Share

V. Berbohong

Di dalam rumah keluarga Radiga memiliki perpustakaan yang cukup luas dengan koleksi buku dari berbagai macam bahasa. Terdapat novel, buku self improvement, psikologi, bisnis, ekonomi, politik, budaya dan juga agama. Selesai melakukan salat isya, Anita terkadang menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan jika kedua orang tuanya sibuk berduaan di kamar mereka dan juga ketika pikirannya sedang penat, Anita akan menghabiskan malamnya di dalam perpustakaan yang memiliki suasana yang tenang ini.

Anita duduk di kursi santai yang menghadap balkon sembari membaca buku yang baru ia beli minggu kemarin bersama sang adik ketika berkunjung ke negara tetangga untuk melakukan kunjungan bisnis dan mengikuti acara seminar, keduanya memang sengaja menyempatkan diri untuk belanja buku. Anita yang tengah fokus membaca tiba-tiba terhenti setelah mendengar ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk.

Perempuan itu membaca pesan yang baru saja masuk, ekspresinya berubah setelah membaca pesan itu dan sekarang membaca buku saja tidak cukup untuk menenangkan pikirannya itu, ia harus melakukan sesuatu seperti memakan es krim misalnya. Anita segera bangkit dari duduknya setelah meletakkan kembali buku yang ia baca ke dalam rak lalu melangkah ke luar perpustakaan atau lebih tepatnya mencari sang adik untuk menemani dirinya ke toko es krim yang tak jauh dari komplek perumahan mereka ini.

Nihil, ternyata adiknya itu belum pulang dan juga ketidakberuntungannya tidak berhenti sampai di situ saja karena ia juga tidak menemukan Ivan di seluruh penjuru rumah. Anita memutuskan untuk pergi sendiri diantarkan sang supir keluarga mereka setelah perempuan itu mengambil sweater di kamarnya dan ponsel yang tidak lupa ia bawa untuk membayar es krim nantinya.

"Ma, Pa. Tata, pergi ke luar sebentar." ujar Anita saat melalui pintu kamar orang tuanya yang berada pas di bawah tangga.

"Pak, anter saya ke toko es krim simpang tiga bisakan?" tanya Anita menghampiri pak Raman yang sedang duduk di dekat pos gerbang rumah mereka.

"Bisa, non. Sebentar, saya siapkan mobil dulu." Pak Raman bergegas pergi menuju garasi.

Mobil melaju keluar komplek perumahan elite itu dengan kecepatan santai, Anita tidak berminat sama sekali dengan ponselnya perempuan itu memilih memandangi ke luar jendela yang sedang menampilkan aktivitas sibuknya suasana jalanan padahal hari sudah gelap.

Mobil Fortuner putih itu sampai, sebelum turun Anita menanyakan kepada supirnya itu apakah menginginkan es krim juga atau tidak dan ternyata jawaban seperti biasa yang ditolak dengan gelengan halus membuat Anita tersenyum lalu turun dari mobil.

Saat akan mendorong pintu kaca toko, gerakan Anita terhenti karena melihat seseorang yang sangat ia kenali sedang membukakan pintu untuk perempuan lain, Anita hanya terdiam melihat itu, dirinya sama sekali tidak bereaksi saat melihat orang itu sudah berdiri di depan matanya.

"Ta..." panggil orang itu membuat Anita tetap tak bereaksi, untuk hanya sekadar menoleh, mendongak ataupun bergerak sesenti pun tidak, perempuan itu hanya diam di tempatnya berdiri.

"Tata..."

Lagi, suara itu memanggil Anita yang membuat perempuan itu tersadar dari keterdiamannya. Anita cepat bereaksi lalu memegang saku celananya, mencoba mencari hal yang bisa membuat dirinya lenyap dari tempat itu secepatnya. "Masya Allah, dompet aku." ujar Anita pura-pura tersadar bahwa dompetnya ketinggalan di mobil.

Perempuan itu berbalik, sedikit berlari menuju mobil yang bahkan mesinnya belum mati tak menghiraukan panggilan orang itu. Anita masuk ke dalam mobil dengan wajah yang sulit ditebak. "Jalan, pak." ujar Anita mencoba menormalkan suaranya agar pak Raman tidak curiga.

Mobil melaju sesuai perintah, pak Raman hanya berani melirik sebentar dari kaca spion tengah untuk melihat kondisi putri majikannya itu, ia mengetahui apa yang terjadi di depan pintu toko es krim itu walau Anita berusaha dengan keras untuk menutupinya seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Tidak ada ada air mata yang keluar, Anita hanya diam memandangi jalanan yang ramai dan hal yang sekarang ingin ia lakukan adalah mengurung diri di kamar tanpa gangguan siapapun. Mobil yang membawa Anita sampai, perempuan itu turun tanpa mengatakan apapun kepada pak Raman, ia hanya ingin segera masuk ke dalam kamarnya untuk menenangkan diri.

Ivan yang melihat sang adik tiba-tiba masuk tanpa mengucapkan salam dan menyapanya bingung lalu laki-laki itu mencari tahu apa yang telah terjadi kepada sang adik melalui pak Raman yang baru saja selesai memarkirkan mobil di garasi rumah. "Pak Raman, sebentar." ujar Ivan melangkah mendekati pria paruh baya itu.

"Tata kenapa, pak?" tanya Ivan langsung tanpa basa-basi.

"Non Tata tadi ngeliat mas Habib di depan toko es krim barengan sama perempuan lain, den." cerita pak Raman.

Ivan yang mendengar perempuan lain segera mengeluarkan ponselnya mencari sesuatu. "Perempuan ini?" tanya laki-laki itu sembari menunjukkan layar ponsel yang sedang menampilkan gambar seorang perempuan yang baru selesai ia cari informasinya.

"Nah iya, den. Ini perempuan yang bareng sama mas Habib tadi."

Setelah mendengar pernyataan pak Raman seketika rahang Ivan mengeras tanda bahwa amarah laki-laki itu sedang diuji. "Tapi den, non Tata gak nangis ataupun marah. Non Tata cuma diam waktu mas Habib nyamperin dia terus kayak lagi akting kalo dompetnya ketinggalan terus masuk lagi ke mobil suruh saya jalan padahal non kan memang gak pernah bawa uang cash kalau pergi. Non Tata gak nunjukin emosinya, den." jelas pak Raman.

Ivan terdiam mendengar penjelasan itu lalu seperti seakan teringat sesuatu ia lalu mengucapkan terima kasih lalu pergi lebih tepatnya menghampiri Anita yang berada di kamar perempuan itu. "Tata, buka sebentar mas mau bicara." ujar Ivan lembut sembari mengetuk pintu pelan.

Tak lama pintu terbuka menampilkan wajah Tata yang terlihat biasa saja, tidak ekspresi sedih, kecewa ataupun marah dan hal itu malah semakin membuat Ivan semakin khawatir. "Tata, lagi apa?" tanya Ivan selembut mungkin agar sang adik tenang diajak berbicara.

"Baru selesai baca Al-Qur'an, mas. Ada apa, mas? Mau bicara di balkon?" tawar Anita tersenyum.

Hati Ivan sakit melihat senyuman Anita yang terlihat tulus itu. "Tata, gak papa?" tanya laki-laki itu pelan.

Sementara itu senyum Anita perlahan memudar. "Tata... Tata sakit, mas. Sakit sekali di sini rasanya tau mas Habib bohong, Tata udah coba untuk nenangi diri dengan membaca Al-Qur'an tapi tetep gak bisa, mas."

Air mata Anita turun membasahi pipi perempuan itu sembari tangannya yang mulai memukuli dadanya yang terasa sesak, Ivan yang melihat itu langsung merengkuh tubuh sang adik ke dalam pelukannya. "Tata, jangan dipukuli begitu. Ayo sayang, perlahan atur napas kamu." ujar Ivan mengingatkan bahwa perempuan itu memiliki asma yang dapat kambuh kapan saja.

"Tata, harus kayak gini. Harus jujur sama perasaan Tata sendiri, kalau memang sakit dan Tata gak bisa tahan lagi gak papa Tata nangis gini di depan mas. Gak papa, Tata keluarin aja semuanya." ujar Ivan mengusap punggung sang adik sembari memenangkan perempuan yang sangat ia sayangi itu.

Anita menangis tersedu-sedu, hatinya begitu sakit karena telah dibohongi dengan orang yang sangat ia sayangi dan Ivan paham akan hal itu. "Udah, Tata. Gimana udah naikkan hatinya?" tanya Ivan melepaskan pelukannya menatap sang adik yang sibuk menghapus air matanya.

Anita mengangguk. "Mau roti bakar bang Igob, mas." ujarnya tersenyum membuat Ivan yang mendengar permintaan itu ikut tersenyum juga. "Yaudah, ayo mas belikan."

Anita mengangguk lalu mengambil hoodie berwarna salam yang diberikan oleh Ivan sewaktu ia berulang tahun dua tahun yang lalu. "Adit udah pulang belum ya, mas? Nanti dibelikan aja deh, takut kecapean kalau diajak ikut beli." ujar Anita mengoceh di samping Ivan yang membuat laki-laki hampir genap berumur 30 itu tertawa dalam hati karena berhasil membuat Anita melupakan kesedihannya akibat dibohongi tunangannya sendiri. Miris sekali nasib adiknya itu.

☁️☁️☁️

See you next part 👋

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status