7 Days VS 7 Years

7 Days VS 7 Years

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-05-06
Oleh:  EkaliyaOngoing
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
11Bab
920Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sinopsis

Dalam kilasan sekejap, hubungan tujuh tahun Amel hancur. Di saat putus asa merajalela, Amel bertemu dengan Alex, seorang pria misterius yang mengubah segalanya dalam tujuh hari. Ketika Amel mulai yakin untuk memulai hubungan baru dengan Alex, Evan muncul dan memintanya kembali. Di antara memori lama yang hangat tentang tujuh tahun kisah cintanya dan janji baru yang menggoda, Amel harus memilih. Antara kenangan yang panjang dan momen yang baru, mana yang akan membawanya ke jalan kebahagiaan?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

Malam itu, setelah menata loyang terakhir dan membersihkan sisa tepung di meja stainless steel, Amel bergegas mengunci pintu depan toko rotinya. Aroma manis croissant mentega dan vanila yang biasanya ia puja, malam ini terasa memuakkan, menempel di pakaian dan rambutnya. Ia Lelah. Lelah banget sampai ke tulang. Hari ini toko sangat ramai, berkah yang ironisnya menguras energinya hingga tetes terakhir.

Toko roti ini adalah dunianya. Mimpinya yang terwujud. Setiap adonan yang mengembang adalah validasinya, setiap pelanggan yang tersenyum adalah pencapaiannya. Tapi malam ini, yang ia bayangkan hanyalah berendam air hangat di apartemennya, mencoba melemaskan otot-otot bahunya yang kaku.

Setelah gerendel pintu ganda itu terkunci, sebuah getaran singkat dari ponsel di dalam tasnya menghentikan langkah Amel. Ia menghela napas, sedikit kesal. Semoga bukan pemasok yang komplain soal pengiriman besok.

Tangannya merogoh tas jinjingnya, dan nama 'Evan' tertera di layar.

Jantungnya yang lelah seketika berdebar lega. Akhirnya. Setelah satu minggu penuh hening—seminggu yang Amel habiskan dengan meyakinkan dirinya bahwa Evan hanya sibuk dengan proyek barunya—pacarnya itu menghubunginya.

Amel membuka pesan itu, senyum lega sudah siap tersungging di bibirnya.

Senyum itu langsung membeku, kaku di wajahnya.

Maaf, Mel.

Kayaknya aku harus bilang ini.

Ini udah bukan tentang kamu lagi.

Kita harus berhenti di sini.

Hanya itu. Singkat, dingin, dan final.

Ponsel di tangannya bergetar. Atau mungkin, tangannya yang gemetar hebat. Amel tertegun. Ia membaca ulang pesan itu. Lagi, dan lagi. Lima kali. Sepuluh kali. Mencari nada bercanda yang tersembunyi. Mencari emoji konyol yang mungkin salah kirim. Mencari kalimat lanjutan yang berbunyi, "Aku bercanda, Sayang!"

Tidak ada.

Hanya tusukan dingin dari setiap kata yang menembus hatinya. Ini udah bukan tentang kamu lagi. Napasnya tercekat di tenggorokan, dan lampu jalan di seberangnya tiba-tiba mengabur.

Tujuh tahun.

Pikirannya berputar kacau. Tujuh tahun rencana, tawa, pertengkaran kecil tentang film apa yang akan ditonton, dan mimpi masa depan—semuanya terkubur dalam satu gelembung pesan abu-abu. Air mata yang sejak tadi mendesak di pelupuk matanya, akhirnya tumpah. Satu tetes, lalu mengalir deras tanpa bisa ia hentikan.

Ia menghapusnya dengan punggung tangan yang kasar berbau adonan, namun sia-sia. Bayangan-bayangan kenangan berkelebat tanpa ampun. Bukan hanya daftar. Itu adalah adegan utuh.

Baru bulan lalu, di makan malam peringatan tujuh tahun mereka, Evan menggenggam tangannya di atas meja restoran yang remang-remang. "Tahun depan, di tanggal ini, kamu udah jadi Nyonya Evan," katanya, matanya bersinar.

Bayangan gaun pertunangan berwarna gading yang baru ia pilih bersama Maya minggu lalu. Ia bahkan sudah mengirimkan fotonya pada Evan, yang hanya membalas dengan emoji hati.

"Nggak mungkin," desis Amel pada dirinya sendiri, suaranya parau dan pecah. Ia menatap layar ponselnya, seolah berharap pesannya akan berubah. Tapi kenyataan tak terbantahkan. Evan telah memutuskannya. Lewat chat.

Amel mencoba mengingat kapan semuanya mulai retak. Kapan tawa mereka menjadi hambar? Kapan genggaman tangannya terasa berbeda? Kepalanya kosong. Semuanya baik-baik saja. Mereka baik-baik saja.

Tidak. Ia tidak bisa menerima ini.

Setidaknya, ia butuh penjelasan. Ia butuh lebih dari sekadar 14 kata yang dingin. Ia harus mendengarnya langsung. Ia harus melihat mata Evan ketika laki-laki itu berkata bahwa dia sudah tidak mencintainya.

Dengan jari gemetar hebat, Amel menekan tombol panggil. Jantungnya berdebar sangat kencang hingga terasa sakit.

Dering pertama. Hening.

Dering kedua. Hening.

Dering ketiga—

"Halo." Suara Evan. Datar.

"Evan," suara Amel serak, nyaris tak terdengar. "Kamu di mana? Ini maksudnya apa? Ini... ini nggak lucu, Van."

Hening di seberang sana. Hening yang memekakkan telinga. Lalu, suara Evan yang sama datarnya.

"Nggak ada yang lucu, Mel."

"Kita harus ngomong," desak Amel, suaranya mulai naik, panik. "Sekarang. Aku di depan toko. Bilang sama aku ini semua bohong, kan?"

Hening lagi. Amel bisa mendengar embusan napas Evan. "Nggak ada yang perlu diomongin lagi, Mel. Semuanya udah jelas di pesan itu."

"Nggak bisa!" teriak Amel. "Tujuh tahun, Evan! Kamu nggak bisa mutusin aku lewat chat! Temuin aku. Jelasin! Aku mohon!"

Desahan panjang terdengar. "Oke. Aku ke sana,"

katanya singkat, nadanya terdengar lelah dan terpaksa. Panggilan itu mati.

Dan di sinilah Amel sekarang, sepuluh menit kemudian, terduduk di tangga depan tokonya sendiri, di bawah lampu neon "Amel's Bakery" yang baru ia ganti bulan lalu. Ia memeluk lutut. Hawa malam Surabaya yang biasanya lembap dan hangat, kini terasa sedingin es, menembus blus tipisnya. Ia mencoba berhenti gemetar, tapi tidak bisa.

Kepalanya dipenuhi ribuan pertanyaan yang berteriak. Apa salahnya? Apa ia terlalu sibuk di toko? Apa ia lupa melakukan sesuatu?

Sepuluh menit terasa seperti sepuluh jam. Setiap suara motor yang lewat membuat jantungnya melompat.

Lalu, suara langkah kaki yang familier itu mendekat. Langkah kaki yang ia hafal di luar kepala. Amel bergegas mendongak.

Itu Evan. Berdiri canggung sekitar lima meter darinya, di bawah lampu jalan. Wajahnya kuyu, tampak lebih lelah dari Amel. Mata Evan, yang biasanya menatapnya dengan hangat dan penuh puja, kini kosong dan menghindari tatapannya.

Melihatnya, secercah harapan irasional muncul di hati Amel. Ia bangkit. Senyum rapuh tersungging di wajah sembabnya.

"Evan," bisiknya. Tanpa pikir panjang, ia melangkah maju dan memeluk Evan erat. Ia membenamkan wajahnya di dada laki-laki itu, mencium aroma parfum yang ia kenal, mencoba menyangkal kenyataan, berharap ini semua hanya mimpi buruk yang panjang.

Detik berikutnya, semua terasa nyata. Dan dingin.

Evan tidak membalas pelukannya. Tubuhnya kaku. Yang Amel rasakan adalah dua telapak tangan Evan menekan bahunya dengan pelan namun tegas, mendorong tubuh Amel menjauh.

Jarak satu langkah di antara mereka kini terasa seperti jurang yang tak terseberangi.

"Kita... beneran putus?" tanya Amel, suaranya tercekat, nyaris berbisik. "Salahku apa? Bilang, salahku apa? Gara-gara aku terlalu sibuk di toko? Aku bisa..."

Evan akhirnya menatapnya, tapi tatapannya penuh rasa bersalah yang membuat Amel semakin muak.

"Kamu nggak salah apa-apa, Mel."

"Terus kenapa?!" desak Amel, suaranya mulai histeris, air matanya kembali mengalir. "Kenapa, Van? Tujuh tahun! Kita mau tunangan!"

"Maaf," ucap Evan pelan, suaranya rendah. Ia kembali membuang muka. "Kita nggak bisa bareng lagi. Aku... Aku nggak bisa ketemu kamu lagi."

"Itu bukan alasan!"

"Ma-"

"Jelasin alasannya!"

Evan tampak tersiksa. Ia menggeleng pelan. "Aku harus pergi."

Tanpa penjelasan lain, tanpa memberi ruang untuk Amel membalas, Evan berbalik dan pergi. Langkah kakinya cepat, meninggalkannya sendirian di trotoar yang sepi, di depan toko yang ia bangun dengan darah dan keringat.

Amel terduduk kembali di tempatnya. Kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya. Ia membiarkan kehancuran merasuk, membiarkan isak tangisnya pecah di keheningan malam. Masa depan yang begitu pasti, kini lenyap. Segalanya menjadi hitam.

**&

Amel tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di apartemennya. Ia tidak ingat apakah ia mengunci pintu, atau apakah ia mengemudi. Yang ia tahu, matahari sudah berganti posisi di langit. Senja. Mungkin sudah sehari, atau dua hari berlalu. Ia tidak yakin.

Ia berdiri di balkon, mengenakan piyama yang sama dengan yang ia pakai kemarin, atau kemarin lusa. Menatap langit Surabaya yang mendung, segelap suasana hatinya. Ponselnya mati di suatu tempat di dalam kamar, kehabisan baterai setelah puluhan panggilan tak terjawab dari orang tuanya.

Ia ingat panggilan terakhir yang ia angkat tadi pagi. Dari ibunya. Suara di seberang sana tidak menanyakan kabarnya.

"APA MAKSUDNYA SEMUA INI DIBATALKAN, AMELIA?"

Amel hanya diam, membiarkan telinganya berdenging.

"Gedung sudah dibayar uang mukanya! Katering! Mau ditaruh di mana muka keluarga? Apa kata keluarga besar Evan?"

Amel masih diam.

"PASTI INI SALAH KAMU!" suara ibunya melengking. "Ibu sudah bilang, jangan terlalu sibuk urus toko rotimu itu! Laki-laki itu butuh diperhatikan! Lihat sekarang! Kamu mempermalukan keluarga!"

Amel mematikan panggilan itu.

Dan kini ia di sini. Evan pergi. Orang tuanya menyalahkannya. Rasanya ia terjebak dalam terowongan gelap tak berujung. Setiap tarikan napas terasa berat, ditarik oleh kehampaan yang menganga di dadanya. Rasanya lebih mudah untuk menghilang saja.

Tapi bayangan toko rotinya muncul. Bayangan Rini dan Dedi, para pegawainya yang bergantung padanya. Bayangan Maya.

"Kamu nggak lagi mikir mau loncat dari situ, kan?"

Amel menoleh kaget. Maya, sahabatnya, sudah berdiri di pintu balkon, mengenakan kacamata hitam besar meskipun hari mendung, sambil berkacak pinggang.

"Sejak kapan kamu di situ?" tanya Amel parau. Suaranya serak karena tidak dipakai dan terlalu banyak menangis.

"Nggak penting. Kunci apartemen cadanganmu gunanya apa kalo nggak dipakai buat nyelametin sahabat yang lagi drama?" Maya melenggang masuk. "Sekarang, beres-beres. Kita ke Bali besok."

Amel mengerjap. Otaknya yang lamban mencoba memproses. "Bali? Ngapain?"

"Ngapain lagi? Ya buat ngelupain si brengsek Evan itu, lah!" sembur Maya. "Aku yakin seribu persen, kamu bakal dapet bule di sana yang seribu kali lebih oke dari dia. Atau paling nggak, kita bisa minum cocktail sampe kita lupa nama kita sendiri."

Amel memijat pelisnya yang berdenyut. "Maya, ini mendadak banget. Toko rotiku—"

"Toko rotimu udah aku urus," potong Maya cepat.

Amel menatap Maya penuh curiga. Tepat saat itu, ponselnya di atas meja—yang rupanya sudah diisi dayanya oleh Maya—berbunyi serentak. Notifikasi pesan masuk.

Dari grup W******p pegawainya. Pesan dari Rini.

Mbak Amel, maaf saya izin cuti beberapa hari. Ada keperluan mendadak di desa.

Pesan dari Dedi.

Mbak, maaf saya mau izin cuti, ada acara keluarga...

Amel menatap pesan-pesan itu, lalu menatap Maya.

Maya tersenyum penuh kemenangan. "Aku bilang ke mereka, kamu kasih bonus cuti mendadak seminggu. Dibayar penuh. Mereka seneng banget."

Amel menghela napas panjang. Sahabatnya itu memang gila dan tidak bisa ditebak.

"Sekarang kamu nggak punya alesan lagi," kata Maya, nadanya melembut. "Tiket udah aku pesen. Pesawat kita jam 9 pagi. Kamu tinggal masukin baju ke koper. Atau nggak usah, kita beli aja semua di sana."

Amel menatap Maya, lalu menatap langit senja yang muram. Ia lelah. Lelah menyangkal, lelah menangis, lelah disalahkan. Mungkin Maya benar. Ia tidak bisa terus seperti ini.

Menyerah pada energi Maya yang tak terbendung, Amel akhirnya mengangguk pelan. "Oke, May. Kamu menang."

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Tidak ada komentar
11 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status