Keesokan harinya, suasana apartemen kembali seperti biasa. Arka terlihat sibuk dengan naskah syuting barunya, sementara Alya berusaha mengabaikan rasa tegang yang masih tertinggal dari malam sebelumnya.
Ia duduk di sofa sambil membuka laptop untuk membalas beberapa email kerja sama yang kini mulai datang sejak statusnya sebagai 'istri' Arka. Arka keluar dari kamar kerja sambil merenggengkan tubuhnya. "Ngapain?" tanyanya sambil melirik ke layar laptop Alya. "Kerja," jawab Alya singkat. "Ada endorse masuk. Aku bales-balesin dulu." Arka menghampiri Alya. Ia duduk disampingnya dan memiringkan kepala, pura-pura membaca isi layar. "Hmm... kamu kelihatan keren juga ya, pas serius kayak gini," ujar Arka. Alya melirik cepat, "Kamu kenapa?" Arka menyandarkan punggung, menatap langit-langit. "Nggak. Lagi pengen godain istri sendiri aja," ucapanya enteng. Alya memutar bola mata, "Kita ini cuman kontrak, inget?" "Kontraknya kan nggak ngatur aku dilarang ngerayu kamu," goda Arka. Alya terdiam. Ada nada menggoda yang mulai sering ia dengar dari suara Arka belakangan ini. Tapi entah kenapa, bukannya kata-kata itu membuatnya risih ─ justru hal itu malah membuat jantungnya berdetak lebih cepat. "Kalau kamu terus gitu, aku bisa salah paham," gumamnya pelan. Arka menoleh cepat, “Mungkin memang niatku bikin kamu salah paham.” Alya menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Detik itu juga, Arka bangkit berdiri sambil tersenyum kecil. "Tenang, aku nggak akan ganggu kamu kerja lagi. Tapi jangan heran kalau nanti aku makin sulit dibedakan ─mana akting, mana bukan," goda Arka lagi. Alya hanya bisa menatap punggung Arka yang perlahan menjauh ke dapur. Ucapan itu menggema di pikirannya. Ia menarik napas panjang, lalu kembali menunduk ke laptop. Tapi pikirannya sudah tak lagi fokus. Siang itu, matahari Jakarta bersinar terik. Alya mengenakan hoodie hitam dan masker, berusaha menyamar agar tak menarik perhatian. Ia membawa kantong berisi buah dan cemilan kesukaan Risa—adik satu-satunya yang kini jadi alasan terbesar ia bertahan. Langkahnya cepat saat memasuki bangsal rumah sakit. Risa masih terbaring di ruangan VIP yang dibiayai oleh Arka, meski Alya tak pernah memintanya. Saat pintu terbuka, Risa menoleh. Senyum cerah langsung mengembang di wajahnya yang mulai tampak lebih segar. “Kak Alya!” Alya melepas masker dan tersenyum. “Kamu udah keliatan lebih sehat. Hari ini pipimu udah nggak sepucat kemarin.” Risa tertawa kecil, lalu duduk bersandar di ranjang. “Karena tiap buka medsos isinya berita kamu dan Kak Arka semua. Seru, jadi semangat sembuh.” Alya meletakkan buah di meja, lalu duduk di kursi sebelah ranjang. “Kamu kebanyakan scroll TikTok, ya?” “Ya gimana dong, Kak. Semua orang ngomongin kalian. Bahkan suster di sini sampai nanya, ‘Itu kakak kamu? Yang nikah sama Arka Mahendra?’” Risa menirukan gaya sok kagum, lalu tertawa lagi. Alya ikut tertawa, meski hatinya sedikit mencelos. Risa tiba-tiba menatap serius. “Tapi... beneran, Kak? Kalian nikah beneran?” Alya terdiam. Suara monitor jantung di pojok ruangan terdengar sangat jelas. Ia menunduk, menggenggam tangan adiknya. “Iya, Kakak nikah sama Arka... tapi cuma di atas kertas.” Risa mengerutkan dahi. “Maksudnya?” “Itu cuma pernikahan kontrak. Supaya publikasi Arka makin naik, citranya makin bagus. Dan... Kakak dibayar untuk itu.” Risa terdiam lama. Wajahnya sulit dibaca. “Kamu marah?” tanya Alya hati-hati. Risa menggeleng pelan. “Nggak marah. Kaget aja. Tapi… kenapa mau? Kakak kelihatan capek banget.” Alya tersenyum pahit. “Karena kamu. Karena biaya rumah sakit kamu. Karena ini satu-satunya cara cepat buat dapat uang dalam jumlah besar.” Risa menggigit bibirnya. “Aku nggak pengen Kakak ngorbanin kebahagiaan cuma buat aku...” “Kamu nggak nyusahin. Kamu alasan Kakak tetap kuat.” Alya mengusap kepala Risa lembut. “Lagipula. kita nggak tahu kedepannya. Kadang yang kita kira cuma sandiwara, bisa aja jadi kenyataan.” Risa menatapnya tajam. “Kak... kamu suka sama Kak Arka?” Alya terdiam, lalu menghela napas pelan. “Entahlah. Kadang aku bingung... dia bisa sangat perhatian, sangat hangat... tapi bisa juga tiba-tiba dingin dan tak terjangkau.” “Kayaknya... Kak Arka juga bingung,” kata Risa pelan. “Tapi satu hal yang aku tahu, Kak Alya bukan perempuan biasa. Siapa pun yang dekat sama Kakak, pasti pelan-pelan akan jatuh juga.” Alya tersenyum kecil. Ia tahu, Risa selalu berusaha menguatkannya. Namun, begitu meninggalkan rumah sakit dan kembali masuk ke mobil, senyum itu memudar. Ia menatap bayangan dirinya di kaca jendela. Kontrak ini mungkin dimulai karena uang. Tapi perlahan, yang bermain bukan lagi sekadar logika. Hatinya mulai ikut terlibat. Dan itu... berbahaya."Aku… aku tidak tahu harus bagaimana, Rey," lirih Alya, nadanya cemas, suara yang berusaha ia sembunyikan justru pecah di ujung kalimat. Isakan kecil itu bukan hanya tanda keputusasaan, tetapi juga ketakutan yang merayap dingin ke seluruh tubuhnya, meremas jiwanya hingga tak berbentuk.Di ujung telepon, Reyhan terdiam sejenak. Ia bukan saja mendengar suara Alya yang bergetar, tetapi ia bisa merasakan getaran ketidakberdayaan yang terpancar kuat, menembus jarak yang memisahkan mereka. “Alya, tenang. Ada apa? Kamu bisa bercerita padaku. Aku di sini.” Suaranya lembut, menenangkan, seperti embusan angin di tengah badai, tapi badai dalam hati Alya terlalu besar untuk sekadar ditenangkan.Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai dirinya, namun udara yang ia hirup terasa berat, tidak mampu mengisi paru-parunya. Matanya tertutup rapat, membayangkan wajah Rio yang dingin dan senyum penuh kemenangannya. Ia teringat amplop cokelat itu, dan ancaman yang menggantung seperti pedang Damoc
“Kenapa setiap kali aku ingin percaya padamu… kamu selalu memberiku alasan untuk meragukanmu, Ka?”Alya mematung di samping ranjang, ponsel di genggamannya bergetar pelan, seolah ikut merasakan gejolak dalam hatinya. Foto Arka dan Sasha yang tersenyum sambil bergandengan tangan menyalakan api ketakutan di dadanya, bukan cemburu lagi—karena ia sudah tahu, Om Tio lah dalang di balik masa lalu Arka. Yang membuatnya takut sekarang adalah kemungkinan Rio benar-benar akan menyerahkan bukti itu ke Arka.Ponselnya berdering lagi. Sebuah panggilan video. Nomor asing yang sama. Jantung Alya berdentum kencang. Ia menekan tombol terima dengan tangan gemetar.Layar menyala, menampilkan wajah Rio. Tatapannya tenang, dingin, seolah sedang menonton pertunjukan yang ia atur sendiri. Latar belakangnya rapi, penuh rak buku dan meja kayu gelap, kontras dengan kekacauan yang Rio ciptakan dalam hidup Alya.“Halo, Alya,” suaranya datar, tapi setiap kata terasa menusuk. “Aku harap pesan pagiku tidak terlalu
Alya masih diam cukup lama. Kata-kata Arka barusan terasa menekan dadanya. Berat, tapi ada celah kecil yang mulai retak di dinding yang selama ini ia bangun rapat-rapat. “Aku nggak pernah niat nyembunyiin, Ka,” suaranya pelan sekali. “Aku cuma takut kamu makin kepikiran. Udah cukup banyak yang kamu hadapi.” Arka menghela napas panjang, lalu duduk di sisi ranjang. Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya berhenti di atas selimut, dekat pahanya. “Ly, aku pengin ikut ada di perjuanganmu. Sama Risa juga. Jangan pikir aku bakal terbebani. Justru aku pengin kamu cerita semuanya ke aku.” Alya menunduk, jemarinya mencengkram ujung selimut erat-erat. “Aku masih ragu, Ka… apa kamu beneran tulus, atau cuma karena kontrak ini.” . Arka menoleh, matanya menatap tajam tapi juga rapuh. Ada sesuatu yang bergetar di balik tatapan itu, sesuatu yang Alya belum pernah lihat sejelas malam ini. “Kalau cuma kontrak,” suaranya berat, tertahan, “aku nggak mungkin sepusing ini tiap kali kamu terluka. Aku n
Alya duduk di kursi berhadapan dengan Dr. Hiroshi, seorang pria paruh baya berkacamata dengan wajah ramah. Tangannya gemetar memegang map hasil pemeriksaan sementara Risa yang sudah ia bawa dari Jakarta.“Jadi… ini adik saya, Dok. Namanya Risa,” suara Alya terdengar parau. “Saya ingin tahu, masih ada harapan untuknya?”Dr. Hiroshi membuka lembaran demi lembaran, sesekali mengernyit, lalu menatap Alya dan Reyhan. “Kasus seperti ini memang berat,” katanya pelan, seolah memilih kata dengan hati-hati. “Tapi saya tidak ingin membuat Anda putus asa. Masih ada opsi terapi lanjutan di sini, di rumah sakit kami. Kami pernah menangani pasien dengan kondisi serupa.”Mata Alya langsung berkaca-kaca, sementara Reyhan mencondongkan tubuhnya, mencoba menangkap detailnya.“Artinya… Risa bisa sembuh?” tanya Alya, nyaris berbisik.“Bukan sembuh total,” jawab Dr. Hiroshi tenang. “Tapi kami bisa memperpanjang usia, meningkatkan kualitas hidup, dan—jika tubuhnya merespons dengan baik—ada kemungkinan pemul
Alya sampai di lantai 15. Lorong hotel sepi, hanya suara langkahnya yang terdengar. Ia membuka pintu kamar dengan hati berat.Arka sudah duduk di kursi dekat jendela. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam.“Kenapa kamu pulangnya malam? Dari mana saja?” tanyanya.Alya menaruh tas di meja. “Aku ketemu teman. Ngobrol lama di kafe.”“Teman?” Arka menyipitkan mata. “Aku lihat kamu di Kyoto International Conference Center. Sama Reyhan. Aku juga lihat kamu tertawa lepas di sana. Tawa yang jarang aku dengar kalau kamu bersamaku.”Alya menatapnya, kesal. “Jadi salahku kalau tertawa? Kamu ingin aku selalu menderita di dekatmu?”“Aku nggak rela kalau kamu bahagia dengan orang lain!” suara Arka meninggi.“Berarti kamu memang ingin aku menderita, Arka. Nggak bisakah kamu biarkan aku sedikit saja bahagia tanpa kamu.”Arka melangkah cepat dan meraih lengan Alya. “Kamu istriku!”Alya menepis dengan kasar. “Lepas! Jangan lupa, pernikahan kita cuma kontrak.”Kata-kata itu menampar Arka. Rahangnya menger
Alya langsung menegang. Jantungnya berdegup cepat. “Ada apa dengan Risa? Apa sesuatu terjadi padanya?” tanyanya cemas. tangannya tampak gemetar di atas meja.Reyhan yang duduk di depannya langsung sadar. Ia mengulurkan tangannya, menutupi punggung tangan Alya dengan lembut.“Tenang, Alya. Ini bukan kabar buruk,” ucap Reyhan cepat, mencoba menenangkan. Tatapannya lembut, seolah ingin mengatakan semuanya akan baik-baik saja. “Ini justru kesempatan.”Alya mengerutkan kening. Ia masih belum mengerti.“Kesempatan apa? Aku nggak paham,” tanyanya dengan suara sedikit bergetar.Reyhan menarik napas, lalu mulai menjelaskan perlahan.“Beberapa hari lalu aku ikut seminar onkologi ortopedi di Kyoto International Conference Center. Pembicaranya seorang dokter terkenal dari Jepang, namanya Dr. Hiroshi Ichiro.”Ia berhenti sejenak, memastikan Alya mendengar.“Dia ahli kanker tulang, terutama stadium awal. Reputasinya sangat baik.”Alya menatap Reyhan dengan bingung. Ia belum berani menaruh harapan,