Pukul tujuh malam. Pentas Tari Kecak yang tak pernah berhenti dibanggakan Yose sejak perbincangan santai mereka di restoran bakmi akhirnya dimulai. Hujan tak lagi turun dan membasahi pantai. Yose menari dengan luwes dan memesona di antara puluhan tangan yang terangkat, menyanyikan seruan magis. Lingkaran Tari Kecak dibuat oleh puluhan laki-laki telanjang dada yang meliuk-liukkan tubuh mengikuti irama nyanyian. Kain khas Bali yang mereka pakai semakin terlihat menawan di bawah mata malam. Penggalan kisah dalam pentas itu tampak megah kala diisi oleh kehadiran Yose. Sella tak tahu berapa kali ia tersenyum dan memotret penampilan Yose dengan kamera ponselnya.
Ada ratusan turis dan pengunjung lokal yang duduk bersamanya malam ini. Tapi bagi Sella, hanya ada ia dan Yose di pantai ini.
Men
Bagi Dipta, sekarang masih terlalu pagi untuk mendapat omelan. Ia sudah menyumbat telinganya dengan earphone saat turun dari tangga, mempersiapkan diri dari bencana yang akan segera datang. Bencana itu datang lebih cepat, tepat saat Dipta mengunyah roti tawar tanpa selai. Mamanya keluar dari garasi dengan muka merah padam. Gampang ditebak kalau mamanya baru saja mencium aroma tak sedap dari jok mobil yang basah. “Kamu apain mobil sampai bau sampah kayak begitu? Dipta!” Dipta tersenyum meringis dengan kunyahan roti di mulutnya. Menit-menit penuh ketegangan berikutnya ia habiskan untuk menjelaskan sebaik mungkin kepada mamanya yang murka. Nada suaranya yang gugup dan penjelasannya yang mulai serampangan membuat Dipta kalah telak. Mamanya menjauhkan kunci mobil dari sambaran
Rerumputan tipis di lapangan sepakbola seluas ratusan hektar itu terbasahi serbuk hujan yang mendekap bumi. Gemuruh stadion Gelora Bung Karno menyulut api semangat masa muda yang menyala di hati Dipta dan keempat sahabatnya saat ini. Arloji Dipta yang melingkar rapi di pergelangan tangannya menunjukkan sudah pukul dua siang. Gerimis yang semula menyelimuti Jakarta dalam intensitas kecil kini membengkak menjadi hujan deras yang nyaris melumpuhkan segala aktivitas. Gerobak-gerobak pedagang kaki lima tergusur ke bawah pepohonan rindang. Para pengunjung stadion dengan beragam tujuan menyingkir dari bangunan megah itu, berlindung di bawah atap atau masuk ke dalam mobil masing-masing untuk kemudian beranjak pulang. Hujan yang menerjang kota Jakarta begitu deras, segalanya lumpuh, kecuali semangat anak-anak Young Bee.
Selama masa tunggu pengumuman pemenang lomba Jakarta Dream Concert, Dipta tak bisa memikirkan hal selain pergi ke Bali dan menghalangi Samuel bertemu Sella. Oke, ia tahu bahwa pikirannya cukup kejam bagi Samuel, tapi mengingat apa yang pernah diperbuat orang tua Samuel dulu kepada Sella, telah cukup mengubahnya menjadi sekejam ini. Di sisi lain, Dipta selalu yakin jika hatinya belum cukup berani untuk memaafkan Samuel setelah kenyataan memperlihatkan Sella yang pergi jauh dari dirinya. Sella meninggalkan Jakarta, tempat yang tak bisa Dipta tinggalkan karena sang mama dan anak-anak Young Bee membutuhkannya. Dan Sella pergi dari sisinya karena luka trauma yang ditorehkan orang tua Samuel, laki-laki asing yang dibencinya diam-diam. Sampai detik ini, Dipta meras
Hamparan pasir hangat di sepanjang tepi pantai selalu menjadi tempat terbaik baginya untuk menyembuhkan diri dari segala luka. Tapi tahun ini, begitu kakinya terendam di dalam pasir hangat itu, Samuel menyadari pantai dan laut bukan lagi cinta pertamanya. Sosok itu sudah mengambil posisi itu, menggantikan kerinduan Samuel pada pantai. Kini ia tak kunjung sembuh dari semua lukanya, luka karena perbuatan kejam ayahnya di masa lalu dan luka atas pertunangan berkedok paksaan itu, Samuel tak juga bangkit dari genangan lukanya. “Jadi, cuma begitu aja minta maafnya?” Pertanyaan dingin Luke membuat wajah Samuel merah padam kendati kegelapan malam menutupinya. Laki-laki itu ikut duduk di sampingnya yang tengah berbaring tanpa alas di atas pasir pantai. Samuel merinding ketika pert
Satu hari berlalu tanpa terasa sejak Samuel muncul di ambang pintu kedai dengan penampilan yang agak kusut dan Sella tak lagi bertemu laki-laki itu. Ingatan Sella merekam gerakan patah-patah Samuel saat berjalan mendekatinya. Percakapan dengan Luke di telepon beberapa hari lalu ketika dirinya baru tiba di Bali kembali menyeruak. Samuel kecelakaan dan ternyata penyebabnya adalah kelalaian Dipta. Sella lebih terkejut dengan fakta baru ini dibandingkan saat ia melihat Samuel merintih kesakitan di kedai. “Dia ceroboh juga. Asal aja lari keluar dari kafe,” gerutu Dipta. Dipta yang kini sedang mengunyah kue keju di depannya dengan gemas mengaku bahwa Samuel juga lalai karena sembarangan lari keluar dari kedai di bandara. Tapi Sella justru mendadak cemas dengan kondisi Samuel se
“Acara pertunangan kamu jadi berantakan. Kamu tau? Keluarga Redington harus nunggu sampai kondisi kamu seratus persen pulih. Penampilan kamu juga harus bagus. Jadi, nggak ada pilihan lain. Makanya kamu harus bawa si sopir itu ke hadapan Papi. Muel, Papi dan Mami ngasih waktu liburan di Bali memang buat pemulihan psikis kamu. Tapi jangan sia-siakan cuma untuk liburan aja. Kamu paham maksud Papi, kan?” Rekaman suara yang terputar di ponselnya itu berhenti. Samuel meradang. Ia muak karena sosok diktator itu masih tak puas hanya meneleponnya tadi siang. Pemandangan Pantai Kuta dengan taburan puluhan kerlip lampu kafe-kafe yang dilihatnya dari balik jendela hotel kini tampak menjenuhkan.Baru beberapa hari yang lalu orang tuanya yang sangat ketat itu sedikit berlunak hati padanya. Orang tuanya sedikit bersimpati soal kondisi mental Samuel
Jika ditanya apakah Dipta menyukai takdir kehidupan asmaranya saat ini, maka ia akan menjawab “ya” dan “tidak” sekaligus sembari tertawa keras-keras. Baginya, takdir terkadang dapat menjadi pahit dan lucu di waktu yang sama. Beberapa tahun yang lalu, ia hanya laki-laki berkacamata yang secara ajaib dapat mengenal Sella Lorinia di sanatorium gangguan jiwa. Dipta Mahendra tidak mengenal Samuel Ariston, putra tunggal keluarga pemilik firma hukum terbesar di Jakarta. Di satu sisi, Samuel yang tersiksa karena perbuatan kejam ayahnya pada orang tua Sella tidak mengenal Dipta. Mereka berdua pun tak mengenal Yose Abirama, senior kampus dan pemain gamelan yang di masa depan akan mengisi hari-hari Sella selama tinggal di Bali. Tapi kemudian, beberapa tahun yang akan datang, mereka bertiga saling mengenal dan terlibat dalam kehidupan Sella.&
Ini kali kedua Samuel mendapat kesempatan paling berharga baginya, duduk bersama Sella di bawah barisan pohon rindang. Seakan mengulang masa lalu, dedaunan yang tertiup angin, udara sejuk, dan tatapan hangat Sella. Namun, kini tatapan Sella tak lagi sehangat dulu dan tiap detik yang dilewatinya saat ini hanya dapat Samuel isi dengan penyesalan. “Masih minum obat?” tanya Samuel kikuk. “Buat trauma kamu.” “Jangan ganggu Yose,” kata Sella tegas dan singkat seakan tak ingin berlama-lama tenggelam dalam obrolan tanpa arah. Samuel ditarik kembali ke dalam kehampaan setelah ia sempat mendapat kekuatan untuk bicara. Ia bahkan mengurungkan niat untuk mentraktik Sella seporsi sate Bali