MasukPintu ruang dosen itu terbuka pelan. Alia menoleh, sedikit waspada.
Yang muncul adalah Bu Ratna, dosen senior yang belakangan sering menyapanya di lorong atau menemaninya makan siang. Wajahnya selalu ramah, dan entah kenapa kehadirannya selalu membawa sedikit rasa aman. “Alia, boleh Ibu masuk?” tanyanya lembut. “Oh, tentu, Bu. Silakan,” jawab Alia cepat sambil menegakkan duduknya. Bu Ratna melangkah masuk, menutup pintu perlahan lalu duduk di kursi depan meja Alia. Ia meletakkan tas kecil di pangkuan, menatap Alia dengan senyum hangat. “Kamu kelihatan capek,” katanya pelan. “Ada apa? Dari tadi Ibu lihat wajahmu murung.” Alia menghela napas panjang. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma … ya, tadi sempat kesal aja. Mahasiswa saya yang baru—Arhan—sikapnya agak … sulit dijelaskan.” Bu Ratna mengangguk pelan, seolah sudah menebak. “Ah, Arhan Dirgantara, ya?” Alia langsung menatapnya, kaget. “Ibu kenal?” “Iya,” jawab Bu Ratna pelan sambil menyandarkan punggung. “Dia memang agak beda dari mahasiswa lain. Pintar, tapi kadang terlalu percaya diri. Kalau orang nggak tahu latar belakangnya, pasti gampang salah paham.” “Latar belakangnya?” tanya Alia penasaran. Bu Ratna menatap Alia sejenak sebelum menjawab, nadanya menurun seperti setengah berbisik. “Ibu cuma mau kasih tahu, Arhan itu paling sensitif kalau menyangkut keluarganya. Jangan pernah menyinggung soal itu, meskipun cuma bercanda. Banyak dosen yang dulu sempat salah ucap, dan hasilnya … ya, jadi ribet.” Alia terdiam, mencerna ucapan itu. “Jadi, dia punya masalah keluarga?” Bu Ratna tersenyum tipis, tapi tak menambahkan banyak. “Ibu nggak enak cerita detailnya. Tapi cukup kamu tahu saja, jangan terlalu keras kalau dia mulai bersikap aneh. Kadang dia cuma butuh waktu buat membuka diri. Kamu sabar aja, ya.” Alia menunduk pelan, mencoba meredam rasa kesal yang sempat menumpuk sejak tadi siang. “Baik, Bu. Saya akan lebih hati-hati. Tapi jujur, saya agak bingung menghadapi dia. Kadang sopan, tapi bisa juga seenaknya.” “Itu wajar,” kata Bu Ratna, tersenyum lembut. “Kamu baru seminggu di sini, kan? Belum tahu pola anak-anak di kampus ini. Nanti lama-lama terbiasa.” Alia mengangguk pelan. “Iya, Bu. Makasih sudah kasih tahu. Kalau ada hal-hal lain yang sebaiknya saya tahu tentang kampus ini … tolong kabari saya, ya.” “Tentu,” jawab Bu Ratna sambil berdiri. Ia menepuk pundak Alia dengan hangat. “Kamu nggak sendirian di sini, Alia. Kalau ada apa-apa, datang aja ke ruang Ibu. Kita ngopi bareng.” Alia tersenyum kecil, senyum pertama hari itu. “Terima kasih, Bu Ratna.” “Sama-sama.” Bu Ratna melangkah keluar, meninggalkan aroma teh melati yang samar di udara. Alia menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu menarik napas panjang. Entah kenapa, ucapannya terasa menenangkan, tapi juga membuat Alia berpikir. Sensitif soal keluarga …. Ia bersandar di kursinya, menatap langit kelabu di luar jendela. Baru seminggu di kampus ini, dan hidupnya sudah terasa seperti benang kusut yang sulit diurai. Tapi setidaknya, kali ini ada seseorang yang mengingatkannya untuk bertahan. Dan mungkin—hanya mungkin—itu cukup untuk hari ini. ************ Langit sore mulai berwarna oranye keabu-abuan saat Alia melangkah keluar dari gedung fakultas. Udara lembab, tanda hujan mungkin akan turun sebentar lagi. Ia hanya ingin cepat pulang, mandi air hangat, lalu beristirahat tanpa perlu memikirkan Arhan, kampus, atau apapun. Namun begitu sampai di parkiran, langkahnya terhenti. “Ya Tuhan …,” gumamnya pelan. Ban depan mobilnya kempis, hampir rata dengan tanah. Ia jongkok, memeriksa sebentar. Sangat jelas itu bukan kebetulan. Ada bekas sayatan kecil di sisi ban, seperti digores benda tajam. Alia menghela napas panjang, menatap sekeliling parkiran yang mulai sepi. Ia menekan nomor suaminya, Rendra, berharap kali ini diangkat. Satu kali panggilan. Dua kali. Tiga kali. Tak ada jawaban. “Seperti biasa …,” bisiknya lirih, mencoba menahan kecewa. Akhirnya, ia menelpon Pak Darto—tukang kebun di rumahnya yang kadang juga membantu hal-hal kecil seperti ini. “Pak, bisa ke kampus, ya? Ban mobil saya bocor. Tolong bawa ke bengkel nanti,” ucapnya. “Siap, Bu. Tapi saya agak telat, ya. Macet di depan kompleks.” “Nggak apa-apa, Pak. Saya tunggu di parkiran.” Sambil menunggu, Alia memutuskan untuk berjalan keluar dulu, mungkin mencari angkutan umum untuk pulang. Tapi baru beberapa langkah keluar dari area parkiran, suara motor terdengar mendekat cepat dari belakang. “Bu Alia,” suara itu memanggil dengan nada enteng. Alia menoleh. Langsung merasa darahnya naik. Arhan. Pria muda itu berhenti di sebelahnya, melepaskan helm dengan gerakan santai. Senyum miring di wajahnya membuat Alia langsung tahu: dia pelakunya. “Kamu ….” Alia menatapnya tajam. “Jangan bilang kamu yang—” “Ban mobil Ibu bocor?” potong Arhan dengan nada pura-pura prihatin. “Wah, kebetulan banget, ya. Saya bisa antar pulang, kalau mau.” Alia mengerang pelan, menahan amarah. “Nggak usah pura-pura baik. Saya tahu kamu yang melakukannya.” Arhan menaikkan alis, masih dengan senyum yang sama. “Bukti mana, Bu? Lagian, saya cuma lewat. Eh, ternyata nasib Ibu lagi sial.” Alia berbalik, menolak memperpanjang. “Saya nggak butuh tumpangan. Terima kasih.” Ia berjalan cepat menuju halte di depan gerbang kampus. Tapi baru saja hendak naik bus, suara klakson nyaring membuat sopir bus menoleh. Arhan memarkir motornya tepat di belakang bus dan membunyikan klakson beberapa kali. Sopir mengira Alia batal naik, lalu menutup pintu dan melaju. “Arhan!” seru Alia kesal. “Kamu ngapain sih!?” Cowok itu malah tertawa. “Saya pikir Ibu mau bareng saya. Eh, malah mau ninggalin.” “Dasar ….” Alia menggigit bibir, menahan kata-kata kasar yang hampir keluar. Arhan kembali menawarkannya tumpangan. “Ayo, Bu. Daripada Ibu nunggu hujan, mending naik motor saya. Saya nggak akan gigit, kok.” Alia menatapnya penuh amarah. “Saya bilang tidak.” Arhan mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya menurun. “Kalau Ibu nggak mau, saya bisa aja bilang ke Pak Darmawan kalau Ibu menolak bimbingan saya. Atau … saya bilang aja kalau Ibu nggak profesional. Mau?” Nada suaranya tenang, tapi jelas mengandung ancaman. Alia terdiam. Rahangnya mengeras. Dia tahu Arhan tipe yang bisa membuat masalah menjadi rumit. Dan hari ini, ia sudah terlalu lelah untuk berdebat. “Baiklah,” katanya akhirnya, dengan nada dingin. “Tapi antar saya pulang. Setelah itu, selesai.” “Siap, Bu.” Arhan tersenyum puas, lalu menepuk jok belakang motornya. “Tasnya bisa ditaruh di depan.” Dengan berat hati, Alia menyerahkan tasnya, lalu naik ke belakang. Ia menjaga jarak sejauh mungkin, tapi motor itu tetap terasa terlalu dekat. Begitu mesin dinyalakan, Arhan langsung memutar gas. Motor melaju cepat menembus jalanan sore yang mulai ramai. “Alamatnya di mana, Bu?” tanyanya, separuh berteriak melawan angin. Alia tidak langsung menjawab. Ia tahu Arhan tidak benar-benar butuh tahu. Yang dia mau hanyalah menikmati momen ini. Momen saat ia merasa menang, membuat Alia kesal, membuatnya “berkuasa”. Arhan tertawa kecil di antara deru motor. Entah kenapa, melihat ekspresi Alia yang kaku dan kesal justru membuat hatinya ringan.Sudah lama ia tidak merasa … hidup. Dan bagi Arhan, membuat dosennya kehilangan kendali mungkin adalah hiburan paling menyenangkan yang pernah ia punya selama ini.Begitu motor berhenti di depan gerbang rumah, Alia segera turun tanpa banyak bicara. “Terima kasih,” ucapnya singkat, bahkan tanpa menatap Arhan.“Lain kali saya bisa jemput juga, Bu,” balas Arhan santai, tapi Alia sudah melangkah cepat masuk ke halaman, tak memberi kesempatan lebih.Rumah itu terasa sepi seperti biasa. Mobil Rendra tak ada di garasi. Rumah besar peninggalan mertuanya itu sunyi, hanya suara jam dinding yang terdengar dari ruang tamu. Alia menaruh tas di meja, melepaskan sepatu, lalu berjalan pelan ke kamarnya.Setelah mandi air hangat dan mengganti baju, tubuhnya terasa sedikit ringan. Ia menatap wajahnya di cermin. Pucat. Tapi setidaknya tidak lagi berantakan seperti tadi di kampus. Ia berbaring di tempat tidur, menyalakan ponsel sekadar ingin membuka media sosial atau membaca berita ringan.Namun, baru saja layar menyala, muncul notifikasi pesan baru. Nomor tak dikenal, dan asing:“Sampai rumah, Bu? Jangan lupa istirahat. Saya nggak mau dosen pembimbing saya s
Pintu ruang dosen itu terbuka pelan. Alia menoleh, sedikit waspada.Yang muncul adalah Bu Ratna, dosen senior yang belakangan sering menyapanya di lorong atau menemaninya makan siang. Wajahnya selalu ramah, dan entah kenapa kehadirannya selalu membawa sedikit rasa aman.“Alia, boleh Ibu masuk?” tanyanya lembut.“Oh, tentu, Bu. Silakan,” jawab Alia cepat sambil menegakkan duduknya.Bu Ratna melangkah masuk, menutup pintu perlahan lalu duduk di kursi depan meja Alia. Ia meletakkan tas kecil di pangkuan, menatap Alia dengan senyum hangat. “Kamu kelihatan capek,” katanya pelan. “Ada apa? Dari tadi Ibu lihat wajahmu murung.”Alia menghela napas panjang. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma … ya, tadi sempat kesal aja. Mahasiswa saya yang baru—Arhan—sikapnya agak … sulit dijelaskan.”Bu Ratna mengangguk pelan, seolah sudah menebak. “Ah, Arhan Dirgantara, ya?”Alia langsung menatapnya, kaget. “Ibu kenal?”“Iya,” jawab Bu Ratna pelan sambil menyandarkan punggung. “Dia memang agak beda dari mahasi
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di kelas itu. Alia duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang tak benar-benar ia baca. Kepalanya masih terasa berat sejak semalam.Rendra memaksanya ikut zoom meeting dengan rekan kerjanya, sekadar formalitas, katanya. Alia harus duduk di depan kamera, tersenyum, menjawab basa-basi dari orang yang tak ia kenal, sambil menahan pusing yang tak kunjung reda. Lalu setelah meeting selesai, bukannya mendapat ucapan terima kasih, ia malah disalahkan.“Kamu itu nggak bisa fokus, Alia. Malu tahu, kelihatan banget nggak siap.”“Aku udah bilang aku sakit kepala, Ren ….”“Alasan! Kalau kamu niat, kamu bisa terlihat profesional.”Kata-kata itu masih bergema di kepala Alia hingga pagi ini. Ia memijit pelipisnya pelan, berharap rasa sakit itu mau hilang walau hanya sedikit. Suara ketukan pintu terdengar pelan. Alia mendongak.Di depan pintu berdiri seorang mahasiswa dengan map cokelat di tangan.Rambutnya agak berantakan, jaket hitam masih sama sepe
Sudah sebulan Alia berdiam diri di rumah sejak kelulusannya dari S2. Hari-harinya terasa hampa. Hanya diisi dengan adu argumen kecil dengan ibu mertua atau perdebatan dingin dengan Rendra yang selalu berdiri di sisi ibunya. Namun pagi ini berbeda. Hari ini adalah hari ketiganya menjadi dosen seni di universitas ternama di ibu kota.Awalnya, Rendra menentang keras. Menurutnya, istri tak perlu bekerja, apalagi di lingkungan kampus yang “bebas.” Tapi justru ibunya yang berkata, “Perempuan itu jangan cuma ngandelin laki-laki. Cari kegiatan biar otaknya kepakai. Nggak usah ngeluh aja di rumah.”Kalimat itu membuat Alia terdiam lama. Entah bagaimana, kata-kata itu seperti izin yang datang dari arah yang tak terduga.Hari-hari pertama berjalan tenang. Mahasiswa di jurusan seni tak banyak, dan kebanyakan dari mereka santai—terlalu santai, malah. Kelas sering berakhir lebih cepat dari jadwal. Kadang Alia memanfaatkan waktu luang untuk menyiapkan bahan ajar, atau sekadar menatap dinding pe
Langit sore di kampus mulai berubah jingga saat Alia berdiri di depan papan bunga besar bertuliskan “Selamat atas kelulusanmu, Alia Salsabila, M.M.”Bunga itu kiriman dari dirinya sendiri. Ia bahkan menulis nama pengirimnya dengan huruf kecil di pojok kartu ucapan — supaya tidak terlalu mencolok kalau ada yang memperhatikan.Sementara teman-temannya sibuk berfoto bersama keluarga, Alia berdiri sendiri.Tak ada Rendra, tak ada ibu mertuanya, tak ada siapa pun yang menunggu.“Selamat ya, Alia!”“Cantik banget hari ini!”Ia tersenyum ramah, menunduk sopan. Tapi hatinya kosong. Hari wisuda yang seharusnya jadi hari bahagia malah terasa seperti upacara pengingat bahwa hidupnya berjalan ke arah yang salah.Malam mulai turun ketika Alia sampai di rumah. Rumah itu besar, tapi sunyi. Lampu ruang tamu menyala redup, piring makan dua set masih tersusun rapi di meja — hanya satu yang terpakai.Jam hampir menunjukkan pukul sebelas ketika suara mobil terdengar di depan rumah. Pintu terbuka







