Share

Bab 2

Penulis: lovelypurple
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-29 15:00:00

Alya tak bisa tidur malam itu. Suara detak jam dinding di ruang tunggu rumah sakit terdengar lebih keras dari biasanya, seakan ikut menghitung waktu yang terus berjalan tanpa peduli pada kekacauan hatinya.

Ia melirik Risa yang masih tertidur pulas. Wajah adiknya begitu damai, kontras dengan kenyataan pahit yang menjerat mereka.

Tangannya kembali meraih kartu nama Arka. Tatapannya tajam, penuh pertimbangan. Lalu.... ia berdiri.

**

Pagi harinya, Arka sedang duduk di ruang tamu apartemennya yang mewah.

Rambutnya masih basah habis mandi dan ia tengah menyeruput kopi sambil membuka tablet, membaca berita-berita gosip yang memuat wajahnya bersama Karen.

Ponselnya berbunyi. Tertulis di layar panggilan dari nomor tak dikenal.

“Ya?” ucapnya datar.

“Halo. Ini Alya.” Suara itu pelan, tapi tegas.

Arka langsung duduk tegas, “Aku tahu kamu akan menelepon.”

“Jangan terlalu percaya diri,” sahut Alya. “Aku belum setuju. Aku hanya ingin tahu detailnya.”

Arka tersenyum. “Datang ke kantor pengacaraku siang ini. Aku akan kirim alamatnya. Semua akan dijelaskan di sana.”

Alya menggenggam ponsel erat, “Baik. Tapi satu hal, Arka. Aku mungkin putus asa, tapi aku bukan boneka. Kalau aku setuju, semua harus sesuai kesepakatan. Tanpa tipu-tipu.”

“Setuju,” jawab Arka cepat. “Aku nggak butuh drama tambahan.”

Siangnya, di sebuah gedung firma hukum ternama di kawasan SCBD, Alya duduk berhadapan dengan seorang pengacara berwajah dingin dan Arka hadir dengan penampilan seperti sedang menghadiri sesi pemotretan majalah.

Kontrak itu tebal. Adapun rincian kontraknya yakni: durasi satu tahun, tampil bersama di hadapan publik, tidak ada hubungan intim.

Semua hubungan bersifat profesional. Dalam kontrak itu tertulis bahwa Alya akan mendapat uang tunai 2 miliar rupiah yang akan diberikan dalam tiga tahap.

Arka juga akan menanggung seluruh biaya pengobatan Risa, adik Alya.

Alya membaca pelan isi kontrak tersebut. Bagi Alya, setiap lembaran itu terasa seperti menuliskan takdir baru.

“Aku bisa bawa ini pulang dan pelajari dulu? Tanyanya.

Arka mengangguk, “Aku beri waktu tiga hari untuk kamu mempertimbangkannya. Tapi setelah itu, aku harus punya jawaban. Skandalku makin parah, dan manajerku sudah nyaris gila.”

Alya berdiri, lalu menatap Arka tajam. “Kenapa aku?”

Arka terdiam sejenak, lalu menjawab pelan. “Karena kamu terlihat seperti seseorang yang nggak akan jatuh cinta padaku.”

Ucapan itu membuat Alya tercekat. Ia tak tahu apakah harus tersinggung atau justru merasa lega.

Dua malam kemudian, Alya berdiri di depan cermin di kamar mandi rumah sakit. Matanya sayu, wajahnya pucat.

Ia menatap pantulan dirinya dan bertanya dalam hati: Apa ini satu-satunya jalan?

Ketika ia kembali ke kamar rawat Risa dan melihat adiknya batuk kecil dalam tidur, semua pertanyaan mendadak sirna.

Alya membuka ponsel. Mencari kontak bernama “Arka Mahendra”.

Ia mengirim pesan singkat:

“Aku setuju.”

Dan dari titik itu, hidup Alya berubah.

Pernikahan mereka akan diumumkan secepatnya. Tapi satu hal yang belum mereka tahu adalah—apa pun sekuat kontraknya, hati manusia tidak bisa dikendalikan dengan tanda tangan.

Tiga hari kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah sakit. Seorang pria berjas rapi keluar dan menghampiri ruang tunggu. “Nona Alya?” sapanya sopan.

Alya berdiri, sedikit gugup. “Ya?”

“Saya diminta menjemput Anda. Tuan Arka sudah menunggu di kantor catatan sipil.”

Alya menarik napas panjang. Ini bukan mimpi. Ini nyata.

Ia mengecup kening Risa yang sedang tidur, lalu berbisik, “Kakak akan pastikan kamu sembuh, Sayang.”

**

Gedung catatan sipil Jakarta Selatan tampak sepi siang itu. Hanya dua petugas yang menyaksikan prosesi pernikahan paling tidak biasa dalam sejarah tempat itu.

Arka mengenakan jas hitam yang sangat pas di tubuhnya, tampak tenang seperti sedang syuting adegan film. Sementara Alya, dengan gaun sederhana pinjaman dari tim manajemennya, berdiri canggung di sebelahnya.

“Apakah Anda, Arka Mahendra, bersedia menerima Alya Putri sebagai istri Anda secara sah menurut hukum negara?” suara petugas menggema dalam ruangan.

Arka menoleh sedikit ke arah Alya, lalu menjawab, “Saya bersedia.”

Alya menelan ludah. Saat petugas menanyakan hal yang sama padanya, ia menatap mata Arka yang menantang. Ia berpikir tentang Risa, tentang tagihan rumah sakit, tentang keputusasaan yang membawanya ke titik ini.

“Saya... bersedia.”

Dengan tandatangan di lembar terakhir, semua resmi. Alya Putri sekarang adalah istri sah Arka Mahendra—secara hukum, tapi tidak secara hati.

Setelah prosesi selesai, mereka dibawa ke sebuah apartemen mewah milik Arka. Tempat tinggal bersama mereka untuk satu tahun ke depan.

Kamar Alya dan Arka sudah disiapkan terpisah. Bahkan kontrak menyebutkan batasan ruang pribadi yang sangat jelas—Alya punya ruangannya sendiri, begitu juga Arka.

Di meja ruang tamu, sebuah amplop tebal diletakkan. Arka mendorongnya ke arah Alya.

“Itu untuk biaya awal. Rumah sakit adikmu sudah dilunasi. Dan ini juga...” Arka menyerahkan ponsel baru. “Mulai besok, kamu akan dibimbing oleh manajerku. Belajar jadi ‘istri’ selebriti.”

Alya menatap semua itu dengan perasaan campur aduk. “Arka,” katanya pelan. “Terima kasih... walaupun ini aneh, tapi... kamu sudah selamatkan hidup adikku.”

Arka hanya mengangguk. “Kamu juga menyelamatkan karierku.”

Hening mengisi ruangan, hingga akhirnya Arka berdiri. “Kita akan gelar konferensi pers dua hari lagi. Bersiaplah. Dunia akan segera tahu kalau kamu... istriku.”

Dan di sinilah Alya berada—dalam pernikahan yang bukan karena cinta, tapi demi nyawa adik tercinta.

Langkahnya menuju kamar baru terasa berat, tapi dalam hati, ia berbisik, 'Aku akan kuat. Demi Risa. Demi hidup yang harus aku pertahankan.'

Malam itu, hujan masih setia mengguyur kota. Di dalam apartemen mewah yang terasa terlalu sunyi, Alya duduk di tepi ranjang kamarnya yang luas, memandangi amplop berisi uang dan ponsel baru di pangkuannya.

Rasanya seperti mimpi. Tapi rasa kantuk tak mampu menghapus kenyataan. Ia seorang editor lepas dari keluarga sederhana. Dan sekarang tinggal serumah dengan Arka Mahendra, suaminya di atas kertas.

Alya membuka amplop itu perlahan. Uang tunai, begitu tebal dan nyata, membuat matanya berkaca-kaca. Ia segera mengunci kembali amplop itu, lalu mengirim pesan ke rumah sakit melalui ponsel lamanya, memastikan semua tagihan benar-benar lunas.

Seketika, balasan masuk.

“Pembayaran untuk Risa sudah diterima. Terima kasih, Ibu Alya.”

Tangis yang ia tahan sepanjang hari akhirnya pecah. Ia menutup mulut, menahan isak, agar tak terdengar ke luar.

Dalam hati, ia berkata lirih, Ini bukan hidup yang kuimpikan, tapi... setidaknya, Risa bisa terus berobat.

Pintu kamar diketuk pelan. Alya cepat menghapus air matanya dan berdiri. Saat dibuka, Arka berdiri di sana, masih mengenakan kemeja yang kini digulung di lengan.

“Hanya mau kasih tahu, besok jam sepuluh pagi kamu dijadwalkan fitting gaun untuk konferensi pers. Manajerku akan menemanimu,” katanya singkat.

Alya mengangguk pelan. “Baik.”

Arka hendak berbalik, tapi sempat melirik ke dalam kamar. Tatapannya menurun saat melihat matanya yang sembab.

“Kamu nangis?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Ciuman yang Sebenarnya

    “Kapan lo bisa balik syuting? Kita butuh kepastian, Ka. Paling nggak, kasih kami perkiraan.”Pertanyaan Revano menggantung di udara, sebuah jembatan rapuh yang menghubungkan dunia nyata dengan neraka pribadi yang baru saja ia tinggalkan. Arka memejamkan matanya sejenak, satu tangannya yang bebas memijat pangkal hidungnya yang terasa nyeri. Suara sahabatnya itu terdengar begitu jauh, seolah berasal dari dimensi lain. Dimensi di mana jadwal syuting dan tuntutan produser masih menjadi hal terpenting di dunia.“Gue… gue usahain secepatnya, Van,” bisik Arka, suaranya serak karena kelelahan dan emosi yang terkuras. Matanya tak pernah lepas dari sosok Alya yang terbaring di ranjang, napasnya teratur namun gelisah. “Nanti gue kabarin lagi. Sorry.”“Oke, bro. Jaga diri. Kalau butuh apa-apa…”“Iya. Thanks.”Arka memutus panggilan tanpa menunggu kalimat Revano selesai. Ia meletakkan ponselnya kembali ke atas meja dengan gerakan lambat, seolah benda itu memiliki bobot berkilo-kilo. Keheningan kem

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Mimpi Buruk Itu Masih Ada

    "Kenapa…?” bisik Alya setelah meletakkan gelasnya.Matanya yang sembap menatap Arka, penuh dengan pertanyaan yang tak terungkap."Kenapa kamu nggak marah?”Arka menghela napas panjang. Ia duduk di samping Alya, mengambil kedua tangan wanita itu ke dalam genggamannya. Tangan Alya terasa sedingin es.“Marah?” Arka menggeleng pelan. “Untuk apa? Marah karena kamu berusaha melindungi aku? Marah karena kamu menanggung beban yang sama sekali bukan salahmu sendirian?”Ia menatap lekat ke dalam mata Alya. “Satu-satunya orang yang berhak aku marahi adalah diriku sendiri, Al. Aku marah karena aku buta. Aku marah karena aku malah nyakitin kamu dengan cemburu dan ego bodohku, padahal di saat yang sama kamu lagi berjuang sendirian ngelawan monster itu.”Air mata yang Alya kira sudah habis, kembali menggenang di pelupuk matanya. “Aku takut… aku takut banget kamu bakal benci aku, Ka. Kalau kamu tahu…”“Ssssttt…” Arka menarik Alya ke dalam pelukannya, membenamkan wajah wanita itu di dadanya. “Jangan

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Gema Setelah Badai

    Dunia di sekeliling Alya saat ini terasa berputar dalam kaleidoskop buram. Seragam biru tua, kilatan lencana, hingga suara-suara asing yang tajam dan berwibawa. Namun, satu-satunya hal yang nyata, satu-satunya jangkar di tengah badai itu, adalah sepasang mata di hadapannya. Mata Arka. Hangat, lekat, dan penuh janji yang baru saja terucap.“Ayo kita pergi dari sini,” bisik Arka, suaranya rendah dan mantap, membelah keributan di sekitar mereka.Tangannya yang menangkup wajah Alya bergerak turun, menggenggam bahunya dengan erat namun lembut. Ia memutar tubuh Alya, menjadikannya punggungnya sebagai perisai hidup yang menghalangi pemandangan Rio yang kini digiring oleh dua orang petugas.“Tunggu sebentar, Arka-san.” Suara Kenji terdengar, tenang dan profesional. “Petugas perlu beberapa keterangan awal.”Kevin yang berdiri di sampingnya menyahut cepat, “Biar saya yang urus, Kenji-san. Namun sekarang saya harus bawa mereka pulang. Kondisi Alya nggak memungkinkan.”“Saya mengerti,” jawab Ken

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Akhir dari Rio

    Teriakan putus asa Rio berubah menjadi pekikan kaget saat momentumnya hilang, tubuhnya terlempar ke samping, jauh dari Alya dan Reyhan.TRAK!Serpihan kayu runcing itu terlepas dari genggamannya, berputar di udara sebelum jatuh dengan suara kering di atas lantai kayu yang mahal. Ancaman itu telah berlalu, tetapi badai di dalam ruangan itu baru saja mencapai puncaknya.Arka tidak berhenti. Didorong oleh amarah murni dan ketakutan yang baru saja mencengkeram jantungnya, ia menarik kerah baju Rio, menyeret pria itu berdiri hanya untuk menghantamnya lagi. Pukulan kali ini bukan lagi sekadar luapan emosi, melainkan sebuah pernyataan. Setiap bogem mentah yang mendarat adalah eksekusi atas setiap detik teror yang Rio ciptakan.“Ka, udah! Cukup!” Suara Alya terdengar parau, nyaris tak dikenali. Ia merosot lemas jika saja Reyhan tidak menahannya lebih erat. “Nanti kamu bisa bunuh dia…”Arka seolah tidak mendengar. Ia memojokkan Rio ke dinding, napasnya terengah-engah seperti binatang buas yang

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Duel Arka Vs Rio

    Udara di ruangan mewah itu seakan membeku, tertekan oleh bobot amarah dalam dua kata yang diucapkan Arka. “Lepasin istri gue!” Suara itu bukan teriakan, tapi sebuah geraman yang dalam dan pelan. Suaranya menunjukkan kemarahan yang luar biasa dan sebagai pertanda bahwa perkelahian tidak bisa dihindari.Rio, bukannya gentar, justru melengkungkan bibir. Senyumnya adalah goresan sinis di wajahnya yang tampan, sebuah provokasi terang-terangan. Ia tidak melepaskan Alya, malah menarik gadis itu lebih dekat, menjadikan tubuh gemetar Alya sebagai perisai manusia.“Oh, lihat ini,” cibir Rio, matanya menari-nari mengejek antara Arka dan Alya. “Pahlawan kita akhirnya muncul. Tapi kayaknya telat deh, Bro. Udah gue cicipin duluan.”Ucapan itu adalah bensin yang disiramkan ke api. Namun, sebelum Arka sempat meledak, sebuah gerakan cepat terjadi di sisi lain ruangan. Bukan Arka, melainkan Reyhan yang bergerak lebih dulu. Dengan ketenangan seorang dokter di ruang gawat darurat, ia melangkah maju, tang

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Jalan Pulang Untukmu

    Dua sedan hitam melesat tanpa suara, membelah keheningan malam di jalanan pinggiran Kyoto yang berkelok seperti ular tidur. Di dalam mobil terdepan, Arka mencengkeram kemudi dengan kekuatan sedemikian rupa hingga buku-buku jarinya menonjol, memutih laksana pualam. Waktu seolah merayap dengan kejam. Detik-detik itu menjadi siksaan, setiap ketukannya di pelipis adalah bisikan yang semakin jelas bahwa ia sudah terlambat. Di luar, pepohonan kuno berdiri seperti nisan raksasa yang bisu, bayangan mereka yang panjang dan kurus seakan mencoba meraih mobil itu dan menelannya ke dalam kegelapan.“Kita sudah dekat,” suara Kevin memecah keheningan yang menyesakkan itu. Nada cemasnya nyaris tak terdengar di atas deru mesin yang halus. Dia memegang ponselnya. Di layar, ada titik merah berkedip yang menunjukkan lokasi villa yang didapatkan dari Kenji. “Rencana tetap sama. Kenji bilang gerbang depan mustahil ditembus tanpa memicu alarm. Kita akan menyelinap lewat jalan setapak di belakang, langsung

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status