Home / Romansa / AH! BRONDONGKU SAYANG / Bab 1 : Arti keluarga

Share

AH! BRONDONGKU SAYANG
AH! BRONDONGKU SAYANG
Author: Kim Hwang Ra

Bab 1 : Arti keluarga

Author: Kim Hwang Ra
last update Last Updated: 2025-11-19 20:58:10

Langit sore di kampus mulai berubah jingga saat Alia berdiri di depan papan bunga besar bertuliskan “Selamat atas kelulusanmu, Alia Salsabila, M.M.”

Bunga itu kiriman dari dirinya sendiri. Ia bahkan menulis nama pengirimnya dengan huruf kecil di pojok kartu ucapan — supaya tidak terlalu mencolok kalau ada yang memperhatikan.

Sementara teman-temannya sibuk berfoto bersama keluarga, Alia berdiri sendiri.

Tak ada Rendra, tak ada ibu mertuanya, tak ada siapa pun yang menunggu.

“Selamat ya, Alia!”

“Cantik banget hari ini!”

Ia tersenyum ramah, menunduk sopan. Tapi hatinya kosong. Hari wisuda yang seharusnya jadi hari bahagia malah terasa seperti upacara pengingat bahwa hidupnya berjalan ke arah yang salah.

Malam mulai turun ketika Alia sampai di rumah. Rumah itu besar, tapi sunyi. Lampu ruang tamu menyala redup, piring makan dua set masih tersusun rapi di meja — hanya satu yang terpakai.

Jam hampir menunjukkan pukul sebelas ketika suara mobil terdengar di depan rumah. Pintu terbuka cepat, langkah sepatu berderap. Rendra masuk tanpa menatapnya. “Kamu belum tidur?” tanyanya datar, sambil melepas jas kerja.

“Belum,” jawab Alia pelan. “Aku baru selesai makan.”

“Kamu makan duluan?”

“Kamu pulangnya terlalu malam.”

Rendra mendengus pelan. “Tapi bukan berarti kamu nggak bisa nunggu suamimu. Istri yang baik biasanya nyambut suaminya pulang, bukan makan sendirian kayak gini.”

Alia menatap piring kosongnya.

“Aku cuma ... sedikit kecewa. Hari ini aku wisuda, Ren. Kamu nggak datang, bahkan nggak ngabarin.”

Rendra menghela napas panjang, seperti sedang berbicara pada anak kecil yang keras kepala. “Aku kerja, Alia. Ada rapat penting. Masa kamu nggak ngerti juga sih?”

“Tapi kamu bisa kirim pesan. Atau sekadar ‘selamat’. Itu juga nggak sempat?”

“Udah, jangan mulai drama lagi malam-malam.”

Sebelum Alia sempat menjawab, suara kunci pintu lain terdengar. Ibu Rendra masuk, membawa tas belanja dan wajah lelah tapi tajam.

“Ada apa ini ribut-ribut malam-malam?” tanyanya curiga.

“Alia ngambek cuma karena aku nggak datang ke wisudanya,” jawab Rendra sambil melempar jas ke kursi.

Ibu mertuanya mendecak. “Alia, kamu ini udah nikah hampir dua tahun, tapi masih aja manja. Hidup itu nggak selalu soal kamu. Rendra kerja buat masa depan kalian, bukan buat main datang ke acara seremonial begitu.”

Alia menggenggam ujung bajunya. Matanya mulai panas, tapi ia berusaha bicara tenang. “Bu, aku nggak minta banyak. aku cuma pengin dihargai. Selama ini aku diam, aku ikut semua aturan di rumah ini. aku belajar masak, belajar ngomong sopan, belajar sabar waktu dimarahi tanpa alasan. Tapi kalau aku cuma dianggap salah terus, buat apa aku bertahan?”

“Kamu mulai melawan sekarang?” suara ibu Rendra meninggi.

“Dari dulu kamu terlalu banyak menuntut. Coba jadi istri yang tahu diri sedikit, Rendra juga pasti lebih sayang.”

“Sayang?” Alia tertawa kecil, tapi suaranya pecah di tengah. “Kami bahkan nggak pernah tidur di kamar yang sama, Bu. Dua tahun, aku pura-pura bahagia di depan orang-orang, supaya nama Rendra tetap bagus di mata rekan kerjanya. Tapi di rumah ini, aku cuma penghuni yang nggak dianggap.”

Hening. Bahkan jam dinding pun terdengar terlalu keras.

Rendra menatapnya tajam. “Kamu ngomong apa sih? Jangan bikin malu!”

Alia menatap suaminya, mata yang dulu ia kira tempat pulang, kini terasa asing. “Aku udah cukup malu selama dua tahun, Ren. Tapi kali ini, biar kamu aja yang ngerasain.”

Ia berdiri, melepas cincin di jari dan meletakkannya di meja makan, di samping piring yang tak sempat disentuh Rendra.

“Aku cuma pengin tenang. Itu aja.”

Malam itu, langkah Alia menuju kamarnya terasa pelan, seolah setiap langkahnya adalah serpihan keberanian yang baru ia temukan.

******

Pagi itu meja makan tampak sunyi.

Biasanya suara ibu Rendra sudah terdengar dari dapur. Mengomel tentang hal-hal kecil yang dilakukan Alia: kadang nasi yang terlalu lembek, kadang teh yang kurang manis, kadang hanya karena Alia menaruh sendok di sisi yang salah.

Tapi kali ini, tak ada Alia di dapur. Tak ada aroma kopi yang baru diseduh. Dan tak ada suara lembut memanggil, “Bu, ayo sarapan dulu, nanti keburu dingin.”

Ibu Rendra melangkah ke meja makan, mendapati dua piring dan dua gelas sudah tersaji rapi. Namun uapnya sudah tak ada—semuanya dingin. “Alia ini kemana pagi-pagi? Tumben nggak bangunin kita,” gumamnya sambil menarik kursi.

Rendra turun dari kamar, masih dengan wajah lelah. “Dia keluar dari tadi. Katanya mau lari pagi.”

“Lari pagi?” nada suara ibunya meninggi. “Sarapan kita malah dibiarkan dingin? Astaga, perempuan itu makin nggak tahu diri. Disuruh jadi istri baik-baik aja susah banget!”

Rendra hanya duduk diam, menatap piringnya yang dingin. Tak berusaha membela, tapi juga tak ikut marah. “Ya udahlah, Bu. Makan aja dulu.”

“Makan apa? Ini dingin semua!” Ibu Rendra mendengus keras, lalu berdiri dengan malas.

“Nggak becus banget. Apa susahnya tinggal manasin sebentar dan manggil kita? Dulu waktu baru nikah aja sok rajin, sekarang udah kelihatan aslinya.”

Rendra tidak menjawab.

Sementara ibunya membuka panci di dapur dan memanaskan ulang sarapan, suara panci dan kompor menambah suasana yang makin tegang. Tapi tetap saja, meja makan terasa kosong tanpa Alia di sana.

Di sisi lain, Alia sedang berlari pelan di jalan kompleks perumahan. Udara pagi menampar lembut wajahnya, memberi rasa segar. Earphone terpasang di telinganya, musik lembut mengalun, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, dia merasa ... bebas.

Tak ada suara omelan. Tak ada tatapan dingin. Tak ada beban untuk pura-pura bahagia. Langkahnya makin ringan, sampai tiba-tiba ….

Seseorang berjongkok di sisi jalan, tengah mengikat tali sepatu. Alia yang tidak memperhatikan karena terlalu asyik dengan musiknya, tak sengaja menabrak orang itu.

“Aduh!” seru Alia sambil terhuyung sedikit. “Maaf! Aku nggak lihat!”

Laki-laki itu mendongak cepat. Wajahnya tegas, mata tajam, dan tinggi badannya jauh di atas Alia. “Lain kali kalau lari, lihat jalan,” katanya dengan nada ketus.

Alia buru-buru melepaskan earphone-nya. “Iya, aku minta maaf, aku nggak sengaja—”

“Iya, tapi kan mata kamu bisa dipakai.” Nada suaranya dingin. Itu bukan marah yang meledak. Lebih seperti orang yang tidak punya waktu untuk basa-basi.

Alia terdiam, menunduk sedikit. “Maaf,” ulangnya pelan.

Tapi laki-laki itu tak menjawab. Ia hanya menghela napas pendek, lalu berbalik dan melanjutkan larinya tanpa menoleh lagi.

Alia berdiri di sana beberapa detik, menatap punggung orang itu yang makin menjauh. Entah kenapa, perasaannya campur aduk—antara malu, jengkel, tapi juga sedikit... penasaran. Dia kembali memasang earphone-nya, menarik napas panjang. Lalu berlari lagi, kali ini lebih pelan. Sambil berpikir—bahwa pagi yang sepi ini, untuk pertama kalinya, bukan karena kesepian... tapi karena dia memilih untuk tenang.

Tanpa sadar saat Alia kembali melangkah dengan arah lain, seseorang tadi menoleh ke belakang. Bergantian menatap punggung Alia dari kejauhan, entah dia juga sedikit penasaran atau dia merasa akan bertemu lagi dengan Alia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AH! BRONDONGKU SAYANG   Bab 5 : Kenapa Perduli?

    Begitu motor berhenti di depan gerbang rumah, Alia segera turun tanpa banyak bicara. “Terima kasih,” ucapnya singkat, bahkan tanpa menatap Arhan.“Lain kali saya bisa jemput juga, Bu,” balas Arhan santai, tapi Alia sudah melangkah cepat masuk ke halaman, tak memberi kesempatan lebih.Rumah itu terasa sepi seperti biasa. Mobil Rendra tak ada di garasi. Rumah besar peninggalan mertuanya itu sunyi, hanya suara jam dinding yang terdengar dari ruang tamu. Alia menaruh tas di meja, melepaskan sepatu, lalu berjalan pelan ke kamarnya.Setelah mandi air hangat dan mengganti baju, tubuhnya terasa sedikit ringan. Ia menatap wajahnya di cermin. Pucat. Tapi setidaknya tidak lagi berantakan seperti tadi di kampus. Ia berbaring di tempat tidur, menyalakan ponsel sekadar ingin membuka media sosial atau membaca berita ringan.Namun, baru saja layar menyala, muncul notifikasi pesan baru. Nomor tak dikenal, dan asing:“Sampai rumah, Bu? Jangan lupa istirahat. Saya nggak mau dosen pembimbing saya s

  • AH! BRONDONGKU SAYANG   Bab 4 : Sabar Juga Ujian

    Pintu ruang dosen itu terbuka pelan. Alia menoleh, sedikit waspada.Yang muncul adalah Bu Ratna, dosen senior yang belakangan sering menyapanya di lorong atau menemaninya makan siang. Wajahnya selalu ramah, dan entah kenapa kehadirannya selalu membawa sedikit rasa aman.“Alia, boleh Ibu masuk?” tanyanya lembut.“Oh, tentu, Bu. Silakan,” jawab Alia cepat sambil menegakkan duduknya.Bu Ratna melangkah masuk, menutup pintu perlahan lalu duduk di kursi depan meja Alia. Ia meletakkan tas kecil di pangkuan, menatap Alia dengan senyum hangat. “Kamu kelihatan capek,” katanya pelan. “Ada apa? Dari tadi Ibu lihat wajahmu murung.”Alia menghela napas panjang. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma … ya, tadi sempat kesal aja. Mahasiswa saya yang baru—Arhan—sikapnya agak … sulit dijelaskan.”Bu Ratna mengangguk pelan, seolah sudah menebak. “Ah, Arhan Dirgantara, ya?”Alia langsung menatapnya, kaget. “Ibu kenal?”“Iya,” jawab Bu Ratna pelan sambil menyandarkan punggung. “Dia memang agak beda dari mahasi

  • AH! BRONDONGKU SAYANG   Bab 3 : Keresahan Awal

    Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di kelas itu. Alia duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang tak benar-benar ia baca. Kepalanya masih terasa berat sejak semalam.Rendra memaksanya ikut zoom meeting dengan rekan kerjanya, sekadar formalitas, katanya. Alia harus duduk di depan kamera, tersenyum, menjawab basa-basi dari orang yang tak ia kenal, sambil menahan pusing yang tak kunjung reda. Lalu setelah meeting selesai, bukannya mendapat ucapan terima kasih, ia malah disalahkan.“Kamu itu nggak bisa fokus, Alia. Malu tahu, kelihatan banget nggak siap.”“Aku udah bilang aku sakit kepala, Ren ….”“Alasan! Kalau kamu niat, kamu bisa terlihat profesional.”Kata-kata itu masih bergema di kepala Alia hingga pagi ini. Ia memijit pelipisnya pelan, berharap rasa sakit itu mau hilang walau hanya sedikit. Suara ketukan pintu terdengar pelan. Alia mendongak.Di depan pintu berdiri seorang mahasiswa dengan map cokelat di tangan.Rambutnya agak berantakan, jaket hitam masih sama sepe

  • AH! BRONDONGKU SAYANG   Bab 2 : Awal Bertemu

    Sudah sebulan Alia berdiam diri di rumah sejak kelulusannya dari S2. Hari-harinya terasa hampa. Hanya diisi dengan adu argumen kecil dengan ibu mertua atau perdebatan dingin dengan Rendra yang selalu berdiri di sisi ibunya. Namun pagi ini berbeda. Hari ini adalah hari ketiganya menjadi dosen seni di universitas ternama di ibu kota.Awalnya, Rendra menentang keras. Menurutnya, istri tak perlu bekerja, apalagi di lingkungan kampus yang “bebas.” Tapi justru ibunya yang berkata, “Perempuan itu jangan cuma ngandelin laki-laki. Cari kegiatan biar otaknya kepakai. Nggak usah ngeluh aja di rumah.”Kalimat itu membuat Alia terdiam lama. Entah bagaimana, kata-kata itu seperti izin yang datang dari arah yang tak terduga.Hari-hari pertama berjalan tenang. Mahasiswa di jurusan seni tak banyak, dan kebanyakan dari mereka santai—terlalu santai, malah. Kelas sering berakhir lebih cepat dari jadwal. Kadang Alia memanfaatkan waktu luang untuk menyiapkan bahan ajar, atau sekadar menatap dinding pe

  • AH! BRONDONGKU SAYANG   Bab 1 : Arti keluarga

    Langit sore di kampus mulai berubah jingga saat Alia berdiri di depan papan bunga besar bertuliskan “Selamat atas kelulusanmu, Alia Salsabila, M.M.”Bunga itu kiriman dari dirinya sendiri. Ia bahkan menulis nama pengirimnya dengan huruf kecil di pojok kartu ucapan — supaya tidak terlalu mencolok kalau ada yang memperhatikan.Sementara teman-temannya sibuk berfoto bersama keluarga, Alia berdiri sendiri.Tak ada Rendra, tak ada ibu mertuanya, tak ada siapa pun yang menunggu.“Selamat ya, Alia!”“Cantik banget hari ini!”Ia tersenyum ramah, menunduk sopan. Tapi hatinya kosong. Hari wisuda yang seharusnya jadi hari bahagia malah terasa seperti upacara pengingat bahwa hidupnya berjalan ke arah yang salah.Malam mulai turun ketika Alia sampai di rumah. Rumah itu besar, tapi sunyi. Lampu ruang tamu menyala redup, piring makan dua set masih tersusun rapi di meja — hanya satu yang terpakai.Jam hampir menunjukkan pukul sebelas ketika suara mobil terdengar di depan rumah. Pintu terbuka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status