Share

Bekas luka

Netraku membulat sempurna mendengar ucapan Tasya. Hatiku gusar. Aku sungguh berharap Tasya hanya bercanda.

"Sya, aku tahu kamu pasti sakit hati atas pernikahan kami yang mendadak. Tapi aku gak terima kamu bicara seperti itu tentang istriku," ucapku sambil membalas tatapan Tasya dengan tak kalah serius.

Aku memang mengenal Vanya lewat jalan ta'aruf, dan belum ada sebulan dia sah menjadi istriku. Tapi selain dia yang selalu ketakutan ketika aku ingin menyentuhnya, aku tahu dia wanita yang sangat baik. Vanya tidak pernah absen membagunkanku untuk sholat tahajud, dan selalu mengingatkan untuk sholat di tengah waktu kerja melalui chat.

Dia juga mengurus semua keperluanku dengan baik tanpa diminta. Juga sikapnya dalam menjaga Mama yang tubuhnya lemah karena penyakit jantung, aku merasa akan sulit sekali mendapatkan wanita sesempurna itu. Diam-diam aku menyesal sudah bercerita pada Tasya.

"Jadi kamu pikir aku yang bohong?" tanya Tasya dengan nada suara tak terima.

"Tentu saja aku tidak bisa percaya, Sya."

"Baiklah, akan kubuktikan padamu!"

Tasya dengan kesal mengambil gawainya.

"Aku pasti masih menyimpan foto wanita sialan itu," gumannya sambil mengutak-atik layar gawainya.

"Sudahlah, Sya. Aku mau kerja," ucapku sambil memalingkan muka darinya dan membuka laptopku.

"Nah, liat ini!" Sonya menunjukkan layar gawainya padaku.

Awalnya aku tak ingin peduli, tapi akhirnya pandanganku jatuh juga pada foto yang terpampang di layar gawainya. Terlihat di sana seorang gadis berambut panjang berdiri dengan senyum canggung. Wajahnya memang mirip sekali dengan Vanya, tapi usianya jauh lebih muda.

"Siapa itu, Sya?" tanyaku sambil mengerutkan kening.

"Istrimu, Vanya, siapa lagi?" jawab Tasya.

Aku tersenyum miring seketika.

"Gak mungkin lah, Sya. Kamu tahu sendiri Vanya berhijab sempurna. Pasti cuma mirip."

"Wajah mirip dan nama sama. Mana ada kebetulan yang seperti itu, Aldi?"

Aku terdiam mendengar ucapannya. Hatiku mulai bimbang. Apa benar itu Vanya?

"Ini cukup membuktikan kalau aku mengenalnya," ucap Tasya lagi. "Akan kutunjukkan bukti lagi padamu kalau wanita itu tidak sebaik yang kamu pikir!"

"Lalu bagaimana kamu bisa mengenal Vanya, Sya?" tanyaku sambil menatapnya.

Tasya terlihat sedikit kaget mendengar pertanyaanku. Aku mengerutkan kening curiga.

"Itu gak penting, Di. Yang penting kamu tahu kalau sudah dibohongi! Akan kubuktikan, lihat aja nanti."

Tasya berlalu meninggalkan meja kerjaku setelah mengucapkan itu. Aku masih bungkam. Pikiranku kacau. Jika Vanya memang wanita nakal seperti yang Tasya katakan, dia pasti tidak akan ketakutan ketika aku menyentuhnya.

Tidak, aku tak mau percaya begitu saja ucapan Tasya. Aku akan mencari tahu sendiri tentang Vanya, harus membuktikannya sendiri. Harus!

.

.

.

Dengan pikiran yang masih kalut aku memasuki rumah setelah mengucap salam. Terdengar suara Mama dan Vanya yang menjawab. Sampai di ruang tengah, aku tertegun sejenak melihat pemandangan di depanku.

Kulihat Vanya memijat kaki Mama sambil melantunkan sholawat. Suaranya terdengar begitu merdu. Hatiku seketika menjadi damai, dan segala kekalutanku mendadak hilang.

"Kamu sudah pulang, Di," sambut Mama seraya tersenyum cerah.

Aku segera berjongkok dan meraih tangan wanita yang melahirkanku itu, lalu menciumnya. Vanya lalu meraih tanganku, melakukan hal yang sama dengan yang kulakukan pada Mama.

"Bagaimana kabar Mama hari ini?" tanyaku sambil menatap wajah Mama yang terlihat ceria.

"Masyaa Allah, Di. Sejak Vanya hadir di rumah ini, Mama selalu bahagia. Vanya memang bidadari yang turun dari surga."

Aku melirik ke arah Vanya yang tampak tersenyum manis sekilas, lalu mengalihkan pandangan pada Mama lagi. Wajah Mama memang jauh lebih cerah, terlihat sekali perubahannya dari sebelum Vanya merawat Mama. Aku benar-benar bahagia melihat keadaan Mama yang sekarang.

"Akan kusiapkan kopi, Mas," ucap Vanya lembut seraya berdiri dan berjalan ke arah dapur.

"Mama gak sabar kalian bisa punya momongan. Biar lengkap kebahagiaan Mama," ucap Mama lagi.

Aku terdiam mendengar ucapan Mama. Bagaimana bisa memiliki keturunan jika istriku bahkan tak mau kusentuh? pikirku. Aku juga tidak mungkin mengatakan ini pada Mama, karena pasti akan melukai hatinya.

Setelah melepas penat dan menikmati kopi buatan Vanya sambil berbincang dengan Mama, aku meninggalkan ruang tengah dan berjalan menuju kamar.

Aku langsung membuka pintu kamar tanpa pikir panjang, dan di saat yang bersamaan, Vanya keluar dari pintu kamar mandi hanya dengan berbalut handuk, memperlihatkan sebagian tubuhnya. Wajahnya seperti melihat setan ketika melihatku. Tentu saja, selama ini aku belum pernah melihat dia membuka auratnya.

"Astaghfirullah, maafkan aku, Dek," ucapku sambil refleks membalikkan badan membelakanginya.

Terdengar Vanya menutup kembali pintu kamar mandi. Netraku membola, tubuhku gemetar. Bukan karena marah Vanya seperti tak mau aku melihat tubuhnya, padahal sudah halal. Tapi karena sesuatu yang lain. Meskipun hanya sekilas, aku bisa melihat dengan jelas.Itulah kenapa tanpa sadar aku mengucap istighfar.

Tubuh Vanya ... penuh dengan bekas luka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status