Alya tak bisa tidur malam itu. Suara detak jam dinding di ruang tunggu rumah sakit terdengar lebih keras dari biasanya, seakan ikut menghitung waktu yang terus berjalan tanpa peduli pada kekacauan hatinya.
Ia melirik Risa yang masih tertidur pulas. Wajah adiknya begitu damai, kontras dengan kenyataan pahit yang menjerat mereka. Tangannya kembali meraih kartu nama Arka. Tatapannya tajam, penuh pertimbangan. Lalu.... ia berdiri. ** Pagi harinya, Arka sedang duduk di ruang tamu apartemennya yang mewah. Rambutnya masih basah habis mandi dan ia tengah menyeruput kopi sambil membuka tablet, membaca berita-berita gosip yang memuat wajahnya bersama Karen. Ponselnya berbunyi. Tertulis di layar panggilan dari nomor tak dikenal. “Ya?” ucapnya datar. “Halo. Ini Alya.” Suara itu pelan, tapi tegas. Arka langsung duduk tegas, “Aku tahu kamu akan menelepon.” “Jangan terlalu percaya diri,” sahut Alya. “Aku belum setuju. Aku hanya ingin tahu detailnya.” Arka tersenyum. “Datang ke kantor pengacaraku siang ini. Aku akan kirim alamatnya. Semua akan dijelaskan di sana.” Alya menggenggam ponsel erat, “Baik. Tapi satu hal, Arka. Aku mungkin putus asa, tapi aku bukan boneka. Kalau aku setuju, semua harus sesuai kesepakatan. Tanpa tipu-tipu.” “Setuju,” jawab Arka cepat. “Aku nggak butuh drama tambahan.” Siangnya, di sebuah gedung firma hukum ternama di kawasan SCBD, Alya duduk berhadapan dengan seorang pengacara berwajah dingin dan Arka hadir dengan penampilan seperti sedang menghadiri sesi pemotretan majalah. Kontrak itu tebal. Adapun rincian kontraknya yakni: durasi satu tahun, tampil bersama di hadapan publik, tidak ada hubungan intim. Semua hubungan bersifat profesional. Dalam kontrak itu tertulis bahwa Alya akan mendapat uang tunai 2 miliar rupiah yang akan diberikan dalam tiga tahap. Arka juga akan menanggung seluruh biaya pengobatan Risa, adik Alya. Alya membaca pelan isi kontrak tersebut. Bagi Alya, setiap lembaran itu terasa seperti menuliskan takdir baru. “Aku bisa bawa ini pulang dan pelajari dulu? Tanyanya. Arka mengangguk, “Aku beri waktu tiga hari untuk kamu mempertimbangkannya. Tapi setelah itu, aku harus punya jawaban. Skandalku makin parah, dan manajerku sudah nyaris gila.” Alya berdiri, lalu menatap Arka tajam. “Kenapa aku?” Arka terdiam sejenak, lalu menjawab pelan. “Karena kamu terlihat seperti seseorang yang nggak akan jatuh cinta padaku.” Ucapan itu membuat Alya tercekat. Ia tak tahu apakah harus tersinggung atau justru merasa lega. Dua malam kemudian, Alya berdiri di depan cermin di kamar mandi rumah sakit. Matanya sayu, wajahnya pucat. Ia menatap pantulan dirinya dan bertanya dalam hati: Apa ini satu-satunya jalan? Ketika ia kembali ke kamar rawat Risa dan melihat adiknya batuk kecil dalam tidur, semua pertanyaan mendadak sirna. Alya membuka ponsel. Mencari kontak bernama “Arka Mahendra”. Ia mengirim pesan singkat: “Aku setuju.” Dan dari titik itu, hidup Alya berubah. Pernikahan mereka akan diumumkan secepatnya. Tapi satu hal yang belum mereka tahu adalah—apa pun sekuat kontraknya, hati manusia tidak bisa dikendalikan dengan tanda tangan. Tiga hari kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah sakit. Seorang pria berjas rapi keluar dan menghampiri ruang tunggu. “Nona Alya?” sapanya sopan. Alya berdiri, sedikit gugup. “Ya?” “Saya diminta menjemput Anda. Tuan Arka sudah menunggu di kantor catatan sipil.” Alya menarik napas panjang. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Ia mengecup kening Risa yang sedang tidur, lalu berbisik, “Kakak akan pastikan kamu sembuh, Sayang.” ** Gedung catatan sipil Jakarta Selatan tampak sepi siang itu. Hanya dua petugas yang menyaksikan prosesi pernikahan paling tidak biasa dalam sejarah tempat itu. Arka mengenakan jas hitam yang sangat pas di tubuhnya, tampak tenang seperti sedang syuting adegan film. Sementara Alya, dengan gaun sederhana pinjaman dari tim manajemennya, berdiri canggung di sebelahnya. “Apakah Anda, Arka Mahendra, bersedia menerima Alya Putri sebagai istri Anda secara sah menurut hukum negara?” suara petugas menggema dalam ruangan. Arka menoleh sedikit ke arah Alya, lalu menjawab, “Saya bersedia.” Alya menelan ludah. Saat petugas menanyakan hal yang sama padanya, ia menatap mata Arka yang menantang. Ia berpikir tentang Risa, tentang tagihan rumah sakit, tentang keputusasaan yang membawanya ke titik ini. “Saya... bersedia.” Dengan tandatangan di lembar terakhir, semua resmi. Alya Putri sekarang adalah istri sah Arka Mahendra—secara hukum, tapi tidak secara hati. Setelah prosesi selesai, mereka dibawa ke sebuah apartemen mewah milik Arka. Tempat tinggal bersama mereka untuk satu tahun ke depan. Kamar Alya dan Arka sudah disiapkan terpisah. Bahkan kontrak menyebutkan batasan ruang pribadi yang sangat jelas—Alya punya ruangannya sendiri, begitu juga Arka. Di meja ruang tamu, sebuah amplop tebal diletakkan. Arka mendorongnya ke arah Alya. “Itu untuk biaya awal. Rumah sakit adikmu sudah dilunasi. Dan ini juga...” Arka menyerahkan ponsel baru. “Mulai besok, kamu akan dibimbing oleh manajerku. Belajar jadi ‘istri’ selebriti.” Alya menatap semua itu dengan perasaan campur aduk. “Arka,” katanya pelan. “Terima kasih... walaupun ini aneh, tapi... kamu sudah selamatkan hidup adikku.” Arka hanya mengangguk. “Kamu juga menyelamatkan karierku.” Hening mengisi ruangan, hingga akhirnya Arka berdiri. “Kita akan gelar konferensi pers dua hari lagi. Bersiaplah. Dunia akan segera tahu kalau kamu... istriku.” Dan di sinilah Alya berada—dalam pernikahan yang bukan karena cinta, tapi demi nyawa adik tercinta. Langkahnya menuju kamar baru terasa berat, tapi dalam hati, ia berbisik, 'Aku akan kuat. Demi Risa. Demi hidup yang harus aku pertahankan.' Malam itu, hujan masih setia mengguyur kota. Di dalam apartemen mewah yang terasa terlalu sunyi, Alya duduk di tepi ranjang kamarnya yang luas, memandangi amplop berisi uang dan ponsel baru di pangkuannya. Rasanya seperti mimpi. Tapi rasa kantuk tak mampu menghapus kenyataan. Ia seorang editor lepas dari keluarga sederhana. Dan sekarang tinggal serumah dengan Arka Mahendra, suaminya di atas kertas. Alya membuka amplop itu perlahan. Uang tunai, begitu tebal dan nyata, membuat matanya berkaca-kaca. Ia segera mengunci kembali amplop itu, lalu mengirim pesan ke rumah sakit melalui ponsel lamanya, memastikan semua tagihan benar-benar lunas. Seketika, balasan masuk. “Pembayaran untuk Risa sudah diterima. Terima kasih, Ibu Alya.” Tangis yang ia tahan sepanjang hari akhirnya pecah. Ia menutup mulut, menahan isak, agar tak terdengar ke luar. Dalam hati, ia berkata lirih, Ini bukan hidup yang kuimpikan, tapi... setidaknya, Risa bisa terus berobat. Pintu kamar diketuk pelan. Alya cepat menghapus air matanya dan berdiri. Saat dibuka, Arka berdiri di sana, masih mengenakan kemeja yang kini digulung di lengan. “Hanya mau kasih tahu, besok jam sepuluh pagi kamu dijadwalkan fitting gaun untuk konferensi pers. Manajerku akan menemanimu,” katanya singkat. Alya mengangguk pelan. “Baik.” Arka hendak berbalik, tapi sempat melirik ke dalam kamar. Tatapannya menurun saat melihat matanya yang sembab. “Kamu nangis?”Sudah hampir seminggu Alya tenggelam dalam proyek penyuntingan novel thriller dari kantor lamanya. Klien kali ini adalah seorang penulis baru, menggunakan nama pena D.R.—misterius dan agak tertutup. Naskahnya gelap dan intens, tetapi sangat rapi dan membuat penasaran.Alya beberapa kali harus berdiskusi langsung lewat Zoom dengan perwakilan tim penulis—seorang pria bernama Revan. Dalam pertemuan online, Revan selalu mengenakan masker medis dan topi, dengan alasan sedang dalam pemulihan sakit paru. Sikapnya tenang, sopan, tapi Alya merasa... aneh.Setiap kali Revan berbicara, ada nada suara yang mengusik ingatannya. Seolah ia pernah mendengar suara itu, di masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam.Suatu malam, setelah sesi diskusi, Alya keluar dari ruang kerja dan menemukan Arka sedang duduk di balkon dengan laptop di pangkuannya.“Kamu belum tidur?” tanya Alya, duduk di sebelahnya.“Belum. Deadline sinopsis dua episode lagi.” Arka melirik sekilas, lalu menutup laptop. “Proyek kamu gi
Keesokan harinya, Alya terbangun lebih pagi dari biasanya. Ia merasa sedikit lebih tenang, walau bayang-bayang suara lelaki misterius di minimarket itu terus menghantui pikirannya.Agar bisa mengalihkan pikirannya, Alya pun memutuskan untuk kembali kerja dan meneriwa proyek lagi sebagai editor lepas.Namun, sebelum itu ia harus terlebih dahulu meminta izin pada Arka. Walaupun pernikahan mereka hanya kontrak, tapi sudah sewajarnya ia meminta izin pada suaminya.Suatu malam, saat mereka duduk Santai di ruang Tengah sambil menonton drama yang sedang hits, Alya membuka suara.“Ka… aku ditawari proyek penyuntingan naskah dari kantor lama,” katanya pelan. “Editor senior ngontak aku tadi siang. Mereka lagi kekurangan editor untuk novel thriller yang harus selesai bulan depan.”Arka menoleh, “Kamu mau ambil?”Alya mengangguk, “Aku butuh distraksi. Pingin sibuk lagi. Biar nggak terlalu banyak pikiran, Dan… aku ingin merasa berguna lagi.”Arka terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kamu k
Pagi hari di rumah keluarga Mahendra terasa tenang. Mama Arka sedang menyiram bunga, dan suara televisi dari ruang keluarga terdengar samar. Alya turun dari kamar tamu dengan sweater hangat dan celana kain santai.“Pagi, Ma,” sapa Alya sambil berjalan menuju dapur.“Pagi, sayang. Arka masih tidur ya?” tanya Mama sambil tersenyum lembut.Alya mengangguk. “Kayaknya baru tidur subuh. Semalam katanya ngedit skrip acara.”Mama mengangguk-angguk, lalu kembali merapikan pot tanaman.Alya menuang air putih ke dalam gelas dan berdiri sejenak di dekat jendela dapur. Rumah keluarga Arka terletak di kawasan elite yang cukup sepi, tapi sejak tadi ia merasa... aneh.Ada perasaan tidak nyaman yang sejak tadi mengusik. Semalam, saat Arka tertidur lebih dulu, Alya melihat notifikasi pesan dari akun anonim di media sosialnya:“Kamu bisa pura-pura di depan mereka. Tapi aku tahu siapa kamu sebenarnya.”Alya awalnya mengira itu hanya akun haters biasa. Tapi kini, ia merasa seperti sedang diawasi.Setelah
Keesokan harinya, suasana di apartemen Alya dan Arka sedikit berbeda. Arka baru saja menyelesaikan wawancara daring dengan sebuah media internasional saat ponselnya berdering.Ia menatap layar sejenak ─nama yang muncul membuat ekpresinya berubah.“Mama,” gumamnya.Ia mengangkat telepon, menautkan alis, “Halo, Ma?”Suara dijung sana terdengar tenang, tapi tegas.“Arka Mahendra. Kenapa Mama harus tahu dari media kalau anak Mama udah menikah?”Arka memijat pelipisnya. “Ma, aku bisa jelaskan─”Namun, perkataan Arka dipotong, “Tolong jelaskan langsung. Papa kamu juga mau bicara. Dan... bawa istrimu. Kami ingin bertemu.”Klik. Sambungan terputus. Arka menatap layar ponsel kosong dengan ekspresi rumit.Beberapa jam kemudian, Alya duduk di sofa dengan ekspresi panik. Ia menatap Arka yang berdiri di depan jendela, memandangi kota Jakarta dengan tangan di silangkan.“Jadi... kita akan ke rumah orang tuamu?” tanya Alya pelan.Arka menoleh dan mengangguk, “Mereka tahu dari media. Dan mereka bukan
Keesokan harinya....Alya baru saja selesai mengganti air di vas bunga kecil di meja saat pintu kamar Risa diketuk pelan.Sebelum sempat menjawab, pintu itu sudah terbuka, dan muncul sosok Arka dengan setelan kasual—jaket denim dan kaus putih—membawa kantong berisi boneka kecil dan buku gambar.Risa yang tengah duduk bersandar langsung membelalakkan mata. “I... ini beneran Kak Arka?!”Arka tersenyum sambil melambai. “Hai, Risa. Boleh aku masuk?”Risa mengangguk cepat, masih tampak gugup dan tak percaya. “Boleh banget! Ya ampun... Kak Arka Mahendra beneran masuk kamar aku…”Alya terkikik kecil melihat ekspresi adiknya yang seperti fangirl ketiban rezeki nomplok.Arka berjalan mendekat dan menyerahkan kantong ke Risa. “Aku nggak tahu kamu suka apa, jadi aku bawa beberapa hal... mudah-mudahan cocok.”Risa membuka kantong itu perlahan. Matanya berbinar saat melihat boneka kelinci lucu dan buku gambar warna-warni. “Ini... ini lucu banget!”Arka duduk di kursi sebelah ranjang. “Senang kamu
Keesokan harinya, suasana apartemen kembali seperti biasa. Arka terlihat sibuk dengan naskah syuting barunya, sementara Alya berusaha mengabaikan rasa tegang yang masih tertinggal dari malam sebelumnya. Ia duduk di sofa sambil membuka laptop untuk membalas beberapa email kerja sama yang kini mulai datang sejak statusnya sebagai 'istri' Arka. Arka keluar dari kamar kerja sambil merenggengkan tubuhnya. "Ngapain?" tanyanya sambil melirik ke layar laptop Alya. "Kerja," jawab Alya singkat. "Ada endorse masuk. Aku bales-balesin dulu." Arka menghampiri Alya. Ia duduk disampingnya dan memiringkan kepala, pura-pura membaca isi layar. "Hmm... kamu kelihatan keren juga ya, pas serius kayak gini," ujar Arka. Alya melirik cepat, "Kamu kenapa?" Arka menyandarkan punggung, menatap langit-langit. "Nggak. Lagi pengen godain istri sendiri aja," ucapanya enteng. Alya memutar bola mata, "Kita ini cuman kontrak, inget?" "Kontraknya kan nggak ngatur aku dilarang ngerayu kamu," goda Arka. Alya