"Aaarrgghh!!" teriak Nayla kencang dengan menutup wajahnya karena ketakutan.
"Nay!" panggil Angel saat melihat Nayla yang sangat ketakutan sambil berjongkok. Kedua tangan menutupi seluruh kepalanya.
"Aaaaarrgghhh!"
"Hey hey ... kamu kenapa sih kok teriak-teriak?"
Nayla melihat ke kaca. Sosok perempuan berkebaya merah itu sudah tidak ada. Ia mengedarkan pandangan matanya ke setiap ruangan di dalam kamar mandi.
Nayla berdiri dan berjalan ke setiap ruang di kamar mandi. Nayla mengecek satu per satu ruangan tersebut. Namun tidak ada siapa pun selain dirinya dan Angel.
"Kenapa sih, Nay?"
"Mau onok wong wedok ndek kene, awakmu enggak ndelok?" tunjuk Nayla tepat di tempat Angel berdiri.
"Ngomongnya bahasa Indonesia dong aku enggak ngerti."
"Oh ya, tadi ada perempuan di sini. Kamu lihat enggak?"
Angel menggelengkan kepalanya dan melihat ke Nayla dengan tatapan mata heran.
"Kamu cium bau wangi melati ini enggak, Ngel?" Hidung Nayla terlihat sedang mengendus-endus.
"Udah ahh ayo kita keluar. Nanti dipanggil kita enggak tau lagi." Angel langsung menarik lengan Nayla untuk segera keluar dari toilet.
Walaupun sebenarnya Angel juga mencium wangi melati yang dikatakan Nayla. Bulu kuduk Angel merinding, tapi dia tak menunjukkannya.
"Enggak ada setan! Kenapa aku merinding gini sih nyium aroma melati tadi," ucapnya dalam hati sambil terus menarik tangan Nayla.
Tak lama mereka berdua telah sampai di ruang tunggu untuk menunggu panggilan wawancara. Nayla masih terus memikirkan siapa perempuan yang seperti sinden tadi.
Masih teringat jelas, wajah perempuan itu sangat pucat seperti tak ada aliran darah, dengan kepala sebelah kanannya yang bocor dan terus meneteskan darah. Serta tepat di bagian perut dan dadanya ada luka tusuk yang juga mengangga lebar.
"Woi, kok melamun sih malahan!"
"Eh ... kaget aku, Ngel."
"Kamu masih mikirin kejadian di toilet tadi?"
"Iya, Ngel aku benar-benar melihat sosok perempuan-- "
Di saat mereka berdua sedang mengobrol, seorang penguji memanggil nama mereka bersamaan.
"Yah ... maaf ya, Nay. Enggak bisa pinjami kamu sepatu."
"Oh ya, enggak apa-apa kok, Ngel."
Nayla berjalan dengan menyeret sebelah kakinya. Rasanya ia sudah begitu kesal dengan sepatu itu.
Sejenak ia melupakan penampakan yang sudah dilihatnya dan fokus pada wawancara yang akan ia hadapi, meskipun dirinya masih begitu penasaran.
Nayla memasuki ruangan untuk wawancara. Terdapat empat penguji dan setiap pelamar diwawancara oleh satu orang penguji. Sekitar dua puluh menit wawancara pun selesai. Angel yang sudah keluar terlebih dahulu nampak sedang menunggu Nayla.
"Nayla!" panggil Angel melambaikan tangannya. Nayla pun menghampiri Angel yang duduk di sudut ruangan.
"Gimana wawancaranya?"
"Ya gitu deh. Pengujinya tadi jutek banget. Sampe grogi aku." Nayla duduk saling berhadapan dengan Angel.
"Hmm ... sekarang kita tinggal menunggu hasil wawancara." Nayla manggut-manggut.
"Aku pasrah, Gusti. Badmood banget gara-gara sepatu ini!" batin Nayla.
Merasakan wajahnya yang berkeringat karena tegang saat wawancara. Nayla mencari tisu untuk membersihkan wajahnya.
"Ngel, boleh pinjam kaca?"
"Ini, pakai aja!" Angel memberikan kaca miliknya.
Nayla membersihkan keringat dengan tisu sambil bercermin kecil. Ketika itu Nayla kembali berteriak kencang. Membuat semua yang berada di ruangan tunggu itu menoleh ke arah mereka berdua. Angel pun menjadi malu dan sedikit kesal dengan Nayla.
"Aaaarhhhh!" teriaknya kencang.
"Ngapain sih, Nay? Tuh orang-orang pada ngelihatin kita!" geram Angel.
"Ma-maaf, Ngel ... tapi aku lihat perempuan yang seram di kaca!"
Angel mengambil kacanya yang terlempar di meja. Ia tak melihat apapun seperti yang dikatakan Nayla selain wajahnya sendiri di kaca.
"Enggak ada ahh ... tuh coba kamu lihat! Udah ah jangan teriak-teriak malu!"
"Iy-iya maaf, Ngel."
Nayla mencoba bersikap tenang dan biasa saja. Walaupun hatinya berkecamuk dan sangat penasaran dengan perempuan berkebaya merah, berwajah pucat yang penuh luka di kepala, dada dan perutnya.
Dari penampilannya, Nayla menebak perempuan tersebut adalah seorang sinden. Tapi apa hubungan dengannya? Nayla sama sekali tidak merasa mengenal sinden berkebaya merah itu. Sampai seorang ibu-ibu yang berpenampilan rapi keluar dari dalam ruangan wawancara.
"Selamat siang menjelang sore pada kalian semua. Setelah psikotes dan tes wawancara, saya akan mengumumkan siapa saja yang lolos untuk selanjutnya mengikuti tes terakhir yaitu medical check-up."
Tampak wajah-wajah yang lainnya sangat tegang dan cemas. Berbeda dengan Nayla yang terlihat biasa saja dan cenderung pasrah. Yang ada dipikirannya hanya sosok perempuan sinden yang selalu menghantuinya.
Satu persatu nama dipanggil. Hingga nama Nayla dan Angel pun lolos wawancara. Nayla begitu kaget karena ia tak menyangka akan lolos semua tes hari itu.
Hanya tersisa lima belas pelamar dari empat puluh lima pelamar. Pelamar yang lolos diberikan jadwal untuk tes terakhir yaitu medical check-up. Jika tes tersebut lolos, akan dihubungi jika diterima.
Hari itu, Nayla pulang dengan ojek onlin ke rumah tantenya dengan perasaan yang bahagia dan senang. Nayla tak sabar untuk segera memberitahukan kabar tersebut pada orangtuanya di kampung dan pada Wisnu, lelaki yang selalu didambakan olehnya.
"Alhamdulillah, walaupun sepatu aku gini, ternyata bertahan sampai aku selesai tes hari ini," ujar Nayla yang memasuki halaman rumah tantenya.
Di rumah tersebut hanya ada Rahma yang sedang libur kuliah. Sedangkan tantenya masih bekerja sebagai PNS di suatu lembaga usaha milik negara.
Ayah Rahma pun sudah meninggal karena kecelakaan. Sehingga tante Nayla harus menjadi janda sejak usianya tiga puluh tahun.
"Assalamualaikum!" salam Nayla. Rumah itu selalu sepi seperti biasanya saat pagi hingga menjelang magrib.
"Waalaikumsalam," sahut Rahma yang keluar dari dalam kamar dan menemui Nayla yang sudah duduk di ruang tamu.
"Udah pulang, Mbak Nay? Gimana tadi, Mbak?"
"Lihat deh, Ma sepatuku rusak gini." Tunjuk Nayla dengan wajah yang sedih.
"Kok bisa, udah harus di lem biru emang itu, Mbak!" goda Rahma.
Nayla melepaskan sepatu dan berdiri ingin mengambil minum. Seketika Rahma mengikutinya ke belakang. Gadis itu sangat penasaran sekali dengan psikotes Nayla hari ini.
"Mbak, gimana lolos ta enggak? Malah enggak di jawab!" Nayla hanya terdiam dan menatap ke arah Rahma dengan raut wajah yang sedih.
"Maaf ya, Mbak. Semangat terus cari yang lainnya. Semoga nanti ada yang diterima. Aku yakin pasti Mbak Nay dapat pekerjaan." Rahma memeluk Nayla kemudian kembali melepaskannya.
"Aku lolos psikotes dan wawancara bank itu, Ma ... besok aku tes kesehatan."
Raut wajah Rahma begitu terkejut mendengar ucapan Nayla. Ia menatap Nayla dengan tajam. Kedua manik matanya mencoba mencari kejujuran di tatapan saudaranya itu.
"Mbak, seng tenan? Enggak ngapusi kan, Mbak? (Mbak, yang bener? Enggak bohong 'kan, Mbak?)" tanya Rahma sangat penasaran.
Bersambung
***
***
"Mbak, seng tenan? Enggak ngapusi 'kan, Mbak? (Mbak, yang bener? Enggak bohong 'kan, Mbak?)" tanya Rahma sangat penasaran."Iyo tenan, Ma. Iki aku entuk jadwal gae medical check-up. (Iya beneran, Ma. Ini aku dapat jadwal untuk medical check-up)" Nayla menunjukkannya pada Rahma."Wah ... iki idek kampusku, Mbak. Kapan medical check-up'e? (Wah ... ini dekat kampusku, Mbak. Kapan medical check-upnya?)""Hmmm, besok biar cepat." Nayla menarik kursi kecil dan duduk. Rahma mengikutinya dan duduk berhadapan."Okey. Besok bareng berangkat sama aku, Mbak. Naik motor!"Nayla hanya membulatkan jarinya menandakan ia setuju. Sekali lagi, Rahma memeluk Nayla mengucapkan selamat karena Nayla berhasil mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang sangat ia inginkan."Makasih ya, Ma. Aku mau ke kamar, telepon Wisnu dulu." Bergegas Nayla meninggalkan Rahma dan masuk ke dalam kamarnya.Setelah melepaskan semua pakaian dan menggantinya, ia segera menelepon kedua ora
"Masa tusuk konde ini berhantu sih? Aku enggak percaya. Tapi kenapa sinden merah itu mengikuti aku sampai menampakan dirinya pada Tante Dewi?" batin Nayla penuh tanya dengan memperhatikan tusuk konde yang digenggam.Nayla mengambil gelas dan menekan tombol di dispenser. Tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya merinding. Hidungnya mengendus-endus sesuatu yang berbau begitu wangi.Wangi bunga melati seperti parfum. Nayla tak begitu menyukai aroma wangi melati yang menurutnya seram. Pandangan matanya melihat-lihat ke setiap sudut dapur. Namun nihil, tak ada apapun."Merinding aku ... onok opo seh jane iki? (Ada apa sih sebenarnya ini?)"Nayla berbalik dan terkejut saat Rahma dan Dewi sudah berada di belakangnya. Ia hampir saja melompat karena kaget. Gelas berisi air minum untuk Dewi pun sedikit tumpah."Kok disini, Tan. Mau kubawakan ke depan, Tan?""Enggak usah, Nay. Tante sekalian mau mandi dan sholat," jawab Dewi.Dewi mengambil handuk yang
Mereka bertiga pergi menggunakan mobil Honda Jazz Tante Dewi yang berwarna merah. Rahma duduk di depan samping Dewi.Sementara Nayla masih membuka pagar untuk mobil itu keluar. Saat Nayla akan menutup pagar, sinden merah berdiri tepat di depan pintu rumah. Tatapan tajam mengarah padanya. Tapi Nayla merasa ada sesuatu yang berbeda dari sinden itu."Dia lagi? Tapi, sepertinya agak berbeda? Apa cuma perasaan aku yang merasa dia ada perbedaan?" batin Nayla. Sesekali ia melirik ke arah sinden itu dengan rasa takut."Nay, ayo naik!" panggil Tante Dewi dari dalam mobil."Iya, Tan. Maaf." Berlari kecil Nayla membuka pintu tengah mobil lalu masuk.Karena jarak yang tidak terlalu jauh, mobil merah Tante Dewi sudah sampai di sebuah rumah makan soto Lamongan Cak Kholid yang sangat ramai pembeli. Setelah mendapatkan tempat parkir, mereka bertiga turun dan berjalan masuk ke dalam restoran."Ma, aku sama Mbak Nayla cari tempat duduk ya!" seru Rahma.
Mereka berdua kembali duduk di kursi masing-masing. Tante Dewi langsung bertanya pada Nayla kenapa ia lama di toilet. Dengan alasan tiba-tiba kebelet, Tante Dewi pun percaya. Tanpa sepengetahuan Tante Dewi, Rahma dan Nayla saling berpandangan.Sekitar hampir setengah jam mereka menyelesaikan makan dan saling mengobrol tentang tes Nayla hari ini."Tante senang, akhirnya kamu berhasil meraih cita-cita kamu," ujar Tante Dewi."Terimakasih, Tante. Nayla juga sangat bersyukur. Enggak menyangka bisa keterima di bank ternama."Setelah membayar, Dewi, Rahma, dan Nayla berjalan ke parkiran menuju mobil. Tante Dewi memberikan uang pada bapak tukang parkir yang sudah tua.Namun, saat Nayla berjalan melewati bapak tua, tiba-tiba lengannya ditarik oleh bapak itu. Membuat Nayla langsung menoleh ke arah yang menariknya."Ada apa, Pak?" tanya Nayla."Hati-hati. Kamu selalu diikuti oleh dia!"Pandangan mata bapak tukang parkir mengarah pada sesua
Nayla berjalan meninggalkan Tante Dewi dan Rahma yang masih duduk di ruang TV. Saat ia akan membuka pintu kamar. Nayla sejenak menoleh ke ruang dapur dan ruang makan. Nayla masih terbayang sosok sinden dan Wisnu yang sangat menyeramkan bagi Nayla.Tanpa sepengetahuan Nayla, Rahma tak sengaja melihat Nayla yang berdiri terdiam di depan pintu kamar. Kedua matanya menatap ke arah dapur. Tak lama, Nayla pun masuk ke dalam kamar dan menutup pintu."Pasti Mbak Nayla tadi berbohong soal kangen dengan Mas Wisnu. Ini pasti ada hubungannya dengan sosok sinden dan tusuk konde yang dimiliki Mbak Nay." kata Rahma dalam benaknya.***Malam mulai semakin merangkak naik. Suasana rumah itu sudah sangat sepi dan hening. Nampaknya semua penghuni rumah sudah terlelap dalam tidur masing-masing. Tapi tidak demikian dengan Nayla yang sepertinya tidak bisa tidur.Tampak gadis itu membolak-balikan tubuhnya. Ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya. Tapi bayangan mengerikan te
Disaat Nayla penasaran dan bertanya-tanya tentang kabar Wisnu, terdengar sebuah suara memanggil namanya. Nayla menoleh ke asal suara. Angel yang turun dari taxi online berlari ke arah Nayla."Nay!" panggil Angel dengan melambaikan tangan.Nayla membalas lambaian tersebut sambil berusaha tersenyum, walaupun hatinya sedang gundah gulana. Sesekali ia melirik ke hpnya berharap ada pesan atau panggilan masuk dari Wisnu."Nay, kamu sampai jam berapa?" tanya Angel saat sudah berhadapan dengan Nayla."Baru juga kok. Aku juga lagi nunggu kamu.""Oh ya udah, kita masuk yuk. Tunggu di dalam, adem. Di sini panas.""Eh, tau adem kamu?""Tau, sedikit, hehehehe. Ayo!" Angel langsung menarik tangan Nayla.Mereka berdua berlari kecil memasuki lobby rumah sakit. Di depan, mereka menuju ke bagian resepsionis administrasi. Angel dan Nayla langsung mendapatkan nomor antrian karena memang sudah terdaftar dari bank.Angel mengajak Nayla untuk mencari t
"Ya ampun ... paling juga orang iseng, Nay. Eh, tapi kalau itu orang yang mau kasih kabar tentang pacar kamu, gimana?" Angel melotot ke arah Nayla.Seketika kedua mata Nayla semakin membulat lebar."Oh ya ya, coba aku telepon lagi."Nayla kembali menelepon nomer tidak dikenal itu. Teleponnya lagi-lagi tidak diangkat. Nayla menggelengkan kepalanya dengan raut wajah sedih pada Angel."Sudah tenang aja. Mungkin orang iseng." Angel berusaha membuat Nayla agar tidak bersedih.Saat Angel dan Nayla sedang menunggu nama mereka dipanggil. Hp Nayla bergetar. Ia langsung melihat hpnya. Tertulis sebuah nomer yang dari tadi berusaha ia telepon. Nayla pun segera mengangkat telepon itu."Halo.""Halo, apa benar ini nomer Mbak Nayla?" tanya seorang lelaki dari seberang telepon."Iya. Ini siapa ya?""Saya, Aldo, adik dari Mas Wisnu.""Wisnu? Dimana Wisnu sekarang, Do?" tanya Nayla begitu penasaran dan khawatir.Tiba-t
Saat Nayla akan masuk ke dalam rumah, kedua matanya melihat sosok sinden merah yang berdiri di depan pintu rumah Tante Dewi. Sosoknya begitu mengerikan dengan wajah pucat penuh luka."Oh tidak! Kenapa dia muncul lagi?" Nayla seketika menutup wajahnya melihat sosok mengerikan itu."Nay?" Angel menepuk bahu Nayla pelan."Ada sinden merah itu, Ngel," ujar Nayla yang masih menutupi wajahnya.Angel menoleh ke kakan dan kiri. Namun tak ada siapa pun."Enggak ada siapa-siapa kok, Nay. Kamu coba lihat aja," kata Angel.Perlahan Nayla mulai membuka kedua tangannya dari wajah. Ia sedikit menyipitkan mata untuk melihat. Sosok sinden itu sudah tidak ada di depan pintu. Nayla mengedarkan pandangannya ke segela arah.Melihat raut wajah Nayla yang ketakutan membuat Angel bertanya pada temannya itu."Kamu kenapa sih, Nay? Dari kemaren kamu kayaknya sebut-sebut sinden merah." Angel tampak sedang mengingat kejadian kemarin saat ia da