu!” bentak Ran dengan memarahi resepsionis itu.