Share

Bab 7

Author: lovelypurple
last update Huling Na-update: 2025-06-10 20:01:23

Keesokan harinya....

Alya baru saja selesai mengganti air di vas bunga kecil di meja saat pintu kamar Risa diketuk pelan.

Sebelum sempat menjawab, pintu itu sudah terbuka, dan muncul sosok Arka dengan setelan kasual—jaket denim dan kaus putih—membawa kantong berisi boneka kecil dan buku gambar.

Risa yang tengah duduk bersandar langsung membelalakkan mata. “I... ini beneran Kak Arka?!”

Arka tersenyum sambil melambai. “Hai, Risa. Boleh aku masuk?”

Risa mengangguk cepat, masih tampak gugup dan tak percaya. “Boleh banget! Ya ampun... Kak Arka Mahendra beneran masuk kamar aku…”

Alya terkikik kecil melihat ekspresi adiknya yang seperti fangirl ketiban rezeki nomplok.

Arka berjalan mendekat dan menyerahkan kantong ke Risa. “Aku nggak tahu kamu suka apa, jadi aku bawa beberapa hal... mudah-mudahan cocok.”

Risa membuka kantong itu perlahan. Matanya berbinar saat melihat boneka kelinci lucu dan buku gambar warna-warni. “Ini... ini lucu banget!”

Arka duduk di kursi sebelah ranjang. “Senang kamu suka. Kamu kelihatan lebih sehat hari ini.”

“Karena Kakak datang,” jawab Risa spontan, lalu menutup mulutnya, malu sendiri. “Eh, maksudku... karena Kakak Alya datang... eh, dua-duanya maksudnya!”

Alya dan Arka sama-sama tertawa. Setelah beberapa menit obrolan ringan dan candaan kecil, suasana kamar menjadi lebih hangat. Risa mulai terbuka dan bercerita tentang kegiatan membosankan selama di rumah sakit—dari drama yang ia tonton sampai suster yang diam-diam nge-fans berat sama Arka.

Lalu, di tengah obrolan, Risa menoleh ke Alya. “Kak, aku seneng banget kalian dateng bareng gini. Tapi... kalau cuma pernikahan kontrak, kenapa Kak Arka bisa sepeduli ini?”

Suasana langsung sedikit tegang. Alya melirik Arka, ragu harus menjawab atau membiarkan pria itu yang bicara.

Tapi Arka hanya tersenyum kecil. Ia menatap Risa lembut—tatapan yang sangat berbeda dari sorotan kamera yang biasa menangkap wajah dingin dan penuh aura bintang itu.

“Risa,” katanya pelan, “aku tahu mungkin kamu dengar banyak hal buruk soal aku di luar sana. Media suka melebih-lebihkan. Tapi apa pun yang orang pikirkan, aku bukan orang yang bisa pura-pura peduli kalau aku nggak benar-benar peduli.”

Risa mengerjap pelan.

“Aku dan Kakakmu memang punya kesepakatan di awal. Tapi selama waktu yang kita lewati bareng... aku lihat sesuatu yang beda dari Alya. Dia kuat. Dia jujur. Dia tulus. Dan aku rasa, orang kayak dia nggak pantas ngerasa sendiri dalam semua ini.”

Alya membeku. Kalimat itu—cara Arka mengucapkannya—terlalu nyata untuk sekadar akting.

Risa menatap mereka bergantian. “Kak Arka baik banget... jauh dari yang orang-orang bilang.”

Arka tertawa pelan. “Mungkin karena orang lebih suka sensasi daripada kebenaran. Tapi buatku, yang penting sekarang... kalian sehat dan tetap bisa senyum.”

Risa tersenyum lebar, seakan mendapat jawaban yang membuatnya lega.

Setelah itu Arka berdiri dan bersiap pergi. “Aku harus ke lokasi sebentar. Tapi nanti sore aku balik lagi bawa sesuatu yang kamu suka. Burger dan milkshake cokelat, ya?”

“Yeay!” seru Risa. “Tapi jangan bilang-bilang suster!”

“Rahasia kita,” kata Arka sambil berkedip.

Begitu Arka keluar dari ruangan, Risa langsung menatap Alya penuh arti. “Kak... kamu yakin ini masih kontrak?”

Setelah Arka pergi dan Risa tertidur karena efek obat, Alya memutuskan untuk keluar sejenak dari kamar. Ia berjalan di lorong rumah sakit, sekadar ingin menghirup udara segar dari balkon kecil di ujung koridor.

Langkahnya pelan, pikirannya masih dipenuhi campuran rasa: lega karena melihat Risa bahagia, bingung karena sikap Arka, dan... bayangan pesan misterius semalam yang masih menghantuinya.

Saat berbelok ke lorong utama, tanpa sengaja ia menabrak seseorang.

“Maaf—” Alya segera menunduk, tapi suara yang menyahut membuat tubuhnya membeku.

“Alya?”

Ia mendongak pelan. Pria itu mengenakan jas dokter berwarna putih, nametag tergantung di saku dada. Wajahnya... sangat familiar. Dan suaranya—dalam dan hangat, seperti yang ia ingat dulu.

“Reyhan?” suara Alya nyaris tak terdengar.

Reyhan tersenyum kecil. Senyuman yang sama seperti bertahun-tahun lalu, saat mereka masih berseragam putih abu-abu.

“Wow. Dunia sempit banget, ya. Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini. Alya yang dulu suka nyoret-nyoret meja belakang kelas ternyata sekarang jadi... istri artis terkenal?”

Alya tertawa gugup. “Iya... hidup kadang aneh.”

Reyhan menatapnya sejenak, matanya tajam tapi hangat. “Kamu kelihatan beda. Tapi aku bisa langsung tahu itu kamu.”

Alya mencoba tersenyum, tapi hatinya sedikit berdebar. Bukan karena Reyhan—tapi karena betapa masa lalu dan masa kini bisa bertabrakan begitu cepat tanpa peringatan.

“Risa adikku dirawat di sini,” jelas Alya. “Kanker tulang stadium awal.”

Ekspresi Reyhan berubah lembut. “Aku ikut prihatin. Nama Risa... itu pasien yang di lantai tiga, kan? Yang suka gambar-gambar tokoh kartun di binder periksaannya?”

Alya mengangguk, agak terkejut. “Kamu tahu?”

“Aku dokter jaga di rumah sakit ini. Aku memang nggak langsung tangani Risa, tapi kadang aku sering jenguk kalua dia bosan. Anaknya ceria. Mirip kamu versi kecil.”

“Mau duduk sebentar?” tawar Reyhan, menunjuk bangku panjang dekat vending machine. “Kita belum ngobrol

“Kita belum ngobrol sejak... ya, sejak kelulusan.”

Alya ragu sesaat, tapi akhirnya mengangguk dan duduk di sana bersamanya.

Obrolan mereka mengalir ringan. Tentang masa SMA, tentang teman-teman lama, dan bagaimana hidup membawa mereka ke tempat yang tak pernah mereka bayangkan.

“Jujur ya,” kata Reyhan sambil menyesap kopi dari gelas kertas, “aku kaget waktu lihat berita soal kamu dan Arka Mahendra. Aku kira kamu bakal jadi dosen seni atau pelukis keliling dunia, bukan... menantu publik figur.”

Alya tertawa, tapi tawa itu getir. “Sebenarnya... semua ini juga di luar rencana.”

Reyhan menoleh. Tatapannya serius. “Alya... kamu bahagia?”

Pertanyaan itu membuat Alya terdiam. Bahagia?

Ia teringat senyum Arka saat memeluk pinggangnya di red carpet. Tatapan tulusnya saat menjenguk Risa. Tapi juga teringat ancaman lewat ponsel, suara dari masa lalu yang kembali menghantuinya.

“Aku... masih belajar untuk bahagia,” jawab Alya jujur. “Tapi untuk sekarang, aku cuma mau Risa sembuh. Itu aja dulu.”

Reyhan mengangguk pelan. “Kalau kamu butuh bantuan apa pun, bilang aja. Buat Risa... atau buat kamu.”

Alya menatapnya, dan untuk sesaat, ia merasa seperti Alya yang dulu—yang masih polos dan penuh mimpi. Tapi hidupnya sekarang terlalu rumit untuk kembali ke masa itu.

“Terima kasih, Reyhan,” ucapnya tulus.

Tak lama, ponsel Alya bergetar. Sebuah pesan dari Arka.

“Aku udah beli burger dan milkshake. OTW ke RS. Kamu di mana?”

Alya mengetik balasan cepat, lalu berdiri. “Aku harus balik. Tapi senang bisa ketemu kamu lagi.”

Reyhan ikut berdiri. “Sama-sama. Jaga diri ya, Alya.”

Begitu Alya berjalan menjauh, Reyhan masih memandang punggungnya. Senyum samar muncul di wajahnya—campuran antara nostalgia dan rasa penasaran.

Karena meski dunia mereka telah berubah. Satu hal belum benar-benar padam ─rasa ingin tahu Reyhan pada Alya yang dulu… ia kagumi diam-diam.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Pesan Misterius

    Tangan Alya yang tadinya hanya diam di sisi tubuhnya kini bergerak naik, jemarinya meremas lembut rambut Arka di bagian tengkuk.Arka mengerang rendah, merasakan respons Alya yang begitu lugas. Ia memindahkan satu tangannya dari wajah Alya ke pinggangnya, menariknya lebih dekat hingga nyaris tak ada jarak di antara mereka. Ciuman itu terasa begitu lama, seolah mereka ingin menebus semua waktu yang telah terbuang dalam kepura-puraan.Saat mereka akhirnya melepaskan pagutan itu karena kebutuhan akan oksigen, napas keduanya terengah-engah. Dahi mereka saling bersandar, mata saling menatap dari jarak yang sangat dekat. Pipi Alya merona hebat, bibirnya sedikit membengkak dan basah.“Lunas, ya,” bisik Arka serak, ibu jarinya mengusap sudut bibir Alya.Alya tidak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan sebelum mendorong dada Arka dengan sisa tenaganya. “Sana berangkat. Nanti telat.”Arka terkekeh puas melihat istrinya yang benar-benar salah tingkah. “Iya, iya. Galaknya keluar lagi

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Mantra Pagi Pak Aktor

    Pagi hari itu datang bukan dengan sentakan kecemasan atau guncangan mimpi buruk, melainkan dengan cara yang jauh lebih lembut: seberkas cahaya keemasan menembus tirai tebal kamar hotel.Cahaya itu menyentuh wajah Alya, memberikan kehangatan seperti belaian yang membangunkannya. Itu adalah bangun tidur paling damai yang ia rasakan dalam waktu yang sangat lama.Ia mengerjap perlahan, membiarkan matanya menyesuaikan diri. Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah langit-langit kamar yang familier, namun perasaan yang menyertainya sama sekali baru. Ringan. Dadanya tidak lagi sesak, pundaknya tidak lagi terasa berat. Ia menggeliat, merasakan otot-ototnya rileks di bawah selimut yang tebal dan nyaman.Aroma kopi yang samar dan wangi sabun yang segar menguar di udara. Alya menoleh ke sisi lain ranjang, dan mendapati tempat itu sudah kosong. Namun, jejak kehangatan Arka masih tertinggal di bantal dan seprai di sebelahnya. Ia tersenyum kecil, senyum tulus pertama yang ia sadari di pagi hari

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Keterangan dan Pelepasan

    "Jebakan," kata Arka, suaranya rendah dan tajam, memotong keheningan di dalam ruangan. Tatapannya lurus ke arah kamera laptop, seolah menembus layar dan menatap langsung wajah penyidik. "Saya tidak menemukan istri saya di sana. Yang saya temukan hanya selendang miliknya, yang sengaja ditinggalkan di tengah jembatan."Alya sedikit tersentak, ingatannya kembali ke selendang sutra berwarna nila yang diberikan Arka saat hari pertama mereka di Kyoto. Arka merespons getaran kecil itu dengan mengusap punggung tangan Alya, ibu jarinya bergerak dengan pola menenangkan."Tersangka, Rio Satya, sudah menunggu saya di sana," lanjut Arka. Wajahnya mengeras, setiap otot di rahangnya menegang saat ia memaksa dirinya mengingat kembali malam itu. "Dia tidak sendirian. Dia membawa beberapa orang. Dia sengaja memancing saya datang, hanya untuk melihat saya hancur."Jaksa di layar menyela dengan suara datar. "Bisa Anda jelaskan lebih rinci, Pak Arka? Apa yang dia katakan kepada Anda?"Arka menarik napas p

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Investigasi Polisi

    "Eh, itu namanya kerja sama," katanya santai. "Kalau kita tim, ya aku bantu biar kita menang."Alya memiringkan kepalanya, senyum jahil tersungging di bibirnya. "Oh, jadi sekarang kita tim, ya?" Tangannya bergerak cepat mencubit pinggang suaminya dengan gemas. "Kalau begitu, sebagai kapten tim, aku berhak dapat bonus dong. Nanti malam traktir makan, ya?"Arka mengaduh kecil, tapi tawanya justru makin lebar. Tanpa aba-aba, ia menarik Alya mendekat dan mengecup keningnya lembut. "Iya, iya, Kapten. Perintahmu dilaksanakan."Pipi Alya merona tipis. "Itu baru suami pengertian."Setelah mengambil hadiah berupa sebuah boneka kecil berbentuk kucing, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri tepi sungai. Cahaya dari lampion-lampion yang kaya warna jatuh ke permukaan air, menghasilkan sebuah pemandangan yang benar-benar magis.Mata Alya berbinar saat ia menghentikan langkahnya di jembatan kecil, tertegun oleh pemandangan di hadapannya.“Indah sekali, Ka…” bisiknya pelan.Arka yang berada di sebe

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Malam Romantis

    “Kenapa senyum-senyum begitu?” tanya Alya saat masuk ke mobil.“Enggak kenapa-napa,” balas Arka masih sambil tersenyum.Kemudian pria itu menutup pintu, dan berjalan memutar masuk ke dalam mobil.Setelah di dalam mobil, Arka menyalakan mesin mobil, tapi senyumnya tetap tak hilang. Pria itu menatap jalanan Kyoto yang mulai gelap, lampu-lampu kota memantul di kaca depan.Namun dagunya terangkat sedikit, memperlihatkan senyum yang tidak bisa ia tekan.“Aku senyum-senyum karena—” Arka menoleh lagi, kali ini penuh, mata mereka bertemu. “Istri aku terlihat paling cantik sedunia hari ini.”Alya langsung memukul pelan lengan Arka. “Arkaaa serius, kenapa?”Arka terkekeh, menikmati reaksi itu lebih dari yang seharusnya. Ia mengulurkan tangan, mengusap kepala Alya sebentar.“Kenapa aku senyum-senyum?” ulang Arka. “Karena aku bahagia.”“Bahagia kenapa?”Arka menggigit bibir bawahnya, seolah menimbang apakah ia harus mengatakan alasan sebenarnya, atau menggoda dulu. Akhirnya ia memilih yang kedua.

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Rumah Bukan Lagi Pelarian

    Sasha baru menekan tombol kirim, tapi matanya masih terpaku pada Arka. Arka tampak sedang bersandar di mobilnya sambil memainkan ponsel. Anehnya, Arka tampak begitu segar, seolah syuting yang melelahkan itu tidak pernah terjadi. Garis kelelahan yang dulu selalu membayangi wajahnya benar-benar lenyap, berganti dengan aura yang tenang dan penuh kebahagiaan.Sasha menaruh ponselnya di saku, lalu dengan langkah anggun yang sudah ia latih selama bertahun-tahun, ia menghampiri Arka.“Mas Arka,” sapanya, suaranya terdengar lembut, tapi ada nada mendesak yang tersembunyi.Arka, yang baru saja membuka pintu mobil, menoleh. Senyum tipis yang ia berikan benar-benar profesional. Tidak hangat, tidak juga dingin.“Oh, Sasha. Ada apa?”“Aku mau bicara sebentar soal skrip adegan besok,” kata Sasha, mendekat. Kurasa ada beberapa hal yang harus kita bahas lagi," kata Sasha. "Misalnya, apa sih alasan kuat karakterku sampai harus memanipulasi Radit?""Oke," sahut Arka singkat, seraya mengenakan jaketnya.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status