Pacaran setelah kurang lebih 3 tahun lamanya, akhirnya Anita dan Habib memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Habib memutuskan untuk melamar Anita dan mereka juga memutuskan 3 bulan setelah itu akan melanjutkannya dengan pernikahan karena Habib tidak ingin jarak waktu yang terlalu lama begitu juga dengan Anita, mengingat umur mereka yang sudah bisa dikatakan pantas untuk menikah.
Anita adalah putri sulung dari keluarga Radiga, perempuan itu adalah salah satu arsitek terbaik yang ada di kota itu. Walau usianya masih terbilang muda hasil gambarnya juga sudah banyak diakui dan dipakai di beberapa gedung besar yang ada di berbagai kota.
Sementara, Habib adalah seorang pengacara terkenal mempunyai banyak klien dan relasi. Salah satu pengacara sukses di kota ini. Keduanya sudah mengenal saat masa kuliah karena Habib adalah kating Anita dan akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan.
Kini keduanya sedang makan siang bersama di salah satu restoran di tempat proyek Anita sedang berlangsung. "Gimana proyeknya, Ta. Lancar?" Habib membuka obrolan selagi menunggu pesanan mereka.
"Lancar, mas. Mungkin besok aku udah bisa balik." perempuan berjilbab itu tersenyum melihat laki-laki di depannya.
"Mau mas jemput, Ta?" laki-laki itu bertanya bertepatan dengan datangnya pesanan mereka.
"Nanti ngerepotin kamu, mas. Besok ada jadwal sidangkan?" Anita bertanya mencoba kembali mengingatkan jadwal laki-laki di depannya.
"Iya pagi, Ta. Tapi kalau kamu mau mas jemput sore mas bisa luangin waktu kok. Gimana?" laki-laki itu tetap keukeuh menawarkan diri.
"Ya sudah, besok aku kabari mas aja kalau udah selesai." putus Anita akhirnya tidak ingin memperpanjang obrolan karena akan membuang waktu untuk makan siang mereka.
Setelah makan siang akhirnya mereka berpisah dengan Anita kembali ke tempat proyek dan Habib yang akan pergi ke tempat pertemuannya dengan kliennya. Keduanya memang seperti ini saat menjalani hari-hari mereka, sesempat mungkin untuk makan siang bersama dikala banyak jadwal yang sudah diatur.
"Mbak Anita, pak direktur mencari mbak." belum juga masuk ke dalam area proyek Anita sudah disambut salah satu manajer yang dikirim ke lapangan oleh perusahaan klien.
"Pak Renaldi?" tanya Anita memastikan dan mendapat anggukan dari sang manajer. Ada apa pak Renaldi mencariku? Apa aku melupakan sesuatu lalu membuat kesalahan? batin Anita mulai mengeluarkan kemungkinan-kemungkinan sang direktur perusahaan mencarinya.
"Sekarang beliau di mana?"
"Coffe shop sebelah mbak."
Anita mengangguk lalu mengucapkan terima kasih, kakinya melangkah menuju coffe shop di sebelah tempat proyek. Perempuan itu mulai mengingat kembali seperti apa rupa orang yang akan ia temui nanti karena ia hanya bertemu dua kali selama pembahasan proyek kemarin.
Anita sudah masuk ke dalam coffe shop yang sudah berkurang pengunjungnya karena jam makan siang sudah hampir selesai. Setelah memastikan keberadaan orang ia cari ketemu, perempuan itu melangkah menghampiri meja dekat dengan jendela itu.
"Siang pak, mencari saya?" tanya Anita masih berdiri di samping meja.
Laki-laki yang disapa Anita mendongak lalu mengangguk sembari tersenyum. "Duduk dulu."
Anita menggeser kursi di seberang Renaldi. "Apa ada kesalahan yang telah saya perbuat, pak?" tanya Anita langsung, hatinya masih tidak tenang karena sang direkturlah yang langsung memanggilnya.
Renaldi tersenyum. "Tidak ada, Anita. Tidak ada kesalahan yang kamu timbulkan saya hanya ingin mengenalkan manajer cabang baru yang akan mengurus proyek pembangunan ini bersama kamu. Sebentar lagi mungkin orangnya sampai." ujar Renaldi santai.
Mendengar ucapan itu membuat Anita bernapas lega. "Ahh saya kira, saya sudah melakukan kesalahan, pak. Karena para direktur jarang memanggil secara langsung seperti ini."
Renaldi yang mendengar itu tersenyum. "Maaf sudah membuat kamu berpikiran macam-macam." ujar pria paruh baya itu yang membuat Anita hanya bisa tersenyum.
Bunyi dentingan yang berasal dari pintu membuat Renaldi mendongak lalu tersenyum. "Orangnya sudah datang, Anita."
Anita yang penasaran juga menoleh dan yang ia lihat adalah laki-laki seumuran dengan Habib memakai setelan kasual sedang tersenyum ke arah Renaldi. Laki-laki yang Renaldi tunggu sampai di meja mereka.
"Anita ini Gibran, manajer cabang yang akan membantu kamu mengurus proyek." ujar Renaldi memperkenalkan Gibran. "Gibran ini Anita, arsitek yang sedang menangani proyek." tambah Renaldi lagi.
Anita dan Gibran berjabat tangan sembari menyebutkan nama masing-masing setelah selesai Renaldi kembali berbicara. "Anita, Gibran ini orangnya senang berbagi jadi tidak perlu sungkan untuk menanyakan sesuatu dia juga orangnya open-minded jadi bukan laki-laki kuno yang berpikiran sempit. Dia juga menjadi teman ngobrol saya ketika penat. Dia juga... "
"Sudah-sudah, pak. Cukup promosinya, saya sudah dapet posisi bagus." ujar Gibran menghentikan Renaldi yang akan terus berbicara jika tidak ia hentikan, kebiasan lama yang sangat ia hapal lalu laki-laki itu melihat Anita. "Selamat bekerja sama ya, Nit. Tidak masalah saya panggil begitu? Atau dengan embel-embel ibu?" tanya Gibran.
Anita yang mendengar itu tersenyum. "Saya lebih senang dipanggil dengan nama dibandingkan dengan tambahan embel-embel buk."
Gibran tersenyum. "Kamu boleh manggil saya dengan nama atau yang lain asalkan jangan pak karena saya tidak setua pak Renaldi."
Anita kembali tersenyum setelah mendengar kata-kata itu. Laki-laki santai. batinnya menilai saat melihat bagaimana Gibran berbicara. "Oke, bang Gib!" ujar Anita menampilkan senyumannya yang membuat Gibran terpesona sebentar lalu segera menarik diri untuk sadar, bahaya jika terlalu lama.
Saat mereka mengobrol panjang, ponsel milik Anita berdering membuat perempuan itu langsung melihat siapa yang menghubunginya. "Sebentar ya pak, bang." ujar perempuan itu bangkit dari duduknya pergi menuju pintu keluar kafe tersebut.
"Gimana, Bran?" tanya Renaldi ketika Anita sudah berada di luar kafe.
"Maksudnya gimana apa ini? Anita begitu?" tanya Gibran tersenyum.
Renaldi juga ikut tersenyum, cepat nangkap juga ni anak. batinnya. "Iya, Bran."
"Punya orang dia, pak. Udah ada cincinnya begitu." ujar laki-laki itu menyeruput es kapucinonya.
"Ya siapa tau jodoh kamu, Bran. Cincin gak menjamin sesuatu loh, buktinya yang udah nikah bisa cerai apalagi yang cuma baru tunangan." ujar Renaldi. "Iya sih, tapi saya enggak mau mengganggu hubungan orang lain, pak." jawab Gibran tersenyum.
"Saya tau, Bran. Siapa yang nyuruh kamu merusak hubungan orang lain. Saya tadikan cuma nanyak 'gimana Anita?' saya dengar juga calon Anita seorang pengacara. Kamu tau, Habib Darmawangsa kan?"
Gibran yang mendengar itu sempat terkejut sebentar lalu secepat mungkin menormalkan ekspresinya kembali. "Pengacara itu, pak?" tanya Gibran membuat Renaldi mengangguk.
Udah kalah dari awal yaaa, batin Gibran tersenyum pedih matanya masih mengawasi Anita yang masih sibuk bertelepon di luar. Mungkin dari tunangannya itu. batinnya semakin miris melihat bagaimana perempuan itu tersenyum. Gibran segera menyadarkan dirinya agar tidak bermain perasaan dalam hubungan kerjanya bersama Anita ke depannya, cukup sekali saja ia terpesona dengan seorang Anita ketika di ruang meeting kantor pusat, cukup hari itu saja.
"Maaf ya pak, bang lama. Orang rumah yang menelpon." ujar Anita setelah kembali ke kursinya.
Renaldi mengangguk. "Tidak apa-apa, Anita. Mungkin mereka rindu, sudah seminggukan kamu di sinikan?" tanya pria itu tersenyum.
"Iya, pak. Kata mama, papa rewel kalo gak liat saya. Ehh kok malah saya jadi cerita." ujar perempuan itu tersadar lalu kembali tersenyum.
Renaldi menanggapi dan teringat akan putri bungsunya yang tinggal di indekos dekat kampus. "Saya juga rewel, Anita kalau tidak melihat putri saya yang bungsu pulang weekend ke rumah."
Anita tersenyum, perempuan itu nyaman mengobrol dengan Renaldi karena teringat sikap sang papa. "Berhubung abang sudah menjadi manajer cabang baru pelaksana proyek ini, saya mau izin ya selama 3 hari ke depan saya ada acara dan asisten saya menggantikan saya di sini." ujar perempuan itu tersenyum kepada Gibran, tersenyum sedikit memohon agar mendapat izin.
Disenyumin seperti itu membuat Gibran tidak bisa mengatakan penolakannya, laki-laki itu hanya mengangguk dan dirinya tersadar bahwa ia sudah jatuh entah keberapa kalinya terhadap senyum itu. Gawat!
☁☁☁
See you next part👋
Hari ini, Mita -sahabat- Anita akan melangsungkan pernikahan disalah satu hotel ternama di kawasan Jakarta. Sebagai seorangbridesmaidyang sudah diminta dan ditunjuk secara langsung oleh Mita bersama Fika -sahabatnya-, Anita diwajibkan untuk datang lebih cepat dan harus rela berpisah dengan Habib yang akan datang menyusulnya nanti setelah pulang kerja karena laki-laki itu diwajibkan untuk tetapstaydi Firma sampai jam kerja usai. "Gue gak nyangka, Ta." ujar Fika mulai mendrama yang hanya didengarkan baik-baik oleh Anita. "Mika secepat ini ninggalin gue sendiri." tambah perempuan itu lagi. Anita yang mendengarkan itu langsung mengucap istighfar berulang kali. "Nyebut, Ka. Kamu ngomongnya kayak Mita udah ninggalin kita ke mana aja, pamali itu." "Eh astagfirullah gue lupa, Ta. Maksudnya itu, gue ditinggal jomblo sendiri." Fika segera meralat ucapannya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman lagi. "Makanya cari jodoh
"Assalamualaikum ma, pa. Anita pulang." langkah Anita memasuki rumah yang didominasi warna putih diikuti Habib di belakangnya, keduanya sampai saat waktu sudah hampir menjelang magrib." Waalaikumsalam." Radiga muncul dengan setelan sudah siap akan pergi ke masjid. Anita menyalami sang papa begitu pula dengan Habib. "Udah mau ke masjid, pa?" perempuan itu bertanya kepada laki-laki yang sangat disayanginya itu. "Sebentar lagi, Ta. Nunggu Adit, masih pakaian, baru pulang dia." Anita mengangguk. "Mama mana, pa?" "Mamamu di kamar, Ta. Udah siap-siap nunggu azan untuk salat." Anita yang mendengar itu mengangguk. "Ta, aku mau ikut papa sama Adit ke masjid ya. Kamu cepet naik mandi dan salat." ujar Habib membuat Anita tersenyum mengangguk. "Pa, aku ke atas." ujar perempuan itu pamit lalu melangkah menuju tangga lantai dua rumahnya. "Gimana bib, klien kamu l
Setelah seminggu pulang dari rumah sakit, segala aktivitas Anita baik urusan pekerjaan atau urusan hal lain dibatasi oleh Radiga. Pria itu tidak menginginkan putrinya masuk rumah sakit untuk kedua kalinya maka dari itu selain membatasi kegiatan Anita, Radiga juga memutuskan Ivan akan bekerja menjadi sekretaris perempuan itu tanpa menerima penolakan ataupun protes sama sekali. Saat ini, Radiga sedang berbincang dengan Ivan di ruang tamu sembari menunggu Anita yang masih bersiap-siap di kamarnya. "Inget ya Van, pesen tadi." ujar Radiga akhirnya setelah melihat sang putri kesayangannya turun. Ivan mengangguk, wajah tegasnya tampak serius. Laki-laki itu adalah anak angkat Radiga yang sejak umur 5 tahun sudah diasuh oleh Radiga dan Talita, saat itu keduanya sudah memiliki Anita yang belum genap berumur setahun. Radiga membawa Ivan dari panti asuhan karena tidak ada yang berniat untuk mengadopsi Ivan karena anak itu memiliki sikap buruk dan su
Anita sedang celingukan mencari Ivan yang belum terlihat oleh pandangannya, padahal sang Abang mengatakan bahwa ia sudah duduk di dalam restoran yang lumayan ramai ini karena jam makan siang sedang berlangsung. Di mana sih mas Ivan? batin Anita bertanya-tanya. Tangan perempuan itu bergerak mengeluarkan ponsel dari tasnya untuk menelpon Ivan, saat ingin melangkah menuju sudut restoran pandangan secara tidak sengaja menangkap keberadaan Habib yang sedang makan dengan seorang perempuan memiliki rambut panjang melebihi bahu beberapa senti. Saat ingin melangkah menghampiri Habib, tangan Anita ditarik secara halus oleh Ivan menuju meja di sudut restoran tepatnya dekat dengan jendela besar. "Ke mana sih, Tata? Udah ditungguin malah berdiri di depan situ kayak orang bingung." Ivan bertanya saat keduanya sudah duduk. Anita yang mendengar pernyataan itu tiba-tiba dihinggapi rasa kesal. "Ya, aku memang lagi bingung karena
Di dalam rumah keluarga Radiga memiliki perpustakaan yang cukup luas dengan koleksi buku dari berbagai macam bahasa. Terdapat novel, buku self improvement, psikologi, bisnis, ekonomi, politik, budaya dan juga agama. Selesai melakukan salat isya, Anita terkadang menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan jika kedua orang tuanya sibuk berduaan di kamar mereka dan juga ketika pikirannya sedang penat, Anita akan menghabiskan malamnya di dalam perpustakaan yang memiliki suasana yang tenang ini. Anita duduk di kursi santai yang menghadap balkon sembari membaca buku yang baru ia beli minggu kemarin bersama sang adik ketika berkunjung ke negara tetangga untuk melakukan kunjungan bisnis dan mengikuti acara seminar, keduanya memang sengaja menyempatkan diri untuk belanja buku. Anita yang tengah fokus membaca tiba-tiba terhenti setelah mendengar ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Perempuan itu membaca pesan yang baru saja m
125 Panggilan tak terjawab50 Pesan belum dibaca Itulah yang layar ponsel Anita tunjukkan setelah hampir seharian tidak disentuh karena sang pemilik sibuk dengan pekerjaannya yang tiba-tiba membeludak dan meminta perhatian penuh, ia juga tidak menyentuh ponselnya bukan karena sedang menghindari Habib melainkan waktu yang selalu tidak tepat saat akan menerima panggilan dari laki-laki itu. Kini jam dinding yang ada di ruangan Anita menunjukkan hampir pukul 8 malam dan dia belum juga selesai melakukan pekerjaannya yang harus selesai hari ini juga. Perempuan itu setelah menunaikan ibadah salat isya menyempatkan diri untuk memesankan makanan untuk seluruh timnya yang memang diminta untuk lembur. Anita adalah orang yang mempersiapkan segalanya sebelum waktu selesainya tiba tetapi kali ini berbeda, pagi tadi saat ia masih sarapan di rumah salah satu klien yang ada di luar kota menelpon untuk memberikan proyek kecil yaitu mendesain sebuah
Sudah hampir 5 menit mereka berdiri di depan rumah Anita tanpa suara, baik Habib maupun Anita hanya terdiam setelah pertanyaan yang diberikan perempuan itu dan akhirnya Anita hanya tersenyum mencoba untuk mengerti laki-laki yang berdiri di depannya ini. "Maaf mas, kamu gak lupakan hari ini adalah hari dimana aku ke tempat dia. Jadi, kita gak mungkin bahas itu sekarang." ujar perempuan itu tersenyum dan mencoba berbicara baik-baik agar Habib tidak salah paham. "Jadi kamu lebih mentingi dia daripada hubungan kita?" Anita yang mendengar itu terdiam sebentar lalu ia melihat wajah Habib, laki-laki yang sudah hampir 3 tahun lamanya menetap dihatinya, perempuan itu melangkah menuju mobilnya yang sudah berada tepat di depan pintu rumahnya. Anita masuk ke dalam mobil setelah itu dengan cepat mobil melaju meninggalkan rumah putih berlis abu-abu itu. Wajah Anita yang biasa tersenyum dan lembut kini tidak, ekspresinya datar dan tat
Baik Anita maupun Hega masih berdiri di atas lantaiboarding passmenunggu giliran mereka untuk pengecekan tiket. Setelah acara berpelukan yang cukup panjang dengan keluarganya ditambah dengan kekecewaannya karena Habib tidak datang untuk mengantarnya, Anita tersenyum kecil mengingat kembali ucapan Ivan bahwa ia tak perlu mengambil pusing hubungannya dengan Habib, karena akan bagaimanapun ia menjaga hubungannya itu dengan baik jika Allah tidak berkehendak, hubungan itu akan hancur juga walau sudah berjalan selama tiga tahun. Anita hanya bisa berdoa, jika Habib memang jodohnya,pasti Allah akan mempermudah jalan keluar untukmasalah mereka, jika tidakmungkin saja Habib adalah jodoh orang lain yang sedang Anita jaga untuk sang pemilik. Apapun itu Anita yakin, itulah yang terbaik untuk hubungannya. Pesawat yang ditumpangi Anita dan Hega akantake offsebentar lagi. Hega yang duduk di sebelah Anita tampak sibuk mengel