Faris Aditya menatap layar komputernya dengan mata yang mulai kabur karena kelelahan. Pukul 1:30 dini hari, dan dia masih terjebak di kantornya, menyelesaikan presentasi untuk rapat investor besok pagi. Gedung pencakar langit tempat kantor perusahaan rintisannya berada sudah hampir sepenuhnya gelap, hanya lantai 23, tempatnya berada, yang masih terang benderang.
"Kenapa kamu masih di sini?"
Faris mendongak dan melihat Bimo, kepala teknologi perusahaannya, berdiri di ambang pintu. Lelaki berkacamata tebal itu masih mengenakan kemeja putih yang sama seperti pagi tadi, hanya saja sekarang sudah kusut dan lengannya digulung hingga siku.
"Bisa tanya hal yang sama ke kamu," balas Faris sambil meregangkan tubuhnya.
Bimo masuk dan duduk di sofa yang menghadap meja kerja Faris. "Aku menyelesaikan beberapa bug di sistem. Kamu?"
"Presentasi untuk Kenzhi Capital besok."
Bimo mengangguk. "Mereka investor besar. Berapa yang kita targetkan dari mereka?"
"Lima puluh miliar."
Bimo bersiul pelan. "Pantas kamu tegang."
Faris mengernyitkan dahi. "Aku tidak tegang."
"Kamu selalu mengerutkan dahi seperti itu saat tegang. Sejak SMA." Bimo tersenyum tipis. "Masih sama seperti dulu waktu kita lomba olimpiade matematika."
Faris mendengus. Bimo dan dia memang sudah saling kenal sejak SMA. Dulu mereka rival dalam olimpiade, sekarang mereka rekan bisnis. Bimo adalah salah satu dari sedikit orang yang benar-benar mengenal Faris.
"Aku lihat siaran langsung wawancaramu tadi," kata Bimo tiba-tiba. "Berani juga kamu."
Faris merasakan tenggorokannya mengering. Wawancara. Siniar "Teknologi Besok" yang dia rekam sore tadi. Di mana dia mengaku memiliki... suami.
"Itu bagian dari rencana," jawab Faris singkat.
"Rencana apa? Membuat seluruh mantan pacarmu dan teman SMA kita heboh?" Bimo tertawa kecil. "Karena kalau itu tujuanmu, selamat, kamu berhasil. Grup alumni sudah meledak."
Faris menghela napas dan menyenderkan kepalanya ke sandaran kursi. "Ayahku memberikan ultimatum minggu lalu."
"Ultimatum apa?"
"Beliau mau menjodohkanku dengan anak rekan bisnisnya, Syifa."
Bimo mengerutkan kening. "Bukannya kamu dan ayahmu sudah sepakat tidak ada campur tangan dalam urusan pribadi sejak kamu jadi direktur utama?"
"Teorinya begitu. Tapi ayah mengancam akan menarik investasinya kalau aku tidak setidaknya bertemu dengan Syifa."
"Dan daripada bertemu dengan Syifa, kamu memilih untuk mengaku sebagai gay di siaran langsung yang ditonton ribuan orang?" Bimo menatapnya tak percaya. "Jenius sekali, Faris."
Faris melemparkan pulpen ke arah Bimo yang dengan mudah menghindarinya. "Itu spontan, oke? Pewawancara itu terus menanyakan tentang kehidupan pribadiku. Aku panik."
"Jadi itu semua bohong?" Bimo menggaruk kepalanya. "Lalu siapa pria yang kamu posting di Instagrammu itu? Yang kamu sebut 'separuh jiwa yang lebih baik'?"
Faris menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Namanya Dika. Dia aktor teater."
Bimo terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Kemudian matanya melebar. "Jangan bilang kamu menyewa aktor untuk berpura-pura jadi pacarmu?"
"Suami," koreksi Faris. "Dan ya, itu yang kulakukan."
Hening sejenak. Kemudian Bimo mulai tertawa. Tawa yang semakin lama semakin keras hingga dia harus memegangi perutnya.
"Ya Allah, Faris. Dari semua rencana gilamu selama ini, ini mungkin yang paling gila."
Faris melemparkan tatapan tajam pada sahabatnya itu. "Kamu ada saran lebih baik?"
"Umm, mungkin jujur pada ayahmu bahwa kamu tidak tertarik dengan perjodohan?"
"Sudah kucoba. Beliau tetap bersikeras."
"Atau mungkin bertemu saja dengan Syifa ini, siapa tahu cocok?"
Faris menggeleng. "Aku sudah melihat profilnya. Dia masih 26 tahun. Baru lulus S2. Tertarik pada literatur Prancis dan filosofi eksistensialisme. Kita tidak akan cocok."
"Kamu bisa tahu itu hanya dari profilnya?"
"Tentu saja. Probabilitas kecocokan kami kurang dari 15% berdasarkan variabel yang kuanalisis."
Bimo menggelengkan kepala. "Kamu dan angka-angkamu." Dia terdiam sejenak. "Tapi serius, Faris. Mengaku sebagai gay untuk menghindari perjodohan? Itu bukan solusi jangka panjang."
Faris menghela napas panjang. "Aku tahu. Tapi setidaknya ini memberi waktu sampai reuni minggu depan selesai."
"Apa hubungannya dengan reuni?"
Faris tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap lampu-lampu kota Jakarta yang berkedip dalam kegelapan.
"Ini tentang Alya, ya?" tebak Bimo.
Faris masih diam.
"Ayolah, Faris. Sudah delapan tahun. Move on."
"Ini bukan tentang Alya," kilah Faris, tapi bahkan dia sendiri bisa mendengar ketidakyakinan dalam suaranya.
"Lalu kenapa kamu begitu terobsesi dengan reuni ini? Kenapa harus menunda perjodohan sampai setelah reuni? Dan kenapa kamu harus menyewa aktor untuk pura-pura jadi suamimu di reuni?"
Faris mengusap wajahnya. "Itu... rumit."
"Coba jelaskan. Aku punya gelar S3 Teknik Informatika. Aku bisa mengerti hal rumit."
Faris memutar kursinya menghadap Bimo sepenuhnya. "Alya akan datang ke reuni."
"Dan?"
"Dan aku tidak ingin dia berpikir aku masih... terpuruk setelah hubungan kami berakhir."
Bimo mengernyitkan dahi. "Faris, kamu direktur utama perusahaan rintisan teknologi finansial yang sedang naik daun. Kamu masuk daftar 30 pengusaha muda paling berpengaruh versi majalah Tempo. Bagian mana dari itu yang terdengar seperti 'terpuruk'?"
"Itu di bidang profesional. Tapi secara pribadi..." Faris tidak melanjutkan.
"Kamu masih sendiri," Bimo melengkapi. "Dan kamu tidak ingin Alya tahu itu."
Faris mengangguk pelan.
"Jadi, daripada datang sendiri ke reuni, kamu lebih memilih datang dengan 'suami palsu'? Itu tidak masuk akal, Faris."
"Itu masuk akal dalam logikaku."
Bimo tertawa kecil. "Logikamu memang selalu unik." Dia terdiam sejenak. "Tapi apa kamu yakin ini hanya tentang gengsi? Bukannya... perasaan lain?"
Faris kembali menatap keluar jendela. "Apa maksudmu?"
"Maksudku, mungkin kamu masih punya perasaan untuk Alya?"
Faris tidak menjawab untuk waktu yang lama. Akhirnya, dia menghela napas. "Aku tidak tahu, Bimo. Sudah delapan tahun."
"Delapan tahun dan kamu belum pernah serius dengan wanita lain," Bimo mengingatkan. "Itu mengatakan sesuatu."
Ponsel Faris bergetar di atas meja, menyelamatkannya dari keharusan menjawab. Nama "Ayah" muncul di layar.
"Ahmad Faris Senior," gumam Bimo. "Mau diangkat?"
Faris menimbang sejenak sebelum menjawab panggilan itu. "Assalamualaikum, Ayah."
"Waalaikumsalam. Kamu masih di kantor?" Suara Ahmad Faris Senior terdengar berat dan serius seperti biasa.
"Iya, Yah. Ada apa?"
"Ayah baru saja menonton wawancaramu."
Faris menutup mata, menyiapkan diri untuk badai yang akan datang. "Oh."
"Apa maksudmu dengan pernyataan bahwa kamu sudah menikah? Dan dengan... pria?"
"Ayah, ini sudah malam. Bisakah kita bicarakan besok?"
"Tidak, kita bicarakan sekarang. Ayah sedang dalam perjalanan ke kantormu."
Faris membelalakkan mata. "Apa? Sekarang? Ini hampir jam dua pagi, Yah!"
"Lima belas menit lagi Ayah sampai."
Panggilan terputus. Faris menatap ponselnya dengan ekspresi horor.
"Dia ke sini," kata Faris pada Bimo. "Sekarang."
Bimo bersiul pelan. "Wow, dia benar-benar marah ya."
"Ini gawat." Faris berdiri dan mulai mondar-mandir. "Apa yang harus kukatakan padanya?"
"Bagaimana kalau kebenaran?" saran Bimo.
"Kebenaran bahwa aku berbohong di siaran langsung nasional untuk menghindari perjodohan? Dia akan sangat kecewa."
"Atau kebenaran bahwa kamu masih mencintai Alya?"
Faris berhenti mondar-mandir dan menatap Bimo. "Aku tidak pernah bilang aku masih mencintainya."
"Kamu tidak perlu bilang. Itu jelas terlihat, Faris."
Faris kembali duduk di kursinya, memikirkan situasinya. Ayahnya akan tiba dalam beberapa menit. Dia harus menyiapkan penjelasan.
"Oke, dengar," kata Faris akhirnya. "Aku akan bilang pada ayah bahwa itu semua adalah strategi marketing."
"Strategi marketing?" Bimo mengangkat alis.
"Ya. Untuk menarik perhatian investor muda yang lebih terbuka. Aku akan bilang ide itu datang dari tim marketing kita."
"Hei, jangan libatkan timku dalam kebohonganmu!"
"Aku akan bilang itu ideku, tapi untuk tujuan marketing."
Bimo menggelengkan kepala. "Itu tidak akan berhasil, Faris. Ayahmu terlalu cerdas untuk percaya itu."
"Lalu apa saranmu?"
"Seperti yang kukatakan: kebenaran. Bahwa kamu tidak tertarik dengan perjodohan karena kamu masih punya perasaan untuk Alya."
Faris menelan ludah. Mengakui perasaannya pada Alya kepada ayahnya bukanlah opsi yang pernah dia pertimbangkan. Ayahnya selalu mendorong Faris untuk fokus pada karir, bukan hubungan. Terutama bukan hubungan dengan seorang guru TK berpenghasilan pas-pasan.
"Ayahku tidak akan mengerti," kata Faris pelan.
"Kamu tidak tahu itu sampai kamu mencobanya."
Sebelum Faris bisa menjawab, ponselnya bergetar lagi. Kali ini notifikasi dari I*******m. Dia membuka aplikasi itu dan melihat komentar baru di foto terbarunya bersama Dika.
"Cute couple!"
Dari Alya.
Faris merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Alya mengamati profilnya? Setelah delapan tahun?
Tanpa berpikir panjang, Faris menyukai komentar itu dan membalas: "Terima kasih, Alya. Sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?"
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Bimo, melihat perubahan ekspresi Faris.
"Alya... dia mengomentari fotoku dengan Dika."
Bimo melongok untuk melihat layar ponsel Faris. "Dan kamu membalasnya? Apa itu bijaksana?"
Faris tidak menjawab. Dia melihat Alya sedang mengetik balasan. Jantungnya berdegup semakin kencang.
"Apa kamu tidak sadar?" lanjut Bimo. "Kamu baru saja mengumumkan ke dunia bahwa kamu gay dan sudah menikah. Dan sekarang kamu flirting dengan mantan pacarmu?"
"Aku tidak flirting," bantah Faris. "Hanya bertanya kabar."
"Di bawah foto dengan 'suami palsu'mu? Sangat bijaksana, Faris."
Alya membalas komentarnya. Sederhana dan sopan. Faris tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
"Lihat ekspresimu itu," kata Bimo. "Kamu masih jatuh cinta padanya."
Faris tidak membantah. Sebagai gantinya, dia membuka pesan langsung I*******m dan mengirimkan pesan pribadi pada Alya.
"Apa yang kamu katakan padanya?" tanya Bimo, mencoba mengintip.
"Aku bilang aku akan datang ke reuni. Dengan Dika. Dan ada hal penting yang ingin kubicarakan dengannya."
Bimo menepuk dahinya. "Ya Allah, Faris. Kamu membuat segalanya semakin rumit!"
"Aku tahu." Faris meletakkan ponselnya. "Tapi aku harus bertemu dengannya, Bimo. Aku harus menjelaskan semuanya."
"Menjelaskan apa? Bahwa kamu berbohong tentang orientasi seksualmu demi menghindari perjodohan? Bahwa kamu menyewa aktor untuk pura-pura jadi suamimu? Atau menjelaskan kenapa kamu memutuskan hubungan dengannya delapan tahun lalu tanpa diskusi?"
Faris terdiam. Bimo benar. Apa sebenarnya yang ingin dia jelaskan pada Alya?
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini balasan dari Alya.
"Baiklah. Sampai jumpa di reuni kalau begitu."
Singkat, formal, dan tanpa emosi. Tapi setidaknya dia tidak menolak.
"Bimo," kata Faris setelah beberapa saat, "menurutmu apa yang akan terjadi di reuni nanti?"
Bimo mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi dengan kebohongan yang kamu ciptakan, ditambah keterlibatan Alya, aku yakin akan jadi malam yang sangat menarik."
Interkom kantor berbunyi. Suara satpam terdengar. "Pak Faris, ada Bapak Ahmad Faris Senior ingin bertemu."
Faris menelan ludah dan menekan tombol jawab. "Suruh beliau naik."
Bimo berdiri. "Mau aku temani?"
Faris menggeleng. "Tidak perlu. Ini urusanku dengan ayahku."
"Baiklah." Bimo menepuk pundak Faris. "Semoga beruntung. Dan Faris..."
"Ya?"
"Apapun yang terjadi, jangan lupa kita masih punya presentasi untuk investor besok pagi."
Faris mengangguk. Bimo melangkah ke pintu, tapi berhenti sebelum keluar.
"Oh, dan Faris?"
"Ya?"
"Kalau kamu memang masih mencintai Alya, jangan sia-siakan kesempatan kedua ini. Sudah cukup kamu menyiksa dirimu selama delapan tahun."
Dengan itu, Bimo keluar, meninggalkan Faris sendirian dengan pikirannya yang kacau.
Lima menit kemudian, pintu kantornya terbuka. Ahmad Faris Senior melangkah masuk dengan wajah tegang. Di usianya yang menginjak 60 tahun, ayahnya masih tampak gagah dan berwibawa dalam setelan jas formalnya.
"Assalamualaikum," sapa Faris, berdiri untuk menghormati ayahnya.
"Waalaikumsalam," balas ayahnya singkat. Beliau langsung duduk di sofa, tatapannya tajam. "Jadi, apa penjelasanmu?"
Faris menarik napas dalam-dalam. Dia sudah memikirkan berbagai cara untuk menjelaskan, tapi tidak ada yang terasa benar. Jadi, dengan keberanian yang entah datang dari mana, Faris memutuskan untuk mengikuti saran Bimo.
"Ayah," mulainya, "aku berbohong di wawancara itu."
Ahmad Faris Senior mengangkat alis. "Itu sudah jelas. Kamu tidak gay, dan kamu tidak menikah. Yang ingin Ayah tahu adalah kenapa kamu berbohong?"
Faris duduk di hadapan ayahnya. "Karena aku tidak ingin dijodohkan dengan Syifa."
"Kenapa? Dia gadis yang baik. Cerdas, cantik, dari keluarga terhormat."
"Aku yakin dia gadis yang luar biasa, Yah. Tapi aku tidak tertarik."
"Kamu bahkan belum bertemu dengannya."
"Aku tidak perlu bertemu untuk tahu bahwa kami tidak akan cocok."
Ahmad Faris Senior menghela napas. "Nak, kamu sudah 28 tahun. Sudah waktunya kamu memikirkan pernikahan. Perusahaanmu sudah stabil. Kamu perlu penerus."
"Aku tahu, Yah. Tapi aku ingin menikah dengan orang yang kucintai."
"Dan siapa itu? Aktor yang kamu posting di I*******m itu?" Ahmad Faris Senior mendengus.
"Bukan. Dia hanya... teman." Faris menelan ludah. "Ayah, sebenarnya... aku masih mencintai Alya."
Hening sejenak. Ahmad Faris Senior menatap putranya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Alya? Guru TK itu? Yang putus nyambung denganmu berkali-kali saat SMA?"
Faris mengangguk.
"Sudah berapa tahun sejak kalian putus?"
"Delapan tahun."
"Dan kamu masih mencintainya?" Ahmad Faris Senior menggelengkan kepala tak percaya.
"Ya, Yah. Aku tidak pernah berhenti mencintainya."
Ahmad Faris Senior terdiam, menatap putranya lekat-lekat. Kemudian, sesuatu yang tak terduga terjadi. Dia tersenyum.
"Akhirnya kamu jujur juga."
Faris mengerjapkan mata, bingung. "Maksud Ayah?"
"Faris, kamu pikir Ayah tidak tahu? Kamu tidak pernah serius dengan wanita manapun sejak Alya. Delapan tahun, Nak. Itu waktu yang lama untuk tetap sendiri."
"Ayah... tahu?"
"Tentu saja. Ibumu selalu bilang kamu masih memendam perasaan untuk gadis itu. Tapi Ayah ingin mendengarnya langsung darimu."
Faris menatap ayahnya tak percaya. "Jadi... perjodohan dengan Syifa itu..."
"Hanya dorongan agar kamu jujur dengan perasaanmu. Syifa bahkan sudah punya pacar, seorang dosen di kampusnya."
Faris merasa seperti baru saja ditampar. "Ayah menjebakku?"
Ahmad Faris Senior tertawa kecil. "Bukan menjebak, Nak. Hanya... mendorong dalam arah yang benar."
"Tapi kenapa? Kenapa Ayah melakukan ini?"
"Karena ibumu dan Ayah khawatir. Kamu terlalu fokus pada pekerjaan, tidak pernah membicarakan kehidupan pribadimu. Ayah takut kamu akan menjadi seperti Ayah dulu, terobsesi dengan karir hingga nyaris kehilangan ibumu."
Faris terdiam, mencerna kata-kata ayahnya. Selama ini dia berpikir ayahnya hanya peduli pada kesuksesannya dalam bisnis. Ternyata ayahnya juga memikirkan kebahagiaannya sebagai manusia.
"Jadi," lanjut Ahmad Faris Senior, "apa rencanamu dengan Alya?"
Faris mengusap wajahnya. "Aku akan bertemu dengannya di reuni minggu depan. Mungkin... mencoba lagi?"
"Dengan 'suami palsu'mu itu?" Ahmad Faris Senior mengangkat alis.
Faris mengerang. "Ya Allah, aku lupa soal itu. Bagaimana aku menjelaskan tentang Dika?"
"Kamu bisa mulai dengan kejujuran, Nak. Katakan pada Alya bahwa kamu berbohong karena tidak ingin terlihat masih terpuruk setelah hubungan kalian berakhir."
"Itu memalukan, Yah."
"Lebih memalukan daripada mengaku gay dan menikah di siaran langsung nasional?"
Faris tidak bisa membantah itu. "Kamu benar."
Ahmad Faris Senior berdiri. "Baiklah, sudah malam. Ayah harus pulang. Ibumu pasti khawatir."
Faris ikut berdiri dan memeluk ayahnya. "Terima kasih, Yah. Dan maaf sudah membuat Ayah dan Ibu khawatir."
Ahmad Faris Senior menepuk punggung putranya. "Tidak apa-apa, Nak. Yang penting kamu akhirnya jujur pada dirimu sendiri."
Setelah ayahnya pergi, Faris kembali duduk di kursinya, pikirannya masih mencerna semua yang baru saja terjadi. Malam ini penuh kejutan.
Dia melirik jam. 2:30 pagi. Presentasi investor jam 9 nanti. Dia harus menyelesaikannya.
Tapi alih-alih melanjutkan pekerjaannya, Faris membuka ponselnya dan melihat kembali percakapannya dengan Alya. Singkat, formal, tapi setidaknya ada kontak. Untuk pertama kalinya dalam delapan tahun.
Seminggu menuju reuni. Seminggu untuk menyiapkan diri bertemu kembali dengan cinta pertamanya. Seminggu untuk memikirkan bagaimana menjelaskan kebohongan tentang Dika.
Saat Faris akhirnya kembali fokus ke presentasinya, satu pertanyaan terus berputar di kepalanya:
"Bagaimana jika Alya sudah move on?"
Faris menggelengkan kepala, mengusir pikiran itu. Satu langkah pada satu waktu. Langkah pertama: bertemu Dika besok dan memastikan "suami palsu"-nya itu tahu peran barunya dalam rencana yang semakin rumit ini.
"Gue butuh suami palsu, sekarang!" gumam Faris pada dirinya sendiri, setengah frustrasi, setengah geli dengan situasi absurd yang dia ciptakan sendiri.
"Ini terlalu mencolok," Alya menggelengkan kepalanya, menatap bayangan di cermin dengan horor. Di atas kepalanya yang berambut pendek, terpasang sebuah wig pirang panjang bergelombang yang membuatnya terlihat seperti penyanyi dangdut."Justru itu tujuannya!" Nadia bersikeras, berdiri di belakang Alya dengan tangan di pinggang. "Untuk membuat Faris tidak bisa mengalihkan pandangan darimu.""Dia tidak akan bisa mengalihkan pandangan karena aku akan terlihat seperti badut, Nad," Alya memutar matanya.Mereka berada di toko wig terbesar di Jakarta, memilih rambut palsu untuk Alya sebagai antisipasi jika dia tiba-tiba kehilangan kepercayaan diri dengan potongan pixie cut barunya menjelang reuni. Toko ini, yang dengan kreatif dinamai "Rambut Impian", memiliki berbagai macam wig dengan berbagai warna, panjang, dan gaya."Bagaimana dengan yang ini?" Luna menawarkan, mengangkat wig hitam lurus sepunggung. "Lebih natural, mirip rambutmu yang dulu."
Rizky tidak sengaja. Sungguh, dia tidak merencanakan untuk bertemu Maya di toko buku ini. Setelah pertemuan singkat mereka di pesantren kemarin, dia pikir dia punya waktu beberapa hari untuk mempersiapkan diri sebelum reuni. Tapi takdir, atau mungkin Allah, punya rencana lain.Dia sedang mencari buku referensi untuk ceramah mingguan di bagian keagamaan ketika melihatnya Maya, berdiri di bagian fiksi, jemarinya yang lentik menelusuri punggung-punggung buku dengan gerakan yang familier. Dia mengenakan jilbab lavender sederhana, berbeda dengan jilbab yang dia kenakan kemarin, tapi tetap elegan.Rizky membeku di tempatnya berdiri. Haruskah dia menyapa? Berpura-pura tidak melihat? Berbalik dan pergi? Sebelum dia bisa memutuskan, Maya menoleh, seolah merasakan kehadirannya, dan mata mereka bertemu.Sejenak, waktu seolah berhenti. Rizky bisa melihat keterkejutan di mata Maya, diikuti dengan... apa itu? Kegembiraan? Kecemasan? Sesuatu yang tidak bisa dia b
Nadia merapikan jilbab lavendernya di depan cermin besar yang menempati hampir seluruh dinding kamarnya. Cermin itu dikelilingi lampu-lampu kecil yang biasa dia gunakan untuk merekam tutorial kecantikan untuk kanal vlognya. Dengan teliti, dia memeriksa riasan wajahnya, memastikan semuanya sempurna, bahkan untuk sekedar pertemuan santai dengan teman-teman."Sempurna," gumamnya pada bayangan di cermin, menyapukan lipstik sekali lagi. "Siapa sangka dulu kamu gadis culun berkacamata tebal yang selalu diejek Bimo, dan sekarang..."Nadia tersenyum puas. Lima juta pengikut di media sosial tidak berbohong. Dia, yang dulu selalu menjadi bahan ejekan karena penampilan kutu bukunya, kini menjadi panutan gaya untuk ribuan perempuan Indonesia. Salah satu keberhasilan terbesar dalam hidupnya adalah mendirikan "Nadia Beauty House", salon kecantikan yang kini memiliki cabang di tiga kota besar.Ponselnya berdering, menampilkan nama Luna di layar."Halo, Lun
Faris menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. Entah sudah berapa kali dia melakukan itu dalam satu jam terakhir. Ruang tamu apartemennya yang biasanya nyaman kini terasa seperti sauna. Padahal pendingin ruangan berfungsi normal, hanya saja rasa gugupnya membuat suhu tubuhnya meningkat."Rileks sedikit, Faris," Andi, sahabatnya sekaligus perencana pernikahan profesional, mengomel sambil mengatur pencahayaan untuk sesi foto. "Kamu terlihat seperti akan menghadapi eksekusi, bukan pemotretan pasangan.""Maaf," gumam Faris, berusaha melemaskan bahunya yang kaku. "Aku tidak terbiasa dengan... semua ini.""Jelas sekali," Andi memutar mata dramatis. "Tapi inilah gunanya kita latihan. Kamu harus terlihat nyaman bersama 'suami'mu di reuni nanti."Faris mengangguk kaku, melirik ke arah kamar mandi tempat Dika sedang bersiap-siap. Setelah pertemuan singkat dengan Alya dan teman-temannya di Kafe Semanggi tadi siang, Faris merasa semakin terte
Alya tidak bisa berhenti menatap bayangannya di kaca spion mobil Wulan. Rambutnya yang dulu panjang sepunggung kini begitu pendek, hanya menyisakan beberapa senti di atas kepalanya. Potongan pixie cut yang beberapa jam lalu masih terasa asing kini mulai terasa... tidak terlalu buruk?"Berhenti menatap dirimu sendiri," Wulan menegur dari kursi pengemudi. "Aku tahu kamu cantik, tapi jangan jadi narsis begitu.""Aku masih tidak percaya melakukan ini," Alya menyentuh rambutnya untuk kesekian kali. "Tiga tahun aku memanjangkan rambutku, dan dalam lima menit semuanya hilang.""Dan kamu terlihat sepuluh kali lebih cantik," Nadia meyakinkan dari kursi belakang. "Serius, Al, potongan itu membuatmu terlihat lebih dewasa dan sophisticated.""Secara psikologis," Indah menambahkan, seperti biasa, "perubahan drastis pada penampilan sering menjadi katalis untuk perubahan internal juga. Ini fase metamorfosismu.""Metamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu maksudmu?"
Maya menutup pintu mobilnya perlahan, tatapannya masih tertuju pada bangunan pesantren yang baru saja ditinggalkannya. Pesantren Hidayatullah, tempat Rizky mengajar dan membimbing para santri muda. Siapa sangka playboy sekolah dulu kini menjadi seorang ustadz? Hidup memang penuh kejutan."Bagaimana?" Sebuah suara mengejutkannya dari kursi penumpang.Maya menoleh, mendapati Pak Surya, mantan guru Bimbingan Konseling mereka, duduk dengan tenang sambil memegang sebuah buku catatan."Sesuai rencana," jawab Maya singkat, menyalakan mesin mobil. "Dia akan datang ke reuni.""Tentu saja dia akan datang," Pak Surya tersenyum penuh arti. "Tidak ada yang bisa menolak undangan dari cinta pertama, bukan?"Maya tersenyum tipis, tidak menjawab. Dia melajukan mobilnya keluar dari area parkir pesantren, pikirannya masih tertuju pada pertemuan singkat dengan Rizky barusan. Ustadz Rizky. Nama yang masih terasa aneh di lidahnya."Jadi, semua berjalan sesuai ren