"Bang, biar aku saja yang jemput Ilyas!"
"Memang kamu enggak kerja, Ril?"
"Jaga malam!"
"Kok Arkan mencium bau bunga kantil ya Bi?" Ujar Bang Arkan pada abi tapi senyum jahilnya ke arah gue.
Gue dan kedua pria ini sedang bersantai di serambi masjid karena baru saja selesai ngaji pagi dengan santri putra.
"Memang ada kuntilanak Ar?"
"Hahah, ya bukan Bi! Kalau kuntilanak kan serem, kalau ini bunga wangi yang biasa dirangkai terus dipakai pengantin itu lho Bi!"
Gue memilih tetap memijit bahu abi, membiarkan Bang Arkan terus meledek. Gue sudah hafal banget dengan ekspresi-ekspresi penindas ala keluarga gue ini.
"Abi enggak akan nikah lagi lho!" Jawab abi dengan nada yang enggak jauh beda dari Bang Arkan, nada perledekan.
Semua ini gara-gara beberapa hari yang lalu waktu gue lagi ngobrol dengan Ralin di taman, Bude Nilna-kakaknya abi ngelihat gue dan sekedar informasi saja, jiwa-jiwa pembully itu sudah mendarah daging di kelu
Ralin Point Of View "Lin satu pasien lagi ya!" Aku mengangguk lemas, ini hari apa ya? Perasaan pagi sampai siang ini kok pasien banyak banget. Apotek ini berada di pinggiran kota jadi cocok banget buat alternative periksa daripada ke rumah sakit. "Keluhannya?" Tanyaku pada Mbak Menik perawat yang membantu di apotek ini. Mbak Menik masih keluargaku. Simbah kami bersaudara. "Katanya meriang! Suruh masuk ya?" "Okay!" Mbak Menik memanggil pasiennya sementara aku melirik hp sebentar, tadi sepertinya Mas Nazril telepon tapi enggak sempat aku angkat. "Tanteeeeee!!!" Aku menoleh dan cukup surprise dengan kedatangan dua pria yang cukup menawan ini. "Loh ini pasiennya Mbak?" Tanyaku pada Mbak Menik sambil mendekati Ilyas lalu aku gendong. "Iya Lin, kenal?" Mau tidak mau aku tertawa sambil mengangguk pada Mbak Menik karena kenal banget sama pasiennya."
Nazril Point Of View. Gue masih di restoran abang bersama Ralin dan Ilyas, ini misi pertama gue mengenalkan Ralin ke keluarga. Maunya ya pertama kali bawa ke umi dan abi tapi takut dia enggak nyaman makannya gue bawa saja ke abang dulu dengan alibi makan siang. Ilyas saat ini sedang sibuk makan ikan kesukaannya dan dengan telaten Ralin menghilangkan duri ikannya agar Ilyas tidak kesulitan. Kan! Kan! bayangan gue jadi kemana-mana. Bayangan tentang keluarga kecil bahagia, dimana gue sedang memandangi istri gue yang sedang menyuapi anak gue. Abang dan Mbak Cut pamit karena harus pergi ke rumah sakit untuk periksa kehamilan Mbak Cut yang sudah masuk minggu ke 28 itu. Gue sudah mau nambah keponakan lagi, si abang rajin banget, Sean dan Alfa di kirim ke pesantren sedangkan mereka jadi pengantin baru lagi. Sungguh menyiksa batin gue! Kembali ke Ralin! Gue sebenarnya agak enggak percaya Ralin mau kasih kesempatan. Gue p
Ralin Point Of View. "Ma Ralin jadi pergi ya?" "Sama Gisel kan?" "Iya Ma, Ralin jemput ke rumahnya." "Pulangnya jangan kesorean Lin! Nanti kamu jaga malam kan?" "InggihMama sayang!!" Aku segera mencium tangan dan pipi mama lalu bergegas ke rumah Gisel. Seneng banget sekarang Gisel sudah selesai segala urusannya di Australia dan sudah dapat kerjaan di sini, makanya aku todong dia nih buat traktir. Hari ini aku janjian ke Mall Paragon dengannya, aku minta ditemani beli kado untuk anak Mas Edo yang baru lahir. "Si Agus belum pulang Lin?" Tanya Gisel begitu kita sampai di parkiran Mall dia memang suka sekali memanggil Mas Nazril dengan nama Agus setelah aku ceritain kejadian waktu pertama kali ketemu di rumah sakit. "Katanya sudah tadi malam!" Mas Nazril baru saja pulang dari Jepang, suka ngeri sendiri kalau lihat jadwalnya terkadang bisa santai hanya
BAB 18 PENCURI HATI Nazril Point Of View. Gue masih dapat dispensasi libur sampai besok karena baru saja pulang dinas luar. Kemarin gue baru saja ikut Prof Danu ke Jepang dan setelahnya pun belum bisa istirahat karena harus lanjut ikut pertemuan dengan kolega Prof Danu yang terlibat dalam kerjaan beliau. Kalau bisa berteriak mungkin tulang-tulang di tubuh gue ini sudah pada histeris karena kecapekan tapi otak gue selalu memberi komando agar selalu bersyukur atas semua pemberian Allah termasuk kesibukan gue yang kadang-kadang enggak ada ampunnya ini. Malam ini di rumah abang sedang diadakan acara 7bulanan kehamilan Mbak Cut, semua keluarga berkumpul dan sudah pasti selalu gue yang jadi artisnya. Adakan artis yang hidupnya hanya penuh hujatan? Nah, itu ibaratnya gue. Apalagi Mbak Naya yang enggak berhenti bully gue waktu tahu gue bawa mobil
Ralin Point Of View Hari ini aku dan teman-teman mengunjungi kediaman Mas Edo untuk melihat bayi lucu nan menggemaskan. Sesuai kesepakatan kita langsung berangkat setelah turun jaga malam, aku, Putri dan petugas Laboratorium pergi dengan mobilku. Sedangkan Teguh, Mas Budi dan Bang Roma dengan mobil Mas Nazril. "Ini jam tangan siapa Dok? Kok kaya jam cowok?" Tanya Putri. Ya Tuhan, itu jam nya Mas Nazril ketinggal di mobilku. "Kaya pernah lihat enggak sih?" Sahut Diah, petugas laboratorium. "Iya kaya enggak asing!!' Ujar Putri sambil terus mengamati jam itu. Aku memilih diam, biarlah mereka berspekulasi sendiri saat ditanya kembali aku hanya tersenyum. Aku tidak mau bohong juga tak mau memancing kehebohan. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Mas Edo karena tempat tinggalnya masih satu kecamatan dengan rumah sakit. Mas Edo asli Malang tapi sekarang menetap di sini bersama anak d
Aku mengambil cuti karena hari ini adalah hari spesial untukku. Tidak ada yang berubah setiap tahunnya, aku hanya selalu mendapat pelukan cinta dari mama sekaligus doa tulus darinya. "Selamat ulang tahun bintangnya Mama, sehat dan bahagia selalu ya Sayang!" "Amiin, terimakasih Ma!" "Ralintangku, happy birthdaybebebku Sayang!" Kali ini sedikit berbeda karena kehadiran Gisel, aku membalas pelukannya dan mengucapkan terimakasih. Aku hanya bertiga dengan mama dan Gisel, aku memang enggak pernah merayakan ulangtahun dengan keramaian. Aku hanya ingat dulu selalu menunggu papa di setiap ulangtahunku tapi tak pernah hadir sejak kematian Rembulan. "Ini hadiah dariku, gaji pertama loh ini!" Ujar Gisel sambil menyerahkan kotak bermotif bunga. Aku langsung membukanya dan langsung tersenyum bahagia melihat sebuah stetoskop cantik perpaduan warna putih dan emas. "Cantik Gis! Terimakasih ya!" "Sama-sama!" "Mama ka
Nazril Point of view. Malam ini gue harus segera bertolak ke Bandung, rekor baru hidup gue dalam sehari menempuh perjalanan Jakarta-Semarang-Bandung. Tadi pagi gue ngerayu Prof. Danu untuk mengijinkan gue pulang ke Semarang sebentar. Entah kenapa rasanya pengen banget pulang di hari ulang tahun Ralin. Workshop di Jakarta sudah selesai kemarin tapi masih ada pertemuan kedua di ITB besok pagi jadi sebenarnya jadwal gue pulang masih dua hari lagi. Ada waktu luang satu hari sebelum lanjut Bandung dan gue manfaatin hari itu untuk pulang bertemu dengan Ralin. Dari bandara gue langsung menemui Ralin lalu setelah maghrib gue langsung berangkat lagi. Badan gue yang remuk redam seakan enggak ada rasanya dibandingkan dengan apa yang gue dapat hari ini. Alhamdulillah enggak sia-sia harus pulang pergi Semarang-Jakarta. Tadi waktu dirumah gue sekilas sudah bilang sama abi dan umi, beliau berdua menyuruh gue segera menemui orangtua R
Begitu kerjaan gue selesai gue langsung pamit sama Prof Danu pulang, sebenarnya masih ada acara makan malam tapi gue sudah enggak bisa tinggal lagi. Sejak kemarin gue beneran enggak bisa tenang karena Ralin enggak balas chat gue, telepon gue juga enggak pernah dia angkat. Gue hubungi Edo dan kata dia Ralin ngajuin cuti 3 hari, gue hubungi Tante Rani dan beliau hanya menangis tapi belum mau cerita nunggu gue datang. Begitu sampai di Semarang tujuan pertama gue adalah rumah, gue enggak bisa kalau enggak cerita sama umi atau abi. Setelahnya baru gue ke rumah Ralin. Di rumah Ralin ada beberapa orang. Gisel dan mamanya serta seorang lelaki yang tante kenalkan sebagai suami, namanya Om Yuda. Ternyata ini dia suaminya Tante Rani. Pernikahan itu terjadi karena amanah dari kakeknya Ralin. Beliau merasa bersalah karena menjodohkan Tante Rani dengan papanya Ralin tapi akhirnya harus bercerai. Om Yuda adalah pegawai kakeknya Ralin, Om Yuda orang kepercayaan kakek