MasukPukul 03.30 pagi. Rizky sudah duduk di depan meja kerjanya dengan tasbih di tangan kanan dan segelas kopi hitam yang masih mengepul di tangan kiri. Di hadapannya, selembar kertas berisi catatan untuk ceramah subuh yang akan dia sampaikan satu jam lagi. Temanya: "Melupakan Masa Lalu."
"Ironis," gumamnya sambil tersenyum kecut.
Bagaimana mungkin dia memberikan ceramah tentang melupakan masa lalu sementara dirinya sendiri masih terjebak dalam kenangan delapan tahun silam? Tapi itulah tugasnya sebagai ustadz muda di masjid kompleks perumahan ini. Memberikan pencerahan, meski dirinya sendiri masih mencari cahaya.
Rizky meletakkan kopinya dan memejamkan mata, mencoba mengingat ayat dan hadits yang telah dia pilih untuk ceramahnya. Tapi alih-alih ayat-ayat Alquran, yang muncul di benaknya adalah wajah seorang gadis berkacamata yang selalu membawa buku ke mana-mana.
Maya Putri.
Gadis pendiam yang dulu selalu duduk di sudut perpustakaan, yang mata berbinar cerahnya selalu tersembunyi di balik lembaran buku tebal. Gadis yang selama satu semester menjadi partner proyeknya. Gadis yang dia sakiti tanpa sengaja.
"Astaghfirullah," Rizky menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan Maya dari pikirannya.
Delapan tahun telah berlalu sejak kelulusan SMA. Delapan tahun sejak terakhir kali dia berbicara dengan Maya. Dalam delapan tahun itu, Rizky telah berubah total. Dari playboy sekolah yang berganti pacar setiap bulan, kini dia menjadi ustadz muda yang dihormati jemaahnya. Tapi satu hal yang tidak berubah: perasaannya pada Maya.
Telepon genggamnya bergetar pelan. Rizky mengernyitkan dahi melihat notifikasi yang muncul.
"Undangan Reuni Akbar SMA Pelita Bangsa Angkatan 2015."
Jantungnya berdegup lebih kencang. Reuni. Minggu depan. Itu berarti...
"Maya," bisiknya tanpa sadar.
Dia membuka pesan itu. Undangan digital dengan desain elegan. Lokasi di Hotel Grand Menteng, tempat yang sama dengan prom night mereka dulu. Tanggal 7 Agustus, pukul 7 malam. Dress code: "Dress Your Success" (Kenakan Pakaian Kesuksesanmu).
Rizky tersenyum tipis. Apa yang akan dikenakan seorang ustadz untuk menunjukkan kesuksesannya? Baju koko terbaik dengan peci yang paling mewah?
Matanya menelusuri daftar panitia reuni. Nama Luna dan Nadia tertera sebagai koordinator acara. Tapi yang membuatnya tertegun adalah nama di baris terakhir: Maya Putri, dokumentasi.
Jadi, Maya akan datang.
Rizky meletakkan ponselnya dan kembali fokus pada catatan ceramahnya. Atau setidaknya, mencoba fokus. Pikirannya terus melayang pada kemungkinan bertemu kembali dengan Maya setelah delapan tahun.
Apa yang akan dia katakan? Bagaimana reaksi Maya melihatnya sebagai ustadz? Apakah gadis itu masih membencinya karena kejadian di prom night dulu?
"Rizky," dia berbisik pada dirinya sendiri, "kamu harus fokus. Ada jemaah yang menunggu pencerahan darimu."
Dengan tekad baru, Rizky membaca kembali catatannya, menghafalkan poin-poin penting yang ingin dia sampaikan. Tentang pentingnya memaafkan, melupakan, dan melangkah maju. Tentang bagaimana masa lalu hanya pelajaran, bukan tempat untuk menetap.
Kata-kata yang dia sendiri perlu dengar.
Saat jam menunjukkan pukul 04.15, Rizky bersiap. Dia mengenakan baju koko putih sederhana, celana hitam, dan peci hitam yang menjadi ciri khasnya. Setelah berwudhu, dia berjalan ke masjid yang hanya berjarak lima rumah dari kontrakannya.
Masjid Al-Ikhlas sudah mulai ramai. Para bapak dan beberapa pemuda telah datang untuk shalat subuh berjamaah. Rizky disambut dengan senyuman dan anggukan hormat. Di usianya yang baru 28 tahun, dia telah menjadi figur yang dihormati di komunitas ini.
"Ustadz Rizky!" panggil seorang remaja, Faiz, yang merupakan salah satu santri di kajian remaja yang Rizky bimbing.
"Iya, Faiz. Ada apa?"
"Ustadz, hari ini ceramahnya tentang apa?"
Rizky tersenyum. "Tentang melupakan masa lalu dan melangkah maju."
Mata Faiz berbinar. "Wah, kebetulan banget, Tadz! Saya baru aja patah hati, ditolak Zahra dari kelas sebelah."
Rizky tertawa kecil. "Masih banyak Zahra-Zahra lain di dunia ini, Faiz."
"Iya sih, Tadz. Tapi Zahra ini spesial. Udah tiga tahun saya naksir dia."
Rizky menepuk pundak remaja itu. "Kadang, cinta pertama memang sulit dilupakan. Tapi hidup harus terus berjalan. Nanti dengarkan ceramah ustadz baik-baik, ya."
"Siap, Tadz!"
Saat adzan subuh berkumandang, Rizky merasakan ketenangan yang selalu dia rasakan di masjid. Di sini, di rumah Allah, dia merasa damai. Semua keresahan tentang masa lalu, tentang Maya, tentang reuni, seolah memudar saat dia khusyuk dalam shalatnya.
Setelah shalat subuh berjamaah selesai, Rizky berdiri di mimbar untuk menyampaikan ceramahnya. Sekitar lima puluh jamaah menatapnya, menunggu kata-kata hikmah yang akan dia sampaikan.
"Bismillahirrahmanirrahim," Rizky memulai. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab jamaah serempak.
"Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat iman, nikmat kesehatan, dan nikmat waktu sehingga kita bisa berkumpul di rumah-Nya pagi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman."
Rizky menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan pikiran dan perasaannya.
"Pagi ini, saya ingin berbicara tentang sesuatu yang sering kali menjadi beban bagi kita semua: masa lalu. Tentang bagaimana kita seringkali terjebak dalam kenangan, dalam kesalahan, dalam penyesalan, hingga lupa bahwa hidup seharusnya terus berjalan ke depan."
Rizky melihat beberapa jamaah mengangguk, sementara yang lain menatapnya dengan penuh perhatian.
"Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Insyirah ayat 7 dan 8: 'Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.'"
Rizky melanjutkan ceramahnya, berbicara tentang pentingnya ikhtiar, tentang memaafkan diri sendiri dan orang lain, tentang melihat ke depan dengan harapan dan optimisme. Kata-kata mengalir dari mulutnya dengan lancar, tapi dalam hatinya, dia merasa seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.
"Kadang, kita menjadi tawanan masa lalu kita sendiri," ujarnya. "Kita terjebak dalam penyesalan atas kesalahan yang telah kita lakukan, atau sakit hati atas apa yang telah orang lain lakukan pada kita. Tapi ingatlah, saudara-saudaraku, bahwa Allah Maha Pengampun. Jika Allah saja mau mengampuni dosa-dosa kita, mengapa kita tidak bisa memaafkan diri sendiri atau orang lain?"
Saat mengucapkan itu, bayangan Maya kembali muncul di benaknya. Maya, dengan air mata yang mengalir di prom night itu, saat dia tanpa sengaja menyakiti perasaannya.
"Memaafkan bukan berarti melupakan," lanjut Rizky, suaranya sedikit bergetar. "Memaafkan berarti membebaskan diri kita dari beban kebencian dan penyesalan. Melangkah maju bukan berarti mengabaikan pelajaran dari masa lalu, tapi menggunakan pelajaran itu sebagai petunjuk untuk masa depan yang lebih baik."
Seorang ibu paruh baya di barisan depan mengangguk sambil menyeka air mata. Rizky tahu ibu itu baru saja kehilangan suaminya dan sedang berjuang untuk melanjutkan hidup.
"Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk tidak terlalu memikirkan masa lalu atau terlalu khawatir tentang masa depan. Beliau mengajarkan kita untuk hidup di masa kini, berbuat baik hari ini, karena hari ini adalah kenyataan yang kita miliki."
Rizky menutup ceramahnya dengan doa, memohon kepada Allah agar memberikan kekuatan bagi semua jamaah untuk melepaskan beban masa lalu dan melangkah maju dengan penuh keimanan dan ketakwaan.
Setelah ceramah selesai, beberapa jamaah menghampirinya untuk mengucapkan terima kasih atau bertanya lebih lanjut. Rizky melayani mereka dengan sabar dan ramah, meski pikirannya masih dipenuhi bayangan reuni yang akan datang.
"Ustadz Rizky," panggil seorang ibu yang Rizky kenali sebagai Ibu Khadijah, tetangganya.
"Iya, Bu Khadijah. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ceramah Ustadz pagi ini sangat menyentuh hati saya," kata Ibu Khadijah dengan senyum tulus. "Tapi saya penasaran, apakah Ustadz sendiri punya pengalaman pribadi tentang melepaskan masa lalu?"
Rizky tertegun. Dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.
"Tentu saja, Bu," jawabnya setelah jeda singkat. "Semua orang punya masa lalu yang ingin dilupakan. Termasuk saya."
"Kalau boleh tahu, masa lalu seperti apa itu, Ustadz?" tanya Ibu Khadijah lagi, matanya penuh keingintahuan.
Rizky tersenyum tipis. "Sebelum menjadi ustadz, saya pernah menjadi orang yang sangat berbeda, Bu. Saya... pernah menyakiti banyak orang dengan sikap saya."
"Oh, saya tidak bisa membayangkan Ustadz Rizky yang lemah lembut ini menyakiti orang," kata Ibu Khadijah, sedikit terkejut.
"Manusia bisa berubah, Bu. Dengan hidayah Allah dan tekad yang kuat."
Ibu Khadijah mengangguk. "Benar sekali, Ustadz. Ngomong-ngomong, Ustadz tahu tidak? Putra saya, Ahmad, pernah satu sekolah dengan Ustadz dulu."
Rizky mengerjapkan mata. "Oh ya? Ahmad yang mana, Bu?"
"Ahmad Wicaksono. Dia dua tahun di bawah Ustadz. Dia sering cerita tentang Ustadz dulu. Katanya, Ustadz dulu terkenal sebagai playboy sekolah." Ibu Khadijah tertawa kecil. "Saya tidak percaya sampai dia menunjukkan foto angkatan Ustadz."
Rizky merasakan wajahnya memanas. Tentu saja orang-orang akan ingat reputasinya dulu. Bagaimana tidak? Dia berganti pacar hampir setiap bulan.
"Itu... masa lalu saya yang ingin saya lupakan, Bu," jawab Rizky pelan.
"Tapi lihat sekarang, Allah telah memberikan hidayah kepada Ustadz. Masyaallah, tabarakallah. Ini bukti bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat."
Rizky tersenyum. "Terima kasih, Bu. Semoga Allah selalu menjaga kita di jalan yang lurus."
Setelah Ibu Khadijah pergi, Faiz dan beberapa remaja lain menghampiri Rizky.
"Ustadz, kok tadi pas ceramah sepertinya memikirkan sesuatu?" tanya Faiz polos.
"Masa sih?" Rizky balik bertanya, sedikit gugup.
"Iya, Tadz. Apalagi pas bagian tentang cinta masa lalu. Ustadz kayak lagi curhat."
Rizky tertawa kecil. "Kamu ini perhatian banget, Faiz."
"Ustadz punya mantan ya?" tanya Ilham, teman Faiz, dengan mata penuh rasa ingin tahu.
"Semua orang punya masa lalu, Ilham," jawab Rizky diplomatis.
"Masa lalu yang seperti apa, Tadz?" desak Faiz.
Rizky menghela napas. Dia tidak ingin berbohong pada santri-santrinya, tapi juga tidak ingin mereka tahu terlalu banyak tentang masa lalunya yang kelam.
"Dulu, sebelum menjadi ustadz, saya pernah menjadi orang yang... tidak baik," aku Rizky. "Saya pernah menyakiti banyak orang, terutama perempuan. Saya mempermainkan perasaan mereka."
Mata para remaja itu melebar. "Serius, Tadz? Ustadz dulu playboy?" tanya Ilham tak percaya.
"Ya, dan itu bukan sesuatu yang saya banggakan," jawab Rizky tegas. "Itu dosa yang masih saya sesali sampai sekarang. Itulah sebabnya saya selalu mengingatkan kalian untuk menghormati perempuan dan menjaga perasaan mereka."
"Terus, Ustadz masih suka sama salah satu mantan Ustadz?" tanya Faiz, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu.
Rizky terdiam sejenak. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Soalnya, tadi Ustadz bilang ke saya, 'Kadang, cinta pertama memang sulit dilupakan.' Ustadz juga mengalaminya ya?"
Rizky mengusap wajahnya. Dia lupa bahwa remaja-remaja ini sangat jeli dan peka.
"Ya," akhirnya Rizky mengaku, "ada satu orang yang sulit saya lupakan. Tapi dia bukan pacar saya dulu. Dia... seseorang yang pernah saya sakiti tanpa sengaja."
"Wah, romance banget, Tadz!" seru Rara, satu-satunya remaja perempuan dalam kelompok itu. "Kayak di sinetron!"
"Ini bukan sinetron, Rara," tegur Rizky lembut. "Ini kehidupan nyata dengan konsekuensi nyata. Menyakiti perasaan orang lain adalah dosa yang harus dipertanggungjawabkan."
"Ustadz udah minta maaf ke dia?" tanya Ilham.
Rizky menggeleng pelan. "Belum. Saya belum punya kesempatan."
"Kalau gitu, Ustadz harus minta maaf!" seru Faiz dengan semangat. "Bukannya dalam Islam, kita diajarkan untuk meminta maaf dan memaafkan?"
Rizky tersenyum melihat antusiasme santrinya. "Benar, Faiz. Tapi kadang, tidak semudah itu. Ada luka yang mungkin terlalu dalam untuk dimaafkan."
"Tapi kan Allah Maha Pengampun, Tadz," kata Rara. "Masa manusia nggak bisa memaafkan?"
Rizky tertegun mendengar kata-kata Rara. Dari mulut anak-anaklah sering keluar hikmah yang dalam.
"Kamu benar, Rara," kata Rizky akhirnya. "Mungkin sudah saatnya saya mencoba meminta maaf."
"Ustadz ada kesempatan?" tanya Ilham.
Rizky teringat pada undangan reuni yang baru saja diterimanya. "Ya, minggu depan. Ada reuni SMA saya."
"Wah, reuni!" seru Faiz antusias. "Ustadz harus datang!"
"Iya, Tadz! Terus nanti cerita ke kita ya," tambah Rara.
Rizky tersenyum melihat semangat santri-santrinya. "Insyaallah. Tapi sekarang, kalian harus pulang dan bersiap-siap untuk sekolah. Sudah hampir jam enam."
Setelah para remaja itu pergi, Rizky duduk sendirian di masjid yang mulai sepi. Dia membuka ponselnya lagi, menatap undangan reuni itu lebih lama. Jemarinya bergerak ke kontak lama yang masih tersimpan: Maya Putri.
Delapan tahun tidak berkomunikasi, tapi Rizky tidak pernah menghapus nomornya. Dia bahkan masih menyimpan foto mereka berdua saat mengerjakan proyek penelitian dulu. Tersembunyi dalam folder tersembunyi di galeri ponselnya.
"Apakah aku harus menghubunginya sebelum reuni?" gumam Rizky pada dirinya sendiri.
Tapi apa yang akan dia katakan? "Hai, ini Rizky. Maaf sudah menyakitimu delapan tahun lalu. Oh, dan sekarang aku ustadz. Apa kabar?"
Terdengar sangat canggung.
Mungkin lebih baik bertemu langsung di reuni. Tapi bagaimana jika Maya tidak mau berbicara dengannya? Bagaimana jika dia masih marah? Atau lebih buruk lagi, bagaimana jika Maya sudah melupakannya sepenuhnya?
Rizky teringat kata-kata dari ceramahnya sendiri: "Melangkah maju bukan berarti mengabaikan pelajaran dari masa lalu, tapi menggunakan pelajaran itu sebagai petunjuk untuk masa depan yang lebih baik."
Mungkin sudah saatnya dia mengikuti nasihatnya sendiri. Melangkah maju, tapi dengan membawa pelajaran dari masa lalu. Dan langkah pertama adalah mencoba memperbaiki kesalahan lama.
Dengan tekad baru, Rizky mengetik pesan singkat untuk Maya:
"Assalamualaikum, Maya. Ini Rizky. Aku baru saja menerima undangan reuni. Apakah kamu akan datang?"
Jarinya melayang di atas tombol kirim. Haruskah dia mengirimnya sekarang? Atau menunggu lebih dekat ke hari reuni?
Belum sempat dia memutuskan, ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal.
"Assalamualaikum," jawab Rizky.
"Waalaikumsalam, Ustadz Rizky?" Suara seorang wanita paruh baya terdengar dari seberang.
"Iya, benar. Ini siapa ya?"
"Saya Ibu Hanifah, ibunya Maya."
Jantung Rizky seolah berhenti berdetak. Ibunya Maya? Bagaimana bisa? Apakah ini kebetulan, atau...?
"Oh, Ibu Hanifah. Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Rizky, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
"Saya mendengar ceramah Ustadz tadi pagi. Masyaallah, sangat menyentuh. Saya tidak menyangka Rizky yang dulu teman Maya sekarang sudah menjadi ustadz."
Rizky menelan ludah. "Ah, iya, Bu. Semua berkat hidayah Allah."
"Maya sering bertanya tentang Ustadz, lho."
Rizky terdiam. Maya bertanya tentangnya? Setelah apa yang dia lakukan?
"Benarkah, Bu?" tanya Rizky, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Iya. Setiap kali saya pulang dari kajian di masjid Al-Ikhlas, dia selalu tanya apakah saya bertemu dengan Ustadz."
Rizky merasakan detak jantungnya semakin cepat. Maya masih mengingatnya. Dan lebih dari itu, Maya masih... peduli?
"Ustadz tahu tidak? Maya juga akan datang kajian di masjid Al-Ikhlas hari ini."
"Hari ini?" Rizky nyaris tersedak ludahnya sendiri.
"Iya, untuk kajian Ahad pagi jam 9. Biasanya dia tidak pernah mau ikut kajian, tapi entah kenapa hari ini dia bersikeras ingin ikut. Mungkin karena saya cerita bahwa Ustadz yang akan mengisi kajian hari ini."
Rizky tidak tahu harus merespons bagaimana. Pikirannya berkecamuk. Maya akan datang ke kajiannya hari ini? Setelah delapan tahun tidak bertemu?
"Bu... maaf, tapi saya harus mempersiapkan materi kajian dulu," kata Rizky akhirnya. "Terima kasih sudah memberitahu saya."
"Sama-sama, Ustadz. Sampai bertemu nanti."
Setelah menutup telepon, Rizky duduk terpaku. Maya Putri, gadis yang selama delapan tahun menghantui pikirannya, akan datang ke kajiannya hari ini. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dia katakan?
Rizky melihat jam tangannya. Masih empat jam sebelum kajian dimulai. Empat jam untuk mempersiapkan diri, tidak hanya secara materi, tapi juga secara mental dan emosional.
Dengan tangan sedikit gemetar, Rizky menghapus pesan yang belum dikirimnya tadi. Tidak perlu lagi. Dia akan bertemu Maya secara langsung, hari ini.
"Ya Allah," bisik Rizky, "berikan aku kekuatan untuk menghadapi masa laluku. Dan jika diizinkan, berikan aku kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahanku."
Saat berjalan pulang ke kontrakannya, Rizky tidak bisa menahan senyum. Mungkin inilah jawaban dari doanya selama ini. Mungkin inilah kesempatan yang dia tunggu-tunggu. Kesempatan untuk meminta maaf, untuk memperbaiki, dan mungkin... untuk memulai sesuatu yang baru.
Maya online di W******p jam 3 pagi, saat Rizky sedang menyiapkan ceramahnya. Apakah mungkin gadis itu juga tidak bisa tidur memikirkan pertemuan mereka?
Maya tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan atau lebih tepatnya walimah pertamanya akan berlangsung di ballroom hotel tempat reuni SMA, dihadiri oleh seluruh teman sekelasnya dulu, dan menjadi bagian dari konspirasi besar yang ia rancang sendiri. Tapi di sinilah dia, berdiri di samping Rizky, menerima ucapan selamat dari satu per satu teman lamanya."Selamat ya, Maya, Rizky," kata Pak Surya, mantan guru BK mereka yang kini menjadi bagian penting dalam rencana Maya. "Semoga pernikahan kalian diberkahi dan langgeng hingga maut memisahkan.""Aamiin," jawab Maya dan Rizky bersamaan."Terima kasih juga untuk bantuannya, Pak," tambah Maya dengan senyum tulus. "Tanpa Bapak, rencana ini tidak mungkin berhasil."Pak Surya tertawa kecil. "Aku hanya membantu sedikit, Maya. Kamu yang merancang semuanya dengan begitu brilian.""Dan syukurlah semuanya berjalan lebih baik dari yang direncanakan," tambah Rizky, merangkul pinggang istrinya dengan
Luna tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini. Dia, seorang detektif swasta yang selalu mengandalkan logika dan bukti, kini duduk di tengah-tengah rencana pernikahan massal bersama teman-teman SMA-nya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia duduk sangat dekat dengan seorang aktor yang baru dikenalnya beberapa hari lalu."Kamu terlihat serius," bisik Dika di telinganya, membuat Luna sedikit tersentak. "Memikirkan kasus baru?"Luna tersenyum tipis. "Lebih tepatnya, memikirkan betapa anehnya situasi ini.""Aneh dalam arti baik atau buruk?" tanya Dika, matanya menyelidik seperti karakter detektif yang pernah ia perankan dalam sebuah film indie."Aneh dalam arti... tidak terduga," jawab Luna jujur. "Seminggu lalu, aku sedang menyelidiki kasus perselingkuhan klienku. Sekarang, aku duduk di reuni sekolah, menyaksikan mantan teman sekelasku menikah, dan membantu merencanakan pernikahan massal."Dika tertawa kecil. "Hidup mem
Ballroom hotel semakin ramai saat malam semakin larut. Alih-alih menurun, energi para alumni justru meningkat. Mungkin karena fakta bahwa reuni ini telah menghasilkan tidak hanya satu, tapi tiga pasangan resmi: Maya dan Rizky yang sudah menikah, Bimo dan Nadia yang baru bertunangan, serta Alya dan Faris yang akan memulai proses taaruf. Belum lagi pasangan-pasangan lain yang mulai terlihat akrab selama acara berlangsung."Aku tidak percaya tahun depan kita semua mungkin sudah menikah," komentar Luna saat mereka semua berkumpul kembali di meja mereka untuk menikmati hidangan penutup."Atau setidaknya bertunangan," tambah Dika, melirik Luna dengan senyum penuh arti.Luna tersedak minumannya. "Jangan terburu-buru, Tuan Aktor. Kita baru kenal beberapa hari.""Tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun," balas Dika dengan kedipan mata yang membuat pipi Luna memerah."Yah, kalian masih punya waktu," kata Maya dengan senyum puas. "Sementara Al
Alya masih tidak bisa percaya dengan semua yang terjadi malam ini. Dari pernikahan Maya dan Rizky, ceramah menginspirasi sang ustadz, hingga revelasi mengejutkan bahwa orang tua mereka ternyata bagian dari konspirasi besar ini. Rasanya seperti hidup dalam novel romansa yang, yah, memang benar adanya."Masih syok?" tanya Faris lembut, jarinya masih bertautan dengan jari Alya di atas meja."Sangat," Alya menggelengkan kepala tidak percaya. "Kamu?""Entahlah," Faris tersenyum tipis. "Antara syok, malu, dan... lega.""Lega?""Ya," Faris menatap matanya dalam-dalam. "Lega karena ternyata bukan hanya kita yang masih peduli pada hubungan ini. Bahkan orang tua kita...""...telah merencanakan perjodohan kita sejak SMA," Alya melengkapi dengan tawa kecil. "Gila, kan?""Sangat gila," Faris mengangguk. "Tapi entah mengapa, aku tidak keberatan."Alya merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. "Aku juga tidak."Musik k
Luna tidak pernah menyangka bahwa ia akan berdansa dengan seorang aktor di tengah ruangan penuh mantan teman sekolahnya. Terlebih, seorang aktor yang awalnya disewa untuk berpura-pura menjadi suami orang lain. Hidup memang penuh kejutan."Jadi," Dika berbisik di telinganya sambil memutar tubuh Luna dengan lembut, "seorang detektif berdansa dengan aktor. Siapa yang akan menduga?""Tidak ada dalam prediksi investigasiku," Luna tersenyum. "Dan aku selalu membanggakan kemampuan analisaku.""Mungkin ada beberapa hal yang tidak bisa diprediksi," Dika mendekatkan wajahnya. "Seperti kimia antara dua orang yang bertemu dalam situasi paling tidak terduga."Luna merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Sebagai detektif, dia terbiasa menyembunyikan emosi, menjaga jarak, dan selalu rasional. Tapi entah mengapa, di dekat Dika, semua pertahanan itu runtuh."Kamu tahu," Luna memutuskan untuk jujur, "awalnya aku menyelidikimu karena mencurigai ada
Rizky berdiri di samping Maya, masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa wanita cantik di sampingnya kini resmi menjadi istrinya. Bukan lagi sekadar nikah siri yang mereka lakukan tiga bulan lalu, tapi pernikahan yang disaksikan oleh seluruh teman sekolah mereka. Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan."Rizky," suara MC memecah lamunannya. "Sebagai seorang ustadz, mungkin kamu ingin memberikan sedikit ceramah atau nasihat pernikahan untuk semua yang hadir di sini?"Rizky menoleh ke arah Maya yang mengangguk menyemangati. Dia tidak merencanakan untuk berbicara, tapi entah mengapa hatinya tergerak. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan. Tentang perjalanannya dari seorang playboy menjadi ustadz. Tentang bagaimana cinta bisa menjadi pendorong perubahan terbesar dalam hidup seseorang. Dan tentang bagaimana Tuhan selalu memiliki rencana yang lebih indah dari yang bisa dibayangkan manusia.Dengan satu tarikan napas dalam, Rizky berjalan ke tengah







