Di sebuah pesantren yang baru berdiri beberapa tahun belakangan. Di antara hiruk pikuk santri yang membawa mushaf dan kitab dengan aksara tanpa kumis, tampak seorang pemuda gondrong sedang membersihkan taman. Ia terlihat fokus menata bunga-bunga anaeka jenis. Bentuk fisiknya tak terlalu tinggi, tetapi juga tidak rendah. Tumbuhan hias kini telah terpangkas rapi, bekas potongan daun telah dibawa ke tempat sampah. Pemuda dengan hidung mancung masih memindahkan beberapa anak bunga. Terlihat jelas ia begitu menikmati pekerjaannya, tak peduli meski pakaiannya telah basah oleh keringat.
Santri yang melewatinya menegur ramah. Sepertinya ia cukup dikenali di tempat ini. Meski secara penampilan ia harusnya tak berada di tempat ini, karena cara berpakaian yang sangat berbeda dengan tapipenghuni pesantren. Namun, mungkin dewan asatiz memiliki alasan. Alasan kenapa menerima pemuda gondrong dengan celana jeans selutut? Padahal di lingkungan pesantren semua berbusana rapi, disiplin dan tertata. Aturan ketat membatasi semuanya. Bayangan bahwa para pekerja, juru masak, dan tukang kebun wajib berbicara Bahasa Arab demi mendukung kemampuan para santri.
Ba'da asar adalah waktu di mana para santri bebas dari pelajaran. Sebagian dari mereka berolahraga di lapangan. Sebagian lainnya mandi, mencuci atau sekadar duduk-duduk bercengkrama sesama mereka. Biasanya beberapa menit sebelum magrib anak-anak itu akan berduyun-duyun menuju masjid. Memenuhi ruangan besar berdinding putih.
"Akhiy Abqary?" Pemuda berbusana rapi dengan kain dan Koko putih membulatkan matanya menatap pemuda gondrong. Wajah tampannya bersinar makin cerah.
"Hay, Kaif hal?" Wajah penuh keringat pemuda yang dipanggil akhiy tersenyum lebar.
Dua pemuda kini saling peluk erat. Tak peduli meski dua tangan tukang kebut penuh tanah dan pakaiannya bau keringat. Keduanya kini duduk bersama di taman. Tak lama langsung terlibat percakapan seru, tawa kecil menyelingi pembicaraan mereka.
Keakraban dua pemuda berbeda memancing perhatian para santri yang berada di sekitar mereka. Jika pemuda berbusana muslim adalah pimpinan tertinggi di pesantren. Ia alumni universitas yang ada di Cairo sana. Lulus dengan nilai mumtaz. Maka sang teman yang berpenampilan apa adanya mereka kenali sebagai tukang kebun.
Mungkin mereka teman lama? Atau guru mereka menerima pemuda gondrong karena ia berniat tobat. Atau mungkin juga ia seorang mualaf? Entahlah, yang jelas itu menambah kekaguman para santriwan dan santriwati pada mudir pesantren. Sosok pintar berwibawa yang tak pilih-pilih teman. Statusnya sebagai ustadz muda yang dihormati tak menghalanginya untuk bergaul dengan segala kalangan. Tidak peduli dengan penampilan luar manusia. Akhlak yang mendapat pujian dan mengundang kekaguman dari banyak pihak.
Ustadz muda itu bernama Ahmad Ammar Athaya pemilik nama yang indah. Jika Ahmad adalah nama yang terambil dari sosok manusia termulia, maka Ammar adalah salah satu sahabat utama yang juga berarti kuat imannya. Sedangkan Athaya bermakna hadiah atau karunia. Begitulah ustadz Ammar seperti karuni yang tak ternilai, kekuatan imannya, keelokan pribadinya tersebar mengharum. Konon banyak kiai besar dan pemimpin pesantren yang mendambanya menjadi menantu. Ia seperti bibit unggul untuk melanjutkan kelangsungan pesantrennya. Namun, ia telah memilih. Wanita beruntung itu kini tinggal di sini, bersamanya membesarkan pondok pesantren yang baru dirintis beberapa tahun terakhir. Istrinya adalah teman sesama pelajar Indonesia di negeri Piramida Mesir.
Lantunan Kalam Suci yang bergema megah dari masjid, menuntaskan percakapan yang sepertinya belum usai. Dua pemuda beranjak dari tempat duduknya, bersiap-siap.
* * *
Selepas zikir dan berdoa sosok berkoko putih naik ke atas mimbar. Suara bak lebah yang tadi memenuhi masjid kini hening. Semua mata tertuju pada pemuda yang membetulkan posisi microphon. Ia mengucap salam dengan suara berwibawa. Jawaban salam kompak menggema, seperti bisa meruntuhkan bangunan kokoh.
Lalu pria di atas mimbar mulai melantunkan puja-puji dan sholawat. Ia memiliki pemilihan kata yang serasih juga mendalam. Membuktikan jika ilmu linguistiknya memang mumpuni. Retorika dan gaya bahasa yang memikat ditambah lidahnya sangat fasih.
Ah, inikah alasannya kenapa banyak ustadz memiliki istri lebih dari satu? Jika ada pria sememesona ini, bagaimana bisa manusia biasa menahan diri? Tampan, muda, jenius, fasih, dan berakhlak baik. Paket yang lengkap. Jika lebih banyak generasi yang lahir darinya barangkali bumi yang kita tinggali akan lebih baik. Namun, tetap saja seperti gambar Al-Qur'an sendiri, poligami bukan pilihan mudah.
Di barisan paling belakang pada kerumunan santriwan. Tampak pemuda gondrong ikut duduk khusyuk. Ia mendengarkan dengan serius. Ia tak beranjak sampai solat isya selesai ditunaikan.
* * *
(Ini sudah dua hari. Dan kau tak menghubungiku juga.)
(Ish, benar-benar tidak berperasaan.)
(Kau di mana? Ayo bicara.)
(Hubungan kita baru juga tiga bulan. Kita bahkan belum pergi berdua, berdua saja tanpa dua keponakanmu. Kurasa inilah penyebabnya kita tak bisa saling memahami.)
Nada di HP terus berulang. Memaksa Rayyan meraih benda yang terletak di samping komputernya. Pesan dari Dinda. Deolinda Arabelle.
"Siapa yang memintaku tak menghubunginya?" lirih Rayyan. Ia kembali meletakkan benda tersebut.
(Kau tak berniat membalas pesanku? Baiklah aku akan datang ke sana.)
Rayyan ingin mengabaikannya pesan Dinda, tetapi jika ia melakukan itu maka gadis itu akan terus mengirim pesan. Tangan lembutnya kuasa saja mengetik ratusan pesan. Itulah kenapa pemuda itu tak betah berteman dengan orang kaya, mereka memiliki terlalu banyak waktu luang.
Rayyan mengetik balasan. (Apa orang yang sudah tidak memiliki hubungan harus terus saling mengabari?)
(Kau gila, bahkan saat berpacaran kau tak mengabari.) Dinda membalas secepat kilat. Sepertinya jari lentik itu sangat terlatih.
(Aneh sekali kau memacari pemuda gila.) Setelah terkirim Rayyan langsung matikan data di ponselnya.
Sepasang mata pemuda itu kembali ke layar komputer. Dengan tak menyesal ia memutuskan menolak tawaran pekerjaan dari Rusia. Email-nya dikirim.
Bagaimana ia bisa meninggalkan ibunya sendirian? Meski transportasi lancar jarak Indonesia dan Rusia tak sedekat itu. Meski dunia kini bagai tanpa jarak karena canggihnya teknologi. Tetap saja, keberadaannya secara fisik berbeda dengan hanya wajah di layar. Ia ingin sangat terbangun melihat wanita lembut itu sedang mengenakan telekung putihnya. Mengurus tanaman di taman bersama, dan sekali-kali membantu sang ibu membuat masakan bersama. Ia ingin kapan pun ia mau bisa mendatangi wanita yang mulai menua itu. Karena tak ada yang tahu berapa lama lagi waktu yang mereka punya untuk terus bersama.
Mengenai hobinya, ia tentu saja tetap bisa membuat software tanpa terikat dengan perusahaan. Meningkatkan skill kombinasi akurasi dan kecepatan, membangun branding diri yang lebih kuat. Lalu semoga ada kesempatan untuk memasuki rangking di platform Hacker rank.
Pagi masih muda saat Rayyan telah berkutat di depan layar komputer, ia telah duduk di sana seusai subuh tadi. Suara salam terdengar kencang dari ruang depan."Nak, temanmu datang," panggil bunya dari luar kamar.Pasti gadis itu, lirih pemuda bermata tajam. Ia segera beranjak dari kursinya, melangkah ke pintu utama."Mau masuk?" Rayyan menyapa gadis cantik di depan pintu rumahnya.Bukannya menjawab wanita muda berkulit putih bersih mendorong pemuda di depan pintu. Ia langsung mengambil tempat duduk di kursi tamu. Mulutnya cemberut membuat mata sipitnya makin kecil.Pemuda gondrong ikut duduk di kursi seberangnya. Memandang sekilas pada wanita berbusana warna lembut"Kau tak benar-benar mencintaiku, 'kan? Lihatlah kau tak terlihat berusaha mempertahankan hubungan ini. Yang benar saja. Kau tak terlihat seperti pria. Mengapa tak berbuat hal keren." Gadis itu bicara dengan wajah menyedihkan.Rayyan menuang minuman di atas meja, lalu mengan
Rayyan yang sedang memangku 'Affiyah terus menatap layar HP-nya. Panggilan pada kakak iparnya belum juga tersambung. Kecemasan susah disembunyikan dari wajah itu. Meski harusnya sebagai pria ia lebih tenang, agar wanita paruh baya di sampingnya berhenti mengalirkan air mata. Namun, keadaan sang keponakan membuatnya lupa caranya bersikap tenang.Pekerjaan membuat mama dari dua keponakan kembarnya sering keluar kota. Sialnya kakak ipar Rayyan tersebut sedang pergi ketika penyakit bocah laki-laki itu kambuh. Sebenarnya andai bisa Rayyan ingin kakaknya itu punya waktu lebih banyak untuk keponakannya. Namun, tentu saja bukan kuasanya mengatur kehidupan orang.(Kak, 'Affa kambuh lagi, Tapi jangan cemas aku dan ibu sudah membawannya ke Rumah Sakit. Jika keadaannya membaik kemungkinan kami gak nginap.) Rayyan mengirim pesan. Sebisa mungkin ia berusaha tak membuat wanita itu terlalu cemas. Sudah sulit baginya menjadi ibu tunggal di usia muda. Apalagi sebagai ibu yang
"Hey, tunggu." Dinda meraih ujung kaus Rayyan bagian bawah. Karena tangan pemuda itu tak ada yang kosong. Baik kiri atau kanan sedang menggendong keponakan kembarnya.Pemuda gondrong berhenti, tetapi tak menoleh."Maaf," pinta Dinda.Tak ada jawaban."Yan, maaf." Gadis itu kembali berucap lirih.Bu Rina segera mengambi alih dua cucunya yang diturunkan dari gendongan Rayyan. Ia memapah 'Affiyah dan 'Affa mendahului putranya. Membiarkan dua anak manusia menyelesaikan urusannya.Rayyan mengusap wajah dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik. "Ok, sudah.""Sudah?" Dinda mengerutkan dahi tak paham. Ia melepaskan tangannya dari ujung kaus Rayyan."Sudah kumaafkan.""Sekarang bagaimana?" Gadis itu memeriksa reaksi pemuda gondrong."Sekarang pulanglah." Rayyan bicara pelan."Kau sungguh memaafkanku?" Dinda tak yakin melihat wajah tak bersahabat pria di depannya."Aku memaafkanmu, tapi semuanya tak lagi sama
"Kenapa tak beritahu aku tentang ini, Chiko?" Gadis menjulang menendang pintu kamar penginapan yang berada di samping kamarnya."Apa?" Terdengar suara malas dari dalam sana."Kenapa tak beritahu jika tempat ini sering mati lampu dan kehilangan sinyal," rutuk Karla."Apa masalahnya? Kita sedang menikmati hidup sekarang." Kini pria tampan bertubuh atletis membuka pintu. Kaus tipis yang menjiplak tubuhnya terlihat kusut, pasti ia baru bangun dari tidur."Yang benar saja. Aku harus mengirim beberapa email penting. Lagian kau tahu ini musim pajak." Karla kesal, bukankah sang teman tahu betul alur pekerjaannya sebagai seorang akuntan?Bagaimana bisa ia berada di tempat tanpa jaringan lancar. Meski baru menggeluti dunia kerja, Karla adalah wanita profesional. Tidak mungkin baginya menunda mengirimkan salinan akhir resmi beserta fakturnya, setelah kliennya menyetujui draf catatan akuntansi.Padahal ia telah begadang semalaman untuk menyelesaik
Jalanan masih sepi, baru jam tujuh kurang. Rayyan memacu kendaraan roda empat menuju kediaman 'Affiyah dan 'Affa. Semalam kakak iparnya memberitahu, bahwa ia harus berangkat pagi-pagi sekali, jadi tak akan sempat mengantarkan dua bocah ke play group.Untunglah Rayyan memiliki pekerjaan yang tidak mengikat, hingga saat kakak ipar dan ibunya ke kantor dan ke sekolah ia selalu ada untuk dua bocah itu. Paling biasanya pagi-pagi ia berkeliling sebentar di perkebunan. Karena ia tak bisa terus memelototi layar komputer.Ketika pemuda berambut sebahu tiba, dua bocah sudah menunggu di teras. Jadi mereka langsung berangkat setelah berpamitan dengan mamanya. Jarak sekolah dua bocah tak terlalu jauh, mungkin sekitar dua puluh lima menit.Setelah Rayyan mengantar 'Affa dan 'Affiyah pada guru di Play Group, pemuda itu bersiap kembali ke mobil. Namun tiba-tiba saja bocah leleki mengejarnya."Bah, bekal Abang ketinggalan di rumah," rengek bocah tiga tah
Rayyan yang mendapat kejutan dari sang teman tak habis pikir. Apa yang ingin Ammar sahabatnya tunjukkan dengan para tamu? Bukankah ini bisa saja memperburuk citra pondok dengan membawanya ke depan. Membiarkan pria berpenampilan berantakan mewakilinya. Namun, mendapati mata-mata yang mengarah padanya, Rayyan tak punya pilihan, selain mengikuti permainan sahabatnya. Pemuda gondrong itu menyugar rambut tebalnya sebentar sebelum berdiri.Ia kini berdiri dan berjalan melewati barisan santri, para ustadz juga empat orang tamu. Tamu yang kelihatannya dari kalangan atas. Bukan, ia bukan grogi, tidak sama sekali. Bicara di depan umum bukan masalah bagi Rayyan. Ia bahkan sudah terbiasa dengan aktifitas mohadhoroh zaman nyantri dulu. Hanya ia heran, kenapa begitu tiba-tiba Ammar berbuat di luar kesepakatan? Bukankah sejak awal mereka telah memilih tempatnya masing-masing. Urusannya hanya di bagian belakang layar. Selebihnya adalah tugas Ammar.Sampai di depan audiens Rayyan menoleh
Sebelumnya saat pikirannya tak tenang, Rayyan cukup pergi ke pesantren atau bermalam di kebun buah duriannya. Namun, setelah mencoba banyak hal, pikiran tentang pria yang bersama kakak iparnya terus mengganggunya. Lebih menyedot perhatiannya dibandingkan dengan masalah Dinda. Bukan saja karena ia bingung cara membagi hal ini pada sang ibu, lebih dari itu ia memikirkan masa depan dua keponakan yang sangat ia sayangi.Bagaimana jika pria itu tak benar-benar bisa menerima 'Affa dan 'Affiyah? Ah, Rayyan mengeluh resah. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi kekediaman Aldo, mungkin dengan bicara pada sang teman masalahnya menjadi sedikit terangkat. Tangan kiri pemuda berambut sebahu meraih kunci mobil di samping komputer, lalu ia berlalu ke luar rumah.."Apa ini bisa bekerja?" Rayyan menatap pada flashdisk yang diberikan Aldo."Coba saja, masalah perempuan sudah pas kau berkonsultasi denganku." Pemuda tiga puluh tahun, tetapi masih membujang itu bicara ban
"Tentang pria 'andai ia belum menikah'. Kau kecewa ia tak sesempurna harapanmu?" Chiko menertawakan Karla."Aku tak pernah berharap apa-apa padanya. Bagaimana aku bisa berharap pada seseorang yang sama sekali tak dikenal? Bahkan seseorang yang kukenali bertahun-tahun saja, tak bisa kuharapkan.""Memang apa yang kau harap dariku?" Chiko menatap Karla dengan memiringkan tubuhnya."Aku berharap kau berhenti bicara tentang orang asing. Bagaimana kalau kau membuatnya cegukan?" Karla melotot kesal pada sang teman."Baguslah jika ia keselek sekalian, pemain hati wanita layak mendapatkan lebih dari itu." Chiko memasang wajah sok pembela kaum perempuan."Ya Ampun, kalian tak punya bahasan selain mengenai si 'andai ia belum menikah'?" Lala menghempaskan tubuhnya di kursi samping Karla. Plastik di tangannya yang berisi banyak camilan diletakkan begitu saja di atas meja.Chiko langsung meraih plastik tersebut, mengaduk-aduk isinya. "Minuman ini, ini, dan ini,