Beranda / Romansa / 720 Jam / II. Kebersamaan

Share

II. Kebersamaan

Penulis: twonefr
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-14 07:31:42

"Assalamualaikum ma, pa. Anita pulang." langkah Anita memasuki rumah yang didominasi warna putih diikuti Habib di belakangnya, keduanya sampai saat waktu sudah hampir menjelang magrib."

Waalaikumsalam." Radiga muncul dengan setelan sudah siap akan pergi ke masjid.

Anita menyalami sang papa begitu pula dengan Habib. "Udah mau ke masjid, pa?" perempuan itu bertanya kepada laki-laki yang sangat disayanginya itu.

"Sebentar lagi, Ta. Nunggu Adit, masih pakaian, baru pulang dia."

Anita mengangguk. "Mama mana, pa?"

"Mamamu di kamar, Ta. Udah siap-siap nunggu azan untuk salat." Anita yang mendengar itu mengangguk.

"Ta, aku mau ikut papa sama Adit ke masjid ya. Kamu cepet naik mandi dan salat." ujar Habib membuat Anita tersenyum mengangguk. "Pa, aku ke atas." ujar perempuan itu pamit lalu melangkah menuju tangga lantai dua rumahnya.

"Gimana bib, klien kamu lancar semuakan?" tanya Radiga setelah Anita pergi.

"Alhamdulillah, pa lancar. Ini lagi nangani kasus perceraian dan semoga lancar sampai akhir."

"Amin." Radiga tersenyum melihat Habib, calon menantunya itu memang selalu membanggakan untuk urusan pekerjaan dan agamanya karena hal itulah ia menyetujui hubungan Habib dengan putrinya itu.

"PA!!! MBAK ANITA PINGSAN!"

Teriakan suara Adit dari lantai dua membuat Radiga maupun Habib terkejut sekaligus panik, keduanya segera bergegas menuju lantai dua. Habib yang terlampau panik hampir berlari di tangga berusaha sekuat mungkin akan tidak tergelincir ke bawah. Saat keduanya sampai, Talita sudah menangisi putrinya yang tidak sadarkan diri dan Adit yang sudah menggendong sang kakak.

"Ayo ke rumah sakit, Pa." Adit berujar setenang mungkin segera berjalan menuju tangga.

Habib yang masih belum tersadar dari keterkejutannya melihat Anita yang sudah terkulai dalam gendongan Adit ditarik Talita agar sadar untuk mengikuti Adit. Sementara Radiga bergegas turun kembali mengambil kunci mobil.

Toyota Fortuner TRD putih sudah terparkir, Talita segera membukakan pintu belakang untuk Adit agar leluasa memasukan Anita. Sementara dirinya berjalan memutar mobil untuk duduk di samping sang putri.

"Mas, duduk di depan aja sama papa." ujar Adit yang segera naik setelah Anita sudah bersandar dengan Talita.

Tanpa kata Habib membuka pintu kursi penumpang depan lalu mobil pun melaju meninggalkan rumah yang didominasi putih berlis abu-abu muda itu, perjalanan yang hanya membutuhkan waktu 15 menit terasa seperti berjam-jam bagi mereka. Saat sampai, Habib langsung bergegas memanggil perawat untuk mengambil brankar.

Anita segera dibawa menuju UGD, sebelum sampai Radiga menyuruh Adit untuk menelpon dokter keluarga mereka untuk menangani Anita segera yang memang kebetulan bekerja di RS ini.

"Udah ya, ma. Mbak pasti baik-baik aja." ujar Adit mencoba menenangkan Talita.

Radiga menjauh tampak akan menghubungi seseorang. "Van, Tata drop kamu yang handle pekerjaan adik kamu untuk 3 hari ke depan. Tentang semua kliennya seminggu ke depan mungkin sudah Anita selesaikan jadi kamu hanya perlu buat report."

Sambungan telepon terputus setelah Ivan -sekretarisnya sekaligus anaknya- menyetujui permintaannya. Dokter yang memeriksa Anita keluar, Radiga berjalan mendekat begitu juga Talita, Adit dan Habib yang langsung berdiri ingin tahu.

"Jadi gimana Anita, Adrean?" tanya Talita lebih cepat dari siapapun yang ada disitu.

"Anita baik-baik aja, buk. Mungkin karena terlalu kecapekan jadi Anita drop, gula darah Anita juga rendah mungkin beberapa hari ini Anita kekurangan waktu untuk mengurus diri dan istirahat. Tolong diperhatikan lagi Anita-nya buk." ujar Adrean menjelaskan.

Radiga yang mendengar itu mengembuskan napas lega setelah mendengar penuturan sang dokter. Masih aja bandel ya, Tata. batinnya tak habis pikir membayangkan putrinya itu yang gila bekerja sama seperti dirinya dulu.

☁☁☁

Hospital Medical Centre

20.35 WIB

Anita terbangun dari tidurnya, sudah hampir dua hari ia dirawat di rumah sakit dengan penjagaan ketat dari pekerjaan. Malam ini yang menjaganya di bangsal adalah Adit, adiknya itu masih berkutat dengan laptop dan beberapa lembar kertas yang berserakan di atas meja.

"Dit." panggil perempuan itu mencoba bangun untuk bersandar mengubah posisinya menjadi duduk.

"Eh, mau ngapain?" Adit segera berdiri menghampiri Anita dan membantu perempuan itu untuk duduk.

"Bosen di sini, mbak mau pulang aja. Bisakan?" tanya Anita menatap Habib yang masih setia berdiri di sampingnya.

Adit paling tidak bisa ditatap Anita seperti ini, salah satu kelemahannya yang ia punya adalah tidak bida menolak permintaan sang kakak yang sangat ia sayangi itu. "Nanti aku bicarain sama Adrean ya. Nanti aku usahain minta dia izini mbak pulang besok." putus Adit akhirnya, tidak ingin melihat rengekan Anita yang bisa saja keluar kalau tidak iyakan permintaan perempuan itu.

Anita tersenyum. "Makasih ya adikku yang ganteng." ujarnya sementara Adit hanya menganggukkan kepalanya saja tidak ingin melebarkan obrolan dengan Anita yang kemungkinan akan menambah keinginan perempuan itu.

Saat keduanya tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing, pintu ruang rawat Anita terbuka membuat keduanya menoleh menghentikan kegiatan mereka sejenak. Anita yang melihat orang yang datang tersenyum semringah. "Mas!" sapanya semangat setelah orang itu mengucapkan salam.

Adit yang melihat ekspresi sang kakak mendengus sebal pasalnya sejak tadi yang menemani Anita itukan dirinya di sini dan ekspresi Anita biasa saja tapi setelah melihat Habib datang ekspresinya luar biasa berubah.

Adit yang merasakan dirinya akan teraniaya secara tidak langsung bangkit dari duduknya. "Mabk, aku mau ke luar cari angin sebentar. Sumpek di sini." ujar laki-laki itu berjalan keluar setelah mengatakan sindiran diakhir kalimatnya.

"Adit kenapa, Ta?" tanya Habib yang bingung melihat calon adik iparnya yang tiba-tiba ingin keluar.

"Adit? Katanya tadikan sumpek mau cari angin di luar." ujar Anita yang mengulangi perkataan sang adik.

"Sumpek? Ini tempatnya lebar loh, Ta." Habib berujar yang masih tak mengerti maksud dari ucapan Adit yang mendadak pergi.

Anita tertawa kecil mendengar kalimat yang barusan Habib ucapkan. Calonku ini bener-bener lurus atau emang gak tau ya? batin Anita bertanya-tanya dalam hati. "Maksudnya Adit ngeliat kita berdua itu sumpek, mas. Yakan dia sendiri, pacarnya lagi pergi ke Amerika untuk menghadiri acara asosiasi gitu selama 3 bulanan jadi ya gitu, Adit LDR-an dan sekarang agak sensitif kalau ngeliat orang yang pasangan."

Habib yang mendengarkan Anita menjelaskan panjang mengangguk mengerti. "Oh jadi ceritanya Adit cemburu sama kita?" Anita yang mendengar itu mengangguk lalu keduanya tertawa mengingat sikap Adit yang terlihat jelas irinya.

"Kamu udah makan, mas?" tanya Anita masih setia melihat tampang tunangannya itu.

"Udah, Ta. Kamu udah makan? Udah minum obat?" kini gantian Habib yang menyerang Anita dengan banyak pertanyaan.

Anita tersenyum mengangguk. "Gimana harimu, mas? Baik?" tanya perempuan itu tersenyum menatap laki-laki yang masih sibuk membuka paper bag yang ia bawa tadi.

"Baik, Ta. Salah satu kasus yang aku tangani juga sudah selesai, hasilnya juga alhamdulillah." cerita Habib yang membuat Anita mengangguk senang. "Alhamdulillah, mas."

"Ta, Adit jagain kamu dari siang kok mukanya dia lesu?" tanya Habib penasaran melihat wajah sang calon adik ipar tampak lesu.

"Enggak, mas. Tadi dia sih ceritanya punya klien tapi kliennya ini ribet plus banyak maunya. Kayak kita udah buat sesuatu nih udah selesai, eh tapi si klien mau minta perubahan terus perubahan yang udah selesai minta balik ke awal lagi. Ya jadinya ya gitu, wajahnya dia sejak balik kantor lesunya kayak baju belum disetrika berbulan-bulan, mas."

Mendengar cerita panjang Anita membuat Habib menggeleng-geleng tidak habis pikir, ternyata masih ada aja orang kayak gitu ya semoga Adit diberi kesabaran lebih sama Allah. batin Habib. Keduanya terhanyut mengobrol tentang kesibukan masing-masing hari ini dengan Habib yang bertemu kembali dengan klien cerainya dan Anita yang sibuk dijaga sang mama yang bahkan tidak diizinkan bergerak sama sekali.

Dinding dan benda mati lainnya adalah saksi bisu kebahagiaan keduanya yang bisa saja abadi atau juga berganti dalam hitungan jam, menit ataupun detik tidak akan ada yang pernah mengetahui hal itu. Kedua insan itu hanya bisa berusaha dan berdoa agar mereka tetap baik-baik saja, agar hubungan dan keluarga mereka tetap baik-baik saja hingga nanti.

☁☁☁

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • 720 Jam   XXXIX. Silaturahmi

    Minggu menjadi hari liburnya aktifitas dan seluruh kegiatan yang diwajibkan atau lebih dikenal dengan hari leha-leha, Anita dan Talita sudah ada di dapur dibantu dengan Adit dan Mbak ART rumah mereka. Adit sedang membantu memotongi wortel membantu sang kakak, sementara sang ibu sedang mengecek rasa masakan yang dibumbui oleh sang putri barusan. "Mas Ivan udah bangun, Dit?" tanya sang ibu, pasalnya sang sulung tidur setelah sholat subuh hingga sekarang sudah hampir pukul setengah delapan. "Udah, ma. Udah gabung kok sama Mas GIbran sama papa di halaman belakang." ujar Adit masih fokus dengan kegiatan memotong dan mengupasnya. "Kamu sendiri kok gak ikutan?" tanya Anita melihat adiknya yang lebih memilih sibuk membantu mereka di dapur, tidak ikut bermain bulu tangkis di belakang rumah. "Enggak, mbak. Capek nanti aku mau jalan sama anak gadis orang." ujar Adit tersenyum sumringah. "Ada aja alasan kamu itu, bilang aja males." ujar Anita menyindir sang adik dengan senyuman menge

  • 720 Jam   XXXVIII. Kehidupan Baru

    Tepat puku jam 11 malam Anita dan Gibran masuk ke dalam kamar setelah selesai membereskan beberapa barang di taman belakang membantu Ivan, Adit dan sepupu-sepupu perempua itu yang lain. Anita mendudukkan dirinya di sofa single tempat biasa ia membaca buku, sementara Gibran masih berdiri di depan meja rias perempuan itu."Mau mas dulu atau Tata yang bersihkan badan?" tanya Gibran melepas jam tangannya lalu meletakan di atas meja rias wanita itu."Mas dulu aja, Tata masih kepengen duduk. Pegel banget pinggangnya." ujar perempuan itu melepas sendal yang hanya setinggi 3 cm."Ya sudah kalau begitu, mas duluan yang mandi." ujar Gibran melangkah menuju kamar mandi lalu tiba-tiba langkahnya terhenti."Mas sebentar, handuknya belum." ujar perempuan itu buru-buru bangkit melangkah menuju lemari sudut yang berisi selimut, handuk, seprai dan barang-barang lainnya kecuali pakaian."Ini mas." ujar Anita mengangsurkan handuk putih kepada Gibran yang diterima dengan baik oleh laki-laki itu."Terima

  • 720 Jam   XXXVII. Tamu

    Selesai menemani Ivan makan, Anita yang ingin kembali pergi ke kamarnya tidak jadi karena ia kedatangan tamu tidak diundang. Anita dan sang tamu duduk di ruang tamu rumahnya dan jangan lupa ada Adit yang duduk tak jauh dari mereka dengan tatapan tajam dan mengawasi."Ada apa, bang?" tanya Anita. Tamunya adalah Habib, laki-laki itu tiba-tiba datang setelah diberitahukan oleh salah satu sepupu laki-laki Anita yang sedang duduk di depan teras rumahnya."Gak ada apa-apa, Ta." ujar Habib.Anita yang mendengar itu sedikit terdiam, jika bertemu tidak memiliki kepentingan atau suatu hal yang akan dibahas kenapa harus bertemu? apalagi ini Habib Darmawangsa, laki-laki memiliki sejuta jadwal penting yang harus segera dikerjakan. "Berarti gak ada yang mau diomongin, bang?" tanya wanita itu melihat Habib tidak minat.Habib terdiam mendengar itu, laki-laki itu tampak bimbang dalam diamnya. Ia bingung ingin mengutarakannya bagaimana perasaannya tapi jika ia tidak berbicara jujur maka ia akan kehilan

  • 720 Jam   XXXVI. Sisi Lain

    Habib yang melihat benda asing di atas meja ruang keluarganya, berjalan mendekati benda itu dan ternyata itu adalah sebuah undangan. Anita & Gibran Nama yang menghiasi depan undangan itu, undangan putih biru itu memiliki desain yang cantik dan simpel. Anita sekali desain ini, batin Habib melihat undangan itu karena teringat sosok Anita.Laki-laki itu menghembuskan napasnya lalu kembali meletakkan undangan itu di atas meja, ada beban berat yang baru saja menambah di pundaknya yaitu beban penyesalan, rasa penyesalan yang masih setia menghantuinya sampai saat ini.Bisakah ia mulai belajar ikhlas? Mengikhlaskan semuanya tentang Anita dan dirinya dulu? Memang benar apa yang dikatakan Adit tempo hari bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tidak tahu terima kasih karena telah menyakiti Anita padahal perempuan itu yang membantunya keluar dari kelamnya dunianya dulu setelah ditinggal pergi oleh Gina begitu saja. Ia harus belajar untuk mengikhlaskan Anita yang bukan lagi miliknya atas segala

  • 720 Jam   XXXV. Perundingan

    Seluruh keluarga Anita sudah berkumpul di ruang tamu dengan tambahan Gibran karena laki-laki itu sudah berada di rumah Anita sebelum jam makan malam dimulai. "Kemarin surat dinas dari perusahaan sudah keluar, pa." ujar Gibran membuka percakapan melihat ke arah Radiga dengan wajah serius. "Dinasnya dapat di luar kota, kalau sesuai dengan jadwal yang tertera harusnya sebulan lagi baru berangkat tapi karena ada beberapa problem di cabang yang harus Gibran selesaikan segera, dinasnya dipercepat seminggu lagi dan Gibran harus berangkat." ujar laki-laki itu. Anita dan sekeluarga tampak diam setelah mendengar penjelasan Gibran. "Jadi gimana, nak? Bukannya pernikahan kalian 2 minggu lagi akan dilaksanakan?" tanya Talita yang menanggapi lebih dulu dari pada yang lain, ia melihat calon menantunya yang seperti terperangkap dalam kebimbangan. Gibran menghela napas pelan. "Gibran mau tanya pendapat mama sama papa, bagusnya gimana? Apakah pernikahannya kami diundu

  • 720 Jam   XXXIV. Tamu Malam Itu

    Jam di ruang tamu kediaman Radiga sudah hampir menuju ke angka 12 malam, tapi ruangan itu masih ramai. Hampir pukul 11, Habib datang dengan keadaan lusuh dan berantakan. Sudah hampir satu jam lamanya laki-laki itu berada di ruang tamu bersama seluruh keluarga Anita dan termasuk wanita itu juga. "Jadi sebenarnya, hal yang nak Habib mau itu apa? Bukannya hubungan kalian sudah selesai semenjak nak Habib lebih memilih Gina daripada anak papa." ujar Radiga bertanya, pria paruh baya itu sudah mulai bosan melihat pemuda yang sudah berhasil menyakiti hati sang putri dengan kejamnya. "Gak mungkin, lo balikkan lagi sama mbak Anita, gak mungkin banget!" protes Adit, laki-laki itu tampak sekali tidak suka dengan kehadiran Habib di rumahnya. Habib melihat ke arah Anita yang tidak mengeluarkan suaranya sedikit pun, wanita itu sekarang tampak lebih cantik menurut Habib. Apakah itu hanya perasaan Habib saja karena ketika bersama dulu, Habib tidak benar-benar melihat Anita da

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status