Suara sirine mobil ambulans dan mobil polisi memekakkan telinga pagi itu. Violet sudah bisa menebak apa yang terjadi di sekolahnya pagi ini.
"Ada yang bunuh lagi diri, tuh!"
"Hah? Lagi?"
"Iya. Kali ini yang bunuh diri itu si artis yang gagal tenar itu! Yang cewek kelas sebelas itu, lho!"
"Ya ampun!"
Mendengar percakapan yang terdengar di telinganya, Violet menghembuskan nafasnya pelan. Lagi-lagi ada yang bunuh diri.
Itu bukan kali pertamanya ada yang bunuh diri di sekolah ini, atau di gudang sekolah mereka lebih tepatnya. Ini mungkin sudah terjadi yang ke-13 kalinya semenjak Violet bersekolah disini. Dan Violet baru satu setengah tahun bersekolah disini. Bayangkan saja.
Awalnya Violet merasa takut dan meminta kedua orangtuanya untuk memindahkan dirinya ke sekolah yang lain. Tapi orangtuanya tidak mau dengan alasan yang tidak jelas. Yah, mau tidak mau Violet terpaksa bersekolah disini.
Violet tidak ingin menghiraukan itu dan berjalan cepat-cepat ke kelasnya. Di perjalanan kelas, gadis itu sering sekali disapa oleh orang yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya.
Bukannya mau sombong, tapi Violet itu cukup terkenal di sekolahnya. Selain cantik, pintar, dia juga mudah bergaul.
Saat tiba di depan pintu kelasnya, senyum manisnya yang merekah sempurna tadi tiba-tiba lenyap karena melihat kelakuan absurd teman-temannya yang sudah rusuh pagi-pagi.
Ingin rasanya dia menjedotkan kepala ke dinding dan pura-pura amnesia tentang dialah ketua dari kelas bobrok ini. Seharusnya waktu itu dia menolak saja saat disuruh menjadi ketua kelas.
Violet mengambil nafas sedalam-dalamnya, lalu, "WOI! PENGHUNI NERAKA! DIEM LO SEMUA!!!"
Teriakan gadis itu menyebar ke seluruh ruangan, membuat orang-orang yang tengah ribut itu langsung terdiam.
Lalu tiba-tiba Bobi, si biang rusuh, nyeletuk membuat Violet semakin kesal. "Macam lo penghuni surga aja. Lo kan ratunya jahanam," lalu mereka kembali meributkan hal yang tidak penting.
Violet menghela nafas lelah, wajahnya dia tekuk seperti bebek buruk rupa. Dengan langkah tergesa-gesa dia menghampiri meja El-si wakil ketua kelas lembek-yang sedang membaca komik thriller di mejanya.
Digebraknya meja itu dengan kasar, membuat El mendongak malas.
Violet berdecak, "Lo jadi wakil lembek banget, sih! Itu dibawah lagi pada ada polisi. Mau kita dipanggil ke ruang guru lagi karena ribut banget? Diemin tuh makhluk jahanam!"
El membalasnya dengan decakan malas, lalu dia berdiri dan berjalan ke arah Bobi dan teman-temannya. Cowok tampan itu membisikkan sesuatu ke telinga Bobi membuat cowok itu tiba-tiba terdiam dan berkata 'bubar' pada teman-temannya.
Seketika kelas menjadi diam, hening, dan sepi.
El duduk dengan santai dan kembali membaca komiknya.
Violet akhirnya lega. Akhirnya kelas mereka diam juga, kalau mereka masih ribut pasti kelas ini akan didatangi kembali oleh guru dan yang pasti hukumannya akan lebih berat daripada yang kemarin.
"Gitu dong, El!" Ucap Violet semangat dan menepuk bahu cowok itu beberapa kali sebelum pergi ke mejanya.
Violet menyernyit kala mendapati teman sebangkunya, Anya, masih terus menatap El. Violet melirik El yang juga menatap ke arah meja mereka, lalu kembali melirik Anya. Kepalanya melirik ke arah El lalu ke arah Anya, begitu terus sampai tiba-tiba dia menggebrak mejanya sendiri membuat Anya kaget dan menatap ke arahnya.
"Apaan sih, Vi?" Anya melotot sambil mengelus-elus dadanya yang masih kaget.
Sementara Violet memasang wajah seriusnya, "Lo suka sama si El? Liat-liatan mulu lo berdua."
"Buk--"
"Atau lo berdua udah jadian?! Si An--pfftttt!!!"
Anya buru-buru membekap mulut Violet, takut ada yang dengar dan malah menjadi berita tidak benar. Setelah Violet mau diam, Anya menjauhkan tangannya sambil melotot marah.
"Bukan itu goblok!"
Violet terdiam sambil mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memproses perkataan Anya, "Lah, terus ngapain liat-liatan kek di sinetron?"
Kini wajah Anya kembali serius. "Coba deh lo perhatiin. Dia ngeliat ke arah lo mulu," Violet sudah melotot ditempatnya tapi Anya kembali melanjutkan perkataannya, "Tapi tatapannya itu bukan tatapan orang yang lagi merhatiin orang yang dia suka."
Kernyitan halus muncul di dahi Violet. Gadis kembali menatap ke belakang-tempat dimana El duduk-dan mendapati El yang sudah sibuk dengan komiknya.
"Perasaan lo aja kali," ujar Violet sambil mengambil buku pelajarannya.
***
Suara sepatunya terdengar jelas saat Violet berjalan di koridor yang sepi itu.
Hanya ada beberapa murid yang masih tinggal di sekolah, yang Violet tebak karena ekskul. Violet sendiri masih di sekolah karena dia harus melaporkan keadaan kelas kepada sang wali kelas.
Wali kelasnya memang aneh. Disaat wali kelas yang lain akan datang ke kelas mereka untuk mengecek keadaan kelasnya sendiri atau memantau melalui group chat, ini malah menyuruh ketua dan wakil ketua kelas datang ke ruang guru untuk menemuinya dan melaporkan keadaan kelas setiap pulang sekolah. Belum lagi ceramahnya yang panjang lebar tentang keadaan kelas itu, kan bukan Violet yang salah sepenuhnya.
Violet mendengus kesal mengingat pertemuannya dengan wali kelasnya itu hari ini. Sudah dimarahi karena ketidakbecusannya dalam mengatur kelas lalu ditambah dengan menghilangnya El secara tiba-tiba.
Makin panjang kan ocehan bapak guru tercintanya itu.
Violet terus berjalan sambil mengentak-hentakkan kakinya, tanda dia sangat kesal. Sesekali memukul udara dengan tangan terkepal kuat.
Tapi diperjalanannya menuju halte bus, gadis itu terdiam dengan mata memicing di depan sebuah gang sepi yang jarang dilalui oleh orang-orang.
"Itu bukannya wakil ketua kelas?" Gumamnya sambil refleks bersembunyi di belakang tong sampah besar. Bau sih, tapi bisa ditahan demi memuaskan rasa penasaran.
Violet terus mengamati. Tidak begitu jelas sebenarnya apa yang El lakukan, tapi Violet yakin El tidak sendiri di sana. Karena sudah terlanjur penasaran Violet diam-diam menggeser tong sampah itu untuk maju tapi-
Braak!!!
Ow-ow dirinya tertangkap basah...
.....lalu semuanya menjadi gelap.
***
Violet terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi pipi membuat beberapa anak rambutnya menempel di sana. Nafasnya terengah-engah seolah sudah berlari berkilo-kilo meter jauhnya.Gadis itu terduduk, lalu melihat ke sekelilingnya."Gue...di kamar..?" Tanyanya entah pada siapa. Tatapannya beralih pada kasur yang kini dia duduki, lalu pada piyama yang ia kenakan.Gadis itu merasakan kerongkongannya kering, "Gue yakin gue masih di gang dekat sekolah. Kok sekarang bisa ada di kamar?"Diambilnya jam weker yang terletak di atas nakas. Sekarang sudah pukul satu dini hari rupanya."Jadi...mimpi..?"Violet meletakkan jam wekernya ke tempat semula. Lalu duduk termenung sambil memikirkan mimpinya, yang terasa begitu nyata.Dia yakin sekali saat itu masih berada di area sekitar sekolahan. Tapi masalahnya dia tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi saat itu.Atau ini memang benar-benar mimpi?***
Sabtu pagi yang begitu cerah, Violet habiskan untuk membersihkan kamarnya yang berantakan. Kamarnya memang sangat berantakan, bahkan ada makhluk hidup kecil lain tinggal di kamarnya yang bernama kecoak.Violet benci kecoak, tetapi dia sangat malas untuk menyingkirkan makhluk itu. Jadi dengan beralasan kemanusiaan dia membiarkan kecoak itu tinggal di kamarnya. Tapi sekarang kecoak itu tidak boleh tinggal di kamarnya lagi, kecoak harus mencari rumah baru.Gadis cantik itu mengelap keringat yang ada di dahinya, "Akhirnya bersih juga. Pantes mama ngomel mulu pas ngebersihin ni kamar, udah mirip kek kandang babi, sih." Ujarnya pada diri sendiri saat melihat kamar yang telah bersih dan rapi.Membersihkan kamar adalah hal yang paling malas Violet lakukan. Biasanya Ibunya lah yang akan membersihkan karena sudah tidak tahan dengan kamar anak gadisnya yang begitu kotor, sambil mengomel tentu saja. Tapi karena hari ini Violet akan ada kerja kelompok dengan teman-temannya,
"Saya akan menolong kamu."Violet terdiam. Tidak ada lagi suara isakan yang tadi keluar dari bibirnya. Tapi gemetaran karena takut itu masih ada, malah bertambah. Ya, dia menyadari perubahan menyeramkan itu."E-El?" Panggilnya terbata-bata pada El yang sedang berjalan menuju jasad ayahnya dan kemudian berjongkok di depannya. Awalnya hanya memperhatikan, tetapi lelaki itu malah mencolek darah sang ayah dengan jari telunjuknya.Violet beringsut mundur kala El berjalan menghampirinya sambil menjilati telunjuk penuh darah ayahnya itu. Ketakutan menyergapnya."P-pergi," usir gadis itu, tapi tak dihiraukan dan El malah berjalan semakin cepat ke arahnya.El mencengkeram bahu gadis itu dengan kuat, membuat Violet tak dapat bergerak. Bahkan dapat Violet rasakan kalau kuku-kuku milik lelaki bermata merah darah di depannya saat ini sudah menusuk kulit bahunya.El melebarkan seringaiannya, "Tadi bukannya kamu minta tolong?"Violet diam, tidak ber
Gelak tawa yang riang begitu terdengar jelas di telinga Violet. Mungkin biasanya dia akan langsung tertawa hanya karena mendengar temannya tertawa, tapi hari ini perasaan was-was, takut, dan marah mendominasi hati dan pikirannya.Violet tidak ingin mempercayai mimpi itu adalah sebuah kenyataan, karena secara logika itu saja tidak masuk akal. Namun kejadian tadi pagi sampai sesaat sebelum dia menelepon Bobi persis seperti di dalam mimpi. Seolah sedang memutar film yang sama.Sebuah tepukan pelan di bahu membuat gadis itu benar-benar terperanjat. Bahkan nafasnya langsung putus-putus.Bobi itu tertawa melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan Violet, "Lebay amat dah, lo. Jadi ga ini ke rumah si El?"Bobi menghentikan tawanya kala mendapat tatapan sinis dari Violet. Tidak, ini bukan tatapan sinis yang biasa Violet tunjukkan padanya. Tatapan ini, seperti ada rasa sedih sekaligus amarah besar
Violet menghela nafas entah untuk yang ke berapa kalinya. Ditatapnya isi kertas itu berulang kali, berharap isinya dapat berubah hanya dengan tatapan mata. Tapi tentu saja tidak mungkin.Kertas itu berisi kontrak yang harus Violet patuhi jika ingin keinginan tidak masuk akalnya El penuhi. Isinya:1. Pemohon tidak boleh mati dengan cara apapun, kalau peraturan itu dilanggar maka permohonan akan dibatalkan.2. Pemohon tidak boleh memberi tahu identitas si pengabul atau akan ada denda yang harus pemohon bayar.3. Pemohon tidak boleh menceritakan hal-hal tidak masuk akan yang dialami kepada siapapun kecuali ke pengabul.4. Kontrak berlaku seumur hidup.5. Bayarannya adalah kebahagiaan sang pemohon.El menatap kesal Violet yang masih saja memegangi kertas itu dengan wajah ragu, "Isinya tidak akan berubah meskipun kamu tatap seperti
Ruangan ini gelap dan violet seperti sedang duduk di sebuah kotak transparan. Rasanya tidak ada oksigen di dalam kotak ini membuat Violet sulit bernafas.Tok! Tok!"Siapapun keluarin gue dari sini!" Teriaknya tak lupa sambil terus memukul kotak yang mengurungnya. Sayangnya di dalam keadaan gelap ini tidak ada yang dapat terlihat oleh Violet. Apa benar hanya dia sendiri di sini?Tiba-tiba muncul sebuah lampu gantung, membuat atensi Violet mengarah ke sana. Tapi bukannya mendapati hati lega, malah jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika melihat jasad kedua orang tua yang tergeletak tak berdaya di bawah cahaya lampu itu.Tangan gadis itu bergetar menyentuh dinding transparan kotak, "M-mama...? Papa...?" Berusaha memanggil, namun suaranya sulit untuk keluar.Violet semakin panik. Terkurung di dalam kotak sempit ini membuatnya tidak dapat berpikir jernih. "MAMA!! PAPA!!
"APA YANG UDAH LO LAKUIN KE ANDRE?!"Gendang telinga El rasanya ingin pecah mendengar teriakan seorang gadis yang terduduk lemas di depan pintu gudang itu. El tidak berbicara, tapi dia hanya memperhatikan Violet yang kini menangis meraung-raung.El berdecak, "Apa kamu tidak lelah dari tadi menangis terus?"Violet bangkit, walau kakinya masih sangat lemas, namun dia paksa untuk dapat berdiri di depan El. Gadis itu menunjuk dada pria itu dengan keras, "Jawab gue, apa yang udah lo lakuin ke Andre?" Tanyanya dengan penekanan disetiap katanya.El tertawa pelan, "Dia hanya membayar apa yang semestinya dia bayar.""Lo brengsek!""Brengsek?" El berdecih, "Kalian yang serakah, tapi kamu mengatai saya brengsek?" Pria itu marah. Dengan kasar dia mengambil lengan Violet membuat gadis itu berdesis kesakitan. Tidak peduli, El menjentikkan jarinya.&n
Suara jangkrik menemani malam Violet yang sunyi. Tidak ada yang menemaninya disaat dia merasa begitu butuh teman. Kedua orangtuanya pergi melayat saudara jauh yang baru saja berpulang, sementara dirinya ditinggal seorang diri di sini.Mata gadis itu sudah terlalu kering untuk diajak menangis, jadi yang bisa dia lakukan hanya duduk termenung di balkon kamarnya. Sesekali matanya menatap jalanan kompleks yang sepi."Percuma lo minta orang tua lo buat hidup lagi, tapi mereka enggak peduli sama lo."Suara itu lagi.Violet muak mendengar suara itu, namun kepalanya tetap ia tolehkan ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara. Tapi tetap saja, nihil. Tidak ada siapa-siapa."Keluar lo!" Teriak Violet marah pada suara itu.Bukannya memunculkan diri, tapi suara itu malah tertawa mengejek membuat Violet semakin meradang."Lo hidup de