“Kenapa kamu bisa lalai dan membuat Janu meninggal, Emir?” Sonya memperbaiki pertanyaannya yang tadi terlalu frontal.
“Sonya, aku sudah bilang sama kamu berkali-kali aku ke kamar mandi dan aku nggak tahu kalau Janu jalan balik lagi ke kolam renang,” bisik Emir menahan amarahnya akibat pertanyaan awal Sonya sembari menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangannya merutuki kebodohannya karena melakukan sebuah kesalahan fatal saat menjaga anak semata wayangnya yang mengakibatkan anaknya itu meninggal akibat tercebur ke kolam renang.
“Kamu ngapain di kamar mandi? Kamu ngapain sampai selama itu di kamar mandi, setengah jam Janu berjuang di kolam, Emir?!” sentak Sonya sembari menunjuk kolam renang di samping rumahnya dengan telunjuk yang bergetar akibat menahan amarah dan kesedihan.
“Aku sudah bilang kalau aku di kamar mandi, Sonya?!” teriak Emir dengan nada suara yang sama-sama tinggi, dia benar-benar tidak mau disalahkan atas kematian Janu. Ego lelakinya memaksa dirinya untuk tidak mengakui kelalaiannya dalam menjaga Janu.
Sonya dengan cepat mencengkeram kerah baju Emir dan mengentaknya dengan kasar, “Sialan kamu, Emir?! Jawab aku, kamu apa di kamar mandi?!”
Amarah Emir meledak saat merasakan cengkeraman tangan Sonya di kerahnya, “Sonya, kamu budek atau apa sudah aku jawab dari tadi kalau aku di kamar mandi?!”
“Ya, kamu apa?! Jarak kamar mandi dan kolam renang itu nggak jauh, kalau ada teriakkan atau apa pun juga pasti kamu bisa denger, Emir?!” sentak Sonya sembari menatap Emir dengan tatapan tajam, andai tatapan bisa membunuh mungkin saat ini Emir hanya tinggal nama saja.
“Aku di kamar mandi, Sonya. Kamu mau tanya sampai kapan pun jawaban aku sama, aku di kamar mandi?!” Emir mencengkeram keda tangan Sonya lebih erat lagi hingga membuat istrinya itu kesakitan.
Sonya merasakan rasa sakit di lengannya namun, Sonya menolak untuk melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Emir. Dia butuh jawaban dari Emir apa yang sebenarnya Emir lakukan di kamar mandi sampai-sampai dia tidak sadar kalau anaknya tenggelam di kolam renang yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kamar mandi.
“Ya, kamu ngapain?! Ini Janu meninggal loh, Janu anak kita. Dia meninggal gara-gara kamu nggak becus ngejagain dia. Anak kita meninggal, Emir?!” teriak Sonya sekeras mungkin hingga seluruh uratnya terlihat di kulitnya yang putih.
“Hai ... kok jadi aku yang nggak becus? Kamu ke mana saat kejadian?” tanya Emir yang tidak mau di salahkan sama sekali atas kejadian yang membuat Janu meninggal sebulan yang lalu.
“Aku ... kamu tanya aku ke mana?” tanya Sonya sembari melepaskan cengkeramannya dan menunjuk dadanya dengan tubuh yang bergetar hebat karena menahan amarah.
“Iya, kamu ke mana? Kamu ibunya harusnya kamu yang jaga dia,” sentak Emir sembari membalas tatapan Sonya.
“Aku kerja, Emir?! Aku kerja di rumah sakit banting tulang sampai gila karena kamu yang harusnya suami aku dan yang harusnya kerja banting tulang buat keluarga ini malah nggak becus?!” teriak Sonya yang kesal bercampur marah dengan perkataan Emir.
“Aku kerja, sialan?! Maksud kamu apa aku nggak kerja?” seru Emir sembari menunjuk Sonya dengan membulatkan matanya, harga dirinya tergerus saat mendengar untaian kalimat Sonya.
“Hahaha ... kamu kerja? Mana hasilnya? Sudah hampir dua tahun, dengar Emir dua tahun kamu nggak nafkahi aku?! Kamu selalu meminjam uang untuk modal ke aku untuk membiayai semua proyek kamu. Tapi, mana hasilnya?! Mana?!” teriak Sonya sembari mendorong bahu Emir sekeras mungkin hingga membuat suaminya itu terdorong ke belakang dan menabrak dinding.
“Aku capek?! Aku lelah sama kamu, Emir?!” teriak Sonya sembari meremas rambutnya dengan kedua tangannya frustrasi.
“Kamu sangka aku nggak capek sama perempuan kaya kamu, sialan?!” teriak Emir di depan wajah Sonya membuat Sonya terkesiap dan menahan tangisnya.
“Ya udah sekarang kamu mau apa?! Mau cerai? Ayo ... cerai aku udah nggak sanggup sama kamu, sumpah yang bikin aku tahan itu Janu, sekarang Janu nggak ada aku udah nggak mau lagi sama kamu?! Aku muak?!” teriak Sonya sembari mendorong tubuh Emir berkali-kali menumpahkan segala amarahnya yang sudah Sonya pendam bertahun-tahun.
“Aku mau ceraiin kamu, dengan senang hati aku ceraiin wanita sialan nggak tahu diuntung kaya kamu, Sonya!” balas Emir sembari mencengkeram wajah Sonya yang pas di tangannya.
“Aku nggak tahu diuntung? Kamu yang nggak tahu diuntung?!”
“Hahaha ... kamu lupa, hah? Kamu lupa siapa yang biayain kamu sekolah spesialis anestesi?” tanya Emir sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Sonya dan menatapnya dengan tatapan yang membuat bulu kuduk Sonya berdiri saking seramnya. “Almarhum Bapakku?! Almarhum Bapakku, Sialan!?”
“Lepas?!” sentak Sonya sembari mendorong tubuh Emir sekeras mungkin hingga membentur dinding. “Lepasin aku, Mir.”
“Kamu mau cerai ayok, tapi, kamu bilang ke ibu aku. Bilang ke dia kamu mau cerai sama aku, bilang?!” tantang Emir yang tahu kalau Sonya sangat menyayangi ibunya seperti orang tuanya sendiri, Emir tahu kalau ibunya adalah orang yang membuat Sonya bertahan di rumah tangga bobrok ini selain Janu.
Emir membutuhkan Sonya, dia membutuhkan Sonya sebagai trophy wife miliknya. Seorang istri cantik, pintar, bisa di banggakan ke semua orang dan yang terpenting dia membutuhkan Sonya untuk mendanai semua proyek perusahaannya walaupun dia sudah muak dengan sikap Sonya yang dingin juga selalu menyalahkan dirinya atas kematian Janu, yang sejujurnya itu memang kesalahan dirinya namun, sampai kapan pun Emir tidak akan mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi saat itu.
“Bilang sama ibu?!” Emir menyusupkan tangannya ke sela-sela rambut Sonya dan menariknya ke belakang membuat wajah Sonya menengadah dan melihat Emir.
“Sakit, Emir?!” teriak Sonya yang kembali menantang Emir dengan tatapannya, Sonya berjuang menahan air matanya. Pantang baginya untuk menangis dan mengiba di hadapan suami berengseknya ini.
“Ayo ... bilang sama ibu, biar jantung ibu kumat dan masuk rumah sakit. Kamu tahu sendiri kan, apa yang terjadi kalau ibu masuk rumah sakit lagi akibat jantungnya? Ibu akan meninggal, kamu mau, hah?!” teriak Emir sembari menatap Sonya.
Sonya terdiam mendengar perkataan Emir, Sonya tidak akan sanggup melihat wanita yang sudah sangat menyayanginya itu harus bersedih dan masuk ke dalam rumah sakit akibat serangan jantung akibat mendengar kabar rumah tangganya ini. Sonya dan Emir memang menutupi kebobrokan rumah tangganya ini dari semua orang demi nama baik keluarga Emir yang mantan pejabat pemerintahan dulunya.
Almarhum ayah Emir adalah mantan anggota DPR yang sudah meninggal empat tahun yang lalu, dulu Emir bisa berfoya-foya dan mendapatkan uang dengan mudah karena dirinya selalu dimudahkan mendapatkan proyek negara berkat bantuan ayahnya, namun, semenjak ayahnya meninggal Emir sama sekali tidak bisa mendapatkan semuanya itu lagi dan mulai bergantung pada Sonya istrinya yang seorang Dokter anestesi terkenal, berprestasi dan bekerja di rumah sakit terkenal di Jakarta.
“Kamu nggak mungkin bisa nyakitin ibu, kan?” tanya Emir yang merasa sudah mendapatkan kartu as Sonya, dengan penuh kemenangan Emir melepaskan cengkeraman rambut Sonya dan mendorongnya hingga terjatuh di lantai.
“Kurang ajar kamu, Emir?!” bisik Sonya yang merasa kalah.
“Aku memang kurang ajar, tapi, aku ini suami kamu dan kamu nggak bisa sangkal itu semua?!” teriak Emir sembari berjalan ke arah pintu keluar dan membukannya.
“Mau ke mana kamu?” tanya Sonya.
Emir menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya dan menatap Sonya dengan tatapan memuakkan, “Bukan urusan kamu.”
“Emir mau ke mana kamu?!” tanya Sonya sembari berdiri.
“Bukan urusan kamu?!” sentak Emir.
“Jangan bilang kamu mau ke tempat lonte sialan itu?!” teriak Sonya.
Emir tersenyum dan berkata pelan sebelum menutup pintu kamar mereka, “Tentu, Sayang, tentu aku bakal ke tempat lonte-lonte itu. Mereka tidak cerewet kaya kamu?!”
Sonya melemparkan tatapan tajam pada Emir. Meraih vas bunga yang ada di dekatnya dan melemparkan ke arah Emir dengan geram. Sedetik kemudian vas itu hancur menghantam daun pintu yang ditutup Emir tepat waktu. Suara tawa Emir di luar terdengar menjauhi pintu.
***
Sonya mengambil botol air dari kulkas, lalu meminumnya hingga tandas. Berharap air itu bisa mencairkan kebekuan pikirannya karena ulah suami dan beban pekerjaan. Bayangan sosok Janu, membawa langkah kaki Sonya menuju kamar putra semata wayangnya. Janu yang didapatkannya dengan susah payah melalui proses bayi tabung, harus pergi meninggalkannya secepat itu. ia bahkan belum sempat menghabiskan banyak waktu bersama Janu karena kesibukannya di rumah sakit. Pukul sembilan malam dan itu hari kedua Emir meninggalkan rumah setelah pernikahan mereka. Langkahnya gontai menuju lemari menatapi rak demi rak di mana pakaian Janu berada. Air matanya keluar tak henti sejak tadi. Hatinya terasa sangat kosong seakan hidup yang dijalaninya sekarang pun tak ada gunanya. Sepasang pakaian rumah yang paling sering dikenakan Janu, tenggelam di tangannya. “Nak ... maafin, Mamah,” isak Sonya sembari berbaring di kasur milik Janu. Sonya meringkuk di ranjang anaknya itu berusaha untuk m
Air hangat mengguyur kepalanya dengan deras, suara gemercik air terdengar hampa di kuping Sonya, sehampa kehidupannya yang porak-poranda. Sonya menutup mata dan meremas spons yang sudah bercampur sabun, perlahan ia mengusap bagian tubuhnya yang tadi dikecupi Emir dengan keras, berusaha menghilangkan setiap jejak yang Emir torehkan di tubuhnya. “Mama ... jangan pulang lama, ya. Bantu aku susun puzzle. Sama papa nggak asyik.” Entah dari mana tiba-tiba saja suara Janu masuk ke dalam kepala Sonya, mengingatkannya pada kenangan manis antara dirinya dan Janu. “Ma ... Janu sayang Mama nggak banyak. Janu bisa sayang yang banyak kalau Mama pulang cepet dan peluk Janu sambil tidur, Janu kangen dipeluk Mama.” Sonya kembali menangis saat mengingat apa yang dikatakan oleh Janu, sebuah permintaan kecil yang sangat diinginkan oleh Janu yang belum bisa Sonya penuhi karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Andai waktu bisa diputar kembali, Sonya pasti
"Kamu udah enakan, Sonya?" tanya Lidya sembari menyodorkan teh hangat ke tangan Sonya yang bergetar. "Aku mau mati, Lid ... aku nggak kuat, aku nggak sanggup," bisik Sonya dengan tatapan hampa dan kosong menatap dinding putih di hadapannya. Entah bagaimana caranya Sonya bisa menjalankan mobilnya dan selamat sampi di rumah Lidya dalam keadaan histeris dan menangis di sepanjang jalan. Mungkin semesta masih menginginkan Sonya hidup dan menyiksanya lebih berat lagi, Sonya tidak tahu padahal Sonya sangat menginginkan dirinya kecelakaan dan mati, dia benar-benar sudah lelah dengan hidupnya ini. "Sonya ... jangan ngomong gitu," bisik Lidya sembari merangkul sahabatnya itu dan menahan tangisnya, hatinya terenyuh melihat penderitaan Sonya yang disia-siakan suaminya. "Aku udah nggak sanggup, Lidya, ke mana suami aku yang dulu sayang dan cinta sama aku? Ke mana laki-laki yang selalu menghargai aku dan mendukung aku meraih semua mimpi aku? Ke mana dia?" tanya Son
"Kenapa aku nggak mati aja, sih, Bu?" tanya Sonya dengan tatapan kosong. "Nak, nggak boleh ngomong gitu," Parwati yang sedang menyuapi Sonya menahan tangisnya saat mendengar perkataan Sonya, hatinya benar-benar sakit saat mendengar perkataan menantu kesayangannya itu. "Kadang aku ngerasa kalau semua kesakitan di hidupku, nggak ada habisnya," ungkap Sonya pelan. "Sonya Tuhan tidak akan mungkin memberikan cobaan pada umatnya bila umatnya tidak sanggup melaluinya, Sonya," bisik Parwati mencoba menyemangati Sonya sembari menyuapkan makan siang ke mulut Sonya. Dengan malas Sonya membuka mulutnya dan berjuang mendorong makanan yang mertuanya itu suapkan. "Tapi, Sonya udah nggak sanggup, Bu. Sonya nggak sanggup, Sonya mau mati aja, Bu," isak Sonya. "Sonya ... Sonya maafkan Ibu, tapi, Ibu harus menandatangani surat persetujuan tindakan medisnya, mereka bilang kamu harus secepatnya dioperasi kalau tidak nyawa kamu tidak tertolong," isak Parwati sembari
"Gimana?" tanya Sonya santai sama sekali tidak terpancing emosinya sama sekali."Maksudnya apa? Kenapa kamu tiba-tiba menjalani operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku!? Kamu gila atau apa? Kamu nggak mau punya anak lagi, hah!?" tanya Emir yang marah karena mengetahui kalau istrinya saat ini sudah tidak memiliki rahim lagi dan tidak mungkin bagi mereka berdua mendapatkan kembali anak. Padahal, Emir sangat menginginkan Sonya untuk hamil kembali."Kamu dari mana aja?" Sonya sama sekali tidak menjawab pertanyaan Emir.Emir menatap manik mata Sonya tidak percaya karena istrinya ini malah bertanya balik dan bukan menjawab pertanyaannya sama sekali. Dengan kesal Emir menutup pintu kamar rumah sakit, "Sonya, aku tanya sama kamu. Kenapa kamu melakukan prosedur operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku?"
1 tahun kemudian ...."Sonya udah," bisik Lidya yang kaget melihat Sonya mencabik-cabik tisu seperti orang kurang waras."Kenapa ibu maksa bangat bikin acara kaya gini, sih?" tanya Sonya semaput karena Parwati tiba-tiba meminta dirinya untuk mengadakan acara ulang tahun perkawinan dirinya dengan Emir."Ya ... mungkin dia ingin liat kamu sama Emir bahagia?" canda Lidya sembari mengambil gumpalan tisu yang sudah Sonya cabik-cabik."Wow ... bahagia banget hidup aku sama Emir, saking bahagianya aku senang banget dia nggak pernah pulang ke rumah," jawab Sonya sembari membawa gelas berisikan champagne dan menegaknya hingga habis."Dia beneran nggak pulang?" tanya Lidya yang mulai khawatir dengan kehidupan pernikahan Sonya yang benar-
15 menit sebelumnya ...."Kamu kenapa?" tanya Miska bingung saat melihat Emir yang menekuk wajahnya selama mereka berduaan di pojokkan rumah Sonya, bersembunyi dari para tamu undangan.Miska sudah tau status dirinya yang hanya dijadikan selingkuhan oleh Emir, Miska sama sekali tidak berkeberatan karena dia tahu kalau hubungan Emir dan Sonya sama sekali tidak bisa diselamatkan lagi tapi, mereka masih bersama demi kesehatan ibu kandung Emir."Kamu kenapa, Emir? Kamu sakit?" tanya Miska sembari menyapukan jemarinya di rambut Emir yang tebal.Emir yang merasakan sentuhan di kepalanya langsung menepis tangan Miska, dia sedang tidak mood untuk disentuh oleh selingkuhannya ini. Hatinya benar-benar panas saat mendengar perkataan Sonya yang mengatakan kalau selama ini tidak pernah terpuaskan olehnya. Ingin rasanya Emir sobek mulut Sonya saat mendengar hal tersebut, apakah dirinya semenyedihkan itu sampai tidak bisa membuat Sonya orgasme?"Mir, kamu kenapa?"
"Aw ... sakit, Bu Sonya."Sonya dengan sekuat tenaganya menarik rambut Miska dan menyeretnya untuk beranjak dari ranjangnya sambil sesekali tangannya menampar dan mencakar bagian mana pun dari tubuh Miska yang bisa Sonya kenai."Wanita kurang ajar!? Nggak cukup kamu bercinta di kantor suami aku, hah!? Sekarang kamu bercinta di kamar aku! Perempuan nggak punya otak!?" maki Sonya sembari terus memukuli Miska dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menjambak rambut Miska sekeras mungkin hingga membuat tubuh wanita itu terseret kemudian entah tenaga dari mana Sonya mampu membanting tubuh Miska ke lantai dengan keras."Sonya! Apa-apaan kamu!? Lepasi Miska, Sonya!" sentak Emir yang kaget dengan betapa besar tenaga istrinya itu, tubuh Sonya yang kecil ternyata mampu menyeret Miska hingga terpelanting ke lantai."Bu Sonya, lepas, Miska mohon lepas, sakit, Bu," pinta Miska sembari mencengkeram tangan Sonya berusaha untuk melepaskannya.