Papa Calling...
Aku memilih mendiamkan panggilan dari papa, ini sudah jam 8 malam dan barangkali itu sudah panggilan ke 10 dari beliau. Aku bukan lagi kabur-kaburan dari papa seperti anak remaja yang tidak dituruti kemauannya. Aku hanya sedang menghindari komunikasi dengan papa, aku tetap menyayanginya walaupun berkali-kali beliau menyakitiku, bagaimanapun dalam tubuhku tetap mengalir darahnya. Dan nama belakangnya masih melekat erat di namaku, Ralintang Maharani Nasution.
"Dok! hpnya bunyi!" Aku menoleh pada Putri seorang perawat yang malam ini jaga bersamaku. Aku hanya menggerakkan bahuku tanda aku tidak peduli, aku lebih memilih makan mi instanku.
"Untung pasiennya enggak lihat ya Dok! Kalau lihat kita makan mi instan, auto di semprot balik kita!" ujar Putri lagi sambil tertawa.
Aku ikut tertawa, teringat beberapa saat yang lalu aku mengedukasi pasien yang masuk UGD karena mengeluh nyeri perut untuk tidak mengkonsumsi mi instan lagi karena berdasarkan informasi dari temannya, hampir setiap hari dia konsumsi mi instan. Maklumlah anak kos, tapi bukan berarti membenarkan juga. Boleh saja mengkonsumsi tapi harus bijak juga mengatur kesehatan diri sendiri.
"Itulah salah satu tujuan disediakan kamar jaga buat kita!"
"Haha, bener Dok! Eh Dok, tau enggak kita mau ditambah dokter jaga baru loh!"
"Kata siapa, Put?"
"Sumber valid pokoknya, Dok!"
"Alhamdulillah kalau begitu, sudah lama kita kalang kabut kekurangan tenaga."
"Iya Dok, aku kasihan ngelihat dokter-dokter yang sering lembur apalagi dr.Ralin, selalu yang paling banyak lembur karena hanya dokter yang masih single."
"Kamu sebenarnya mau prihatin atau ngatain sih Put?"
"Hehe, pengennya ngatain biar Dokter risih terus buru-buru cari pasangan. Pasti gampanglah, secara Dokter itu cantikya masyaallah, bikin artis-artis minder!"
"Lebay amat Put!"
Aku hanya mendengus melihat kelakuan putri, perawat yang masih cukup muda dan sedang mengincar polisi katanya. Diantara dokter UGD memang hanya aku yang masih single, bukan berarti tidak pernah ada yang mencoba mendekat, tapi aku yang belum mau. Aku harus mempertimbangkan banyak hal untuk mencoba memulai sebuah komitmen.
"Elaahh, malah pada santai makan di sini! Go!!"
Salah satu teman sejawatku di UGD berhasil membuat aku dan Putri meninggalkan mi instan yang belum ada setengahnya kumakan. Kalau sudah ada yang bilang 'Go' berarti keadaan genting dan harus segera bertindak.
Di saat orang-orang mungkin sudah mulai istirahat dijam segini, kami masih harus menuntut mata dan otak kami untuk tetap bekerja karena setiap pasien yang datang selalu penuh kejutan.
Saat ini, di bed 1 ada pasien anak yang demam tinggi dan menunggu hasil cek darah, di bed 2 ada pasien yang masih teriak sakit perut dan ujung sana ada pasien kecelakaan yang masih mengantre kamar.
Dan ini, di menit-menit terakhir jaga siang kita masih ada kejutan lagi. Aku, Putri dan dr. Edo-yang tadi memanggil kami- hanya bisa saling tatap melihat pasien yang di bawa oleh ambulance PMI.
Ya Tuhan, bakalan mundur ini aku pulangnya!
"Tekanan darah 100/50, nadi meningkat, perdarahan aktif ada luka kurang lebih lebar 10cm kedalaman 3cm di lengan kanan dan luka kecil di bebarapa bagian wajah!" kata perawat ambulance sambil mendorong bed pasien.
Dr. Edo mangangguk lalu mengambil alih pasiennya, aku agak aneh dengan ekspresinya yang terlihat tegang. Menurutku pasiennya tidak begitu parah karena masih sadar sepenuhnya walaupun lukanya cukup dalam.
Dokter Edo dan Putri langsung disambut teman yang lain segera menangani pasien itu, aku lebih dulu mengisi data awal yang diperlukan.
"Ada identitasnya Mas?" tanyaku pada perawat tadi.
"Enggak ada Dok! Diduga korban penjambretan, tadi kami dihubungi warga, kondisi korban sendirian dan tidak ada tas atau barang lain milik korban."
"Baiklah, terimakasih Mas!"
Setelah selesai mengisi aku segera bergabung dengan mereka. Dan begitu aku mendekat Mas Edo langsung menyerahkan pasiennya padaku.
"Lin, lanjutin ya. Gue ke Prof. Danu dulu!" ujarnya.
Lalu wajahnya kembali fokus pada pasien tadi, "Tenang di sini Gus, Lo jangan macem-macem!" ujarnya dengan setengah mengancam.
Aku mengerutkan keningku, Mas Edo kenal? Terus ngapain panggil Profesor Danu? Ini pasien kayaknya enggak butuh di bedah sama Prof. Danu.
"Mas Agus!" Putri mencoba memanggil pasiennya dan hanya disenyumi oleh pasien itu
"Emang namanya Agus?" Tanyaku dengan suara berbisik.
"Enggak tau Dok! Tadi dr. Edo manggil dia ‘Gus’ begitu!"
Aku merapatkan bibirku menahan tawa, anak ini dengan segala kepolosannya. Eh tapi bisa juga ya namanya Agus? Atau Bagus? Atau mungkin Gusti?
Enggak penting itu Ralin!! Yang penting tangani pasien dulu.
Aku dibantu para koas mulai membersihkan luka-lukanya setelah memastikan tidak ada keluhan lain dari pasien. Alhamdulillah tidak begitu berat karena pasien kooperatif banget.
Aku sedang membersihkan luka yang paling parah yang ada di tangannya. Jahit luar dalam! Dan aku mau pulang jam berapa ini??
Semangat Ralin!!
"Di sana Prof!"
Kita menoleh saat Mas Edo dan Profesor Danu datang ke sini. Pasien ini sebenarnya siapa sih? Sampai membuat seorang direktur rumah sakit turun tangan di jam yang bukan jam kerja beliau.
"Bagaimana?" tanya Profesor Danu padaku.
"Luka di tangan membutuhkan jahitan luar dalam Prof! Tidak ada tanda-tanda fraktur, vital sign nya sudah kembali normal."
Profesor Danu menganggukkan kepalanya lalu menatap ke arah pasien dan pasien itu malah tertawa tanpa beban sambil menangkupkan kedua tangannya tanda minta maaf sama Prof. Danu. Aku jadi semakin penasaran siapa pasien ini.
"Nggak usah dikasih bius, Lin! Berandalan ini biar kapok." ucap Profesor Danu lalu pergi.
Aku hanya menatap heran ke arah Mas Edo. "Bagaimana Mas?" tanyaku.
"Sudah, ikuti saja kata prof. Danu, kita siap-siap pulang saja!" jawabnya sambil tertawa.
Setelah lama diam, akhirnya pasien itu protes ke Mas edo, "Sialan Lo Do!" teriaknya, tapi Mas Edo malah semakin tertawa.
Aku dan yang lain hanya saling menatap, bingung dengan apa yang terjadi. Sebenarnya tawaran Profesor Danu menggiurkan karena aku bisa pulang tepat waktu tapi bagaimanapun juga ini tanggung jawabku.
Ya sudahlah! Apa boleh buat!
"Enggak jadi pulang Dok?" tanya Si Pasien saat melihat aku mengurungkan niat pulang dan mulai menjahit lukanya.
"Enggak apa Mas! Saya selesaikan dulu, tadi Masnya masih masuk pasien saya!"
Dia langsung terdiam lalu bergerak menjadikan tangan kirinya bantalan kepala. Postur tubuhnya yang cukup tinggi membuat bed ini seakan tak mampu menampungnya. Entah aku yang lagi banyak pikiran atau apa, melalui ekor mataku aku lihat beberapa kali dia menatapku.
"Alhamdulillah selesai, sudah ya Mas biar diteruskan sama perawat jaga malam." ucapku setelah hampir satu jam menangani lukanya. Lalu aku berikan serentetan nasehat yang berhubungan dengan kesehatan lukanya.
"Terimakasih dokter!" jawabnya.
"Sama-sama Mas Agus!" Aku menggigit bibir dalamku, kenapa juga aku ikut memanggilnya Agus?
Dia menautkan kedua alisnya. "Agus lagi?" tanynya dengan tertawa geli.
"Maaf Mas, tadi belum ada identitansnya jadi kita belum tahu hanya ikutan dr. Edo!" jawabku penuh rasa tidak enak karena takut menyinggung perasaanya.
Dia tertawa mendengar penjelasanku lalu menyebutkan namanya.
"Nazril."
Siang ini kesibukan pesantren lebih terasa karena malam nanti adalah malam inti dari acara wisuda santri. Jika biasanya acara santri putri diadakan di siang hari, tahun ini abi dan seluruh keluarga juga pengurus pesantren sepakat untuk mengadakannya dimalam hari dimulai sehabis maghrib. Banyak wali santri yang sudah berdatangan dari berbagai daerah, penginapan-penginapan yang sengaja disiapkan oleh para santri sudah banyak yang penuh. Kebahagiaan santri salah satunya ya saat-saat seperti ini, jadi kangennyantri.Padahal dari semua saudara, gue yang paling bandel. Gue hanya nyantri dari MI sampai Mts selebihnya gue dirumah ini, ngaji sama simbah dan abi. "Yang ikut wisuda banyak juga ya Mas, berarti habis ini berkurang banyak ya?" Tanya Ralin. "Ya enggak mesti langsung pada pamit Lin, biasanya kalau yang enggak kuliah atau nikah masih pada disini nerusin ngaji, itu kemarin juga santri baru alhamdulillah sudah masuk banyak cuma kan b
Nazril Point Of View. “Lin, lapar!” Ucap gue dengan ekspresi yang semenyedihkan mungkin karena gue tahu istri gue yang cantik ini bakalan ngomel-ngomel kalau gue makan selarut ini. Dan benar saja, Ralin malah merapatkan selimutnya. Gue yakin bukan karena dia enggak mau melayani gue, tapi karena dia sayang sama gue. Sekarang sudah hampir jam satu, tadi gue dan Ralin habis ngobrol banyak. Kita memang punya satu waktu khusus untuk ngobrol berdua yang biasa kita sebut dengan sesi kejujuran dan itu harus kita lakukan. Gue kenal Ralin, dia adalah tipe orang yang susah untuk cerita tentang kesedihannya, memilih memendamnya sendiri. Makanya gue sengaja membuat acara sesi kejujuran itu, awalnya hanya iseng tapi semakin lama menjadi sebuah keharusan karena dari situ gue bisa tahu banyak hal tentang perasaan Ralin. Intinya dibuat nyaman dulu baru dia mau cerita. “Masakin nasi goreng dong Lin!” Gue masih berusaha ke
Ralin Point Of View “Terimakasih kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbicara. Yang pertama saya ingin mengucapkan syukur pada Allah karena begitu banyak hal baik dan berkesan dalam hidup saya hingga detik ini. Yang kedua terimakasih pada pihak rumah sakit yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk bisa bergabung dalam operasi ini, suatu kehormatan dan ilmu berharga bagi saya.” “Selanjutnya saya sangat ingin berterimakasih pada seseorang yang telah memberikan kebahagiaan terbesar dalam hidup saya selain keluarga, seseorang yang menjadi alasan saya untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik, seseorang yang menjadi alasan saya untuk segera pulang ke rumah, dan seseorang yang menjadi alasan saya untuk tetap kuat. Maaf jika masih belum bisa menjadi yang terbik, maaf jika masih terus membuatmu bersedih, terimakasih karena tetap bertahan di sampingku, terimakasih karena te
Nazril Point Of View Benar kata istri gue kalau setiap harinya kita lalui dengan perasaan syukur dan bahagia, waktu akan terasa cepat. Itulah yang gue rasakan, lima hari dalam seminggu gue kerja dirumah sakit kadang juga bisa keluar kota atau bahkan sesekali ke luar negeri dan setiap gue sampai rumah ada anak dan istri gue yang sudah menyambut. Melihat senyum mereka membuat capek gue seketika hilang, pelukan mereka membuat gue kembali semangat berjuang mencari nafkah buat mereka. Dan itu semua membuat waktu begitu cepat berlalu tanpa terasa Rey sudah berumur dua tahun. Sudah aktif banget lari kesana kemari. Kata umi Rey itu fotocopyan gue banget pas waktu kecil, anaknya enggak bisa diem apa-apa pengen dipegang, kalau bahasa jawanyaglidikbanget, kata umi dulu waktu gue kecil pernah minum air bekas cucian piring, mungkin itu kali ya rahasia ganteng gue?? Ha ha Gue sangat bersyukur Rey tumbuh sehat dan
Nazril Point Of View Benar kata istri gue kalau setiap harinya kita lalui dengan perasaan syukur dan bahagia, waktu akan terasa cepat. Itulah yang gue rasakan, lima hari dalam seminggu gue kerja dirumah sakit kadang juga bisa keluar kota atau bahkan sesekali ke luar negeri dan setiap gue sampai rumah ada anak dan istri gue yang sudah menyambut. Melihat senyum mereka membuat capek gue seketika hilang, pelukan mereka membuat gue kembali semangat berjuang mencari nafkah buat mereka. Dan itu semua membuat waktu begitu cepat berlalu tanpa terasa Rey sudah berumur dua tahun. Sudah aktif banget lari kesana kemari. Kata umi Rey itu fotocopyan gue banget pas waktu kecil, anaknya enggak bisa diem apa-apa pengen dipegang, kalau bahasa jawanyaglidikbanget, kata umi dulu waktu gue kecil pernah minum air bekas cucian piring, mungkin itu kali ya rahasia ganteng gue?? Ha ha Gue sangat bersyukur Rey tumbuh sehat dan
"Lin! Mama duluan ya! Enggak enak sama Tante Sinta dan keluarga!" "Ya sudah deh Ma, duluan saja sama Om Yuda nanti Ralin nyusul!" "Jangan lama-lama enggak enak kalau datangnya belakangan!" "Iya Ma!" Aku masih sibuk menyiapkan segala keperluan Reyshaka dan Mas Nazril. Hari ini adalah hari resepsi pernikahan Gisel dan Mahesa. Mama dan Om Yuda sudah pamit duluan, tadi di grup keluarga Bang Arkan bilang sudah mau jalan. Tapi lihatlah dua jagoanku, masih asyik bermain air di kamar mandi! "Mas!! Sudah belum mandinya? Yang lain sudah pada berangkat!" Teriakku dari luar kamar mandi. "Sebentar!!" "Dari 10 menit yang lalu kamu juga bilang sebentar!" Dia tidak menghiraukanku, malah asyik bermain dengan Reyshaka di kamar mandi, anaknya juga terdengar senang sekali bermain air, dia teriak-teriak dan tertawa. Kalau seperti ini sudah pasti akan terlambat, untung kemarin kita hadir di acara pemberkatan Gisel dan Mahesa jadinya kalau ha
Hari ini di pesantren diadakan acara aqiqah anakku, tepat di hari ketujuh kelahirannya, Mas Nazril tetap menyembelih dua kambing walaupun anak kita masih di rumah sakit. Dua hari yang lalu alhamdulillah aku sudah boleh pulang dan setiap pagi aku selalu pergi ke rumah sakit mengantar ASI sekalian menjenguk Reyshaka. Acaranya hanya syukuran biasa dengan mengundang warga sekitar pesantren untuk ikut mendoakan anakku dan juga membagikan masakan aqiqahnya pada warga setempat. Karena hanya dua ekor kambing dan itu tidak mencukupi untuk warga pesantren, Mas Nazril membeli satu ekor sapi untuk disembelih dan dimasak untuk keluarga dan para santri. Sekali-kali menyenangkan hati para santri katanya, sebagai ucapan terimakasih juga karena selama ini para santri banyak membantu keluarga kita. "Lin, besok aku ada kerjaan ke Jakarta selama tiga hari." Kata Mas Nazril yang sibuk dengan laptopnya. "Berangkatnya hari ini Mas?" "Aaaaaa." Sebelum menjawab dia membuka mu
Ralin Point Of View Malam ini aku masih harus menahan diri untuk melihat anakku karena keadaan kami belum memungkinkan. Sejak dia lahir aku sama sekali belum bisa mennyentuhnya dan melihat wajahnya. Saat ini aku hanya tinggal berdua dengan Mas Nazril, dia masih tertidur. Kasihan sekali pasti capek banget sejak kemarin harus kesana kemari mengurusi aku. Mama, umi dan yang lainnya sudah pamit sejak tadi. Sebenarnya mama ingin tinggal tapi aku larang, beliau sejak kemarin juga banyak begadang menemani aku, mama orangnya enggak kuat kalau kurang tidur. Jika dipaksakan malah akan meriang berhari-hari. "Lin!" Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum lalu ke kamar mandi. "Aku sholat isya dulu ya!" Katanya setelah keluar dari kamar mandi. Sementara dia sholat aku sibuk membalas chat dari teman-teman yang mengucapkan selamat atas kelahiran anakku. Dan chat terbanyak datang dari Gisel, sejak kemarin dia terus
Gue masih mondar-mandir di depan ruang operasi, 5 menit yang lalu gue diusir sama dr. Alfaina keluar ruang operasi. Sejak Ralin mulai masuk gue sudah ikut sama dia, kasih dia dukungan tapi lama-kelamaan gue banyak omong jadilah gue diusir keluar dari kamar operasi. Ternyata bukan cuma Ralin yang jadi banyak omong kalau gugup, gue pun sama. Tadi gue gugup dan khawatir banget alhasil mulut gue enggak bisa diem. Rencana operasinya mundur jadi sore hari karena harus menaikkan hb Ralin dulu dan sejak semalam dia harus berjuang melawan rasa sakit. Alhamdulillah selain Bude Nilna masih ada dua lagi pendonor dariKangMadi dan saudara Mama Rani, jadi Ralin punya persedian 6 kantong darah. "Ril, duduklah! Tambah pusing Umi lihatnya!" Tegur Umi. "Iya Umi, gugup! Maaf!" "Ya semua juga gugup dan khawatir, kamu jangan bikin tambah puyeng!" Gue hanya nyengir, merasa bersalah. Saat ini gue ditemani mama dan umi, selain itu ada