Beranda / Romansa / 720 Jam / VI. Pertemuan

Share

VI. Pertemuan

Penulis: twonefr
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-04 11:35:36

125 Panggilan tak terjawab

50 Pesan belum dibaca

Itulah yang layar ponsel Anita tunjukkan setelah hampir seharian tidak disentuh karena sang pemilik sibuk dengan pekerjaannya yang tiba-tiba membeludak dan meminta perhatian penuh, ia juga tidak menyentuh ponselnya bukan karena sedang menghindari Habib melainkan waktu yang selalu tidak tepat saat akan menerima panggilan dari laki-laki itu. Kini jam dinding yang ada di ruangan Anita menunjukkan hampir pukul 8 malam dan dia belum juga selesai melakukan pekerjaannya yang harus selesai hari ini juga.

Perempuan itu setelah menunaikan ibadah salat isya menyempatkan diri untuk memesankan makanan untuk seluruh timnya yang memang diminta untuk lembur. Anita adalah orang yang mempersiapkan segalanya sebelum waktu selesainya tiba tetapi kali ini berbeda, pagi tadi saat ia masih sarapan di rumah salah satu klien yang ada di luar kota menelpon untuk memberikan proyek kecil yaitu mendesain sebuah perpustakaan. Anita yang dimintai tolong seperti itu tidak tega akhirnya mengiakan dan juga karena yang meminta adalah klien tetapnya yang selalu memberikan beberapa proyek besar maupun kecil maka dari itu ia menyanggupi dengan membuat desain sesuai informasi digital dari sang klien.

"Mbak, makanannya udah sampai di bawah." salah satu OB menghampiri Anita menyampaikan informasi tersebut.

"Siapkan peralatan makannya, kalian yang di bawah juga ikut makan sudah saya pesankan." ujar Anita yang matanya tetap sibuk menatap layar laptop dan monitor secara bergantian.

Jika dikatakan hanya membuat gambar ruang saja mungkin kedengarannya mudah apalagi hanya sebuah perpustakaan yang luasnya hanya tidak lebih dari minimarket pasti mudah, tetapi ketika mendesain ruang yang apalagi ketika diminta untuk memiliki ciri khas atau keinginan dari sang empunya, gambar tidak akan semudah yang dilihat atau dibicarakan. Untuk mengkonsultasikan keinginan klien secara singkat saja kurang lebih 3 jam, itu semua belum dimulai pada sebuah gambar tapi hanya berupa kumpulan kata-kata yang akan menjadi patokan dari desain. Satu hal yang Anita syukuri bahwa sang klien tidak memiliki banyak keinginan yang sisanya diserahkan kepada Anita yang sudah ia percaya.

Anita mendengar beberapa langkah kaki yang memasuki ruangannya, ia mendongak melihat dua OB membawakan peralatan makan dan minum. "Oke semuanya, kita break sebentar. Ayo, makan,” ujar perempuan itu memberikan perintah.

"Mbak gak makan?" tanya salah satu pegawai Anita karena melihat perempuan itu duduk kembali di kursinya.

"Saya makan setelah menyimpan ini. Kalian makanlah terlebih dahulu agar menghemat waktu." perintah Anita yang tidak bisa digugat.

Keempat tim Anita memulai kegiatan makan mereka di meja tengah ruangan yang biasa mereka pakai untuk rapat ditambah dua orang OB. Setelah menyimpan file desain tersebut Anita bergabung bersama para pegawainya. "Kalian tidak perlu menyisakan untuk saya, tadi papa saya mengantar makanan jadi kalian boleh menghabiskannya jika mau." ujar Anita melihat beberapa potong ayam yang masih tergeletak di atas meja.

"Selesai makan kalian juga sudah diperbolehkan pulang, tugas kalian sudah selesai. Saya juga hanya perlu follow-up to clients."

"Serius, mbak? Udah bisa balik?" tanya salah satu pegawai Anita dengan wajah semringah.

"Iya, selesaikan dulu dan don't forget to give me the report." ujar Anita memperingati yang diangguki seluruh pegawainya.

Akhirnya Anita selesai saat jarum jam menunjukkan pukul 8 lewat 40 menit. Perempuan itu sedang menunggu Ivan yang akan datang menjemput, Anita bangkit dari duduknya saat melihat mobil putih sang papa muncul. "Pak, jangan lupa dicek semua ya." pesan Anita kepada security kantor yang bertugas.

"Baik, mbak."

Anita masuk ke dalam mobil yang disambut dengan senyuman oleh Ivan. "Udah selesai semua kerjaannya, Ta?" tanya Ivan sembari menunggu Anita memasang seat belt dengan benar.

"Udah, mas dan sekarang aku mau langsung tidur aja." jawab Anita yang mulai merenggangkan tubuhnya.

Ivan tertawa yang mendengar itu setelah melihat Anita yang sudah terlelap di sampingnya, laki-laki itu mengemudi dengan tenang agar tidak menggangu sang adik. Ivan yang tidak melihat Anita selelah itu menghela napas, ia tidak tahu apa yang sang adik rasakan setelah malam di depan toko es krim itu dan sejak malam itu pula Ivan melihat orang lain di dalam diri Anita, bukan Anita yang ia kenal dan orang lain itu adalah Anita yang dulu.

Setelah mengemudi hampir 20 menit, akhirnya mobil itu memasuki pelataran kediaman Radiga. Adit yang melihat Ivan turun mendekati laki-laki itu. "Mbak Tata kenapa, mas?" tanya laki-laki itu sedikit khawatir melihat Ivan yang sepertinya sedang bersiap mengangkat Anita.

"Mbakmu gak papa, Dit cuma lagi tidur aja. Capek banget dia." ujar Ivan yang sudah menggendong Anita, sebenarnya laki-laki itu bisa saja membangunkan sang adik tapi mana tega seorang Ivan begitu, ia begitu menyayangi Anita sampai-sampai tidak tega hanya untuk membangunkan saja.

"Ambil tas sama berkasnya mbakmu ya Dit, mas mau naik." tambah Ivan sebelum masuk ke dalam rumah, Adit hanya mengangguki tanpa banyak bertanya ia tidak akan banyak berkomentar jika Ivan yang meminta.

☁️☁️☁️

Pagi menjelang, suasana meja makan tampak ramai. Anita yang baru selesai membantu sang mama menata meja duduk di sebelah sang ibu sementara Ivan dan Adit di seberangnya. "Mas, makasih ya udah angkat aku. Aku berat ya, mas?" tanya Anita sembari tersenyum cerah dan malu.

"Iya sama-sama, Ta." Ivan tersenyum melanjutkan kegiatannya menyendoknya.

"Jadi mbak gak mau terima kasih ke aku nih?" sindir Adit sedikit iri karena Anita hanya berterima kasih kepada sang Abang sementara dirinya tidak.

"Makasih adikku sayang." ujar Anita tersenyum cerah membuat Adit hanya mengangguk puas.

"Tata, gimana pengerjaan proyek kamu kemarin, lancar sampai selesaikan?" sang papa akhirnya berbicara setelah nasi di piringnya tinggal setengah.

"Alhamdulillah, pa diperlancar sama Allah dan sepertinya besok Anita harus ke Medan nih karena pagi tadi kliennya puas dengan desain Anita, mereka minta Anita ke sana untuk mengawasi langsung selama kurang lebih tiga harian, pa terus dilanjut lagi setelah menuju finishing desain ruangannya baru Anita ke sana lagi." jelas Anita panjang lebar.

Radiga menatap Talita lalu melihat ke arah putrinya. "Besok dengan siapa, Tata?" tanya pria itu langsung karena jika menyangkut proyek di luar kota Radiga tak pernah semulus jalanan aspal memberi izin.

"Mungkin sama Rifa -asisten Anita- atau sama mas Hega yang sering nemeni Tata kalau ada proyek di luar kota." Anita menjawab santai, ia tahu sang papa sangat sulit untuk melepasnya pergi ke luar kota begitu saja.

"Hega temen kamu kan, Van?" tanya Radiga menatap sang sulung yang sejak tadi diam menyimak sembari mengunyah.

Ivan mengangguk membenarkan karena mulutnya masih mengunyah telur yang baru ia masukkan ke dalam mulutnya dan berbicara soal Hega, laki-laki itu adalah sahabatnya sejak SMA hingga sekarang, Ivan dan Hega memang akrab apalagi saat laki-laki itu masuk ke firma sang adik. Hega sendiri sering membantu dirinya untuk menjaga Anita saat sedang menangani proyek yang ada di luar kota.

"Pa, ma, Tata udah selesai kalau gitu Tata berangkat dulu." ujar Anita yang sudah bangkit dari duduknya.

"Gak bareng, Ta?" tanya Radiga.

Anita menggeleng. "Papa lupa hari ini jadwal aku untuk ngunjungi dia." ujar perempuan itu menyalami kedua orang tuanya lalu sang kakak, sementara Adit hanya dapat usapan di rambut. "Aku pamit ya, Assalamu'alaikum semuanya." tambah Anita berjalan meninggalkan ruang tamu.

Anita yang baru ke luar dari rumahnya berjalan menuju mobil tiba-tiba dihentikan oleh seseorang. "Tunggu, Ta!"

Tak perlu berbalik pun, Anita tahu suara siapa ini. Habib, ini adalah suara laki-laki itu dan benar saja saat berbalik perempuan itu melihat wajah Habib yang tampak biasa saja malahan menurut Anita wajah laki-laki itu tampak cerah dan ceria. "Mas." ujar Anita yang akhirnya mengeluarkan suaranya.

"Aku ke sini, sepagi ini cuma mau bilang, Ta. Hari ini kita mulai mempersiapkan segala sesuatu pernikahan kita ya." ujar Habib.

Anita yang mendengar pernyataan itu sedikit terkejut, bukan kata maaf yang laki-laki di depannya ini ucapkan malahan memintanya untuk mempersiapkan pernikahan yang akan digelar tiga bulan ke depan. "Cuma itu, mas?" tanya perempuan itu sedikit penasaran, apakah Habib melupakan peristiwa di depan toko es krim itu? Apakah hanya dirinya yang menganggap itu penting.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • 720 Jam   XXXIX. Silaturahmi

    Minggu menjadi hari liburnya aktifitas dan seluruh kegiatan yang diwajibkan atau lebih dikenal dengan hari leha-leha, Anita dan Talita sudah ada di dapur dibantu dengan Adit dan Mbak ART rumah mereka. Adit sedang membantu memotongi wortel membantu sang kakak, sementara sang ibu sedang mengecek rasa masakan yang dibumbui oleh sang putri barusan. "Mas Ivan udah bangun, Dit?" tanya sang ibu, pasalnya sang sulung tidur setelah sholat subuh hingga sekarang sudah hampir pukul setengah delapan. "Udah, ma. Udah gabung kok sama Mas GIbran sama papa di halaman belakang." ujar Adit masih fokus dengan kegiatan memotong dan mengupasnya. "Kamu sendiri kok gak ikutan?" tanya Anita melihat adiknya yang lebih memilih sibuk membantu mereka di dapur, tidak ikut bermain bulu tangkis di belakang rumah. "Enggak, mbak. Capek nanti aku mau jalan sama anak gadis orang." ujar Adit tersenyum sumringah. "Ada aja alasan kamu itu, bilang aja males." ujar Anita menyindir sang adik dengan senyuman menge

  • 720 Jam   XXXVIII. Kehidupan Baru

    Tepat puku jam 11 malam Anita dan Gibran masuk ke dalam kamar setelah selesai membereskan beberapa barang di taman belakang membantu Ivan, Adit dan sepupu-sepupu perempua itu yang lain. Anita mendudukkan dirinya di sofa single tempat biasa ia membaca buku, sementara Gibran masih berdiri di depan meja rias perempuan itu."Mau mas dulu atau Tata yang bersihkan badan?" tanya Gibran melepas jam tangannya lalu meletakan di atas meja rias wanita itu."Mas dulu aja, Tata masih kepengen duduk. Pegel banget pinggangnya." ujar perempuan itu melepas sendal yang hanya setinggi 3 cm."Ya sudah kalau begitu, mas duluan yang mandi." ujar Gibran melangkah menuju kamar mandi lalu tiba-tiba langkahnya terhenti."Mas sebentar, handuknya belum." ujar perempuan itu buru-buru bangkit melangkah menuju lemari sudut yang berisi selimut, handuk, seprai dan barang-barang lainnya kecuali pakaian."Ini mas." ujar Anita mengangsurkan handuk putih kepada Gibran yang diterima dengan baik oleh laki-laki itu."Terima

  • 720 Jam   XXXVII. Tamu

    Selesai menemani Ivan makan, Anita yang ingin kembali pergi ke kamarnya tidak jadi karena ia kedatangan tamu tidak diundang. Anita dan sang tamu duduk di ruang tamu rumahnya dan jangan lupa ada Adit yang duduk tak jauh dari mereka dengan tatapan tajam dan mengawasi."Ada apa, bang?" tanya Anita. Tamunya adalah Habib, laki-laki itu tiba-tiba datang setelah diberitahukan oleh salah satu sepupu laki-laki Anita yang sedang duduk di depan teras rumahnya."Gak ada apa-apa, Ta." ujar Habib.Anita yang mendengar itu sedikit terdiam, jika bertemu tidak memiliki kepentingan atau suatu hal yang akan dibahas kenapa harus bertemu? apalagi ini Habib Darmawangsa, laki-laki memiliki sejuta jadwal penting yang harus segera dikerjakan. "Berarti gak ada yang mau diomongin, bang?" tanya wanita itu melihat Habib tidak minat.Habib terdiam mendengar itu, laki-laki itu tampak bimbang dalam diamnya. Ia bingung ingin mengutarakannya bagaimana perasaannya tapi jika ia tidak berbicara jujur maka ia akan kehilan

  • 720 Jam   XXXVI. Sisi Lain

    Habib yang melihat benda asing di atas meja ruang keluarganya, berjalan mendekati benda itu dan ternyata itu adalah sebuah undangan. Anita & Gibran Nama yang menghiasi depan undangan itu, undangan putih biru itu memiliki desain yang cantik dan simpel. Anita sekali desain ini, batin Habib melihat undangan itu karena teringat sosok Anita.Laki-laki itu menghembuskan napasnya lalu kembali meletakkan undangan itu di atas meja, ada beban berat yang baru saja menambah di pundaknya yaitu beban penyesalan, rasa penyesalan yang masih setia menghantuinya sampai saat ini.Bisakah ia mulai belajar ikhlas? Mengikhlaskan semuanya tentang Anita dan dirinya dulu? Memang benar apa yang dikatakan Adit tempo hari bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tidak tahu terima kasih karena telah menyakiti Anita padahal perempuan itu yang membantunya keluar dari kelamnya dunianya dulu setelah ditinggal pergi oleh Gina begitu saja. Ia harus belajar untuk mengikhlaskan Anita yang bukan lagi miliknya atas segala

  • 720 Jam   XXXV. Perundingan

    Seluruh keluarga Anita sudah berkumpul di ruang tamu dengan tambahan Gibran karena laki-laki itu sudah berada di rumah Anita sebelum jam makan malam dimulai. "Kemarin surat dinas dari perusahaan sudah keluar, pa." ujar Gibran membuka percakapan melihat ke arah Radiga dengan wajah serius. "Dinasnya dapat di luar kota, kalau sesuai dengan jadwal yang tertera harusnya sebulan lagi baru berangkat tapi karena ada beberapa problem di cabang yang harus Gibran selesaikan segera, dinasnya dipercepat seminggu lagi dan Gibran harus berangkat." ujar laki-laki itu. Anita dan sekeluarga tampak diam setelah mendengar penjelasan Gibran. "Jadi gimana, nak? Bukannya pernikahan kalian 2 minggu lagi akan dilaksanakan?" tanya Talita yang menanggapi lebih dulu dari pada yang lain, ia melihat calon menantunya yang seperti terperangkap dalam kebimbangan. Gibran menghela napas pelan. "Gibran mau tanya pendapat mama sama papa, bagusnya gimana? Apakah pernikahannya kami diundu

  • 720 Jam   XXXIV. Tamu Malam Itu

    Jam di ruang tamu kediaman Radiga sudah hampir menuju ke angka 12 malam, tapi ruangan itu masih ramai. Hampir pukul 11, Habib datang dengan keadaan lusuh dan berantakan. Sudah hampir satu jam lamanya laki-laki itu berada di ruang tamu bersama seluruh keluarga Anita dan termasuk wanita itu juga. "Jadi sebenarnya, hal yang nak Habib mau itu apa? Bukannya hubungan kalian sudah selesai semenjak nak Habib lebih memilih Gina daripada anak papa." ujar Radiga bertanya, pria paruh baya itu sudah mulai bosan melihat pemuda yang sudah berhasil menyakiti hati sang putri dengan kejamnya. "Gak mungkin, lo balikkan lagi sama mbak Anita, gak mungkin banget!" protes Adit, laki-laki itu tampak sekali tidak suka dengan kehadiran Habib di rumahnya. Habib melihat ke arah Anita yang tidak mengeluarkan suaranya sedikit pun, wanita itu sekarang tampak lebih cantik menurut Habib. Apakah itu hanya perasaan Habib saja karena ketika bersama dulu, Habib tidak benar-benar melihat Anita da

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status