Faris melangkah memasuki Kafe Kupu-Kupu di kawasan Senopati dengan langkah ragu. Dia memilih kafe ini untuk pertemuan dengan Dika karena tempatnya cukup tersembunyi dan jarang dikunjungi rekan bisnis atau teman-temannya. Setelah drama semalam pengakuan palsunya di siniar, percakapan dengan Alya, dan konfrontasi dengan ayahnya hal terakhir yang dia inginkan adalah bertemu dengan kenalan yang mungkin akan menanyakan tentang "suami" barunya.
Matanya menyapu ruangan kafe yang bernuansa vintage dengan pencahayaan temaram. Beberapa pengunjung tampak sibuk dengan laptop mereka, sementara yang lain terlibat dalam percakapan tenang. Di sudut ruangan, seorang pria muda dengan kemeja putih rapi dan rambut tertata sempurna tampak sedang membaca buku. Dari foto yang dikirimkan agensi, Faris mengenalinya sebagai Dika.
Dengan menarik napas dalam-dalam, Faris melangkah mendekati meja itu.
"Dika?" tanyanya ragu.
Pria itu mendongak, dan seketika ekspresinya berubah. Matanya menyipit, postur tubuhnya menegak, dan senyum profesional tersungging di bibirnya. Dalam sekejap, Faris bisa melihat transformasi dari seseorang yang santai menjadi seseorang yang siap bekerja.
"Pak Faris," Dika berdiri dan mengulurkan tangannya. "Senang akhirnya bisa bertemu langsung."
Faris menjabat tangan itu, sedikit kaget dengan genggaman yang kuat dan percaya diri. "Terima kasih sudah mau bertemu dalam waktu singkat."
"Tentu saja. Pekerjaan adalah prioritas saya," jawab Dika sambil mempersilakan Faris duduk.
Faris duduk di hadapan Dika, masih merasa canggung. Bagaimana memulai percakapan dengan seseorang yang akan berpura-pura menjadi suamimu?
"Jadi," Faris berdeham, "seperti yang saya jelaskan lewat telepon, saya membutuhkan... um, layanan akting khusus."
Dika mengangguk serius. "Ya, untuk berpura-pura menjadi suami Anda di acara reuni sekolah minggu depan. Tapi sebelum kita membahas detail, saya perlu memahami motivasi dan konteks situasi ini. Saya menerapkan method acting dalam pekerjaan saya, Pak Faris."
"Method acting?"
"Ya. Saya perlu benar-benar memahami dan merasakan peran yang saya mainkan. Tidak cukup hanya berpura-pura, saya harus menjadi karakter itu," jelas Dika dengan antusiasme yang terlihat jelas di matanya. "Jadi, ceritakan pada saya, mengapa Anda membutuhkan suami palsu untuk reuni sekolah?"
Faris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak menyangka akan menghadapi sesi wawancara mendalam seperti ini. Dia pikir transaksi mereka akan sederhana: bayar, jelaskan tugas singkat, dan selesai.
"Well, ini agak... rumit," Faris memulai dengan hati-hati.
"Saya punya waktu," Dika tersenyum, mengeluarkan notes kecil dan pulpen dari tasnya. "Dan jika boleh jujur, semakin rumit skenarionya, semakin menarik bagi saya sebagai aktor."
Faris menghela napas. "Baiklah. Saya punya mantan pacar di SMA. Kami putus-nyambung 17 kali."
"Tujuh belas kali?" Dika mengangkat alisnya, tampak terkesan. "Itu... dedikasi yang luar biasa."
"Ya, begitulah," Faris tersenyum kecut. "Namanya Alya. Kami akhirnya putus untuk selamanya delapan tahun lalu, saat saya mendapat beasiswa S2 ke luar negeri. Sejak itu, kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Sampai semalam."
"Apa yang terjadi semalam?" Dika mencatat dengan serius, seperti jurnalis yang meliput berita penting.
"Saya... tampil di siniar. Dan entah bagaimana, saya mengaku bahwa saya gay dan sudah menikah."
Dika berhenti menulis dan menatap Faris dengan mata melebar. "Anda mengaku gay dan menikah di siaran langsung nasional?"
Faris mengangguk, merasa semakin tidak nyaman. "Itu situasi yang rumit. Ayah saya mencoba menjodohkan saya, dan pewawancara terus mendesak soal kehidupan pribadi saya, dan saya... panik."
"Jadi, untuk menghindari perjodohan, Anda memutuskan untuk mengaku gay dan menikah," Dika merangkum, masih dengan ekspresi takjub. "Dan sekarang Anda membutuhkan saya untuk memperkuat klaim tersebut di reuni sekolah Anda, di mana mantan pacar Anda, Alya, akan hadir."
"Tepatnya begitu," Faris mengkonfirmasi, merasa sedikit lega bahwa Dika cepat memahami situasinya.
"Tapi, jika boleh saya bertanya, mengapa Anda peduli apa yang dipikirkan mantan pacar Anda? Sudah delapan tahun berlalu."
Faris terdiam. Itu pertanyaan yang sama yang diajukan Bimo semalam, dan dia masih belum memiliki jawaban yang memuaskan.
"Saya... tidak tahu," jawabnya jujur. "Mungkin gengsi? Mungkin saya tidak ingin dia berpikir bahwa saya masih sendiri setelah delapan tahun."
Dika mengetuk-ngetukkan pulpennya ke notes, tampak sedang berpikir. "Atau mungkin, Anda masih punya perasaan untuknya?"
Faris nyaris tersedak kopi yang baru diminumnya. "Saya tidak bilang begitu."
"Anda juga tidak menyangkalnya," Dika tersenyum penuh arti.
"Dengar, saya hanya butuh Anda untuk berpura-pura menjadi suami saya selama satu malam," Faris mencoba mengembalikan percakapan ke jalur profesional. "Saya akan membayar sesuai tarif yang disepakati, plus bonus jika semuanya berjalan lancar."
"Tentu, dan saya akan melakukan pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya," Dika mengangguk. "Tapi seperti yang saya katakan, saya menerapkan method acting. Saya harus benar-benar memahami hubungan kita, bagaimana kita bertemu, bagaimana kita jatuh cinta, bagaimana Anda melamar saya, bagaimana pernikahan kita, dan seterusnya. Saya harus mengetahui setiap detail tentang Anda, kebiasaan Anda, kesukaan dan ketidaksukaan Anda, bahkan cara Anda tidur."
"Cara saya tidur?" Faris mengangkat alisnya. "Saya tidak yakin itu perlu."
"Pak Faris," Dika menatapnya dengan serius, "detail adalah kunci dari akting yang meyakinkan. Jika seseorang bertanya, 'Apakah Faris mendengkur saat tidur?' dan saya ragu-ragu atau memberikan jawaban yang salah, itu bisa membongkar seluruh sandiwara kita."
Faris harus mengakui bahwa Dika memiliki poin yang valid. Jika mereka ingin meyakinkan semua orang bahwa mereka benar-benar pasangan, mereka harus mengetahui detail-detail kecil tentang satu sama lain.
"Baiklah," Faris menghela napas. "Apa yang ingin Anda ketahui?"
Dika tersenyum lebar, tampak sangat bersemangat. "Semuanya. Tapi pertama-tama, bisakah kita beralih ke 'kamu' dan 'aku'? Akan terasa sangat aneh jika suami-suami berkomunikasi dengan 'Anda' dan 'saya'."
Faris mengerjapkan mata. Dia tidak menyangka Dika akan langsung masuk ke peran secepat ini. "Um, baiklah... kamu."
"Lebih baik," Dika mengangguk puas. "Jadi, Faris, ceritakan padaku tentang dirimu. Mulai dari hal-hal dasar: makanan favorit, film favorit, hobi, rutinitas harian, dan sebagainya."
Selama satu jam berikutnya, Faris menemukan dirinya menjawab berbagai pertanyaan yang tidak pernah dia bayangkan akan ditanyakan oleh siapapun. Mulai dari makanan favoritnya (nasi goreng kambing), film kesukaannya (serial dokumenter tentang matematika dan fisika), hingga bagaimana cara dia melipat pakaian dalamnya (dilipat rapi dan disusun berdasarkan warna).
Dika mencatat setiap detail dengan tekun, sesekali mengangguk atau tersenyum saat mendapatkan informasi yang menurutnya penting. Dia bahkan meminta Faris menunjukkan isi dompetnya untuk melihat apa yang dia bawa sehari-hari.
"Kamu sangat terorganisir," komentar Dika saat melihat kartu-kartu di dompet Faris yang disusun berdasarkan frekuensi penggunaan. "Ini mencerminkan kepribadianmu sebagai orang yang metodis dan logis. Cocok dengan latar belakangmu di bidang matematika dan teknologi."
Faris harus mengakui bahwa Dika sangat teliti dan profesional. Dia tampak benar-benar ingin memahami Faris sebagai karakter yang akan dia perankan pasangannya.
"Sekarang, ceritakan padaku tentang Alya," pinta Dika setelah mereka memesan kopi kedua.
"Alya?" Faris sedikit terkejut dengan permintaan itu. "Apa hubungannya dengan peran kita?"
"Sangat berhubungan," Dika menjelaskan. "Jika aku akan berpura-pura menjadi suamimu di depan mantan pacarmu, aku perlu tahu seperti apa dia. Apa yang membuatnya spesial bagimu dulu. Apa yang membuatmu putus-nyambung 17 kali dengannya. Informasi ini akan membantuku memahami dinamika yang akan kuhadapi di reuni nanti."
Faris terdiam, memikirkan bagaimana mendeskripsikan Alya. Bagaimana menjelaskan seseorang yang pernah menjadi bagian besar dari hidupnya selama bertahun-tahun?
"Alya itu... tidak seperti gadis lain yang pernah kutemui," Faris memulai dengan pelan. "Dia guru TK sekarang, dan itu sangat cocok dengan kepribadiannya. Dia selalu sabar, penuh kasih sayang, dan memiliki cara untuk membuat orang lain merasa nyaman di sekitarnya."
"Kedengarannya seperti orang yang menyenangkan," komentar Dika.
"Ya, dia menyenangkan," Faris tersenyum kecil, terlarut dalam kenangannya. "Tapi dia juga sangat emosional. Aku, di sisi lain, sangat logis dan analitis. Itulah yang sering menyebabkan pertengkaran kami. Aku selalu mengandalkan logika dan angka, sementara dia lebih mengandalkan perasaan dan intuisi."
"Kutebak, 17 kali putus karena perbedaan itu?"
Faris mengangguk. "Sebagian besar, ya. Aku sering kali tidak mengerti mengapa dia begitu tersinggung atau sedih atas hal-hal yang menurutku sepele. Dan dia sering frustrasi karena aku tidak bisa 'merasakan' hal-hal tertentu seperti yang dia harapkan."
"Tapi kalian selalu kembali bersama," Dika menunjuk, ada nada penasaran dalam suaranya.
"Ya," Faris mengakui, "selalu ada sesuatu yang menarik kami kembali satu sama lain. Mungkin karena, meski berbeda, kami saling melengkapi. Dia mengajariku tentang emosi dan empati, sementara aku membantunya melihat hal-hal dari perspektif yang lebih logis."
"Dan putusnya yang terakhir kali? Yang kedelapan belas?"
"Tidak pernah ada putus yang kedelapan belas," koreksi Faris. "Yang ketujuh belas adalah yang terakhir, saat aku mendapat beasiswa ke luar negeri. Kami sepakat untuk mengakhiri hubungan karena jarak dan ketidakpastian."
"Kamu yang memutuskan atau dia?"
Faris terdiam sejenak. "Sebenarnya... aku yang mengirim surel resmi tentang beasiswaku. Dia yang menyarankan untuk mengakhiri hubungan, dan aku... menyetujuinya tanpa banyak diskusi."
"Hm," Dika mencatat sesuatu di notes-nya. "Dan setelah itu, kalian tidak pernah berkomunikasi lagi sampai semalam?"
"Tepat."
"Dan semalam, kamu mengomentari fotomu denganku, yang membuat Alya mengomentari balik, lalu kalian bertukar pesan pribadi, dan kamu memberitahunya bahwa kamu akan datang ke reuni denganku, dan ada hal penting yang ingin kamu bicarakan dengannya," Dika merangkum dengan teliti.
Faris mengangguk, sedikit kagum dengan daya ingat Dika atas detail yang dia ceritakan.
"Kalau boleh tahu, hal penting apa yang ingin kamu bicarakan dengannya?" tanya Dika.
Faris menggeleng. "Aku tidak tahu. Itu spontan. Mungkin aku hanya ingin... menjelaskan?"
"Menjelaskan apa? Bahwa kamu berbohong tentang orientasi seksualmu dan statusmu? Atau menjelaskan mengapa kamu setuju mengakhiri hubungan kalian delapan tahun lalu tanpa perlawanan?"
Faris menatap Dika dengan pandangan tak percaya. "Kamu sangat blak-blakan, ya?"
Dika tersenyum tipis. "Maaf, itu bagian dari proses method acting. Aku perlu memahami motivasi dan emosi sebenarnya di balik tindakan karakter. Dalam hal ini, kamu."
"Well, aku belum tahu apa yang ingin kujelaskan padanya," Faris mengakui. "Mungkin... semuanya?"
"Termasuk tentang kebohonganmu dan aku?"
Faris terdiam. Dia belum memikirkan sejauh itu. Apakah dia akan jujur pada Alya tentang Dika? Atau melanjutkan kebohongan itu bahkan setelah reuni?
"Aku belum memutuskan," jawabnya jujur.
Dika mengetuk-ngetukkan pulpennya ke notes, tampak berpikir. "Oke, kembali ke persiapan kita. Kita perlu menyusun cerita tentang bagaimana kita bertemu, bagaimana hubungan kita berkembang, dan bagaimana kita akhirnya menikah. Itu harus konsisten dan masuk akal."
Faris mengangguk, bersyukur karena percakapan kembali ke hal yang lebih praktis. "Kamu punya saran?"
"Hmm, kita bisa mengatakan bahwa kita bertemu di sebuah kafe, mirip seperti ini, sekitar enam bulan lalu. Aku sedang membaca buku tentang teori string, dan kamu, sebagai orang yang terobsesi dengan matematika, tertarik dan memulai percakapan. Dari situ, kita mulai bertemu secara rutin, berbagi minat pada ilmu pengetahuan meski dari sudut pandang yang berbeda kamu dari sisi teknologi dan matematis, aku dari sisi filosofis dan artistik. Perbedaan itu justru yang membuat kita tertarik satu sama lain."
Faris takjub dengan kreativitas Dika. "Itu... masuk akal dan cukup sesuai dengan kepribadianku."
"Tentu saja. Seorang aktor harus bisa menciptakan narasi yang autentik," Dika tersenyum bangga. "Untuk lamaran, bagaimana kalau kita katakan itu terjadi secara spontan? Mungkin saat kita sedang diskusi tentang teori probabilitas, dan kamu tiba-tiba menghitung bahwa probabilitas kita bahagia bersama adalah 99,7%?"
Faris tak bisa menahan tawa. "Itu terdengar seperti sesuatu yang mungkin kulakukan."
"Untuk pernikahan, kita bisa mengatakan bahwa itu adalah upacara sederhana di pantai, hanya dihadiri keluarga dan teman dekat. Terlalu banyak saksi bisa rumit untuk diverifikasi."
"Kamu benar-benar memikirkan semuanya, ya?"
"Itulah pekerjaanku," Dika mengedipkan sebelah matanya. "Oh, dan kita juga perlu latihan."
"Latihan apa?"
"Latihan sebagai pasangan," Dika menjelaskan. "Bagaimana kita berinteraksi, bagaimana kita menatap satu sama lain, bagaimana kita menyentuh. Semua detail kecil yang akan membuat orang percaya bahwa kita benar-benar pasangan."
Faris menelan ludah. "Menyentuh?"
"Tentu saja. Pasangan biasanya memiliki tingkat kenyamanan fisik tertentu satu sama lain. Cara mereka duduk berdekatan, cara mereka berpegangan tangan, cara mereka saling menatap. Kita perlu mempraktikkan itu agar terlihat natural."
Faris merasa semakin tidak nyaman. Dia tidak memikirkan aspek fisik dari sandiwara ini. "Aku tidak yakin itu perlu..."
"Percayalah, itu sangat perlu," Dika bersikeras. "Coba bayangkan jika di reuni nanti, seseorang meminta kita untuk bergandengan tangan atau, lebih ekstrem lagi, berciuman untuk membuktikan bahwa kita benar-benar pasangan. Jika kita terlihat kaku atau ragu-ragu, seluruh sandiwara kita akan terbongkar."
Faris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kamu benar, tapi... ini sangat canggung."
"Kecanggungan adalah musuh terbesar akting yang meyakinkan," kata Dika dengan nada serius. "Kita perlu menghilangkan itu sebelum reuni. Jadi, mulai sekarang sampai hari reuni, kita perlu menghabiskan waktu bersama, minimal beberapa jam setiap hari, untuk membangun kenyamanan dan chemistry yang diperlukan."
"Beberapa jam setiap hari?" Faris terkejut. "Aku punya perusahaan yang harus kujalankan, kamu tahu?"
"Dan aku punya reputasi sebagai aktor yang harus kujaga," balas Dika tenang. "Percayalah, ini demi kebaikan kita berdua. Kamu ingin sandiwara ini berhasil, kan?"
Faris menghela napas. "Ya, tentu saja."
"Kalau begitu, kita mulai sekarang," Dika bergeser ke kursi di sebelah Faris, membuat Faris refleks menjauh sedikit. "Lihat? Kamu masih kaku. Ini tidak akan berhasil jika kamu terus seperti ini."
"Maaf, ini hanya... tidak biasa bagiku."
"Aku mengerti," Dika tersenyum pengertian. "Kita akan mulai dengan hal-hal kecil. Pertama, cobalah untuk tidak menjauh saat aku mendekat. Pasangan biasanya nyaman dengan kehadiran fisik satu sama lain."
Faris mengangguk dan mencoba untuk tetap di tempatnya saat Dika bergeser sedikit lebih dekat.
"Bagus," puji Dika. "Sekarang, coba kita bergandengan tangan."
"Di sini?" Faris melihat sekeliling kafe dengan cemas. "Bagaimana jika ada yang melihat?"
"Bukankah itu tujuannya? Agar orang melihat dan percaya bahwa kita pasangan?" Dika mengangkat alisnya. "Lagipula, kamu sendiri yang mengumumkan ke publik bahwa kamu gay dan sudah menikah. Apa masalahnya jika orang melihat kita bergandengan tangan?"
Faris tahu Dika benar, tapi tetap saja, ini sangat di luar zona nyamannya. Dengan ragu, dia mengulurkan tangannya.
Dika mengambil tangan Faris dan menggenggamnya dengan lembut. "Lihat? Tidak sulit, kan?"
Faris mengangguk kaku, masih merasa sangat canggung. Tangan Dika terasa hangat dan kuat, sangat berbeda dari tangan lembut Alya yang pernah digenggamnya dulu.
"Sekarang, coba tatap mataku," instruksi Dika.
Faris menarik napas dalam-dalam dan mencoba menatap mata Dika. Mata aktor itu berwarna coklat gelap dan sangat ekspresif, jelas mencerminkan pelatihan aktingnya yang intensif.
"Bagus. Pertahankan kontak mata ini selama tiga puluh detik," kata Dika.
Faris mencoba, tapi setelah sekitar sepuluh detik, dia merasa sangat tidak nyaman dan mengalihkan pandangannya.
Dika menghela napas. "Kita punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan."
"Maaf," Faris menggaruk lehernya. "Aku tidak terbiasa menatap mata orang selama itu."
"Bahkan dengan Alya dulu?"
Faris terdiam sejenak. "Dengan Alya... berbeda."
"Karena kamu mencintainya," Dika menyimpulkan dengan tenang.
Faris tidak membantah.
"Oke, mari kita coba pendekatan berbeda," Dika berpikir sejenak. "Saat kamu menatapku, bayangkan aku adalah Alya."
"Apa?" Faris terkejut.
"Hanya untuk latihan," Dika meyakinkan. "Bayangkan aku adalah Alya, dan kamu ingin menunjukkan padanya betapa kamu masih peduli padanya. Gunakan emosi itu untuk membuat kontak mata kita lebih autentik."
Faris tidak yakin ini ide yang baik, tapi dia memutuskan untuk mencoba. Dia menatap mata Dika lagi, kali ini membayangkan bahwa itu adalah mata Alya yang selalu bisa membuatnya merasa tenang.
"Bagus, pertahankan," bisik Dika.
Tanpa sadar, ekspresi Faris melembut. Matanya tidak lagi menunjukkan ketegangan, melainkan kehangatan yang tulus.
"Wow," kata Dika setelah beberapa saat. "Itu... sangat berbeda. Kamu benar-benar masih mencintainya, ya?"
Faris mengalihkan pandangan, merasa terekspos. "Kita sedang membahas akting, bukan perasaanku."
"Dalam method acting, perasaan sejati adalah kunci," Dika mengingatkan. "Tapi baiklah, kita akan melanjutkan latihan. Selanjutnya, cobalah merangkul bahuku."
Sepanjang sore itu, Faris menemukan dirinya terlibat dalam berbagai latihan "kedekatan" yang semakin membuatnya tidak nyaman. Dari bergandengan tangan, merangkul bahu, hingga belajar cara berdiri berdekatan dengan natural. Dika adalah instruktur yang sabar tapi keras, terus mendorong Faris untuk keluar dari zona nyamannya.
"Kita perlu bicara tentang ciuman," kata Dika akhirnya, saat matahari mulai terbenam di luar jendela kafe.
"Ciuman?" Faris nyaris tersedak minumannya. "Aku tidak berpikir itu perlu."
"Tentu saja perlu. Pasangan yang baru menikah biasanya masih dalam fase bulan madu. Mereka akan berciuman sesekali, terutama jika diminta oleh teman-teman di acara sosial seperti reuni."
"Tapi..."
"Jangan khawatir, kita tidak perlu berlatih ciuman sungguhan," Dika tersenyum melihat ekspresi panik Faris. "Kita hanya perlu menyepakati teknik dan pendekatan. Misalnya, jika situasi mengharuskan kita berciuman, aku akan memiringkan kepala ke kanan, dan kamu ke kiri. Aku akan meletakkan tanganku di bahumu, dan kamu di pinggangku. Ciuman cepat, tidak lebih dari tiga detik, dengan sentuhan bibir yang ringan."
Faris mendengarkan instruksi itu dengan mata melebar. Dika benar-benar telah memikirkan semuanya sampai ke detail terkecil.
"Kamu... sangat mendetail," komentar Faris.
"Itulah yang membedakan akting biasa dengan akting luar biasa," Dika tersenyum bangga. "Jadi, kita sepakat tentang teknik ciuman itu?"
"Aku... kita..." Faris terbata-bata, tidak tahu harus menjawab apa. "Kita harus latihan ciuman?"
"Tidak, tidak perlu latihan sungguhan," Dika meyakinkan. "Cukup ingat instruksi yang kuberikan tadi. Jika situasi mengharuskan, kita sudah punya rencana."
Faris menghela napas lega. "Baiklah. Aku bisa mengingat itu."
"Bagus," Dika mengangguk puas. "Sekarang, mari kita bicarakan jadwal latihan untuk minggu ini. Kita perlu setidaknya dua jam setiap hari untuk membangun chemistry yang meyakinkan."
Faris melihat jam tangannya. Sudah hampir empat jam mereka duduk di kafe ini, dan dia masih punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor.
"Aku tidak yakin bisa menyediakan dua jam setiap hari," kata Faris jujur. "Aku punya perusahaan yang harus kujalankan."
"Kalau begitu, aku akan datang ke kantormu," Dika menawarkan solusi dengan santai.
"Ke kantorku?" Faris terkejut. "Itu... aku tidak berpikir itu ide yang baik."
"Kenapa tidak? Bukankah lebih baik jika karyawanmu mulai terbiasa melihat kita bersama? Itu akan membuat cerita kita lebih meyakinkan."
Faris tidak bisa membantah logika itu, meski dia merasa situasi ini semakin rumit. "Baiklah, tapi kita harus berhati-hati. Jangan sampai mengganggu produktivitas kantor."
"Tentu saja," Dika tersenyum. "Aku akan menjadi suami yang pengertian dan mendukung karir suaminya."
Faris memutar matanya, tapi tidak bisa menahan senyum kecil. Ada sesuatu yang menghibur tentang antusiasme dan dedikasi Dika terhadap perannya.
"Jadi, kita sepakat? Mulai besok, kita akan menghabiskan minimal dua jam bersama setiap hari hingga hari reuni," Dika mengkonfirmasi.
"Sepakat," Faris mengangguk, meski masih ragu.
"Sempurna!" Dika tersenyum lebar, lalu dengan gerakan yang tak terduga, dia meraih tangan Faris dan menggenggamnya erat. "Terima kasih atas kepercayaanmu, sayang. Aku tidak sabar untuk menjadi suami terbaikmu."
Faris terkejut dengan perubahan nada dan sikap Dika yang tiba-tiba. "Kamu... sudah mulai berakting?"
"Tentu saja," Dika mengedipkan sebelah matanya. "Method acting, ingat? Mulai sekarang, setiap kali kita bersama, aku adalah Dika, suami yang sangat mencintai Faris. Dan kamu adalah Faris, suami yang sangat mencintai Dika."
Faris merasakan sesuatu yang aneh di perutnya. Ini semua terasa sangat tidak nyata, seperti dia telah terjebak dalam plot film absurd. Namun di sisi lain, dia tidak bisa menyangkal bahwa Dika sangat profesional dan berdedikasi.
"Baiklah... sayang," kata Faris kaku, mencoba mengikuti permainan.
Dika tertawa. "Kita perlu banyak berlatih dengan panggilan sayangmu itu. Terdengar seperti kamu sedang mengucapkan kata asing."
"Maaf, aku tidak terbiasa memanggil orang dengan panggilan sayang."
"Bahkan Alya dulu?"
Faris terdiam sejenak. "Aku memanggilnya 'Lya'."
"Ah, nama panggilan khusus," Dika mengangguk mengerti. "Itu manis. Apa dia memiliki panggilan khusus untukmu?"
"'Ris'," jawab Faris pelan, teringat bagaimana Alya selalu memanggilnya dengan nada yang lembut dan penuh kasih sayang.
"'Ris' dan 'Lya'," Dika tersenyum. "Sederhana tapi manis. Oke, kamu bisa memanggilku 'Dik' jika 'sayang' terlalu sulit."
"'Dik'?" Faris mengernyitkan dahi. "Itu terdengar seperti aku memanggilmu adik."
"Benar juga," Dika tertawa. "Kalau begitu, kita pakai nama lengkap saja untuk saat ini, dan perlahan-lahan berlatih dengan panggilan sayang lainnya."
Faris mengangguk, merasa lega dengan kompromi itu.
"Jadi," Dika menatap Faris dengan serius, "masih ada satu hal yang ingin kutanyakan."
"Apa itu?"
"Apa rencanamu setelah reuni? Maksudku, apakah kita akan 'bercerai'? Atau melanjutkan sandiwara ini lebih lama?"
Faris belum memikirkan sejauh itu. Dia begitu fokus pada reuni dan bertemu Alya kembali, sehingga belum mempertimbangkan apa yang akan terjadi setelahnya.
"Aku... belum tahu," jawabnya jujur. "Mungkin tergantung pada bagaimana reuni berjalan."
"Maksudmu, tergantung pada reaksi Alya?" Dika menebak dengan tepat.
Faris tidak menjawab, yang bagi Dika sudah cukup sebagai konfirmasi.
"Baiklah," Dika menghela napas. "Tapi aku perlu tahu secepatnya setelah reuni. Aku punya jadwal pementasan yang harus kuatur."
"Tentu," Faris mengangguk. "Aku akan memberi tahu keputusanku segera setelah reuni."
"Bagus," Dika tersenyum, lalu melihat jam tangannya. "Wah, sudah hampir jam tujuh. Aku harus pergi untuk latihan teater malam ini."
Faris sedikit terkejut bahwa waktu berlalu begitu cepat. "Tentu, aku juga harus kembali ke kantor."
Mereka berdiri, dan Dika, masih dalam mode akting, memeluk Faris dengan erat. "Sampai jumpa besok, sayang. Aku akan datang ke kantormu jam makan siang."
Faris, masih kaku dalam pelukan itu, menepuk-nepuk punggung Dika canggung. "Sampai jumpa besok."
Saat mereka berpisah di depan kafe, beberapa orang yang lewat menatap mereka dengan penasaran. Faris merasakan wajahnya memanas, tapi Dika tampak sangat santai dan nyaman dengan situasi itu.
"Lihat?" bisik Dika sebelum benar-benar pergi. "Orang-orang sudah mulai percaya. Ini akan berhasil!"
Setelah Dika pergi, Faris berdiri sendirian di depan kafe, bertanya-tanya apa yang baru saja dia lakukan. Dia telah menyewa seorang aktor method untuk berpura-pura menjadi suaminya, semua karena dia tidak ingin terlihat patah hati di depan mantan pacarnya.
Situasi ini tidak bisa lebih absurd lagi.
Ponselnya bergetar, menunjukkan notifikasi baru. Sebuah tag di I*******m. Dika telah mengunggah foto mereka di kafe tadi, dengan caption: "Coffee date with the hubby. Love you, @farisaditya02! #husbandtime #loveofmylife"
Faris menatap foto itu dengan mulut sedikit terbuka. Kapan Dika mengambil foto itu? Dia bahkan tidak ingat mereka berfoto bersama.
Tapi yang lebih mengejutkan adalah betapa natural mereka terlihat di foto itu. Dika tersenyum lebar ke kamera, sementara Faris, meski sedikit kaku, juga tersenyum tipis. Mereka benar-benar terlihat seperti pasangan yang sedang menikmati waktu bersama.
"Kita harus latihan ciuman," gumam Faris, mengingat kata-kata Dika tadi.
Ya, situasi ini definitif tidak bisa lebih absurd lagi.
"Ini terlalu mencolok," Alya menggelengkan kepalanya, menatap bayangan di cermin dengan horor. Di atas kepalanya yang berambut pendek, terpasang sebuah wig pirang panjang bergelombang yang membuatnya terlihat seperti penyanyi dangdut."Justru itu tujuannya!" Nadia bersikeras, berdiri di belakang Alya dengan tangan di pinggang. "Untuk membuat Faris tidak bisa mengalihkan pandangan darimu.""Dia tidak akan bisa mengalihkan pandangan karena aku akan terlihat seperti badut, Nad," Alya memutar matanya.Mereka berada di toko wig terbesar di Jakarta, memilih rambut palsu untuk Alya sebagai antisipasi jika dia tiba-tiba kehilangan kepercayaan diri dengan potongan pixie cut barunya menjelang reuni. Toko ini, yang dengan kreatif dinamai "Rambut Impian", memiliki berbagai macam wig dengan berbagai warna, panjang, dan gaya."Bagaimana dengan yang ini?" Luna menawarkan, mengangkat wig hitam lurus sepunggung. "Lebih natural, mirip rambutmu yang dulu."
Rizky tidak sengaja. Sungguh, dia tidak merencanakan untuk bertemu Maya di toko buku ini. Setelah pertemuan singkat mereka di pesantren kemarin, dia pikir dia punya waktu beberapa hari untuk mempersiapkan diri sebelum reuni. Tapi takdir, atau mungkin Allah, punya rencana lain.Dia sedang mencari buku referensi untuk ceramah mingguan di bagian keagamaan ketika melihatnya Maya, berdiri di bagian fiksi, jemarinya yang lentik menelusuri punggung-punggung buku dengan gerakan yang familier. Dia mengenakan jilbab lavender sederhana, berbeda dengan jilbab yang dia kenakan kemarin, tapi tetap elegan.Rizky membeku di tempatnya berdiri. Haruskah dia menyapa? Berpura-pura tidak melihat? Berbalik dan pergi? Sebelum dia bisa memutuskan, Maya menoleh, seolah merasakan kehadirannya, dan mata mereka bertemu.Sejenak, waktu seolah berhenti. Rizky bisa melihat keterkejutan di mata Maya, diikuti dengan... apa itu? Kegembiraan? Kecemasan? Sesuatu yang tidak bisa dia b
Nadia merapikan jilbab lavendernya di depan cermin besar yang menempati hampir seluruh dinding kamarnya. Cermin itu dikelilingi lampu-lampu kecil yang biasa dia gunakan untuk merekam tutorial kecantikan untuk kanal vlognya. Dengan teliti, dia memeriksa riasan wajahnya, memastikan semuanya sempurna, bahkan untuk sekedar pertemuan santai dengan teman-teman."Sempurna," gumamnya pada bayangan di cermin, menyapukan lipstik sekali lagi. "Siapa sangka dulu kamu gadis culun berkacamata tebal yang selalu diejek Bimo, dan sekarang..."Nadia tersenyum puas. Lima juta pengikut di media sosial tidak berbohong. Dia, yang dulu selalu menjadi bahan ejekan karena penampilan kutu bukunya, kini menjadi panutan gaya untuk ribuan perempuan Indonesia. Salah satu keberhasilan terbesar dalam hidupnya adalah mendirikan "Nadia Beauty House", salon kecantikan yang kini memiliki cabang di tiga kota besar.Ponselnya berdering, menampilkan nama Luna di layar."Halo, Lun
Faris menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. Entah sudah berapa kali dia melakukan itu dalam satu jam terakhir. Ruang tamu apartemennya yang biasanya nyaman kini terasa seperti sauna. Padahal pendingin ruangan berfungsi normal, hanya saja rasa gugupnya membuat suhu tubuhnya meningkat."Rileks sedikit, Faris," Andi, sahabatnya sekaligus perencana pernikahan profesional, mengomel sambil mengatur pencahayaan untuk sesi foto. "Kamu terlihat seperti akan menghadapi eksekusi, bukan pemotretan pasangan.""Maaf," gumam Faris, berusaha melemaskan bahunya yang kaku. "Aku tidak terbiasa dengan... semua ini.""Jelas sekali," Andi memutar mata dramatis. "Tapi inilah gunanya kita latihan. Kamu harus terlihat nyaman bersama 'suami'mu di reuni nanti."Faris mengangguk kaku, melirik ke arah kamar mandi tempat Dika sedang bersiap-siap. Setelah pertemuan singkat dengan Alya dan teman-temannya di Kafe Semanggi tadi siang, Faris merasa semakin terte
Alya tidak bisa berhenti menatap bayangannya di kaca spion mobil Wulan. Rambutnya yang dulu panjang sepunggung kini begitu pendek, hanya menyisakan beberapa senti di atas kepalanya. Potongan pixie cut yang beberapa jam lalu masih terasa asing kini mulai terasa... tidak terlalu buruk?"Berhenti menatap dirimu sendiri," Wulan menegur dari kursi pengemudi. "Aku tahu kamu cantik, tapi jangan jadi narsis begitu.""Aku masih tidak percaya melakukan ini," Alya menyentuh rambutnya untuk kesekian kali. "Tiga tahun aku memanjangkan rambutku, dan dalam lima menit semuanya hilang.""Dan kamu terlihat sepuluh kali lebih cantik," Nadia meyakinkan dari kursi belakang. "Serius, Al, potongan itu membuatmu terlihat lebih dewasa dan sophisticated.""Secara psikologis," Indah menambahkan, seperti biasa, "perubahan drastis pada penampilan sering menjadi katalis untuk perubahan internal juga. Ini fase metamorfosismu.""Metamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu maksudmu?"
Maya menutup pintu mobilnya perlahan, tatapannya masih tertuju pada bangunan pesantren yang baru saja ditinggalkannya. Pesantren Hidayatullah, tempat Rizky mengajar dan membimbing para santri muda. Siapa sangka playboy sekolah dulu kini menjadi seorang ustadz? Hidup memang penuh kejutan."Bagaimana?" Sebuah suara mengejutkannya dari kursi penumpang.Maya menoleh, mendapati Pak Surya, mantan guru Bimbingan Konseling mereka, duduk dengan tenang sambil memegang sebuah buku catatan."Sesuai rencana," jawab Maya singkat, menyalakan mesin mobil. "Dia akan datang ke reuni.""Tentu saja dia akan datang," Pak Surya tersenyum penuh arti. "Tidak ada yang bisa menolak undangan dari cinta pertama, bukan?"Maya tersenyum tipis, tidak menjawab. Dia melajukan mobilnya keluar dari area parkir pesantren, pikirannya masih tertuju pada pertemuan singkat dengan Rizky barusan. Ustadz Rizky. Nama yang masih terasa aneh di lidahnya."Jadi, semua berjalan sesuai ren