Hari ini, Mita -sahabat- Anita akan melangsungkan pernikahan disalah satu hotel ternama di kawasan Jakarta. Sebagai seorang bridesmaid yang sudah diminta dan ditunjuk secara langsung oleh Mita bersama Fika -sahabatnya-, Anita diwajibkan untuk datang lebih cepat dan harus rela berpisah dengan Habib yang akan datang menyusulnya nanti setelah pulang kerja karena laki-laki itu diwajibkan untuk tetap stay di Firma sampai jam kerja usai.
"Gue gak nyangka, Ta." ujar Fika mulai mendrama yang hanya didengarkan baik-baik oleh Anita. "Mika secepat ini ninggalin gue sendiri." tambah perempuan itu lagi.
Anita yang mendengarkan itu langsung mengucap istighfar berulang kali. "Nyebut, Ka. Kamu ngomongnya kayak Mita udah ninggalin kita ke mana aja, pamali itu."
"Eh astagfirullah gue lupa, Ta. Maksudnya itu, gue ditinggal jomblo sendiri." Fika segera meralat ucapannya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman lagi.
"Makanya cari jodoh sana!"
"Mulut enak banget bacotnya ya, Ta. Kayak lagi nyarik belut di sawah aja yang masih ada probabilitasnya." sungut Fika kepada sahabatnya yang masih setia tersenyum itu.
Anita terkekeh mendengarkan keluhan sahabatnya sampai membawa-bawa belut di sawah segala. "Yaudah sama Erga aja sih, Ka. Kan kita udah kenal baik sama busuknya Erga." saran Anita merapikan letak jilbabnya.
"Lo balik dari kota sebelah makin nyeselin loh, Ta. Salah makan di sana? Atau banyak keracunan semen sama pasir?" tanya Fika mulai gemas melihat Anita yang terus saja menjodohkan dirinya dengan Erga, teman setingkat mereka semasa kuliah dulu.
"Ya kan aku bener, Ka. Kita udah tau busuk, buruk dan baiknya sih Erga. Aku juga yakin tante Fita setuju aja kalau kamu sama Erga." ujar Anita tersenyum. "Kamu bisa pikirin saran aku, Ka." tambah perempuan itu bangkit dari duduknya.
Sementara, Fika belum juga bangkit dari duduknya di depan kaca. Perempuan itu sibuk merenungi ucapan sahabatnya barusan. Masa sama Erga sih? Anita ngasih saran seriusan dikit gak bisa ya? batinnya.
"Ka! Ayo, Mita udah selesai." teriak Anita yang berada di luar ruangan membuat Fika bergegas menyusul kedua sahabatnya.
Anita dan Fika berdiri di belakang Mita yang akan berjalan menuju Ajun -suami Mita-, keduanya sudah melangsungkan ijab kabul kemarin dan hari ini adalah acara resepsi keduanya berlangsung. Kedua mempelai mulai digiring menuju pelaminan setelah menyelesaikan ritual adat jawa.
"Selamat ya, Mit. Sorry ya, kemarin aku gak bisa dateng di acara ijab kabul kalian." ujar Anita menyalami Mita lalu keduanya melakukan cipika-cipiki ala wanita.
"Gak papa, Ta. Aku ngerti kok, ngeliat kamu dateng hari ini aja aku seneng banget yakan, Ka?" Mita tersenyum melihat kedua sahabatnya bergantian.
"Iya, Mit. Ketemu sama ibu arsitek ini kalau gak bikin janji jauh-jauh hari pasti akhirnya sia-sia." Fika menimpali membuat Anita maupun Mita tertawa kecil.
"Kami selesai, Ta. Kamu kapan sama Habib?" tiba-tiba Ajun menyela diacara pembicaraan ketiga perempuan itu.
Anita yang mendengar itu tersenyum. "Insyaallah 3 bulan lagi, doakan aja ya semoga lancar sampai hari H." ujar perempuan itu.
"Amin." Ajun, Mita maupun Fika mengaminkan doa sahabat mereka itu.
"Eh tapi, Jun. Kalian belum selesai, justru ini adalah awal dari seluruh cinta-kasih kalian diuji. Semoga Allah selalu meridai jalan kalian ya." ujar Anita membuat pasangan itu tersenyum.
"Iya, Ta. Makasih ya doanya." Ajun tersenyum tunangan sahabatnya itu memang selalu bisa membuat orang-orang disekelilingnya tersenyum.
Hari mulai menjelang sore, ballroom sudah mulai ramai sejak jam makan siang. Tamu yang datang adalah teman-teman arsitek Anita dan Mita yang kebetulan satu Firma, sementara Fika adalah arsitek di perusahaan keluarganya dan juga merakap sebagai wakil dari sang ayah yang seorang direktur.
"Ta!"
Anita yang mengenali suara itu langsung menoleh cepat lalu tersenyum senang karena mendapati Habib lah yang memanggil dirinya. "Eh mas, kamu kapan sampai?" tanya Anita tersenyum, senang melihat Habib yang menggunakan kemeja batik lengan panjang, makin ganteng aja! batin Anita tersenyum lebar.
"Baru aja. Kamu capek, Ta?" tanya Habib dengan ekspresi khawatir membuat Anita semakin mesem-mesem. "Lumayan." ujar perempuan itu jika ia menjawab tidak, dapat dipastikan Habib akan menatapnya curiga sambil berkata 'Mau coba bohong, Ta?'
"Mau mas anterin pulang dulu?" tanya Habib menawarkan diri.
Anita menggeleng tersenyum. "Kamu kan baru sampai, nanti capek dong balik nganter aku lagi." tolak Anita halus, ia juga tidak tega melihat Habib yang baru pulang dari Firma langsung bergegas kemari.
"Gakpapa, Ta. Jangan gak enakan terus dong, aku ini calon suamimu loh." protes Habib, nada bicara laki-laki itu mulai tidak senang karena penolakan halus Anita barusan.
Anita yang mendengar itu tersenyum tidak kaget mendengar Habib yang berbicara begitu. "Ya kata siapa kamu calon suami kucing, mas? Aku bukan gak enakan mas, kamu juga baru pulang dari Firma langsung ke sinikan? Kamu ke sini aja dengan keadaan fresh aku bersyukur mas, itu artinya kamu baik-baik aja. Aku gak mau kamu kecapean, mas. Aku gak suka kamu sakit karena itu buat aku sedih, mas. Aku... "
Belum juga Anita menyelesaikan kalimatnya tangan Habib sudah terulur untuk meraih tangan Anita. "Ta, aku baik-baik aja, oke? Berhenti untuk khawatirin aku begitu, karena aku juga sedih lihat kamu capek begini." balas Habib tersenyum, hatinya terenyuh mendengar penjelasan Anita barusan bahwa prasangkanya selama ini terlalu berlebihan, ia pikir dirinya tetap menjadi orang asing walau mereka sudah pacaran kurang lebih 3 tahun lamanya.
"Ya sudah, mas. Aku mau pamit dulu sama Mita ya, kamu nanti mau balik ke sini lagi?"
Habib tampak berpikir sebentar lalu menggeleng. "Aku mau main catur sama papa aja di rumah, Ta." ujar laki-laki itu membuat senyum Anita otomatis mengembang karena yang disebut papa oleh Habib adalah Radiga alias papa perempuan itu.
Keduanya berjalan menuju pelaminan menghampiri kedua mempelai. "Mit, Jun, aku sama mas Habib mau balik dulu ya."
"Cepet amat sih, Ta. Lo juga Bib, baru juga dateng main cabut aja." Ajun berkomentar.
Mita langsung menyikut lengan Ajun. "Apaan sih, Yang. Biarin si Anita pulang, dia juga udah stay dari pagi di sini, biarin sih mereka berdua pulang sewot amat kalau Habib mau balik." cerocos Mita melihat Ajun sebal.
"Oke, kami balik ye, bro. Congrats ya untuk lo berdua, wedding gifts besok kurir yang nganter ke rumah ribet gue mau bawa." ujar Habib menyalami Ajun dan Mita bergantian lalu menggandeng tangan Anita untuk pergi dari pelaminan.
Keduanya sudah berjalan menuju parkiran hotel dengan kondisi masih tetap bergandengan. "Oiya, Ta. Tadi aku gak liat Fika ke mana temenmu itu? Gak biasanya hilang?"
Anita yang mendengar pertanyaan itu sedikit tertawa kecil. "Seberisik itu dia ya, mas? Sampe dia gak ada sunyi jadi kamu nyariin?" tanya Anita masih menggandeng lengan Habib.
Habib mengangguk polos membuat Anita lagi-lagi tersenyum. "Mungkin lagi pdkt sama Erga, mas. Tadi dia habis aku saranin untuk sama Erga aja gara-gara ditinggal jomblo sendiri sama Mita." jelas Anita.
Mendengar itu Habib tertawa kecil. "Menurut aku, mereka juga cocok sih, Ta, apalagi kalau ketemu itu sering ribut untuk suatu alasan yang enggak jelas kayak remaja baru pubertas gitu." ujar Habib membuat Anita mengangguk menyetujuinya.
Keduanya tengah mengobrol seru sampai menuju parkiran mobil Habib berada, seseorang menyapa Anita. "Anita?" sapa orang itu.
Anita mencari sumber suara lalu menemukan Gibran yang sedang bersama wanita usia 50 tahunan. "Eh bang Gib, undangan juga?" tanya Anita tersenyum sopan.
"Nemenin mama, Nit." ujar Gibran.
Anita tersenyum lalu menyalami mamanya Gibran. "Anita, tante. Arsitek yang kerja sama di proyek yang bang Gibran tangani." ujar perempuan itu tersenyum. Wanita itu tersenyum melihat senyum Anita yang begitu hangat. "Panggil aja tante Bela, Anita." ujar perempuan itu tersenyum.
"Oiya tante Bela dan bang Gib, kenalin ini calon suami saya, mas Habib." ujar Anita memperkenalkan Habib yang masih setia berdiri di sampingnya.
"Habib, tante." ujar laki-laki itu sembari menyalami mamanya Gibran.
"Gibran, manager cabang pengurus proyek Anita." ujar Gibran memperkenalkan dirinya begitu pula Habib. "Habib, calon suami Anita." keduanya sedang berjabat tangan.
"Wahh kalian berdua cocok sekali ya. Nak Anita sudah cantik cocok dengan Nak Habib yang tampan." komentar Bela melihat pasangan di depannya.
"Terima kasih, tante." ujar keduanya tersenyum. "Kalau begitu, kami permisi ya tante. Anita harus istirahat." tambah Habib tersenyum lalu berjalan menuju honda civic hitam milik Habib.
Perlakuan manis Habib untuk Anita tak lepas dari penglihatan Gibran yang terus mengamati keduanya, mulai dari membukakan pintu sampai hal-hal kecil lainnya yang membuat perasaan Gibran sedikit teriris. "Nak, kamu gak lagi suka sama nak Anita kan?" tanya Bela melihat putranya yang masih diam memandangi mobil yang sudah tidak terlihat lagi.
Gibran tersadar setelah diguncang pelan oleh sang mama. "Enggak ko, ma." jawabnya pelan lalu mengajak mamanya masuk. Bohong banget, Gib!
Minggu menjadi hari liburnya aktifitas dan seluruh kegiatan yang diwajibkan atau lebih dikenal dengan hari leha-leha, Anita dan Talita sudah ada di dapur dibantu dengan Adit dan Mbak ART rumah mereka. Adit sedang membantu memotongi wortel membantu sang kakak, sementara sang ibu sedang mengecek rasa masakan yang dibumbui oleh sang putri barusan. "Mas Ivan udah bangun, Dit?" tanya sang ibu, pasalnya sang sulung tidur setelah sholat subuh hingga sekarang sudah hampir pukul setengah delapan. "Udah, ma. Udah gabung kok sama Mas GIbran sama papa di halaman belakang." ujar Adit masih fokus dengan kegiatan memotong dan mengupasnya. "Kamu sendiri kok gak ikutan?" tanya Anita melihat adiknya yang lebih memilih sibuk membantu mereka di dapur, tidak ikut bermain bulu tangkis di belakang rumah. "Enggak, mbak. Capek nanti aku mau jalan sama anak gadis orang." ujar Adit tersenyum sumringah. "Ada aja alasan kamu itu, bilang aja males." ujar Anita menyindir sang adik dengan senyuman menge
Tepat puku jam 11 malam Anita dan Gibran masuk ke dalam kamar setelah selesai membereskan beberapa barang di taman belakang membantu Ivan, Adit dan sepupu-sepupu perempua itu yang lain. Anita mendudukkan dirinya di sofa single tempat biasa ia membaca buku, sementara Gibran masih berdiri di depan meja rias perempuan itu."Mau mas dulu atau Tata yang bersihkan badan?" tanya Gibran melepas jam tangannya lalu meletakan di atas meja rias wanita itu."Mas dulu aja, Tata masih kepengen duduk. Pegel banget pinggangnya." ujar perempuan itu melepas sendal yang hanya setinggi 3 cm."Ya sudah kalau begitu, mas duluan yang mandi." ujar Gibran melangkah menuju kamar mandi lalu tiba-tiba langkahnya terhenti."Mas sebentar, handuknya belum." ujar perempuan itu buru-buru bangkit melangkah menuju lemari sudut yang berisi selimut, handuk, seprai dan barang-barang lainnya kecuali pakaian."Ini mas." ujar Anita mengangsurkan handuk putih kepada Gibran yang diterima dengan baik oleh laki-laki itu."Terima
Selesai menemani Ivan makan, Anita yang ingin kembali pergi ke kamarnya tidak jadi karena ia kedatangan tamu tidak diundang. Anita dan sang tamu duduk di ruang tamu rumahnya dan jangan lupa ada Adit yang duduk tak jauh dari mereka dengan tatapan tajam dan mengawasi."Ada apa, bang?" tanya Anita. Tamunya adalah Habib, laki-laki itu tiba-tiba datang setelah diberitahukan oleh salah satu sepupu laki-laki Anita yang sedang duduk di depan teras rumahnya."Gak ada apa-apa, Ta." ujar Habib.Anita yang mendengar itu sedikit terdiam, jika bertemu tidak memiliki kepentingan atau suatu hal yang akan dibahas kenapa harus bertemu? apalagi ini Habib Darmawangsa, laki-laki memiliki sejuta jadwal penting yang harus segera dikerjakan. "Berarti gak ada yang mau diomongin, bang?" tanya wanita itu melihat Habib tidak minat.Habib terdiam mendengar itu, laki-laki itu tampak bimbang dalam diamnya. Ia bingung ingin mengutarakannya bagaimana perasaannya tapi jika ia tidak berbicara jujur maka ia akan kehilan
Habib yang melihat benda asing di atas meja ruang keluarganya, berjalan mendekati benda itu dan ternyata itu adalah sebuah undangan. Anita & Gibran Nama yang menghiasi depan undangan itu, undangan putih biru itu memiliki desain yang cantik dan simpel. Anita sekali desain ini, batin Habib melihat undangan itu karena teringat sosok Anita.Laki-laki itu menghembuskan napasnya lalu kembali meletakkan undangan itu di atas meja, ada beban berat yang baru saja menambah di pundaknya yaitu beban penyesalan, rasa penyesalan yang masih setia menghantuinya sampai saat ini.Bisakah ia mulai belajar ikhlas? Mengikhlaskan semuanya tentang Anita dan dirinya dulu? Memang benar apa yang dikatakan Adit tempo hari bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tidak tahu terima kasih karena telah menyakiti Anita padahal perempuan itu yang membantunya keluar dari kelamnya dunianya dulu setelah ditinggal pergi oleh Gina begitu saja. Ia harus belajar untuk mengikhlaskan Anita yang bukan lagi miliknya atas segala
Seluruh keluarga Anita sudah berkumpul di ruang tamu dengan tambahan Gibran karena laki-laki itu sudah berada di rumah Anita sebelum jam makan malam dimulai. "Kemarin surat dinas dari perusahaan sudah keluar, pa." ujar Gibran membuka percakapan melihat ke arah Radiga dengan wajah serius. "Dinasnya dapat di luar kota, kalau sesuai dengan jadwal yang tertera harusnya sebulan lagi baru berangkat tapi karena ada beberapa problem di cabang yang harus Gibran selesaikan segera, dinasnya dipercepat seminggu lagi dan Gibran harus berangkat." ujar laki-laki itu. Anita dan sekeluarga tampak diam setelah mendengar penjelasan Gibran. "Jadi gimana, nak? Bukannya pernikahan kalian 2 minggu lagi akan dilaksanakan?" tanya Talita yang menanggapi lebih dulu dari pada yang lain, ia melihat calon menantunya yang seperti terperangkap dalam kebimbangan. Gibran menghela napas pelan. "Gibran mau tanya pendapat mama sama papa, bagusnya gimana? Apakah pernikahannya kami diundu
Jam di ruang tamu kediaman Radiga sudah hampir menuju ke angka 12 malam, tapi ruangan itu masih ramai. Hampir pukul 11, Habib datang dengan keadaan lusuh dan berantakan. Sudah hampir satu jam lamanya laki-laki itu berada di ruang tamu bersama seluruh keluarga Anita dan termasuk wanita itu juga. "Jadi sebenarnya, hal yang nak Habib mau itu apa? Bukannya hubungan kalian sudah selesai semenjak nak Habib lebih memilih Gina daripada anak papa." ujar Radiga bertanya, pria paruh baya itu sudah mulai bosan melihat pemuda yang sudah berhasil menyakiti hati sang putri dengan kejamnya. "Gak mungkin, lo balikkan lagi sama mbak Anita, gak mungkin banget!" protes Adit, laki-laki itu tampak sekali tidak suka dengan kehadiran Habib di rumahnya. Habib melihat ke arah Anita yang tidak mengeluarkan suaranya sedikit pun, wanita itu sekarang tampak lebih cantik menurut Habib. Apakah itu hanya perasaan Habib saja karena ketika bersama dulu, Habib tidak benar-benar melihat Anita da