ログインPintu ruang utama terbuka, ketiga sesepuh itu keluar satu per satu dari dalam.Ahli farmakologi, Farzin!Ahli ortopedi, Nadiem!Raja Akupunktur, Labh!Saat ini, raut wajah ketiga Dokter itu tampak serius.Begitu melihat ekspresi mereka, hati Petro langsung berdebar keras. Firasat buruk segera menyergap. Dia melangkah cepat ke depan dan bertanya, "Para dokter sekalian, ayahku ....""Profesor Petro, kondisi ayahmu nggak optimis," kata Farzin.Wajah Petro seketika memucat.Arie segera menyusul bertanya, "Dokter-dokter sekalian, sebenarnya penyakit apa yang diderita ayahku?""Penyakit Pak Faiz ini cukup aneh. Terus terang saja, sampai sekarang kami bertiga belum menemukan penyebab pastinya," jawab Nadiem.Labh menambahkan, "Kami bertiga sudah dianggap dokter tua yang berpengalaman. Tapi, penyakit Pak Faiz ini ... ah ...." Dia menghela napas panjang.Labh tidak melanjutkan ucapannya, karena dia yakin semua orang yang hadir sudah memahami maksudnya."Dokter sekalian, apa pun yang terjadi, ka
"Baik." Ewan mengangguk pelan, lalu berkata kepada Aruna, "Bu, tunggu aku sebentar. Aku mau bicara sebentar dengan Abyaz."Keduanya berjalan ke samping."Urusan yang aku titipkan padamu, gimana hasilnya?" tanya Ewan."Semuanya sudah beres," jawab Abyaz. "Data tentang Keluarga Kunantara akan segera kukirim ke ponsel Bos.""Terima kasih atas kerja kerasmu." Ewan menepuk bahu Abyaz.Abyaz mengingatkan, "Bos, Soharia bukan wilayah kekuasaan Organisasi Draken. Kamu harus berhati-hati bertindak di sana.""Nggak masalah."Ewan tersenyum tipis.Bahkan ibu kota yang penuh bahaya saja berani dia terobos, apalagi hanya Soharia yang kecil ini. Tidak ada yang perlu ditakutkan.....Sementara itu, di Soharia. Kediaman Keluarga Kunantara.Di luar ruang utama sebuah rumah tradisional, berdiri banyak orang. Wajah mereka semua dipenuhi kecemasan. Di barisan terdepan berdiri putra-putra Faiz, yaitu Petro dan Arie."Kak, barusan kamu sudah menelepon Aruna. Apa katanya? Dia akan pulang?" tanya Arie.Petro
Begitu mendengar perkataan Petro, hati Aruna langsung terasa tercekik, wajahnya seketika pucat pasi. Sebagai seorang anak, tidak ada seorang pun yang masih bisa merasa tenang ketika mendengar kabar bahwa ayahnya berada di ambang kematian.Apalagi, Aruna sudah meninggalkan rumah selama lebih dari 20 tahun. Kabar ini bagaikan petir yang menyambar tepat di atas kepalanya. Namun dalam sekejap, ketika teringat kembali sikap dingin dan kejam ayahnya, amarah pun tak bisa dibendung."Dua puluh tahun lalu saat dia mengusirku dari rumah, sejak saat itu aku sudah nggak ada hubungan apa pun lagi dengannya," kata Aruna dengan nada tegar yang dipaksakan.Petro menghela napas panjang, lalu berkata, "Aruna, Ayah melakukan itu dulu karena terlalu marah.""Dia adalah seorang cendekiawan besar yang namanya dikenal luas, menjunjung tinggi ajaran agama, serta nilai moral dan kehormatan. Sementara kamu hamil di luar nikah dan bersikeras nggak mau mengatakan siapa pria itu. Karena itulah, dalam kemarahannya,
Ewan berkata kepada musang obat itu, "Ini ibuku. Mulai sekarang kamu harus menuruti perkataannya, mengerti?"Musang obat itu menatap Aruna, lalu mengangguk dengan kepala kecilnya. Setelah itu dia berguling beberapa kali di telapak tangan Aruna, lalu kembali tertidur."Lucu sekali," kata Aruna dengan wajah penuh kegembiraan."Bu, bagaimana kondisi kesehatan Ibu belakangan ini?" tanya Ewan dengan nada khawatir.Selama beberapa waktu terakhir, dia sibuk mengurus berbagai hal dan jarang memperhatikan kondisi tubuh Aruna.Aruna menjawab, "Tubuhku cukup baik. Hanya saja akhir-akhir ini leherku agak sering terasa sakit.""Biar aku periksa."Ewan berdiri di belakang Aruna. Kedua tangannya memegang leher Aruna dan menekannya perlahan beberapa kali. Dia langsung mengetahui penyebabnya."Bu, tulang leher Ibu mengalami sedikit pengapuran. Aku akan menusukkan dua jarum saja. Tenang, sebentar lagi akan membaik."Selesai berbicara, Ewan mengeluarkan jarum emas. Setelah melakukan sterilisasi dengan ce
Setelah Meilia dan Angela pergi, Aruna duduk di kursi dengan tatapan kosong. Jelas, surat pernyataan itu telah melukai hatinya dengan sangat dalam. Yang dipedulikan Aruna bukanlah harta Keluarga Chandra, melainkan sikap ayahnya terhadap dirinya.Sama seperti 20 tahun yang lalu, begitu kejam.Ewan menghibur, "Bu, jangan bersedih. Ada aku di sini menemani Ibu. Ke depannya, hidup kita hanya akan semakin baik.""Mm."Aruna mengangguk pelan, lalu melanjutkan, "Aku sempat berpikir, suatu hari nanti Ayah akan sadar, lalu mengizinkanku membawamu pulang. Sekarang sepertinya itu hanya angan-angan sepihakku saja.""Memang juga. Dia adalah seorang cendekiawan besar yang tersohor, murid-muridnya tersebar di mana-mana. Mana mungkin dia mengizinkan seorang putri yang hamil di luar nikah membawa anak haram pulang ke rumah, hehe ...."Aruna tersenyum pahit, hatinya penuh kekecewaan terhadap keputusan ayahnya.Ewan tidak tahu bagaimana harus menghiburnya, jadi dia mengganti topik pembicaraan. "Bu, ada s
Ewan bahkan menduga bahwa kakek dari Keluarga Kunantara kemungkinan besar sudah membuat surat wasiat, dan isi wasiat itu merugikan keluarga paman besar. Karena itulah Meilia dan Angela rela menempuh perjalanan jauh ke Papandaya.Perlukah dia memberitahukan ibunya bahwa kondisi Kakek sudah kritis? Ewan yakin, begitu kabar ini disampaikan kepada Aruna, Aruna pasti akan langsung membongkar tipu daya Meilia dan Angela.Ewan sempat ragu sejenak. Pada akhirnya, dia memilih diam. 'Sudahlah, lebih baik jangan biarkan Ibu mengetahui kebenarannya.''Ibu adalah orang yang berhati lembut. Meski lebih dari 20 tahun lalu sudah diusir dari rumah, ikatan darah tetap tidak bisa diputuskan. Kalau tahu bahwa hidup Kakek sudah tidak lama lagi, Ibu pasti akan bersedih.''Sekalian saja memanfaatkan kesempatan ini untuk memutus hubungan dengan Keluarga Kunantara sepenuhnya. Soal harta ... apakah aku kekurangan uang?'Ewan sama sekali tidak tertarik pada harta Keluarga Kunantara. Tanpa berlebihan, bagi Ewan s







