Share

5D
5D
Penulis: Cho Jung So

BAB 1 (SEBATAS ITU SAJA)

"Setelah ini, boleh gua pergi?" tanya Dion pada Dira.

"Apa gua terlalu melelahkan buat lu?" Dira balik bertanya.

"Nggak, ini bukan lelah. Tapi gua adalah orang yang lu butuhin dan setelah gua ngelakuin tugas gua sebagai orang yang lu butuhin. Udah gak ada lagi alasan untuk tinggal," jelas Dion.

"Bukan lelah? Tapi gak ada lagi alasan untuk tinggal? Apa penalaran lu tentang cinta sebatas itu saja? Saat nampak saling peduli? Apa cinta sesederhana itu?" Dion dihujani pertanyaan dari Dira.

"Justru karena sesederhana itu, ini rumit. Rumit karena gua tinggal tanpa pernah tahu bagaimana hati lu," kata Dion.

Dira terdiam mendengar perkataan Dion yang terakhir, ia bungkam seketika tak tahu harus mengatakan apa. Dion adalah sosok yang selalu di sisinya kapan pun ia membutuhkannya, seperti yang dikatakan Dion. Tepat, Dira amat membutuhkannya. Dia merasa bersalah atas kejadian yang kini menimpanya dan Dion, apalagi Dion merasa bertepuk sebelah tangan.

"Elu nggak ngerti, Di," ucap Dira masih memberi pembelaan pada dirinya.

"Ya, gua selalu nggak ngerti, Ra. Yang gua lakuin selalu keliru di mata lu, ya begitu saja," kata Dion yang semakin bingung dengan sikap Dira.

"Oke, terserah lu anggap gua kayak apa. Gua jelasin gimana pun, tapi saat nalar lu milih gak nerima apa yang gua jelasin. Tetap saja semuanya nol," ucap Dira yang makin kebingungan menghadapi Dion.

Tiba-tiba ponsel Dion berbunyi memecah keheningan di antara mereka. Dia pun menerima panggilan yang masuk. Terlihat Dira yang mulai pusing dengan keadaan, tapi ia mencoba menenangkan dirinya.

***

Antrian para pasien semakin dekat menuju ke giliran Dira, ia meminum air mineral agar stresnya berkurang.

"Maaf, Ra," ucap Dion sambil duduk di samping Dira.

"Untuk apa?" tanya Dira.

"Untuk yang tadi, gua nggak seharusnya bahas itu disaat seperti ini," jawab Dion.

Suara otomatis dari pemanggilan nomor antrian terdengar menyebutkan nama "Dira Dyandra Danu", Dion menepuk-nepuk bahunya mengisyaratkan kata semangat untuknya. Dira mencuri pandang kemudian berlalu.

"Gua begitu egois, karena gua terkesan maksa lu untuk natap gua dengan tatapan lain. Lain dari biasanya. Lantas harus kayak apa? Ini nyakitin. Tapi gua bakalan belajar ngepak ini lagi, karena lebih nyakitin ngelihat lu sakit. Gua harap, lu lekas sembuh," gumam Dion.

Beberapa saat kemudian, Dira keluar dari ruangan dokter dan kembali ke tempat di mana Dion duduk. Dion terlihat sedih dan menundukkan kepalanya. Dira hanya duduk dan tak mengatakan apapun.

"Pulang yuk!" ajak Dira, singkat.

"Apa kata dokter, Ra?" tanya Dion

"Nanti gua cerita, Di. Sambil jalan pulang aja," jawab Dira.

"Oke, gua muter mobil dulu. Lu tunggu di gerbang ya." Ketika memasuki mobil, Dira mulai berbicara pada Dion.

"Lain kali gua sendiri aja ya, Di."

"Oke, kalo itu yang bikin lu nyaman."

Dari dalam lubuk hati Dira, ia enggan mengatakan itu pada Dion. Ia sebenarnya kaget karena Dion mengiyakan keinginannya dengan begitu mudah.

"Tuhan, maafin Dira yang udah lakuin ini ke Dion. Tapi ini yang terbaik untuk saat ini, jika terlalu sering bareng lukanya akan semakin dalam. Gua pengen dia gak tahu apapun saat ini, ini yang terbaik," gumam Dira.

Dion melihat Dira yang terdiam begitu saja, namun tak mengatakan apapun padanya malah mengalihkan suasana yang tengah hening.

"Sebelum pulang, kita beli salad buah dulu ya," ucap Dion.

"Oke, gua juga pengen, Di."

"Jadi lu diam karena lu laper, Ra?" ejek Dion.

"Terserahlah anggapan lu apa!" ucap Dira dengan senyum kecilnya.

Dion berhenti tepat di depan penjual salad buah yang di mana biasanya ia membelinya, hanya berselang waktu beberapa menit iapun kembali ke mobil dan kembali berkendara.

"Eh, kata mas itu dia titip salam buat lu, Ra," ejek Dion lagi.

"Emang masnya tahu di mobil ini ada perempuan di mobil ini? Belajar bohong tapi belum tahu tekniknya, sini tak ajarin, Mas." kata Dira membalas Dion.

"Jadi bohong juga butuh teknik ya? Dan yang gilanya pakarnya ternyata ada di sebelah gua," tambah Dion.

"Tentu butuh, tapi gua bukan pakarnya ya. Gua cuman nilai apa yang terjadi tadi dan emang lu kurang yakinin tadi. Masnya aja gak liat dan gak kenal gua kan."

"Iya masnya gak kenal kamu, Ra. Karena gak ada laki-laki yang ngenal kamu lebih dari aku," gumam Dion.

"Kok diem? Udah ngaku kalah? Payah."

"Ah ng .. nggaklah. Gua lagi mikir aja harus lawan lu pake apa."

"Alibi lu kurang kuat, Pak."

"Ya udah, ngalah ajalah sama perempuan."

"Gitu aja? Gak seru, aku berasa gak berjuang tadi."

"Next timelah, gua pulihin kekuatan dulu. Hm, dokternya ngomong apa tadi?"

"Nggak banyak, intinya nyuruh aja minum obat."

"Udah ada perkembangan menuju sembuh?"

"Entahlah, dia cuman bilang kalo gua gak boleh lupa minum obat walau sekalipun."

"Ya baguslah, setidaknya gak semakin parah."

"Iya, Di. Alhamdulillah, hari ini ortu gua balik. Lu ke rumah ya, pasti mereka nanyain lu.

"Oke, tapi gak lama ya. Gua ada kegiatan."

"Iya nggak apa-apa, yang jelasnya kamu nyambut mereka."

Tidak ada alasan bagi Dion untuk menolak permintaan Dira, karena orang tua Dira sudah seperti orang tuanya. Bahkan orang tua Dira menitipkan Dira pada Dion saat mereka ke luar kota maupun ke luar negeri. Ayahnya adalah pimpinan perusahaan ternama.

Sudah bisa dibayangkan sebagai mana dekat Dion dengan orang tua Dira dan tak jarang orang tua menjodohkan anak mereka pada laki-laki yang mereka telah kenal luar dalam.

***

"Berlarilah padaku dan bawa seluruh luka itu . Memang berat untukku , tapi akan lebih berat dan menyesakkan lagi jika harus melihatmu dilukainya lagi dan lagi."

Begitulah yang selalu ada dalam benak Dion, selalu ingin menjadi tempat Dira berlari di tengah lelahnya. Sekeping rasa yang tak tahu kapan akan Dira sambut seperti inginnya. Seperti itulah dunia ini bekerja. Mencintai seseorang dengan sangat, tapi terkadang kita tak tahu hatinya untuk siapa. Dan dicintai oleh seseorang sementara hati kita bukan untuknya.

***

"Diiooon, udah gede banget kamu, Nak. Lama gak ketemu udah segede ini," seru mamah Dira (Eva) sambil memeluk erat Dion.

Semua keheranan melihat Eva, karena lebih dulu memeluk Dion dari Dira. Kemudian berlanjut dengan tawa mereka.

"Mamah juga makin cantik, awet muda banget," puji Dion.

"Aduh, Sayang. Makasih ya. Dion tahu aja maunya Mamah."

"Waduh, Di. Kok muji mamah segitunya sih. Yang ada dia nggak tidur ntar. Aku juga heran kok yang pertama dia peluk kamu, aku malah dilewatin," ujar Dira kemudian diam.

"Sayang, Mamah gak ada maksud lain. Mamah kan udah lama gak ketemu Dion. Sini mamah peluk," seru Eva sambil memeluk Dira.

"Mamah Eva emang cantik kok, Ra. Jadi aku gak salah dalam hal ini," tambah Dion. Dira sama sekali tidak menggubris pernyataan Dion.

"Anakmu lagi manja, Mah. Dion aja dicemburuin," ejek Papah Dira (Danu).

"Aku bercanda kok, Pah. Papah aja yang gak bisa bedain," ucap Dira.

"Udah, Pah. Papah ngalah aja sama perempuan," tambah Dion sambil give five dengan Danu.

Suara ketokan pintu memecah percakapan mereka, Eva mambuka pintu dan terlihat tiga laki-laki gagah yang langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan Eva.

"Sayaaaaang," seru Eva sambil memeluk erat ketiganya.

"Maaf, Mah. Kita baru nyampe sekarang tadi agak macet," jelas David sambil tersenyum.

"Gak apa-apa, Sayang. Makasih banyak loh dah bela-belain nyambut mamah."

"Mamah mudanya gak berkurang," puji Dimas.

"Makasih, Sayang," ucap Eva sambil tersenyum.

"Udah dua yang muji Evaku hari ini," ucap Danu.

Semua tertawa serentak, berbeda dengan Dira ia masih keheranan melihat mereka semua bisa berkumpul dengan lengkap.

"Jadi kalian ngerencanain ini sejak awal?" tanya Dira menyelidik. Suasana seketika menjadi hening.

"Duduk dulu, baru diomongin baik-baik," usul Danu.

"Iya, Sayang. Bener kata papah," tambah Eva.

"Gini, Ra. Kita nggak ngerencanain sedetail yang dipikiran kamu. Kebetulan mamah ngabarin mau pulang dan yang luar biasanya Tuhan karena bertepatan dengan kami pulang," jelas Dimas perlahan.

"Bener, Ra. Kita gak mungkin gak ngabarin kamu kalo kita bakal pulang," tambah David.

"Di? Kamu tahu?" Dira semakin menyelidik.

"Nggak, Ra. Aku juga baru tahu sekarang," jawab Dion.

"Beneran, Ra. Kita gak alibi dan gak ada kerjasama," tambah Dimas.

"Udahlah, Sayang. Mereka dadakan. Makanya gak ngasih tahu kamu, udah nggak sempat," ujar Eva mencoba menenangkan.

"Iya, Ra. Mereka buru-buru cari tiket untuk pulang ke sini," tambah Danu.

"Mah, Pah, selamat istirahat ya! Aku, Dira, dan yang lain mau cari angin dulu," usul David sambil memberi kode pada keduanya.

"Oke Dav, mamah sama papah ke atas dulu ya. Dah semuanya," ucap Eva sambil membawa beberapa kantong kresek.

"Ya udah, kalian hati-hati ya. Jangan lupa bawa makanan, ini terlalu banyak buat ditaroh di rumah," tambah Danu.

***

Mereka semua terdiam seketika melihat ulah David, yang tanpa berpikir panjang berusaha mengelabui keadaan.

"Ayo! Kalian kenapa masih ngeliatin aku? Waktunya kita jalan, antarin Dira ke mobil! Dim, Day, bantu aku bawa makanannya."

Mereka menuju ke mobil tanpa membantah perintah dari David, Dira merasa bahwa mereka sedang merancanakan sesuatu tanpa sepengetahuannya. Termasuk kedatangan mereka. Setelah mereka berada di samping mobil, mereka langsung masuk.

***

Dira hanya diam sejak tadi tanpa berkomentar apapun. Ia hanya mengikuti arus. David memutar lagu Ed-Sheeran - Dive sambil bernyanyi, sedangkan Dion dan Dimas tengah sibuk dengan gadget. Terakhir Dayyan yang tak pernah bicara sepatah kata pun sejak ia datang. Tiba-tiba Dimas menyiku Dion dan memberi isyarat tentang kondisinya Dira. Namun Dion tidak mengerti.

"Apaan?" tanya Dion.

"Gimana kondisinya Dira?" bisik Dimas.

"Aku juga nggak tahu." jawab Dion singkat.

"Kan kamu yang nemanin dia, kok nggak tahu?"

"Aku emang nemanin dia, tapi dia gak cerita detilnya. Kamu tanya dia langsung kalo berani sih, aku persilakan," jelas Dion agak kesal.

"Ya udah, santai aja. Gak pake marah juga kali," kata Dimas mulai berisik.

"Gimana hasilnya, Ra?" Suara itu memecah perdebatan mereka berdua.

"Cuman nyuruh minum obat teratur aja, Day." jawab Dira singkat.

"Kalian berdua terlalu banyak mikir, bertindaknya kelamaan. Diduluangin deh ama yang bernyali," sindir David.

"Ini semua gara-gara Dion, dia kok bisa-bisanya gak tahu kondisinya Dira padahal dia yang pergi," ujar Dimas.

"Kenapa jadi aku?"

"Udah-udah, kalian brisik banget. Dav, kita akan ke mana?"

"Tunggu aja, Ra. Ini buat kamu. Buat nebus kesalahan aku," ucap David.

"Loh kok kamu doang? Kita nggak nih? Ini kan kesalahan bersama Dav," protes Dimas.

"Bercanda doang kali, sensi amat," ejek David.

"Dav, kamu juga sih suka bikin rusuh," kata Dira.

"Gak ada aku gak rame kan, Ra?"

"Iya deh iya."

"Berhenti di depan, Dav," ucap Dayyan. David berhenti tepat di tempat yang dikatakan Dayyan, Dayyan segera turun.

"Dayyan ngapain tuh?" tanya Dimas.

"Gak tahu juga, aku aja bingung tiba-tiba dia nyuruh berhenti," kata David.

"Yang pastinya ada urusanlah," kata Dion.

David dan Dimas menatap Dion bersamaan, dan itu membuat tawa Dira akhirnya lepas. Mereka semuapun tersenyum melihat Dira, dan saat Dira melihat ke arah mereka. Mereka bergegas melihat ke arah lain.

***

Tak ada satu pun dari mereka yang mempertanyakan apa yang Dayyan lakukan di toko kecil tadi di pinggiran jalan meskipun mereka saling bertanya-tanya apa yang Dayyan lakukan tadi. Beberapa menit kemudian mereka pun tiba di tempat yang dikatakan oleh David.

"Laut, Dav?" tanya Dira dengan wajah yang memerah.

"Iya, this is for you," jawab David sambil tersenyum.

"Thank you, Babe," seru Dira sambil berlari ke ayunan di belakang villa.

Perhatian mereka semua tertuju pada Dira yang good moodnya mampu David kembalikan dengan seketika. Mereka ikut senang melihat Dira melupakan kekesalannya pada mereka.

"Salut! lu emang paling bisa kalo soal cewek, Dav," ucap Dimas sambil menepuk bahu David.

"Udah, gua cuman lakuin yang gua anggap Dira butuh. Kalian juga selamat senang-senang brothers," ucap David.

Laut mampu menjadi salah satu alasan suasana hati seseorang membaik. Birunya dan desir ombaknya yang menyapa siapa saja yang menghampirinya, membuat seseorang merasa sedang berbicara dengan seseorang yang ramah. Pada bibir pantainya bisa menjadi tempat berteriak yang sangat baik untuk melepaskan segala sesak dalam dada. 

"Di, biarin dia sendiri dulu." David menegur Dion yang akan melangkah ke arah Dira yang sedang menikmati hembusan angin di bibir pantai. 

"Kok lu tahu aku pengen nyamperin Dira?" tanya Dion. 

"Lu mungkin bisa bohongin semua orang, tapi mata lu nggak bisa bohongin gua."

"Sejelas itu ya?"

"Lu ngaca gih!"

"Gua salah, Dav. Tadi gua sempat nyinggung dia di RS. Gua kebawa suasana tadi. Di, Di, lu kenapa sih?!" Dion gelisah dan menepuk jidatnya. 

"Ya udah, kasih dia space dululah. Ngopi gih biar lu gak panik," saran David. 

Dion Danendra salah satu anak 5D yang selalu ada untuk Dira, merupakan hal wajar kalau dia terjebak friendzone. Ada hal yang kadang tak bisa kita kontrol di dalam persahabatan, itulah cinta. Meski Dira selalu menunjukkan bahwa hubungan mereka sebatas itu saja, seperti yang Dira rasakan pada anak 5D yang lainnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status