Ponsel Alya kembali bergetar. Ia menatap layar itu dengan napas tertahan. Kali ini, hanya ada satu kalimat dari Rio.“Aku sudah pikir-pikir, aku nggak minta banyak. Aku dengar Arka mendapat tawaran main film internasional. Jika kamu ingin melindungi suamimu, aku cuma satu hal kecil. Satu hal aja yang aku minta, pastikan Arka menolak proyek film internasional itu.”Dada Alya langsung mengencang.“Kalau dia menerimanya, kamu tahu sendiri akibatnya.”Ia terdiam. Tawaran film internasional itu, Arka baru membicarakannya semalam sebelum mereka tidur.Dengan semangat khasnya, Arka berkata: “Ini bukan cuma film, Ly. Ini mungkin tiketku ke dunia yang selama ini cuma bisa kulihat dari jauh. Hollywood.”Alya menggigit bibir bawahnya. Tangannya gemetar, bukan karena ketakutan, tapi karena kemarahan yang tak bisa ia keluarkan. Rio tahu titik lemah Arka, dan kini memakainya untuk menusuk lebih dalam.“Ly.”Suara Arka mengalun dari balik pintu kamar rumah sakit. Ia masuk sambil membawa dua gelas ko
Pesan mengejutkan itu dari Rio. Alya menatap layar ponselnya lama, napasnya tercekat"Alya, bagaimana kejutanku kemarin? Kamu makin terkenal bukan berkat video itu?"Tangannya sedikit gemetar. Ia tak ingin membalas, tapi matanya tak bisa lepas dari tulisan Rio. Belum sempat ia menekan tombol apa pun, pesan lain masuk."Oh ya, kamu masih ingat dokumen yang pernah aku tunjukkan? Bukti transfer Om Tio yang bikin film Arka gagal total lima tahun lalu?"Alya memejamkan matanya erat-erat, menahan sesak di dada. Ia ingat dengan jelas malam ketika Rio memaksanya menonton bukti itu di laptopnya. Bukti yang memperlihatkan dokumen kontrak produksi film besar Arka dengan tanda tangan Om Tio sebagai produser eksekutif, dan catatan transfer gelap yang membuat dana produksi hilang begitu saja. Film batal, reputasi Arka hancur, dan dia terpuruk sampai hampir kehilangan karier.Pesan Rio masuk lagi."Kamu pikir aku cuma pamer dokumen itu? Tidak, Alya. Itu senjata utamaku."Alya menahan napas, membaca
Alya terbangun di tengah malam. Udara dalam kamar rawat terasa hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan dan embusan AC yang konsisten menyapu kulit.Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangannya dalam cahaya temaram dari sudut ruangan.Saat menoleh ke samping, ia mendapati Arka tertidur dalam posisi duduk di kursi yang ada disamping ranjang. Kepalanya sedikit menunduk, bahunya miring karena bersandar terlalu lama di kursi yang keras. Tangan kirinya masih menggenggam ujung selimut Alya, seolah takut sang istri pergi tanpa ia sadari.Alya terpaku, matanya tak lepas dari sosok pria di sebelahnya. Detak jantungnya sedikit berubah. Ia tak pernah menyangka, pria yang dulu hanya ia kenal sebagai aktor layar kaca, kini duduk disisinya. Menjaga dengan cara yang bahkan lebih tulus daripada orang yang dulu mengaku mencintainya.Alya terdiam. Tapi di dalam, ada sesuatu yang tak lagi tenang. Ada sesuatu yang diam-diam tumbuh, merambat, dan kini menyesaki dadany
Waktu terus bergulir. Langit yang semula berwarna biru terang kini telah berubah menjadi jingga. Memamerkan warna keemasan yang indah.Rani sudah sedari tadi pamit pulang. Namun sebelum pulang, ia berbicara lembut berusaha menguatkan sang sahabat."Aku pamit pulang ya, Ly. Cepet sembuh dan tetap tegar ya. Kamu harus ingat kamu nggak sendirian, banyak orang yang sayang sama kamu. Kamu tenang aja, aku bakal berusaha bantu kamu ngelawan si brengsek Rio itu," papar Rani sambil memeluk sahabatnya."Iya makasih, Ran," sahut Alya balas pelukan sang sahabat.Kini Alya sendiri di ruangan. Ia memilih membaca majalah sambil menunggu kedatangan mertuanya.Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu. Lalu muncullah dari balik pintu pasangan suami istri yang amat sangat dikenal Alya.Yah... mereka adalah Indira dan Raymond, mertua Alya alias orang tua dari suaminya, Arka.Indira melangkah menghampiri Alya. Tanpa banyak bicara ia dengan segera memeluk menantunya itu."Cepet sembuh ya, sayan
“Halo, Ma…” Suara perempuan dewasa terdengar di seberang. Lembut, tapi tegas seperti biasanya. “Alya, sayang. Maaf Mama ganggu. Kamu lagi istirahat, ya?” “Nggak, Ma. Gak apa-apa. Ada apa, ya?” “Mama dengar dari Arka soal kondisimu. Dan… soal video itu.” Suaranya terdengar lebih pelan. “Mama tahu pasti ini berat buat kamu. Tapi Mama gak pengin cuma dengar dari cerita orang. Mama pengin lihat kamu langsung.” Alya terdiam sesaat, kaget. “Maksud Mama… mau ke sini?” “Iya, Nak. Mama dan Papa akan ke rumah sakit sore nanti. Kalau kamu nggak keberatan.” Alya menegakkan tubuh pelan. “Tentu aja enggak, Ma. Aku… aku senang Mama mau datang.” Suara di seberang terdengar sedikit lega. “Terima kasih, ya. Mama cuma ingin kamu tahu… kamu bagian dari keluarga kami. Dan keluarga gak ninggalin satu sama lain saat sedang diserang.” Mata Alya perlahan memanas. “Mama baik banget…” gumamnya nyaris tak terdengar. “Simpan tenaga kamu. Kita ngobrol nanti ya, sayang. Sampai ketemu sore in
Revano menyandarkan tubuh ke kursi, sementara Reyhan tetap sibuk dengan peralatan medisnya. Tak ada kata-kata berlebihan. Tak ada tatapan tajam, hanya gestur-gestur kecil yang tak disadari Alya. Sesekali, sorot mata mereka saling bersinggungan, tapi tidak cukup untuk menciptakan keributan. Alya terlalu sibuk tertawa kecil bersama Rani yang sibuk membuka camilan satu per satu sambil berkomentar dramatis soal rasa. "Ly, kamu tuh gak berubah, ya. Masih suka yang manis-manis kayak gini. Aku kira setelah nikah sama artis kamu bakal doyan makanan hotel bintang lima." "Ah... lebay kamu Ran. Justru makin butuh comfort food kalau hidupmu dipenuhi drama," jawab Alya santai. Revano ikut menimpali. "Setuju. Kadang yang paling sederhana justru yang paling ngangenin." Sementara Reyhan baru saja selesai mencatat hasil tekanan darah Alya di tabletnya. Reyhan menurunkan tabletnya dan menatap Alya. “Tekanan darahmu normal. Tapi kamu tetap harus banyak istirahat dan makan makanan bergiz