Bab 6
Pasca kejadian itu, lambat laun Hanami menjelma menjadi manusia baru. Semangatnya bangkit lagi ketika Arsenio selalu mengisi baterai energi positif untuknya. Mereka jarang ketemu karena padat jadwal si pria berkacamata, yang kini sedang magang di salah satu rumah sakit Jakarta. Dia tengah menjalankan tugas kampus sebagai koas, salah satu syarat untuk mendapatkan titel dokter."Jika ada perlu apa-apa, jangan sungkan untuk mencariku." Itulah katanya."Siap, Pak Dokter."Mereka selalu bertukar kabar via aplikasi pesan berlogo telepon hijau di sela-sela waktu senggang. Sesekali Arsenio mengunjunginya, tetapi hanya sampai di teras saja. Itu juga hanya lima menit. Setelah mengantar buah atau cemilan untuknya, pria itu pun langsung pamit."Ibu hamil butuh buah dan cemilan cokelat untuk menenangkan pikiran dan perasaannya."Ada suatu kala ketika Hana menolak pemberiannya karena merasa tak enak hati tetapi pria itu malah ngambek. Arsenio terlalu baik, padahal Hana merasa tidak berbuat apa-apa untuknya.Waktu terus berjalan beriringan dengan kedekatan mereka. Menurut Hana, kebersamaannya tidak begitu dipermasalahkan lantaran gadis itu memang membutuhkan teman untuk berbagi. Arsenio, pria yang pintar membawa diri dan tidak pernah melukai perasaannya.Sampai suatu ketika ibu pernah berpesan padanya untuk menjaga jarak agar tidak menimbulkan hujatan dari tetangga baru mereka. Walau bagaimanapun, Hana tengah hamil di mana tidak ada sosok ayah di sampingnya."Han, kamu batasi komunikasi dengan Nak Arsen. Tidak baik jika kalian terus berhubungan seperti itu. Ibu tak mau nanti timbul fitnah.""Aku dan Kak Arsen hanya teman, Bu. Dia baik, aku tak tega mengacuhkannya jika dia menelepon."Bahkan di detik-detik kelahiran Kaindra, Arsenio itu bak penyelamat yang membawa Hana ke rumah sakit. Tak sengaja malam itu saat dia mengunjungi rumah mereka, tiba-tiba perut Hana sakit dan mengeluarkan cairan."Mungkin ini waktunya kamu melahirkan, Han. Aku antar kamu ke rumah sakit sekarang."Tanpa meminta persetujuan dari sang ibu, Arsenio memapah Hana ke mobil. Ibu yang terlihat panik malam itu tidak ada alasan menolak kala mendengar beberapa kali teriakan kesakitan dari putrinya."Sabar, Nak. Kamu akan segera melahirkan. Ibu akan selalu menemanimu."Kalimat menenangkan itu tak mengurangi rasa sakit yang dialami Hana malam itu. Bayi yang minta dilahirkan kini seolah merontokkan seluruh tulang dari tubuhnya. Sakit, dia baru tahu ternyata begini rasanya dulu ibu melahirkannya.Proses kelahiran berlangsung lumayan lama, mungkin karena ini adalah persalinan anak yang pertama. Hana susah payah mengatur napas dan mengejan walau sudah mendapatkan arahan dari bidan dan dokter kandungan yang menanganinya.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diberi nama Kaindra Naoki. Nama khas Jepang itu sengaja disematkan, mengingat Hana sendiri mempunyai darah campuran Jepang dan Sunda. Kakek Hana asli keturunan Jepang yang dulu menikah dengan orang Sunda pribumi zaman penjajahan dulu. Yang akhirnya sang kakek pun terpaksa pulang ke negara asal ketika tanah air mengumumkan kemerdekaannya.Setelah mendapatkan titel dokter, Arsenio pun semangat melanjutkan pendidikan strata dua dokter anak. Alasan si pria tampan mengambil jurusan tersebut karena selain dia suka anak-anak, Kaindra-lah salah satu alasan terkuatnya. Dia ingin mengikuti tumbuh kembang bocah ganteng itu sehingga ia ingin memperdalam ilmu kedokteran tersebut.Kebersamaan tujuh tahun bersama Hana, tumbuh benih cinta di hati Arsenio. Menurutnya, Hana adalah wanita lembut yang selalu menyemangatinya. Di kala dia malas melanjutkan tugas magang, wanita itulah mengingatnya betapa dia sangat menginginkan akademik itu dulu, tetapi musnah karena musibah yang dialami."Ada kesempatan menjadi dokter, kenapa disia-siakan, Kak? Profesi dokter itu sangat berjasa dan dihormati banyak orang. Selain bisa menyelamatkan hidup orang, dokter juga bisa membimbing orang untuk hidup sehat."Ucapan Hana kala itu membangkitkan semangat, memantapkan keputusan untuk melanjutkan akademik yang tinggal setahun. Setelah itu, dia mengambil spesialis anak untuk strata dua.Begitu pula saat ketangguhan Hana nyaris memudar, ada Arsenio yang siap mengisi kembali kekuatan itu sehingga Hana kembali bisa menatap dan menghadapi dunia dengan lapang dada. Mereka seperti simbiosis mutualisme, yang saling menguatkan satu sama lainnyaMalam itu, Arsenio memberanikan diri mengungkapkan perasaan yang sudah lama disimpan rapi di relung hatinya. Keinginan matang untuk memiliki Hana dan Kaindra seutuhnya setelah dia mendapatkan gelar dokter spesialis anak."Apa kamu belum yakin akan ketulusanku padamu atas segala yang aku lakukan untuk kamu dan Kaindra selama ini?"Tatapan mata itu menyiratkan kesungguhan. Dia berharap lamarannya diterima dan berjanji akan menjaga dan melindungi mereka berdua. Dia mau menjadi imam yang baik untuknya."Tapi Kak Arsen tahu sendiri, kehidupanku bagaimana. Aku bukan wanita virgin yang selalu ditanyakan sebelum pria itu menikahi wanitanya."Hana merasa dirinya tidak suci dan tak pantas menerima cinta dari lelaki yang sangat baik dan lembut kepadanya selama ini. Menurutnya, Arsenio adalah obat penawar di saat ia merasa down dan butuh perhatian. Namun, dia belum yakin dengan perasaannya. Apakah dia mencintainya atau hanya perasaan terima kasih atas semua kebaikan pria itu."Aku akan menikahimu tanpa melihat siapa kamu di masa lalu. Aku juga bersedia menjadi ayah sambung untuk Kaindra tanpa ingin tahu siapa ayah biologisnya. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku tulus mencintaimu tanpa alasan apa pun."Pancaran sinar mata pria itu penuh ketulusan tanpa ada kebohongan di dalamnya, menggenggam erat jemari Hana untuk meyakinkannya. Dia bisa pegang ucapannya bahwa dirinya tak akan menyia-nyiakan wanita itu."Tapi Kak, maaf, aku ....""Apapun alasan kamu menolak, aku akan terus menunggumu sampai kamu siap. Jadi aku harap kamu jangan buru-buru untuk menjawab, pikirkan terlebih dahulu. Kita jalani saja kebersamaan ini.""Tapi aku tidak mau ada omongan miring dari orang-orang tentang kedekatan kita."Kini, Hana tak kuasa mengutarakan apa yang dikhawatirkan selama ini, sang ibu pun sudah sering protes kedekatan mereka. Beliau tak mau mendengar hujatan dari tetangga atau teman lain menyerbunya karena kesalahpahaman hubungan mereka. Walau bagaimanapun , mereka adalah lawan jenis yang memang seharusnya menjaga jarak, tidak baik selalu terlihat bersama karena belum dihalalkan."Maka dari itu, kita harus punya status di pelaminan. Aku akan menjadikan kamu ratu di hatiku."Lagi, pria itu menawarkan status untuknya, berulang kali dia melamar tetapi Hana belum menerimanya. Wanita itu bukan tak suka dengan dokter spesialis anak itu, hanya saja dia belum bisa membuka hati untuk pria manapun setelah Mahendra. Entah dia belum move on atau masih trauma untuk memulai hubungan baru.Kerap kali ibu menyarankan Hana mencoba membuka hati untuk Arsenio. Sebab menurut kacamata ibu, Arsenio masuk dalam kategori pria penyayang, lembut, pekerja keras dan bertanggungjawab. Sang ibu juga menginginkan menantu yang kelak akan menjaga dan menemani putrinya saat dia menghadap Yang Kuasa."Kak, aku ....""Sstt, tidak perlu jawab sekarang. Pikir-pikirkan dulu."Lembut tutur kata dan sabar, itulah gambaran sang ibu untuk Arsenio. Namun, entah mengapa, di hati Hana hanya menganggap Arsenio sebagai pahlawan dan sosok kakak yang siap menerima keluh kesahnya."Kamu menjalaninya sendiri, pasti sangat berat. Aku, aku ingin menemani untuk bersama-sama membesarkan, mendidik, merawat anakmu. Agar beban tidak terlalu berat. Aku bisa menjadi punggung untuk kamu bersandar. Aku siap meminjamkan da da saat kamu ingin bersembunyi untuk menangis."Ucapan Arsenio meluluhkan benteng bendungan air mata Hana yang sudah tidak tertahan. Ada haru di dalamnya. Bagaimana ada orang sebaik dokter muda itu di dunia ini? Namun, nama dan bayangan Mahendra masih ...."Selamat ya, Bun. Kaindra memang anak berbakat, bisa mendapatkan juara 1 di tingkat kecamatan untuk kategori pemain piano cilik." Ucapan selamat dari kepala sekolah siang tadi setelah bocah enam tahun itu selesai mengikuti lomba yang diselenggarakan Diknas tingkat kecamatan dan mendapatkan peringkat satu. Tak heran memang, putra Hana yang bernama lengkap Kaindra Naoki sudah beberapa kali mengikuti lomba piano dan selalu membawa piala. Selain membanggakan sekolahnya, ia pun membuat mama dan nenek puas dengan prestasi yang dia raih."Terima kasih, Bu."Hana membalas jabatan tangan yang diulurkan ibu kepala sekolah dengan senyuman lebar. Bangga? Iya, tentu saja, pantas jika Kai bisa menerima beasiswa di SD Swasta tersebut, bukan karena prestasi di bidang musik saja, anak laki-laki itu juga berprestasi di bidang pendidikan."Dua hari lagi, Kaindra akan mewakili sekolah kami mengikuti lomba piano tingkat Kotamadya," ucap wanita berkacamata itu setelah melepas jabatan tangan dan mempersi
"Hai, sorry, udah lama?" Masih mengenakan jaket jeans, Hana menghampiri Elena yang sudah duduk manis menunggu kedatangannya."Baru, baru lima belas menit." Dia berucap sambil mengaduk es lemon tea yang sudah dipesan, mengusir kejenuhan dan haus.Hana tersenyum tipis, menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sore itu, kafe belum begitu ramai pengunjung, apalagi hari ini bukan hari pekan, biasanya kafe nuansa kopi itu agak sepi."Ada apa, Len?" Tanpa basa-basi, Hana langsung bertanya maksud wanita yang baru dikenal setahun belakang. Dia tak ingin berlama-lama di tempat itu.Awal perkenalan mereka dari sosial media. Elena, si dokter gigi memesan kue ulang tahun untuk keponakannya dari Instagram Hana. Iya, gadis dua puluh lima tahun itu membuka usaha kue online. Kue ulang tahun hasil jepretan Arsenio diunggah dan dipamerkan di halaman aplikasi tersebut. Selain ada kue basah milik ibunya, kue brownis kukus juga dijual di sana. Lantaran insiden kehamilanya, Hana tidak bisa melanjutkan kuliah
Melajukan kendaraan roda dua miliknya, Hana pulang setelah selesai mencatat dan mengerti keinginan dokter gigi itu. Langit sudah mulai menghitam, dia tak ingin terjebak oleh pertemuan dengan beberapa preman yang sering mangkal di warung maksiat, persimpangan tiga daerah dia tinggal. Jarak antara tempat itu dengan gang rumahnya kurang lebih tiga ratus meter. Namun jika ingin masuk ke gang rumah, jalan satu-satunya adalah melewati tempat itu. Biasanya, para pria bertato tersebut akan berada di sana kisaran jam delapan atau sembilan sampai dini hari. Entah apa saja yang dilakukan mereka di sana. Mungkin mencicipi minuman haram dan menikmati surga dunia yang penuh lumur dosa. Tak jarang, Hana melihat wanita PSK mangkal di sana melakukan aksinya. Dengan detak jantung yang berpacu tak seperti biasa, Hana menancapkan gas demi mempercepat roda motor itu berputar saat berada di sekitar warung. Dia tak ingin kedatangannya disadari para preman yang akhirnya motor yang dilajukan akan dicegat ol
"Siapa?"Dia bertanya karena penasaran. Aldo menaikkan kedua bahu bersamaan dan menautkan kedua alis tebalnya. "Besok kalau ada dia, kukasih kode dan kamu lihat aja sendiri siapa bocah itu.""Mungkin besok aku tak datang ke sini. Aku ada penjurian lomba anak SD se-Jakarta. Temanku, Pak Darma besok ada halangan jadi aku yang akan menggantikan posisi itu."Aldo mengangguk paham dengan hobi sahabatnya. Mahendra memang beberapa kali mengambil posisi juri di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaan sang papa yang sudah pensiun. Iya, sejak empat tahun kepulangannya di tanah air, Mahendra telah mengambil alih perusahaan, menjabat sebagai direktur dan Aldo sebagai general manager."Itu bukannya Annisa dan Laina?" Dagu Aldo terangkat ke arah dua wanita berseragam rapi berwana merah yang baru masuk ke dalam kafe. Ekor mata Mahendra yang tadi menundukkan kepala pun ikut menyoroti wanita yang sedang mengambil posisi duduk lalu memanggil pelayan. "Teman Hana, kan? Ke sana gih, tanya-tanya ba
"Maaf, Dra. Kami sudah lama tak bertemu Hana. Kami bahkan tak tahu di mana dia tinggal sekarang." Dengan tatapan datar yang diberikan, Laina memberi informasi yang melemaskan kaki dan tubuh Mahendra. Harapan yang dipupuknya tadi pun terkikis perlahan. Ke mana lagi dia harus mencari sang kekasih yang belum diputuskan hubungannya. Mahendra masih menatap Anissa dan Laina dengan ragu, ada rasa curiga di balik pengakuan yang baru saja mereka lontarkan.***"Busyet dah, untung saja dia percaya, Han. Kita sampe bingung merangkai kata bohong agar dia tidak mencecar pertanyaan yang lain."Laina berujar sambil mencomot risol sayur yang disajikan Hana saat kedua temannya berkunjung ke kontrakan dan memberitahu pertemuan tak terduga tadi siang dengan Mahendra."Kalau gitu, mulai sekarang kalian batasi kunjungan ke sini. Aku tahu betul dia. Dia tak mudah percaya dengan omongan orang. Dia pasti akan cari tahu. Btw, tadi wajah kalian cukup meyakinkan nggak?"Jujur, hati Hana terasa ngilu seperti di
Keluhan itu akhirnya dikeluarkan dari mulut Hana. Sudah lama dia menahan masalah orderan yang sepi, sudah beberapa kali pula dia menaruh keinginan untuk bekerja kembali seperti dulu. Walau hanya sebagai pelayan toko, restoran atau kasir di salah satu toko kelontong. Dia wanita tangguh, apa pun akan dilakukan demi tiga perut yang perlu diisi setiap hari. Hanya saja memang, dunia belum memihak kepadanya, tak bisa menjanjikan pekerjaan yang berlevel tinggi, mengingat ijasah yang dikantongi cuma tingkat SMA.Dulu niat dia berhenti dari pekerjaan sebelumnya karena Kaindra yang masih membutuhkan ASI dan kasih sayang di dua tahun pertamanya. Setelah itu, Hana mencoba mengais rejeki di bisnis kue tetapi fasilitas pemasarannya kurang memadai. Rata-rata orang yang memesan kuenya adalah kenalan dari Arsenio dan kedua temannya. "Aku pengen kerja lho sekarang. Kalau kalian ada info tentang lowongan kerja, aku mau, ya. Penghasilan yang didapat lebih menjamin tiap bulannya. Ada terus uangnya meski
Sekilas meliriknya dengan ekor mata, Hana bisa memastikan pria itu kini sukses meraih impian yang pernah ingin digenggam.Kemeja dongker dengan dasi tersimpul elegan di lehernya, lengan kemeja panjang yang dilipat sampai ke siku. Dia pun melihat sepatu pantofel hitam yang mengkilat dan rambut disisir ke samping dengan rapi. Semua tampak sempurna melekat di tubuh tegapnya. Berbeda dengannya yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana sobek di lutut. Jaket jeans yang menemani saat dia melaju dengan motor matic kesayangannya. Rambut dikuncir asal di belakang dengan wajah berlumuran minyak. Kusam. Pemandangan itu seperti langit dan bumi."Hana." Pria itu mencoba mengikis jarak di antara mereka setelah aksi diam beberapa detik, memahami pertemuan yang tak terduga.Dengan kedua tangan menenteng plastik berisi bahan yang baru ia belanjakan dari warung depan, Hana berjalan mendekati pintu. Debaran jantung kian bertalu, dia tak suka keadaan seperti itu. Mencoba berpura-pura tak peduli deng
Bibir mungil Kai manyun setelahnya, dia kesal dengan suara gaduh. Dia anak pintar yang suka dengan ketenangan. Bisa saja karena efek musik yang sering dimainkan kebanyakan adalah alunan lagu yang menenangkan."Mama tidak kenal, Kai." Hana berdusta di balik senyuman tipis sambil mengusap lembut kepalanya setelah mereka merenggangkan pelukan."Apa dia mengganggu Mama? Kalau iya, nanti Kai hajar orang itu."Lucu sekali dia, masih kecil sudah bisa menjaga dan tahu cara menyayangi orang yang telah melahirkannya. "Tidak, Kai. Tadi orang itu hanya tanya alamat." Masih menggunakan nada tenang, Hana memberi jawaban untuk bocah tampan dengan rambut tipis, mirip dengannya. "Tapi tadi Kai dengar Mama teriak maling, apa Mama yakin dia tidak melukaimu? Katakan saja, Kai pasti akan memberi pelajaran kepadanya."Haduh, anak seperti Kai memang beda dari bocah pada umumnya. Sejak ia lahir tanpa ada sosok ayah di sampingnya, Kai diajarkan nenek dan ibu menjadi anak yang super mandiri. Dia pun diberit