LOGINSudah seminggu berlalu sejak kejadian di kelas itu. Alia duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang tak benar-benar ia baca. Kepalanya masih terasa berat sejak semalam.
Rendra memaksanya ikut zoom meeting dengan rekan kerjanya, sekadar formalitas, katanya. Alia harus duduk di depan kamera, tersenyum, menjawab basa-basi dari orang yang tak ia kenal, sambil menahan pusing yang tak kunjung reda. Lalu setelah meeting selesai, bukannya mendapat ucapan terima kasih, ia malah disalahkan. “Kamu itu nggak bisa fokus, Alia. Malu tahu, kelihatan banget nggak siap.” “Aku udah bilang aku sakit kepala, Ren ….” “Alasan! Kalau kamu niat, kamu bisa terlihat profesional.” Kata-kata itu masih bergema di kepala Alia hingga pagi ini. Ia memijit pelipisnya pelan, berharap rasa sakit itu mau hilang walau hanya sedikit. Suara ketukan pintu terdengar pelan. Alia mendongak. Di depan pintu berdiri seorang mahasiswa dengan map cokelat di tangan. Rambutnya agak berantakan, jaket hitam masih sama seperti minggu lalu. Arhan Dirgantara. “Izin, Bu,” katanya santai sambil berjalan masuk tanpa menunggu jawaban. “Saya mau minta tanda tangan.” Alia menatapnya dengan kening berkerut. “Tanda tangan apa?” Arhan meletakkan map di meja, lalu menunjuk lembar formulir di dalamnya. “Surat penunjukan dosen pembimbing. Saya dapat Ibu.” Alia refleks menatap kertas itu, lalu menatap wajah Arhan lagi. “Apa?” Ia hampir tak percaya. Dari sekian banyak dosen di fakultas, kenapa harus dirinya? “Ini bercanda kan, ini pasti salah input,” gumamnya sambil berdiri. “Tunggu di sini, saya ke Pak Darmawan dulu.” Beberapa menit kemudian, Alia keluar dari ruang ketua jurusan dengan wajah kaku. Usahanya sia-sia. “Maaf, Bu Alia,” kata Pak Darmawan tadi dengan nada meyakinkan. “Arhan butuh dosen pembimbing yang tegas, dan saya pikir Ibu cocok. Jangan khawatir, ini keputusan final.” Dan sekarang, mau tidak mau, Alia harus menerima kenyataan itu. Ia kembali ke ruangannya. Arhan masih di sana, duduk santai sambil memainkan pena. “Jadi, saya tetap dibimbing Ibu?” tanyanya ringan, seolah tahu hasilnya dari awal. Alia menarik napas panjang, menandatangani lembaran di depannya tanpa banyak bicara. “Iya, sepertinya begitu,” ujarnya datar. “Mulai besok saya akan berikan jadwal bimbingan.” Arhan menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. Senyum yang sulit ditebak. Antara sopan dan menyebalkan. “Bagaimana kalau, biar saya yang atur jadwalnya, Bu. Saya sibuk di luar kampus, jadi saya yang tentukan waktu dan tempatnya.” Alia menghentikan gerak tangannya. “Apa maksud kamu?” “Maksud saya, saya punya beberapa proyek freelance dan kegiatan lain. Jadi kalau bimbingan, mungkin harus menyesuaikan waktu saya.” Nada suaranya datar, tapi mengandung kepercayaan diri berlebihan. Alia menatapnya tajam. “Dengar, Arhan. Saya ini dosen, bukan orang yang bisa kamu atur sesuka hati. Kalau kamu mau bimbingan, ikuti aturan kampus.” Arhan tersenyum kecil, tidak marah, malah tampak tenang. “Saya tahu, Bu. Tapi kalau Ibu pikir-pikir, bimbingan akan lebih lancar kalau saya bisa datang dengan waktu yang tepat. Lagipula, saya bukan tipe mahasiswa yang suka buang-buang waktu.” Ia menatap Alia lurus. “Dan saya yakin Ibu juga nggak suka buang waktu, kan?” Alia terdiam. Kalimatnya memang terdengar sopan, tapi ada nada menantang di sana. Halus, tapi jelas. “Baiklah,” kata Alia akhirnya. “Kirim jadwalmu lewat email. Nanti saya lihat apakah bisa disesuaikan.” Arhan berdiri, memasukkan mapnya ke tas. “Siap, Bu. Oh iya…” ia berhenti sejenak di pintu. “Saya janji kali ini nggak akan bikin Ibu marah. Setidaknya… belum sekarang.” Ia melangkah keluar dengan senyum kecil yang nyaris seperti ejekan. Alia menatap pintu yang tertutup pelan, hatinya tak tenang. Rasa sakit di kepalanya belum hilang, malah bertambah berat. Ia meneguk sisa minuman herbal di mejanya. Hangat, meski tak cukup menenangkan. Di luar jendela, langit tampak kelabu lagi. Seperti menertawakan kenyataan bahwa bagi Alia, kedamaian hanyalah jeda … sebelum badai berikutnya datang. ********** Waktu istirahat siang, Alia akhirnya turun ke kantin. Pagi tadi ia belum sempat sarapan karena Rendra tiba-tiba meminta tolong menyetrika pakaian kerjanya. Kini ia duduk di sudut dekat jendela, memesan roti dan kopi latte. Sedikit tenang, meski lelah masih menggantung di tubuhnya. Baru saja ia menyendok roti, seseorang muncul di pintu. Arhan. Bersama dua temannya, ia menatap sekeliling sebelum berjalan ke arah meja Alia. “Sendirian, Bu?” tanyanya sambil tersenyum, lalu duduk tanpa izin. Alia menatapnya datar. “Kamu tahu saya sedang apa, kan?” Arhan terkekeh pelan. “Saya tahu. Tapi katanya seni juga butuh ruang bebas, termasuk untuk ngobrol.” “Kalau begitu,” Alia menaruh sendoknya, “jaga ruang bebasmu, jangan ganggu makan siang saya.” Arhan tersenyum tipis. “Baik, Bu. Tapi kopi saya lebih enak kalau diminum sambil debat sama Ibu.” Alia mendesah pelan. Pusing di kepalanya belum hilang, tapi entah kenapa, senyum Arhan membuat hatinya justru makin tidak tenang. "Bu Alia," sapa Arhan lagi dengan santai, senyumannya lebar seperti tidak ada masalah. "Ini, Bu, saya bawa beberapa karya ilmiah. Bisa bantu cek?" Alia langsung menatapnya, bingung. Baru saja mereka sepakat beberapa jam yang lalu soal jadwal bimbingan, dan sekarang Arhan datang tanpa pemberitahuan? "Arhan, kamu ini kenapa sih?" jawab Alia, berusaha tetap sabar. "Kita kan udah sepakat tadi, kamu kirim jadwal bimbingan lewat email. Bukan kayak gini datang tiba-tiba." Arhan hanya tersenyum tipis, ekspresinya santai sekali, seperti tak ada yang aneh dengan sikapnya. Ia sedikit mendekat dan berbicara lebih pelan, seolah tak ingin didengar orang lain. "Saya nggak datang buat bimbingan, Bu," bisiknya. "Saya cuma mau nawarin kerja sama. Kalau Ibu mau bantu saya kerjain jurnal ini, saya siap bayar. Bayarannya juga lumayan." Alia terdiam sesaat, merasa sebal. Ini benar-benar di luar ekspektasinya. Tawaran ini ... benar-benar tak sopan, terlebih setelah dia baru saja memberikan kesepakatan mengenai bimbingan. "Arhan," jawab Alia dengan lebih tegas. "Saya nggak butuh uangmu, dan saya nggak mau terlibat dalam urusan kayak gini." Dia pun bangkit dari kursinya, tak ingin membuang waktu lebih banyak dengan percakapan ini. "Saya harus pergi," kata Alia, tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. Dia berjalan cepat meninggalkan meja itu, tak peduli dengan tatapan teman-teman Arhan yang tampak curiga, bahkan mungkin kasihan padanya. Alia tahu bahwa mereka melihatnya sebagai 'korban', tapi itu tidak mengubah kenyataannya. Sesampainya di ruang dosen, Alia menutup pintu dan duduk di kursinya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Walaupun ruangannya tenang, pikirannya masih dipenuhi rasa kesal dan bingung. "Kenapa sih dia harus kayak gitu? Apa nggak ada batasan buat dia?" pikirnya. "Saya cuma pengen hidup tenang, nggak minta banyak." Alia meneguk kopi yang sudah mulai dingin, ingatannya berputar kembali tentang Arhan tadi hampir saja dia hilang kendali melihat ketidaksopanan Arhan yang sangat parah. Namun anehnya dia melihat hal lain dalam diri Arhan meski dia tidak tahu itu apa, mungkin hanya asumsinya saja. Tiba-tiba, ada ketukan pelan di pintu. Alia menghela napas. Tak tahu siapa yang datang, tapi rasanya ia tak ingin menghadapi apapun lagi hari itu.Begitu motor berhenti di depan gerbang rumah, Alia segera turun tanpa banyak bicara. “Terima kasih,” ucapnya singkat, bahkan tanpa menatap Arhan.“Lain kali saya bisa jemput juga, Bu,” balas Arhan santai, tapi Alia sudah melangkah cepat masuk ke halaman, tak memberi kesempatan lebih.Rumah itu terasa sepi seperti biasa. Mobil Rendra tak ada di garasi. Rumah besar peninggalan mertuanya itu sunyi, hanya suara jam dinding yang terdengar dari ruang tamu. Alia menaruh tas di meja, melepaskan sepatu, lalu berjalan pelan ke kamarnya.Setelah mandi air hangat dan mengganti baju, tubuhnya terasa sedikit ringan. Ia menatap wajahnya di cermin. Pucat. Tapi setidaknya tidak lagi berantakan seperti tadi di kampus. Ia berbaring di tempat tidur, menyalakan ponsel sekadar ingin membuka media sosial atau membaca berita ringan.Namun, baru saja layar menyala, muncul notifikasi pesan baru. Nomor tak dikenal, dan asing:“Sampai rumah, Bu? Jangan lupa istirahat. Saya nggak mau dosen pembimbing saya s
Pintu ruang dosen itu terbuka pelan. Alia menoleh, sedikit waspada.Yang muncul adalah Bu Ratna, dosen senior yang belakangan sering menyapanya di lorong atau menemaninya makan siang. Wajahnya selalu ramah, dan entah kenapa kehadirannya selalu membawa sedikit rasa aman.“Alia, boleh Ibu masuk?” tanyanya lembut.“Oh, tentu, Bu. Silakan,” jawab Alia cepat sambil menegakkan duduknya.Bu Ratna melangkah masuk, menutup pintu perlahan lalu duduk di kursi depan meja Alia. Ia meletakkan tas kecil di pangkuan, menatap Alia dengan senyum hangat. “Kamu kelihatan capek,” katanya pelan. “Ada apa? Dari tadi Ibu lihat wajahmu murung.”Alia menghela napas panjang. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma … ya, tadi sempat kesal aja. Mahasiswa saya yang baru—Arhan—sikapnya agak … sulit dijelaskan.”Bu Ratna mengangguk pelan, seolah sudah menebak. “Ah, Arhan Dirgantara, ya?”Alia langsung menatapnya, kaget. “Ibu kenal?”“Iya,” jawab Bu Ratna pelan sambil menyandarkan punggung. “Dia memang agak beda dari mahasi
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di kelas itu. Alia duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang tak benar-benar ia baca. Kepalanya masih terasa berat sejak semalam.Rendra memaksanya ikut zoom meeting dengan rekan kerjanya, sekadar formalitas, katanya. Alia harus duduk di depan kamera, tersenyum, menjawab basa-basi dari orang yang tak ia kenal, sambil menahan pusing yang tak kunjung reda. Lalu setelah meeting selesai, bukannya mendapat ucapan terima kasih, ia malah disalahkan.“Kamu itu nggak bisa fokus, Alia. Malu tahu, kelihatan banget nggak siap.”“Aku udah bilang aku sakit kepala, Ren ….”“Alasan! Kalau kamu niat, kamu bisa terlihat profesional.”Kata-kata itu masih bergema di kepala Alia hingga pagi ini. Ia memijit pelipisnya pelan, berharap rasa sakit itu mau hilang walau hanya sedikit. Suara ketukan pintu terdengar pelan. Alia mendongak.Di depan pintu berdiri seorang mahasiswa dengan map cokelat di tangan.Rambutnya agak berantakan, jaket hitam masih sama sepe
Sudah sebulan Alia berdiam diri di rumah sejak kelulusannya dari S2. Hari-harinya terasa hampa. Hanya diisi dengan adu argumen kecil dengan ibu mertua atau perdebatan dingin dengan Rendra yang selalu berdiri di sisi ibunya. Namun pagi ini berbeda. Hari ini adalah hari ketiganya menjadi dosen seni di universitas ternama di ibu kota.Awalnya, Rendra menentang keras. Menurutnya, istri tak perlu bekerja, apalagi di lingkungan kampus yang “bebas.” Tapi justru ibunya yang berkata, “Perempuan itu jangan cuma ngandelin laki-laki. Cari kegiatan biar otaknya kepakai. Nggak usah ngeluh aja di rumah.”Kalimat itu membuat Alia terdiam lama. Entah bagaimana, kata-kata itu seperti izin yang datang dari arah yang tak terduga.Hari-hari pertama berjalan tenang. Mahasiswa di jurusan seni tak banyak, dan kebanyakan dari mereka santai—terlalu santai, malah. Kelas sering berakhir lebih cepat dari jadwal. Kadang Alia memanfaatkan waktu luang untuk menyiapkan bahan ajar, atau sekadar menatap dinding pe
Langit sore di kampus mulai berubah jingga saat Alia berdiri di depan papan bunga besar bertuliskan “Selamat atas kelulusanmu, Alia Salsabila, M.M.”Bunga itu kiriman dari dirinya sendiri. Ia bahkan menulis nama pengirimnya dengan huruf kecil di pojok kartu ucapan — supaya tidak terlalu mencolok kalau ada yang memperhatikan.Sementara teman-temannya sibuk berfoto bersama keluarga, Alia berdiri sendiri.Tak ada Rendra, tak ada ibu mertuanya, tak ada siapa pun yang menunggu.“Selamat ya, Alia!”“Cantik banget hari ini!”Ia tersenyum ramah, menunduk sopan. Tapi hatinya kosong. Hari wisuda yang seharusnya jadi hari bahagia malah terasa seperti upacara pengingat bahwa hidupnya berjalan ke arah yang salah.Malam mulai turun ketika Alia sampai di rumah. Rumah itu besar, tapi sunyi. Lampu ruang tamu menyala redup, piring makan dua set masih tersusun rapi di meja — hanya satu yang terpakai.Jam hampir menunjukkan pukul sebelas ketika suara mobil terdengar di depan rumah. Pintu terbuka







