Share

720 Jam
720 Jam
Penulis: twonefr

Prolog

Pacaran setelah kurang lebih 3 tahun lamanya, akhirnya Anita dan Habib memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Habib memutuskan untuk melamar Anita dan mereka juga memutuskan 3 bulan setelah itu akan melanjutkannya dengan pernikahan karena Habib tidak ingin jarak waktu yang terlalu lama begitu juga dengan Anita, mengingat umur mereka yang sudah bisa dikatakan pantas untuk menikah.

Anita adalah putri sulung dari keluarga Radiga, perempuan itu adalah salah satu arsitek terbaik yang ada di kota itu. Walau usianya masih terbilang muda hasil gambarnya juga sudah banyak diakui dan dipakai di beberapa gedung besar yang ada di berbagai kota. 

Sementara, Habib adalah seorang pengacara terkenal mempunyai banyak klien dan relasi. Salah satu pengacara sukses di kota ini. Keduanya sudah mengenal saat masa kuliah karena Habib adalah kating Anita dan akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan.

Kini keduanya sedang makan siang bersama di salah satu restoran di tempat proyek Anita sedang berlangsung. "Gimana proyeknya, Ta. Lancar?" Habib membuka obrolan selagi menunggu pesanan mereka. 

"Lancar, mas. Mungkin besok aku udah bisa balik." perempuan berjilbab itu tersenyum melihat laki-laki di depannya.

"Mau mas jemput, Ta?" laki-laki itu bertanya bertepatan dengan datangnya pesanan mereka.

"Nanti ngerepotin kamu, mas. Besok ada jadwal sidangkan?" Anita bertanya mencoba kembali mengingatkan jadwal laki-laki di depannya.

"Iya pagi, Ta. Tapi kalau kamu mau mas jemput sore mas bisa luangin waktu kok. Gimana?" laki-laki itu tetap keukeuh menawarkan diri. 

"Ya sudah, besok aku kabari mas aja kalau udah selesai." putus Anita akhirnya tidak ingin memperpanjang obrolan karena akan membuang waktu untuk makan siang mereka.

Setelah makan siang akhirnya mereka berpisah dengan Anita kembali ke tempat proyek dan Habib yang akan pergi ke tempat pertemuannya dengan kliennya. Keduanya memang seperti ini saat menjalani hari-hari mereka, sesempat mungkin untuk makan siang bersama dikala banyak jadwal yang sudah diatur. 

"Mbak Anita, pak direktur mencari mbak." belum juga masuk ke dalam area proyek Anita sudah disambut salah satu manajer yang dikirim ke lapangan oleh perusahaan klien. 

"Pak Renaldi?" tanya Anita memastikan dan mendapat anggukan dari sang manajer. Ada apa pak Renaldi mencariku? Apa aku melupakan sesuatu lalu membuat kesalahan? batin Anita mulai mengeluarkan kemungkinan-kemungkinan sang direktur perusahaan mencarinya. 

"Sekarang beliau di mana?"

"Coffe shop sebelah mbak."

Anita mengangguk lalu mengucapkan terima kasih, kakinya melangkah menuju coffe shop di sebelah tempat proyek. Perempuan itu mulai mengingat kembali seperti apa rupa orang yang akan ia temui nanti karena ia hanya bertemu dua kali selama pembahasan proyek kemarin. 

Anita sudah masuk ke dalam coffe shop yang sudah berkurang pengunjungnya karena jam makan siang sudah hampir selesai. Setelah memastikan keberadaan orang ia cari ketemu, perempuan itu melangkah menghampiri meja dekat dengan jendela itu.

"Siang pak, mencari saya?" tanya Anita masih berdiri di samping meja. 

Laki-laki yang disapa Anita mendongak lalu mengangguk sembari tersenyum. "Duduk dulu."

Anita menggeser kursi di seberang Renaldi. "Apa ada kesalahan yang telah saya perbuat, pak?" tanya Anita langsung, hatinya masih tidak tenang karena sang direkturlah yang langsung memanggilnya. 

Renaldi tersenyum. "Tidak ada, Anita. Tidak ada kesalahan yang kamu timbulkan saya hanya ingin mengenalkan manajer cabang baru yang akan mengurus proyek pembangunan ini bersama kamu. Sebentar lagi mungkin orangnya sampai." ujar Renaldi santai. 

Mendengar ucapan itu membuat Anita bernapas lega. "Ahh saya kira, saya sudah melakukan kesalahan, pak. Karena para direktur jarang memanggil secara langsung seperti ini."

Renaldi yang mendengar itu tersenyum. "Maaf sudah membuat kamu berpikiran macam-macam." ujar pria paruh baya itu yang membuat Anita hanya bisa tersenyum.

Bunyi dentingan yang berasal dari pintu membuat Renaldi mendongak lalu tersenyum. "Orangnya sudah datang, Anita." 

Anita yang penasaran juga menoleh dan yang ia lihat adalah laki-laki seumuran dengan Habib memakai setelan kasual sedang tersenyum ke arah Renaldi. Laki-laki yang Renaldi tunggu sampai di meja mereka. 

"Anita ini Gibran, manajer cabang yang akan membantu kamu mengurus proyek." ujar Renaldi memperkenalkan Gibran. "Gibran ini Anita, arsitek yang sedang menangani proyek." tambah Renaldi lagi. 

Anita dan Gibran berjabat tangan sembari menyebutkan nama masing-masing setelah selesai Renaldi kembali berbicara. "Anita, Gibran ini orangnya senang berbagi jadi tidak perlu sungkan untuk menanyakan sesuatu dia juga orangnya open-minded jadi bukan laki-laki kuno yang berpikiran sempit. Dia juga menjadi teman ngobrol saya ketika penat. Dia juga... "

"Sudah-sudah, pak. Cukup promosinya, saya sudah dapet posisi bagus." ujar Gibran menghentikan Renaldi yang akan terus berbicara jika tidak ia hentikan, kebiasan lama yang sangat ia hapal lalu laki-laki itu melihat Anita. "Selamat bekerja sama ya, Nit. Tidak masalah saya panggil begitu? Atau dengan embel-embel ibu?" tanya Gibran. 

Anita yang mendengar itu tersenyum. "Saya lebih senang dipanggil dengan nama dibandingkan dengan tambahan embel-embel buk."

Gibran tersenyum. "Kamu boleh manggil saya dengan nama atau yang lain asalkan jangan pak karena saya tidak setua pak Renaldi."

Anita kembali tersenyum setelah mendengar kata-kata itu. Laki-laki santai. batinnya menilai saat melihat bagaimana Gibran berbicara. "Oke, bang Gib!" ujar Anita menampilkan senyumannya yang membuat Gibran terpesona sebentar lalu segera menarik diri untuk sadar, bahaya jika terlalu lama. 

Saat mereka mengobrol panjang, ponsel milik Anita berdering membuat perempuan itu langsung melihat siapa yang menghubunginya. "Sebentar ya pak, bang." ujar perempuan itu bangkit dari duduknya pergi menuju pintu keluar kafe tersebut.

"Gimana, Bran?" tanya Renaldi ketika Anita sudah berada di luar kafe. 

"Maksudnya gimana apa ini? Anita begitu?" tanya Gibran tersenyum. 

Renaldi juga ikut tersenyum, cepat nangkap juga ni anak. batinnya. "Iya, Bran."

"Punya orang dia, pak. Udah ada cincinnya begitu." ujar laki-laki itu menyeruput es kapucinonya. 

"Ya siapa tau jodoh kamu, Bran. Cincin gak menjamin sesuatu loh, buktinya yang udah nikah bisa cerai apalagi yang cuma baru tunangan." ujar Renaldi. "Iya sih, tapi saya enggak mau mengganggu hubungan orang lain, pak." jawab Gibran tersenyum.

"Saya tau, Bran. Siapa yang nyuruh kamu merusak hubungan orang lain. Saya tadikan cuma nanyak 'gimana Anita?' saya dengar juga calon Anita seorang pengacara. Kamu tau, Habib Darmawangsa kan?"

Gibran yang mendengar itu sempat terkejut sebentar lalu secepat mungkin menormalkan ekspresinya kembali. "Pengacara itu, pak?" tanya Gibran membuat Renaldi mengangguk.

Udah kalah dari awal yaaa, batin Gibran tersenyum pedih matanya masih mengawasi Anita yang masih sibuk bertelepon di luar. Mungkin dari tunangannya itu. batinnya semakin miris melihat bagaimana perempuan itu tersenyum. Gibran segera menyadarkan dirinya agar tidak bermain perasaan dalam hubungan kerjanya bersama Anita ke depannya, cukup sekali saja ia terpesona dengan seorang Anita ketika di ruang meeting kantor pusat, cukup hari itu saja. 

"Maaf ya pak, bang lama. Orang rumah yang menelpon." ujar Anita setelah kembali ke kursinya.

Renaldi mengangguk. "Tidak apa-apa, Anita. Mungkin mereka rindu, sudah seminggukan kamu di sinikan?" tanya pria itu tersenyum.

"Iya, pak. Kata mama, papa rewel kalo gak liat saya. Ehh kok malah saya jadi cerita." ujar perempuan itu tersadar lalu kembali tersenyum.

Renaldi menanggapi dan teringat akan putri bungsunya yang tinggal di indekos dekat kampus. "Saya juga rewel, Anita kalau tidak melihat putri saya yang bungsu pulang weekend ke rumah." 

Anita tersenyum, perempuan itu nyaman mengobrol dengan Renaldi karena teringat sikap sang papa. "Berhubung abang sudah menjadi manajer cabang baru pelaksana proyek ini, saya mau izin ya selama 3 hari ke depan saya ada acara dan asisten saya menggantikan saya di sini." ujar perempuan itu tersenyum kepada Gibran, tersenyum sedikit memohon agar mendapat izin. 

Disenyumin seperti itu membuat Gibran tidak bisa mengatakan penolakannya, laki-laki itu hanya mengangguk dan dirinya tersadar bahwa ia sudah jatuh entah keberapa kalinya terhadap senyum itu. Gawat!

☁☁☁

See you next part👋

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status