Share

Billionaire Morning

Alarm mengejutkanku, membuat sarafku terjaga dengan serentak. Tubuhku gemetar. Dengan susah payah kutelah ludah untuk membasahi tenggorokan yang kering. Kuraba meja di samping tempat tidur untuk menghentikan bunyi 'beep' sialan itu. Rencananya, aku ingin tidur lagi. Aroma bersih seprai dan lembutnya kain selimut membuatku ingin berada di tempat tidur lebih lama. Setelah keluhan panjang, aku siap untuk kembali terlelap. Toh, dunia bisa menyusulku.

Ponselku bergetar. Getarannya cukup kuat untuk membuat bunyi dengan kayu meja. Aku mengeluh keras-keras, memaki siapa saja yang berani meneleponku pagi ini. Apa aku tidak bisa menikmati satu hari saja dengan bermalas-malasan?

Dengan sangat terpaksa, aku duduk. Layar ponsel itu membuatku mengurungkan niat membanting ponsel ke lantai. Itu bukan telepon masuk. Itu alarm rapat yang dikirim Holy. Pagi ini aku harus ke Rockwood Building. ASTAGA!

Kusandarkan kepala ke dinding sambil menonton layar ponsel yang terus berkedip. Aku sama sekali tidak berniat untuk bergerak. Kepalaku masih terasa berat. Mataku seperti lengket di kedua sisinya. Seluruh tubuhku terasa lemas. Hangover. Sensasi yang akrab, akan hilang dengan kopi dan beberapa butir pain killer.

Aku juga mengambil beberapa suntikan untuk menyuntik diri sendiri dengan penisilin. Dokterku memberikan ampul-ampul obat dengan dosis yang tepat. Yang perlu kulakukan adalah membaca keterangan pada tiap kotaknya, memasang turniket dan mencari pembuluh darahku sendiri. Jauh lebih mudah daripada mencari pasangan dasi yang pas untuk kupakai.

Sekalipun menggunakan kondom, siapa yang bisa menjamin salah satu perempuan itu benar-benar bersih dari parasit?

Venus selalu menyebut tentang hukuman Tuhan untuk gaya hidupku. Ah, dunia kedokteran sudah semakin canggih. Mereka pasti punya penangkal untuk hukuman apapun dan aku jelas punya uang yang cukup untuk membayar penangkal yang mereka jual. Lalu, apa lagi yang perlu ditakutkan?

Beberapa orang terlihat mondar-mandir membersihkan bekas pesta. Mereka membangunkan orang-orang yang masih tertidur pulas. Beberapa di antara mereka telanjang dan bertumpang tindih.

Mereka sudah hapal kondisi setelah pesta. botol minuman keras, pipa-pipa bong, sisa-sisa lintingan ganja, bekas muntahan, kondom bekas, dan barang-barang menjijikan lain akan terlihat berserakan. Mereka akan melakukan proses sterilisasi seharian penuh. Selama itu pula aku tidak akan menginjakan kakiku di sini.

Aku tidak suka kekacauan. Aku terlahir dari keluarga beradab dan bersih. Aku hanya menggunakan narkoba secukupnya tidak seperti anak bungsu Syailendra itu. Yah, hanya untuk menikmati sensasi berada di dunia yang tidak biasa.

Aku bukan mereka yang mengemis dan mengiba untuk mendapatkan kepuasan, aku masih waras untuk tidak membiarkan otakku rusak. Aku membutuhkan kecerdasan untuk menjalankan bisnis ini. Lagipula, hidup seperti pecandu bukanlah rencanaku. Ayahku sering mengatakan kalau menjadi Rockwood itu mudah. Aku hanya perlu lahir dari sperma seorang Rockwood. Tapi, mempertahankan kehormatan nama Rockwood bukanlah hal yang mudah. Dan, aku bukan orang tolol yang mau merusaknya.

"Selamat pagi, Mr. Rockwood!" sapa laki-laki tua dengan nada tegas dan datar. Kau pasti ingin membanting apa saja mendengar nada bicara itu. Aku sudah terbiasa. Dia akan berbicara dengan nada seperti itu pada siapapun. Dia memang diseting seperti itu.

Itu Morrigan, kepala pelayan Rockwood Mansion. Ibuku begitu memperhatikan kami. Ia memilihkan kepala pelayan terbaik untuk mengurusi anak-anaknya. Kecuali Neptune yang memilih tinggal di tenda darurat atau laboratorium penelitian.

Ibuku tahu kalau aku tidak akan bisa merawat rumah yang menjadi warisan turun temurun keluarga Rockwood. Venus yang lebih suka rumah bergaya modern menolak tinggal di mansion ini. Jadi, akulah yang mewarisinya. Tradisi ini sudah sepaket dengan nama yang kusandang.

Tolong, jangan suruh aku menceritakan bagaimana kondisi Rockwood Mansion. Sepuluh kali lipat harga rumahmu tidak akan cukup untuk membayar pajak rumah besar bergaya kuno ini. Eh, ya. Itu menurutku. Kuno, bergaya, dan mahal. Semua barang di rumah ini seolah tercipta untuk membuat orang terkagum-kagum. Aku sendiri kadang berpikir bagaimana cara nenek moyangku menciptakan barang-barang yang bisa bertahan ratusan tahun ini?

"Selamat pagi, Morrigan," jawabku setelah berdeham.

"Pesta yang berisik semalam, Sir."

Jangan terkejut! Inilah cara Morrigan yang baik menyebutkan pestaku. Berisik itu artinya liar dan mengerikan. Memangnya ada pesta yang tenang?

Morrigan menengok dengan malas ke arah luar rumah. "Beberapa paparazi menunggu di depan pagar. Saya sarankan agar Anda menggunakan mobil tertutup."

"Aku baik-baik saja," ucapku ringan sambil merapikan dasi dan setelanku. Semoga dia tahu kalau aku memang tidak peduli.

Morrigan menghela nafas. Bukan helaan napas lega yang membuat hati tenang. Helaan napas Morrigan penuh kekesalan. Sungguh, kalau kau melihatnya, pasti akan langsung ingin menembaknya dengan senapan mesin. Semua yang ada pada Morrigan ini terlihat satir. Semua tindak-tanduknya akan membuat siapapun merasa tersinggung. Kalau bukan karena dibesarkan olehnya, mungkin aku juga akan mencari pisau dan menusuknya berulang-ulang.

Aku tidak pernah menurutinya. Sama seperti aku tidak akan menuruti siapapun. Walaupun dia mengatakan kalau hari ini akan badai salju, kalau aku memang ingin berjalan telanjang, aku akan melakukannya. Perkara hipotermia, bisa kupikirkan nanti.

"Pikirkan lagi, Sir!" Morigan mengikutiku. "Mereka bisa melahapmu sampai habis."

Aku tertawa dan berpaling padanya. "Morrigan, Kau tahu bagaimana caranya tikus memangsa singa?" Aku menaikkan alis, menunggu Morrigan menjawab pertanyaanku. Laki-laki itu hanya diam seperti patung, terlihat jelas tidak ingin menjawab pertanyaan apapun. "Tidak bisa. Jelas tidak bisa, Morrigan. Mereka bisa melakukan apa saja. Mereka tidak akan menyentuhku."

Morrigan menatapku dengan wajah tanpa ekspresi. Perlahan, bibirnya mengerucut menjadi tipis sekali. Dia tidak mengatakan apapun lagi selain menunduk dengan hormat, lalu melipat tangannya ke belakang. Sikap kakunya itu selalu ditunjukkan untuk mempertahankan diri. Dia tahu tidak akan bisa berdebat denganku. Dia mengalah, bukan menyerah. Sikap yang mem buatku sangat kesal. Kau tahu, dia hanya begini kepadaku. Dia bisa berdebat seharian dengan Mom atau Dad atau Venus. Dia pernah bertengkar dengan Neptune hingga Neptune meminta maaf padanya. Tapi, dia tidak pernah mau berdebat denganku. Kuartikan ini sebagai kepatuhan, tapi kenapa aku malah lebih sering merasa tersinggung?

"Sir," panggil Morrigan lagi. Aku menoleh. Ternyata Morrigan malah menghela napas panjang. "Hati-hati," ucapnya tegas.

Aku mengangkat alis. Hanya itu?

Apa yang dipikirkannya? Bukankah sudah biasa paparazzi membuat tenda di depan rumah ini? Mereka akan memotret apa saja yang kulemparkan dari dalam rumah. Lucu! Bukankah keren melihat paparazi mengejarku seperti anjing pejantan siap kawin yang melihat betinanya lewat? Mereka begitu lapar dan berbahaya. Terkadang mereka bertindak brutal dan impulsif.

Mereka membuatku merasa hebat.

Lihat saja nanti, mereka akan memotret gadis-gadis yang dipulangkan dengan paksa oleh kru Morrigan. Mereka rela membayar berapa saja untuk bisa mengintip sisa-sisa pesta. Astaga, betapa menyenangkannya melihat semua itu. Kalaupun aku membuang kotoran di jalan, mereka akan memotretnya. Mereka kecanduan apa saja tentangku.

Lihat bagaimana ramainya lampu kamera saat aku melewati mereka. Pasti mereka berharap melihat wajahku yang pucat karena hangover. Pasti mereka terkejut melihatku berpenampilan rapi seperti ini. Asal tahu saja, lelaki sejati tahu batasan nakal yang dilakukannya agar tidak merusak reputasi. Ini yang membedakan kasta laki-laki.

Ponselku berbunyi. Aku meletakkan ponsel di phone holder, menjawab panggilan tanpa melihat penelepon, dan berteriak ceria, "halo!"

"KAU PIKIR APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN?!"

Venus? SHIT! Kukira Abe yang meneleponku.

Dengan panik aku memeriksa layar ponsel. Nama dan fotonya tertera dengan sangat manis di ponsel. Aku menelan ludah.

"Hai, Ven!"

"Kau masih berani menyebut namaku?" Venus mendesis. Aku bisa membayangkan matanya menyipit penuh ancaman. "Adik sialan sepertimu tidak pantas menyebut namaku."

"Apa? Apa yang kau katakan? Ven, aku dalam perjalanan ke kantor. Aku tidak bisa mendengarmu. Sinyal sialan ini akan memutuskan panggilan."

"KALAU KAU BERANI MEMUTUSKAN TELEPON INI, AKU AKAN ..."

Terlambat. Aku sudah mematikan telepon. Aku belum sarapan pagi ini. Jadi, aku tidak mau sarapan omelan Venus. Tidak sama sekali. Apalagi, pagi ini langit sangat cerah dan angin bertiup dengan sangat bagus. Aku yakin ini adlaah hari baikku. Hari pertama setelah pesta ulang tahun selalu menjadi hari baikku. Tidak pantas dikotori dengan omelan Venus.

Lihat saja, jalanan dipenuhi gadis-gadis cantik yang menatapku. Di kening mereka seolah tertulis 'pilih aku'. Sebelum memilih salah satu dari mereka, sebaiknya aku menghadiri rapat ini dulu. Laki-laki harus melakukan sesuatu untuk mengasah dirinya, sesuatu untuk membuatnya tetap terlihat tajam dan berkelas. Kalau kau sebut itu sebagai pekerjaan, boleh, kan kalau kusebut dengan permainan?

Aku tersenyum pada gadis yang menatapku saat menyeberang jalan. Wajahnya sangat lugu dan menggoda. Sepertinya dia masih usia SMA. Jelas, bukan seleraku. Aku tidak tergoda untuk menjadi lolita complex. Tapi, kalau dia masih ngotot, aku bersedia menunggunya beberapa tahun lagi.

Jangan mengumpat begitu!

Semua orang menginginkanku. Kau juga, kan?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status