MasukSudah sebulan Alia berdiam diri di rumah sejak kelulusannya dari S2. Hari-harinya terasa hampa. Hanya diisi dengan adu argumen kecil dengan ibu mertua atau perdebatan dingin dengan Rendra yang selalu berdiri di sisi ibunya. Namun pagi ini berbeda. Hari ini adalah hari ketiganya menjadi dosen seni di universitas ternama di ibu kota.
Awalnya, Rendra menentang keras. Menurutnya, istri tak perlu bekerja, apalagi di lingkungan kampus yang “bebas.” Tapi justru ibunya yang berkata, “Perempuan itu jangan cuma ngandelin laki-laki. Cari kegiatan biar otaknya kepakai. Nggak usah ngeluh aja di rumah.” Kalimat itu membuat Alia terdiam lama. Entah bagaimana, kata-kata itu seperti izin yang datang dari arah yang tak terduga. Hari-hari pertama berjalan tenang. Mahasiswa di jurusan seni tak banyak, dan kebanyakan dari mereka santai—terlalu santai, malah. Kelas sering berakhir lebih cepat dari jadwal. Kadang Alia memanfaatkan waktu luang untuk menyiapkan bahan ajar, atau sekadar menatap dinding penuh cat dan sketsa di ruang studio yang kini menjadi dunianya. Siang itu, jadwalnya mengajar kelas semester akhir—kelas yang katanya paling “berwarna”. Baru membuka pintu, suara gaduh langsung menyambutnya. Beberapa mahasiswa berdiri, sebagian menyoraki, sebagian lagi berusaha melerai dua orang yang hampir saling pukul. “Hei! Berhenti!” seru Alia cepat. “Kalian ini di kelas, bukan di pasar!” Namun kedua mahasiswa itu tetap saling dorong. Alia maju, mencoba menarik salah satu dari mereka agar menjauh. Tapi gerakan itu justru membuatnya tersenggol keras dan hampir jatuh. Ia menahan diri, menarik napas dalam-dalam, lalu suaranya meninggi. “Cukup! Kalau kalian mau berantem, silakan keluar. Tapi jangan di kelas saya!” Suara Alia membuat seluruh ruangan hening. Beberapa mahasiswa saling pandang, lalu menunduk. Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka. Seorang pria berjas abu-abu masuk dengan langkah tegas — Pak Darmawan, ketua akademik fakultas seni. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya dengan nada dalam. “Kalian berdua, ikut saya ke kantor fakultas. Bu Alia juga, tolong ikut. Ibu jadi saksi insiden ini.” Ruang fakultas terasa lebih dingin dari biasanya. Dua mahasiswa itu duduk saling berjauhan, masih dengan wajah menahan kesal. Pak Darmawan menatap mereka tajam. “Sekarang jelaskan, kenapa kalian berkelahi di kelas?” Mahasiswa berbadan besar menjawab lebih dulu. “Pak, saya cuma marah karena dia bilang karya saya nggak punya nilai seni. Padahal dia sendiri nggak ngumpulin tugas.” Pak Darmawan menatap mahasiswa satunya yang berambut sedikit panjang, memakai jaket hitam, dan duduk santai seolah tak peduli. “Kamu yang disebut ‘dia’, kan?” “Iya, Pak,” jawabnya datar. “Saya cuma ngasih pendapat. Nggak salah, kan, kalau saya bilang jujur?” Nada bicaranya tenang, tapi penuh ego. Alia memperhatikan wajahnya dan entah kenapa, ia merasa pernah mendengar nama itu. Arhan Dirgantara. Tiba-tiba ia teringat gosip dari beberapa mahasiswa minggu lalu di ruang dosen. “Bu, hati-hati sama Arhan. Anak itu susah diatur.” “Tapi pintar banget, Bu. Cuma… agak arogan.” “Katanya keluarganya orang penting, jadi dosen juga pada segan.” Sekarang, orang yang mereka bicarakan itu duduk di depannya dengan sikap yang sesuai semua cerita. Alia berdeham pelan, mencoba bersikap profesional. “Baik, cukup. Kalian sama-sama salah. Kritik boleh, tapi bukan berarti harus saling jatuh-jatuhan.” Pak Darmawan mengangguk setuju. “Saya harap ini tidak terulang. Dan Arhan…” ia menatap tajam. “Kamu sudah sering masuk daftar laporan. Jangan tambah satu lagi.” Arhan hanya menunduk singkat. “Siap, Pak.” Pertemuan berakhir tanpa banyak bicara. Alia berjalan keluar lebih dulu, menarik napas panjang setelah menahan tegang selama beberapa menit. Namun, belum sempat jauh melangkah, suara langkah cepat terdengar di belakang. “Bu Alia.” Alia menoleh. Arhan berdiri di ambang pintu, wajahnya datar tapi matanya menatap langsung padanya. “Saya cuma mau bilang … maaf soal tadi di kelas. Saya nggak sengaja nyenggol Ibu.” Alia sedikit terkejut. Nada suaranya jauh lebih sopan dari yang ia bayangkan. “Tidak apa-apa,” jawabnya pelan. “Saya juga terlalu mendadak nariknya.” Hening sebentar. Lalu Arhan mengangguk singkat. “Terima kasih, Bu.” Ia berbalik pergi tanpa menunggu balasan. Tinggal Alia yang berdiri di lorong Dalam hati, ia bergumam pelan, ‘Jadi ini Arhan Dirgantara … yang katanya paling sulit diatur.’ Tapi entah kenapa, nada suaranya tidak sepenuhnya kesal. Ada sedikit rasa penasaran di dalamnya. ******* Hari berikutnya, suasana kelas tampak lebih tenang. Alia datang sedikit lebih pagi, berharap tidak ada insiden seperti kemarin. Ia sempat memeriksa perlengkapan cat, kuas, dan kanvas satu per satu sebelum mahasiswa masuk. Beberapa menit kemudian, para mahasiswa mulai berdatangan. Mereka sibuk menyiapkan bahan tugas. Semuanya tampak fokus, kecuali satu orang yang duduk paling ujung dekat jendela. Arhan. Ia datang terlambat, membawa tas kecil di bahu, lalu duduk santai dengan kaki disilangkan di atas kursi panjang. Tangannya sibuk mengaduk cat, sementara punggungnya bersandar malas ke dinding. Alia memperhatikannya sejenak. Dalam hati, ia berpikir Arhan mungkin masih menyimpan rasa tidak enak karena kejadian kemarin. Tapi toh, ia tetap mahasiswa yang harus diberi arahan. “Arhan,” panggil Alia dengan nada tenang. “Tolong duduknya yang benar. Ini kelas, bukan studio pribadi.” Arhan tidak menoleh. Tangannya tetap sibuk dengan kuas dan palet cat di depannya, seolah tidak mendengar sama sekali. Alia menegakkan tubuhnya sedikit, menahan sabar. “Arhan, saya minta kamu duduk dengan sopan. Semua mahasiswa lain saja bisa menghargai kelas ini.” Masih tidak ada respon. Hanya suara gesekan kuas di atas kanvas yang terdengar. Kesabaran Alia mulai menipis. Ia melangkah mendekat, menatap karya Arhan yang memang terlihat berbakat. Goresannya tegas, penuh ekspresi, tapi sikapnya tetap membuat darah Alia mendidih. Tanpa pikir panjang, Alia mengambil kuas di tangannya dan melemparkannya ke lantai. “Kalau kamu tidak mau belajar dengan baik, jangan ganggu kelas saya!” suaranya meninggi. Seluruh kelas mendadak hening. Semua mata menatap mereka berdua. Arhan berdiri pelan. Gerakannya tenang, tapi matanya tajam—tajam sekali, sampai Alia refleks mundur setengah langkah. Pria muda itu melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya beberapa senti. Nada suaranya rendah, tapi menusuk. “Jangan terlalu bangga diri, Bu,” katanya pelan dan dingin. “Saya minta maaf kemarin bukan berarti Ibu bisa semaunya.” Tatapan mereka bertemu. Sesaat, dunia di sekitar terasa lenyap. Hanya ada amarah yang ditahan dan gengsi yang tak mau kalah. Lalu Arhan menunduk sedikit, memperhatikan sekilas kuas yang di dekat kakinya. Alih-alih memungutnya ia justru menginjaknya hingga patah. “Saya keluar,” ucapnya datar, lalu berbalik meninggalkan kelas. Suara langkahnya bergema sampai pintu tertutup rapat. Kelas kembali hening. Beberapa mahasiswa hanya menatap bingung, tak berani berkata apa-apa. Alia berdiri kaku. Dadanya sesak, seperti kehilangan udara. Sikap Arhan barusan jauh berbeda dengan kemarin. Seolah dua orang yang sama sekali tidak mirip. Siapa yang tahu jika Arhan menoleh sedikit meski tidak terlihat oleh siapapun, seakan dia sengaja atau entah karena dia benar-benar kesal. “Dasar Polos” bisiknya pelan pada dirinya, dia tersenyum geli sebelum benar-benar meninggalkan area kelas.Begitu motor berhenti di depan gerbang rumah, Alia segera turun tanpa banyak bicara. “Terima kasih,” ucapnya singkat, bahkan tanpa menatap Arhan.“Lain kali saya bisa jemput juga, Bu,” balas Arhan santai, tapi Alia sudah melangkah cepat masuk ke halaman, tak memberi kesempatan lebih.Rumah itu terasa sepi seperti biasa. Mobil Rendra tak ada di garasi. Rumah besar peninggalan mertuanya itu sunyi, hanya suara jam dinding yang terdengar dari ruang tamu. Alia menaruh tas di meja, melepaskan sepatu, lalu berjalan pelan ke kamarnya.Setelah mandi air hangat dan mengganti baju, tubuhnya terasa sedikit ringan. Ia menatap wajahnya di cermin. Pucat. Tapi setidaknya tidak lagi berantakan seperti tadi di kampus. Ia berbaring di tempat tidur, menyalakan ponsel sekadar ingin membuka media sosial atau membaca berita ringan.Namun, baru saja layar menyala, muncul notifikasi pesan baru. Nomor tak dikenal, dan asing:“Sampai rumah, Bu? Jangan lupa istirahat. Saya nggak mau dosen pembimbing saya s
Pintu ruang dosen itu terbuka pelan. Alia menoleh, sedikit waspada.Yang muncul adalah Bu Ratna, dosen senior yang belakangan sering menyapanya di lorong atau menemaninya makan siang. Wajahnya selalu ramah, dan entah kenapa kehadirannya selalu membawa sedikit rasa aman.“Alia, boleh Ibu masuk?” tanyanya lembut.“Oh, tentu, Bu. Silakan,” jawab Alia cepat sambil menegakkan duduknya.Bu Ratna melangkah masuk, menutup pintu perlahan lalu duduk di kursi depan meja Alia. Ia meletakkan tas kecil di pangkuan, menatap Alia dengan senyum hangat. “Kamu kelihatan capek,” katanya pelan. “Ada apa? Dari tadi Ibu lihat wajahmu murung.”Alia menghela napas panjang. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma … ya, tadi sempat kesal aja. Mahasiswa saya yang baru—Arhan—sikapnya agak … sulit dijelaskan.”Bu Ratna mengangguk pelan, seolah sudah menebak. “Ah, Arhan Dirgantara, ya?”Alia langsung menatapnya, kaget. “Ibu kenal?”“Iya,” jawab Bu Ratna pelan sambil menyandarkan punggung. “Dia memang agak beda dari mahasi
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di kelas itu. Alia duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang tak benar-benar ia baca. Kepalanya masih terasa berat sejak semalam.Rendra memaksanya ikut zoom meeting dengan rekan kerjanya, sekadar formalitas, katanya. Alia harus duduk di depan kamera, tersenyum, menjawab basa-basi dari orang yang tak ia kenal, sambil menahan pusing yang tak kunjung reda. Lalu setelah meeting selesai, bukannya mendapat ucapan terima kasih, ia malah disalahkan.“Kamu itu nggak bisa fokus, Alia. Malu tahu, kelihatan banget nggak siap.”“Aku udah bilang aku sakit kepala, Ren ….”“Alasan! Kalau kamu niat, kamu bisa terlihat profesional.”Kata-kata itu masih bergema di kepala Alia hingga pagi ini. Ia memijit pelipisnya pelan, berharap rasa sakit itu mau hilang walau hanya sedikit. Suara ketukan pintu terdengar pelan. Alia mendongak.Di depan pintu berdiri seorang mahasiswa dengan map cokelat di tangan.Rambutnya agak berantakan, jaket hitam masih sama sepe
Sudah sebulan Alia berdiam diri di rumah sejak kelulusannya dari S2. Hari-harinya terasa hampa. Hanya diisi dengan adu argumen kecil dengan ibu mertua atau perdebatan dingin dengan Rendra yang selalu berdiri di sisi ibunya. Namun pagi ini berbeda. Hari ini adalah hari ketiganya menjadi dosen seni di universitas ternama di ibu kota.Awalnya, Rendra menentang keras. Menurutnya, istri tak perlu bekerja, apalagi di lingkungan kampus yang “bebas.” Tapi justru ibunya yang berkata, “Perempuan itu jangan cuma ngandelin laki-laki. Cari kegiatan biar otaknya kepakai. Nggak usah ngeluh aja di rumah.”Kalimat itu membuat Alia terdiam lama. Entah bagaimana, kata-kata itu seperti izin yang datang dari arah yang tak terduga.Hari-hari pertama berjalan tenang. Mahasiswa di jurusan seni tak banyak, dan kebanyakan dari mereka santai—terlalu santai, malah. Kelas sering berakhir lebih cepat dari jadwal. Kadang Alia memanfaatkan waktu luang untuk menyiapkan bahan ajar, atau sekadar menatap dinding pe
Langit sore di kampus mulai berubah jingga saat Alia berdiri di depan papan bunga besar bertuliskan “Selamat atas kelulusanmu, Alia Salsabila, M.M.”Bunga itu kiriman dari dirinya sendiri. Ia bahkan menulis nama pengirimnya dengan huruf kecil di pojok kartu ucapan — supaya tidak terlalu mencolok kalau ada yang memperhatikan.Sementara teman-temannya sibuk berfoto bersama keluarga, Alia berdiri sendiri.Tak ada Rendra, tak ada ibu mertuanya, tak ada siapa pun yang menunggu.“Selamat ya, Alia!”“Cantik banget hari ini!”Ia tersenyum ramah, menunduk sopan. Tapi hatinya kosong. Hari wisuda yang seharusnya jadi hari bahagia malah terasa seperti upacara pengingat bahwa hidupnya berjalan ke arah yang salah.Malam mulai turun ketika Alia sampai di rumah. Rumah itu besar, tapi sunyi. Lampu ruang tamu menyala redup, piring makan dua set masih tersusun rapi di meja — hanya satu yang terpakai.Jam hampir menunjukkan pukul sebelas ketika suara mobil terdengar di depan rumah. Pintu terbuka







