Share

Bab 13

Author: Rexa Pariaman
Di dalam mobil, Ewan berkata, "Ibu, maaf ya, hari ini sudah buat Ibu susah."

"Dasar anak bodoh, ngomong apa sih?" sahut Aruna. "Kamu mengalami begitu banyak masalah di rumah sakit, malah nggak kasih tahu apa-apa. Kalau Ibu nggak datang hari ini, kamu mau sembunyikan sampai kapan?"

"Aku cuma nggak mau Ibu khawatir."

"Dengar nasihat Ibu, jangan sok kuat. Kalau sudah nggak bisa bertahan di sana, pindah saja ke rumah sakit lain. Soal Mona, dia sudah berubah. Bukan gadis baik hati kayak dulu lagi. Putus juga bagus."

"Hmm."

"Pak Henry cari kamu pasti karena ada urusan penting. Ibu nggak mau ganggu, Ibu turun di depan saja."

Setelah mobil berhenti, Ewan membantu Aruna turun dari mobil.

"Pak Henry, terima kasih untuk hari ini," kata Aruna dengan sopan.

"Nggak usah sungkan, cuma bantuan kecil," jawab Henry dengan ramah.

Aruna lalu berpesan kepada Ewan, "Pulang lebih cepat ya. Ibu tunggu kamu pulang buat makan. Hari ini Ibu masak makanan favoritmu, tahu cabe garam."

"Oke."

Setelah mobil melaju lagi, Ewan merasa agak canggung dan berkata, "Maaf ya, Pak Henry. Ibuku agak cerewet."

"Justru bagus."

Bagus? Ewan menoleh ke arah Henry dengan heran, tetapi Henry tidak berkata apa-apa, hanya fokus menyetir.

Suasana di dalam mobil menjadi agak tegang. Beberapa kali Ewan ingin bicara, tetapi mengurungkan niatnya.

Setelah 20 menit, Henry akhirnya berkata, "Dokter Ewan, sepertinya kamu punya banyak pertanyaan ya?"

"Benar." Ewan tidak membantah.

"Tanya saja. Selama aku bisa jawab, aku akan jawab."

"Siapa itu Raja Naga?" tanya Ewan langsung. Pertanyaan ini sudah mengganjal di kepalanya sepanjang perjalanan.

"Raja Naga adalah penguasa dunia mafia di Papandaya! Dulu dia juga ahli bela diri Daftar Harimau!" Henry melanjutkan, "Sebenarnya, kamu pernah bertemu Raja Naga."

"Orang tua berpakaian tradisional yang bersamamu kemarin?" tanya Ewan.

"Benar."

Ternyata benar! Sejak kemarin Ewan memang sudah merasa orang tua itu bukan orang biasa. Sekarang terbukti, dugaannya tepat.

"Itu nama aslinya?" tanya Ewan lagi.

"Bukan, itu cuma julukan," jawab Henry. "Nama aslinya adalah Ryu, tapi di dunia persilatan semua memanggilnya Raja Naga."

Ternyata begitu.

"Boleh tanya satu hal lagi? Pak Henry, apa hubunganmu dengan Raja Naga?"

"Aku pengawal pribadinya."

"Wah, berarti kemampuan bela dirimu pasti hebat banget ya?"

Henry hanya tersenyum, tidak menjawab.

Mobil memasuki pusat kota, lalu menyusuri jalan gunung yang sepi. Ewan melihat ke luar jendela dan bertanya, "Kita mau ke Gunung Kabut?"

"Benar. Raja Naga tinggal di sana."

Ewan terkejut. Di pusat kota Papandaya, ada gunung setinggi 500 meter bernama Gunung Kabut. Pemandangannya indah dan udaranya segar. Awalnya tempat itu adalah taman umum, tetapi kemudian berkembang menjadi kawasan elite untuk para konglomerat dan penguasa.

Lima belas menit kemudian, Ewan melihat deretan vila bergaya oriental yang tersembunyi di antara pepohonan. Suasananya damai dan tenang.

Mobil terus naik ke puncak, lalu berhenti di depan sebuah vila bergaya kuno.

"Dokter Ewan, kita sudah sampai," kata Henry.

Ewan mengangguk dan turun. Di depan vila berdiri empat penjaga berbadan tegap dengan tatapan tajam. Aura keempat penjaga itu mirip dengan Henry, tetapi masih lebih lemah.

"Kak Henry!" sapa para penjaga dengan hormat saat melihat Henry.

"Ini Ewan, tamu Raja Naga," jelas Henry sambil menunjuk Ewan.

Para penjaga melirik Ewan, lalu segera memberi jalan.

"Dokter Ewan, silakan ikut aku," kata Henry yang memimpin jalan di depan.

Ewan melangkah masuk dan melihat halaman seluas beberapa ratus meter persegi. Ada gazebo, kolam ikan, gunung buatan dan berbagai bunga langka. Suasananya seperti vila untuk musim panas.

Di tengah halaman berdiri pohon paulownia yang besar, setidaknya berusia 100 tahun. Benar-benar rimbun dan kokoh.

Di bawah pohon itu ada meja batu. Di atas meja, kertas kaligrafi terbentang. Raja Naga sedang menulis kaligrafi.

"Kalau Raja Naga sedang menulis, beliau nggak suka diganggu. Jalannya pelan-pelan," bisik Henry.

Ewan mengangguk. Mereka mendekat. Ewan melirik dan membaca tulisan di atas kertas itu di dalam hati, 'Ingin menyelesaikan urusan dunia sang raja, meraih nama sepanjang hidup dan sesudah mati. Sayang usia sudah tua.'

Goresannya tajam, penuh tenaga. Namun, di balik tinta itu, terasa aura membunuh yang sangat kuat.

"Tulisannya bagus, sayangnya ...." Ewan tiba-tiba bersuara.

"Sayangnya apa?" tanya Raja Naga dengan tenang.

"Sayangnya, aura membunuh terlalu kuat."

Plak! Raja Naga meletakkan kuasnya, lalu mendongak menatap Ewan.

Seketika, Ewan merasa seperti sedang ditatap binatang buas. Bulu kuduknya langsung berdiri.

Henry buru-buru berkata, "Ewan, cepat minta maaf pada Raja Naga."

"Kamu paham kaligrafi juga?" tanya Raja Naga, tak menunggu permintaan maaf.

"Sedikit-sedikit."

Dalam warisan leluhur Keluarga Aditya, memang ada pelajaran kaligrafi.

"Kamu bilang aura membunuhku terlalu kuat, artinya menurutmu kondisi batinku saat menulis ini salah?" tanya Raja Naga lagi.

Ewan memberanikan diri untuk menjawab, "Penulis puisi ini adalah Juman, jenderal terkenal dari dinasti zaman dulu. Dia sangat ingin merebut kembali tanah air, tapi terus-menerus dihalangi oleh pihak lawan. Akhirnya, dia pensiun dan hidup menyendiri selama hampir 20 tahun."

"Puisi ini ditulisnya dalam masa frustrasi dan mengasingkan diri. Dia menyatakan keinginannya untuk berperang demi negara, tapi juga menggambarkan rasa frustrasi dan kemarahannya lewat kalimat terakhir. 'Sayang, usia sudah tua'."

"Sementara goresanmu kuat dan penuh aura membunuh, bertolak belakang dengan perasaan asli sang penulis. Tapi, aku juga merasakan semangat luar biasa dari tulisanmu, seperti puisi 'kuda tua masih ingin lari jauh, prajurit tua masih punya semangat membara'."

Raja Naga menatap Ewan dalam-dalam, tidak bicara, tetapi auranya tetap menekan. Ewan sangat tegang, keringat dingin membasahi dahinya.

Dua menit berlalu, Raja Naga tiba-tiba tertawa lepas. "Ewan, kamu hebat."

Mendengar itu, Ewan akhirnya bisa bernapas lega.

Kemudian, Raja Naga bertanya dengan ramah, "Ewan, aku suruh Henry menjemputmu. Aku nggak mengganggu pekerjaanmu, 'kan?"

"Nggak sama sekali."

"Bagus." Wajah Raja Naga kembali serius, tidak ada senyuman lagi. "Ewan, aku memanggilmu ke sini karena butuh bantuanmu."

"Apa itu?" tanya Ewan.

"Aku ingin kamu mengobatiku," kata Raja Naga. "Aku sudah hampir mati."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 218

    Ewan terkejut dan langsung mundur tiga meter ke belakang. Dia menyorotkan senter ke arah yang tadi mengejutkannya. Butuh waktu beberapa saat sebelum dia bisa melihat dengan jelas ... ternyata itu bukan wajah hantu, melainkan wajah manusia.Namun, wajah itu memang tampak menyeramkan.Kulit wajahnya kering keriput, penuh lipatan, dan kedua bola matanya menonjol keluar serta berwarna keputihan, mirip dengan mata ikan mati. Sepasang mata itu menatap Ewan tanpa berkedip, membuat bulu kuduknya berdiri.Ewan lalu menyinari bagian tubuh lainnya. Orang itu duduk di lantai, dengan rambut panjang tak terurus dan mengenakan pakaian yang compang-camping. Dari tubuhnya tercium bau busuk menyengat.Bau itu ... sama persis dengan bau yang berasal dari para korban racun kecubung. Artinya, orang ini juga telah terkena racun kecubung.Di benak Ewan, muncul berbagai pertanyaan.Siapa sebenarnya orang ini? Kenapa dia bisa berada di dalam kepala dewa? Bagaimana dia bisa keracunan kecubung?Ewan melangkah se

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 217

    "Kalian tetap di sini. Lubang itu dipenuhi energi negatif yang sangat pekat. Begitu terkena, akan sangat merepotkan," kata Ewan."Tapi kalau kamu masuk sendirian ....""Tenang saja, aku akan hati-hati."Begitu selesai bicara, Ewan melompat dengan ringan. Dalam sekejap, dia sudah berada di atas kepala dewa, tepat di bagian belakang tengkoraknya yang tingginya lebih dari 10 meter.Jessie melongo takjub. Dia berbisik, "Kapten, kemampuan fisik Pak Ewan hebat sekali, ya?"Ammar juga tampak kaget. Wajahnya penuh keterkejutan saat berkata, "Memang hebat. Kemampuan Ewan rasanya nggak kalah dari para petarung top di Daftar Harimau. Nggak heran kalau Raja Naga merekomendasikan dia kepada kita."Mata Jessie berkilat, lalu dia berkata, "Kapten, aku kepikiran satu hal ... tapi nggak tahu sebaiknya dikatakan atau nggak."Ammar langsung paham maksud Jessie dan menjawab, "Kamu ingin bilang ... merekrut Ewan ke dalam Aula Raja Maut?""Tepat sekali," ucap Jessie. "Pak Ewan bukan hanya jago bela diri, ta

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 216

    Ammar benar-benar terpaku. Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa di bawah bangunan tempat tinggal ini, akan tergali sebuah patung kepala dewa sebesar ini.Patung kepala dewa itu tingginya lebih dari 10 meter, jauh berbeda dengan patung-patung dewa yang biasa terlihat di vihara. Biasanya, patung dewa tampak teduh dan penuh welas asih. Namun, patung kepala dewa yang satu ini justru memiliki ekspresi yang sangat mengerikan.Terutama bagian matanya yang hitam legam dan hanya dengan satu tatapan saja, sudah bisa membuat seluruh tubuh merinding ketakutan."Astaga ... kenapa bisa ada patung kepala dewa di sini?" tanya Jessie tak percaya.Namun, Ewan sama sekali tidak menggubrisnya. Dia menatap patung kepala dewa itu lekat-lekat, lalu diam-diam membuka mata batinnya. Saat pandangan Ewan berubah, dia melihat bahwa bagian mata patung dewa itu diselimuti kabut hitam.Kabut itu sangat pekat, seakan-akan nyaris membentuk wujud padat dan terus melingkupi mata patung kepala dewa yang tak kunjung

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 215

    "Tadi aku juga memeriksa tanah di bawah tanaman anggur, warnanya hitam pekat," kata Ewan."Jadi, bisa dipastikan seratus persen tempat ini adalah wilayah aura negatif ekstrem yang sangat langka.""Karena tempat ini merupakan wilayah negatif ekstrem, suhu di sini sangat rendah, seperti lemari pendingin alami. Itulah sebabnya, setelah orang-orang itu meninggal, tubuh mereka tidak menunjukkan adanya livor mortis."Ewan menatap Ammar dan Jessie, lalu bertanya, "Setelah kalian pertama kali kembali dari tempat ini, apa kalian mengalami hal-hal aneh? Atau mungkin ada gejala yang dirasakan tubuh kalian?""Ada," jawab Ammar. "Hari itu setelah pulang dari sini, aku diare terus-menerus. Baru kemarin agak membaik."Jessie berkata, "Malam itu aku mimpi buruk semalaman. Rasanya benar-benar menakutkan.""Begitulah. Kalian terkena paparan energi negatif dari tempat ini, jadi wajar kalau tubuh kalian menunjukkan gejala yang tidak nyaman. Tapi untungnya, kalian nggak terlalu lama berada di sini, jadi pa

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 214

    Ewan berdiri di depan sebuah rumah warga, tubuhnya langsung diselimuti rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Bulu kuduknya berdiri dan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh."Waktu ke sini sebelumnya, kalian juga merasa tempat ini sedingin ini?" tanya Ewan."Ya, sebelumnya juga begitu," jawab Jessie. "Tempat ini memang lebih dingin dibanding area lainnya.""Lebih dingin sedikit? Ini jelas seperti lemari es. Ewan, kamu belum tahu ... bagian dalam rumah malah jauh lebih dingin," sahut Ammar."Oh, ya?"Ewan melangkah masuk ke dalam rumah.Begitu masuk, hawa dingin langsung menyerangnya. Rasanya benar-benar seperti berada di dalam ruang pembeku.Padahal, Papandaya adalah kota panas dan sekarang sedang musim panas dengan suhu mendekati 40 derajat. Namun, suhu di dalam rumah ini malah sekitar minus lima derajat.Sangat tidak normal.Diam-diam, Ewan mengerahkan tenaga dalam untuk melawan dingin. Sementara itu, Ammar dan Jessie sudah menggigil kedinginan."Entah kenapa tempat sialan ini b

  • Dokter Sakti Penguasa Dunia   Bab 213

    Ewan menunjuk ke arah jenazah-jenazah di tanah dan melanjutkan, "Selain itu, siapa pun yang terkena racun kecubung, menjelang ajalnya akan mengalami halusinasi hebat seakan melihat hal paling mengerikan yang pernah mereka hadapi dalam hidup.""Itulah sebabnya semua jenazah ini meninggal dalam keadaan mata membelalak dan wajah penuh ketakutan.""Aku pernah dengar, bunga kecubung sudah punah total sejak ratusan tahun yang lalu," lanjutnya. "Lalu bagaimana mungkin orang-orang ini bisa terpapar racunnya?"Ewan menambahkan, "Sejauh yang aku tahu ... sampai saat ini, racun kecubung belum ada penawarnya.""Apa?!" Ammar dan Jessie langsung menunjukkan ekspresi ngeri di wajah mereka."Awalnya, mayat-mayat ini disimpan di ruang pendingin dengan suhu yang sangat rendah, jadi racunnya tidak menyebar keluar. Tapi setelah dijemur di bawah sinar matahari, racun itu akhirnya aktif sepenuhnya. Itulah sebabnya tubuh mereka berubah menjadi hitam."Ewan berkata lagi, "Sekarang, setiap inci kulit dan pori-

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status