Tidak sampai di situ, hati Hanami semakin hancur ketika dia pulang dari rumah sakit malam hari. Dia mendapati wajah sang ibu yang menyiratkan kedukaan yang amat terdalam.
"Hana, ini apa? Ini punya siapa? Kamu hamil? Siapa laki-laki itu?" Bertubi-tubi pertanyaan ibu tanpa menjeda. Dengan tangan terulur ke arahnya, ibu memperlihatkan benda tes kehamilan yang tergambar dua garis.Jangankan memberi jawaban, gadis berambut tipis itu bahkan tak berani mengangkat kepala untuk menatap wajah sang ibu yang memendam amarah, mungkin sebentar lagi akan meledak seperti bom waktu. Wajah senja yang selalu menenangkan kini memerah, beliau tak bisa menyembunyikan rasa kekecewaannya."Hana, jawab ibu, siapa laki-laki itu?"Ibu mengulang pertanyaan terakhirnya dengan nada dinaikkan satu oktaf, hanya ingin mengetahui siapa pria itu. Seketika hati Hana semakin menciut dan tersayat ketika sang ibu bukan lagi menanyakan kepemilikan benda itu, tetapi seolah sudah mengetahui bahwa dialah pemilik benda itu."Ibu, maafkan Hana."Dia pun memberanikan mendekati lalu bersimpuh memeluk lutut ibu, meminta ampun dengan suara bergetar. Dia tak sanggup lagi menahan beban tersebut sendirian. Dia pun tak bisa menutupi aibnya terlalu lama dari ibu. Air mata yang ditahan, tak bisa dibendung lagi, kini luluh begitu saja menjejaki pipi putihnya."Apa yang kau lakukan, Nak? Kenapa bisa begini?"Suara ibu semakin lemah, dia merasa sudah gagal menjadi orangtua untuk Hana. Apa karena tidak ada sosok ayah di tengah keluarga mereka, sehingga laki-laki itu tidak segan menodai anak perempuannya. Mata teduh itu pun mulai mengeluarkan bulir kesedihan yang sangat dalam, tak kuasa menerima jika benar putrinya tengah hamil di luar nikah.Tak sanggup menjawab pertanyaan ibu, Hana mengeluarkan air mata yang terus menyembul walau sudah beberapa kali dia mengusapnya. Dia hilang kata, tak tahu bagaimana merangkai kalimat yang pas untuk menenangkan hati sang ibu, sementara hatinya sendiri diselimuti kegelisahan dan rasa bersalah. Iya, bersalah dengan Tuhan, sang ibu dan janin yang hampir dia bunuh."Hana, kasih tahu ibu, siapa?"Amarah ibu semakin memuncak ketika satu menit, dua menit sampai lima menit ia belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Dia menghentakkan kaki guna melepaskan pelukan Hana di lututnya. Dia ingin memastikan siapa pria bajingan yang berani mengambil kehormatan putrinya.Sesaat gadis yang bernama lengkap Hamami Ramadhani itu pun terhempas ke lantai beberapa jengkal. Dia masih terisak, tenggorakan seolah tercekik, kata-kata yang sudah dia rangkai di rumah sakit kini meluap. Bingung, bagaimana menjelaskan kala sore itu mereka melakukan hubungan terlarang itu karena sama-sama mau dan berdasarkan kesepakatan bersama, menguji kadar cinta pasangan masing-masing. Ah, bodoh sekali.Hati orangtua mana yang tak hancur melihat putrinya diperlakukan seperti sampah yang tak berguna, mengambil sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Sesuatu yang seharusnya dipersembahkan untuk imamnya di malam pertama. Beliau merasa gagal mendidik putrinya.Diam-diam ibu merasa bersalah karena selama ini kurang perhatian dan hanya fokus dengan pekerjaannya demi menyambung hidup dua orang itu. Ayah Hana dulunya hanyalah seorang pedagang bubur yang memejamkan mata untuk selamanya karena kanker paru-paru yang sudah menahun.Sang ibu juga bukan tak tahu siapa kekasih putrinya. Namun, dia tak mau menduga kalau yang menghamili putrinya adalah Mahendra meskipun ia sudah bisa menebaknya. Dia mau mendengar langsung pengakuan dari bibir gadis tersebut, siapa ayah dari janin yang ada di rahimnya.Malam itu, Hana masih bungkam, belum siap untuk menyatakan fakta yang sebenarnya. Sampai saat sang ibu memaki dan menamparnya, dia pun masih mempertahankan diamnya. Tak tahan lagi, sang ibu pun mengunci diri ke kamar, tanpa mau bertegur sapa dengannya selama seminggu.Perlahan, di saat merasa bisa menerima keadaan, siang itu Hana pun mengakui semuanya kala ibu sedang memasak di dapur. Dia berlutut dan pasrah dengan apa yang akan ibu lakukan untuknya."Jika Ibu mau memukul atau mengusir Hana, silakan, Bu. Hana siap menerima konsekuensinya. Hana bersalah dengan Ibu, tidak bisa menjaga diri dengan baik. Hana merasa tak berguna menjadi anak Ibu. Silakan Ibu marah dan menghukum Hana."Ucapan itu lolos begitu saja bersamaan dengan air bening itu yang ikut berdesakan turun begitu saja tanpa permisi. Remuk redam ditinggal sang kekasih yang amat dicintai ternyata begitu sangat besar, menusuk sampai ke otot jantung. Remuk di hati yang dirasakan sampai dia berkeinginan untuk mati demi mengakhiri semua rasa sakit yang ada.Mendekati dan memeluk putri satu-satunya, ibu tahu ini adalah kesalahan terbesar yang pernah Hana lakukan. Namun, nasi telah menjadi bubur, terus memarahinya pun tak akan menyelesaikan masalah, toh ini sudah terjadi. Pria itu sudah pergi demi mencapai impian dan masa depan, meninggalkan putrinya.Tanpa mengucap apapun yang akan menambah kesedihan Hana, ibu pun terus mengelus punggungnya yang masih berguncang. Beliau paham dengan keterpurukan dan kesedihan putri satu-satunya itu.Siang itu, seolah alat dapur maupun benda yang ada di sana menjadi saksi, melihat tangisan kedua manusia yang mengutuk nama Mahendra sebagai tersangka yang harus mereka lupakan.Mereka masih larut dalam tangisan sendu masing-masing, berpelukan dan saling menguatkan dan menenangkan.Setelah menceritakan dan mendapatkan maaf dari ibu, Hana pun menjalankan kehidupan seperti biasa, berusaha berdamai dengan keadaannya yang tengah hamil.Cita-cita? Ah, jika tidak bunting, mungkin dia sudah duduk di bangku kuliah Fakultas Kedokteran, menjadi dokter, impiannya sejak kecil.Dia, gadis yang kurang beruntung lantaran pengajuannya ditolak kala ia mendaftar ulang di kampus itu. Hasil tes kesehatan menunjukkan dia tengah berbadan dua, tidak memenuhi syarat walaupun dia lulus test masuk dengan nilai akademik yang memuaskan.Lenyap dan musnah sudah semua harapannya. Sirna segala angan dan keinginan terbesar yang bisa membanggakan keluarga terutama mendiang ayah dan ibu yang telah membesarkannya.Tak ada yang tahu kalau setiap malam Hana membenamkan diri di dalam kamar, menangis tanpa suara demi menghindari pertanyaan ibu. Dia pun tak mau wanita yang melahirkannya itu ikut merasakan kepedihan hati ketika ingatan tentang Mahendra datang menghampirinya. Ia hanya ingin menikmati perih yang menyesakkan dada sebagai pelengkap mimpinya.Beberapa minggu kemudian, mereka pun memutuskan untuk pindah dari tempat yang sudah mereka tinggali sejak Hana masih kecil, guna menutup aib keluarga. Menghindari lebih baik daripada mendengar omongan tetangga tentang anak haram tanpa sosok bapak yang dikandungnya.Dia berusaha membuang semua kenangan dan melupakan sang pecundang yang telah menipunya. Hidupnya kini hanya fokus dengan janin yang ada di rahim. Sehari-hari dia membantu ibu membuat kue pesanan tetangga atau kenalan. Di tempat baru, Hana pun jarang keluar. Semua kebutuhan sehari-hari atau sekadar ke pasar, ibulah yang membelinya.Tidak ada yang tahu keberadaan Hana sekarang, dia bahkan menutup diri dari dunia maya. Semua akun sosial media dinonaktifkan. Nomor telepon pun dia ganti guna membentengi diri dari pertanyaan teman atau saudara tentang keberadaannya sekarang. Dia ingin hidup tenang dan bahagia. Tekadnya hanya satu yaitu membesarkan anaknya, hingga kelak menjadi orang yang berguna."Yang tegar ya, Nak. Mama pasti akan menjaga, merawat dan mempertahankanmu. Kita harus lupakan masa lalu dan meraih kebahagiaan walau tanpa pria pengecut seperti dia."Hanami bergumam sambil mengelus perutnya yang masih rata. Ada senyuman getir terbit di sana dengan hati yang menyimpan sejuta luka.Mengusap pipi yang basah akibat tetesan airmata, Hana berucap lagi dengan suara lirih."Mahendra, kisah kita kini sudah usai, semuanya tinggal kenangan. Kita putus.""Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang