Share

AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU
AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU
Author: Ria Abdullah

1. hari berduka

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-01-22 09:13:50

"Bu, itu Bu .... Alisa mau cium wajah Ayah, mau peluk Bu, nanti Ayah dibungkus dan dibawa pergi."

"Nanti ya Sayang, sebentar." Kubisikkan kalimat itu untuk menenangkan Alisa putriku tapi dia berontak.

"Alisa juga anak Ayah, Ayah sayang sama Alisa, Ayah janji gak akan pergi lebih cepat seperti ini." Pecah tangis anakku yang sungguh merasakan bahwa ayahnya adalah tumpuan dan cinta pertamanya.

Buliran bening itu mengalir dari netra Alisa, bibirnya bergetar, ingin maju tapi dia ragu, aku tahu apa yang dirasakannya dalam suasana mendung dan sendu itu. Putriku hanya ingin memeluk ayahnya sementara aku tak berdaya di depan istri dan keluarga utama Mas Haryadi. Diri ini tak berani tampil untuk bersimpuh terakhir kalinya di hadapan pria yang telah kucintai selama tujuh tahun terakhir, karena, aku hanya istri simpanannya.

***

Senin 17 januari

Aku tak mengira bahwa itu adalah hari terakhir perjumpaan kami dengannya. Hari itu Mas Haryadi menginap, menghabiskan malam panjang dengan bermain bersama anaknya juga bercanda denganku.

Malam mulai merangkak larut, hingga tanpa sadar kami tertidur dalam posisi saling memeluk.

Keesokan hari, Selasa 18 Januari.

"Bu, Ayah hari ini tidak pulang ke sini ya, hari ini mau pulang ke sana," ucapnya di meja makan, aku tahu bahwa pernyataannya itu mengacu pada istri pertamanya.

"Ke sana terus ... ayah kerjanya ke mana sih? kenapa selalu jarang pulang," tanya anakku yang tiba tiba menimpali percakapan kami. Mimik wajahnya yang lucu dan penuh keingintahuan itu mengundang gelak tawaku dan ayahnya.

Ah, aku hanya tertawa getir mendengar celotehnya. Putriku yang baru akan masuk SD itu masih tidak menyadari bahwa ayahnya punya dua istri. Tepatnya, Mas Haryadi punya keluarga utama yang jadi prioritasnya. Dia punya seorang istri dan dua orang anak, putra dan putri yang masing masing duduk di bangku kelas satu dan dua SMA.

Biasanya seminggu kami punya waktu dua hari untuk bertemu dan memadu kasih, juga kesempatan suamiku untuk melimpahkan kasih sayang pada anak ketiganya dari hasil pernikahan kami.

Sampai hari ini masih dalam status menikah secara agama, belum punya surat nikah karena Mas Haryadi masih belum siap mengungkap apa yang terjadi di antara kami pada keluarganya. Ya, sampai dia menghembuskan napas terakhirnya.

*

"Aku berangkat ya, Sayang." Pria itu mengecup keningku dan segera memeluk putrinya dengan penuh kasih.

"Ayah pergi dulu. Dua hari lagi Ayah pulang dan kita akan pergi ke taman hiburan."

"Nanti beli gelang kaca ya, gelang kecil warna warni," pinta Alisa.

"Siap, Sayang." Sekali lagi suamiku yang berperawakan tinggi dengan dada bidang dan wajah yang cukup tampan itu, mengecup kening anakku.

Tak lupa dia peluk diri ini dengan erat, lebih erat dari sebelumnya, dikecupnya pipiku dengan penuh tatapan cinta lalu

secepat itu juga dia segera memacu motornya meninggalkan rumah kami.

Ada firasat yang tidak kumengerti bergejolak di dalam hatiku, rasa sedih, galau dan penderitaan yang tidak bisa kugambarkan. Aku tidak mengerti mengapa aku merasakannya.

Kadang timbul kesedihan dan miris di hatiku, kadang banyak pertanyaan berputar di benak ini, mengapa takdir pernikahan dan hidupku amat berliku.

Kuputuskan untuk mengikuti kata hati, menikah dengannya dan mengarungi bahtera rumah tangga meski hanya secara agama dan diselenggarakan di rumah keluargaku, tanpa dokumentasi atau pesta.

Kuterima semua takdir harus berhubungan sembunyi-sembunyi demi perasaan cinta dan bakti yang entah kenapa hanya bisa kuberikan padanya.

Andai aku mau, aku bisa dapatkan pria yang lebih kaya, terhormat dan menikahiku secara sah. Tapi mengapa, cinta ini begitu dalam dan terjebak hanya padanya.

Mungkin kelembutan dan cara Mas Haryadi yang amat romantis berhasil membuatku bertekut lutut, kalimatnya yang selalu terucap runut dan penuh kebijaksanaan membuatku tidak banyak menuntut dan menurut saja hingga tanpa terasa rumah tangga kami telah bergulir tujuh tahun.

Kadang aku resah perihal surat menyurat, akta kelahiran dan segala hal yang menyangkut administrasi putri kami. Dia harus sekolah dan punya asuransi kesehatan, tapi bagaimana aku harus mengurusnya kalau kami saja belum punya kartu keluarga? bagaimana mau memiliki kartu keluarga kalau belum punya surat nikah? Ah, sungguh dilema carut marut yang membingungkan, aku tahu ini adalah takdir yang dibuat dan masalah yang sengaja diundang.

***

Tok ... tok ....

Siang itu pintu rumah diketuk, aku yang sedang memeluk Alisa tidur siang, langsung bergegas ke pintu depan.

Ternyata di sana ada Jaka, orang kepercayaan Mas Haryadi di tempat kerjanya. Pria itu nampak cemas, dan tidak sabar, dia gelisah sambil berkali kali meremas jemarinya.

"Monggo silakan masuk, ada apa Mas Jaka."

"Begini Yuk, maaf sebelumnya ada kabar duka," ujar Jaka dengan wajah yang makin tak nyaman dipandang.

"Kabar duka!"

Jantungku langsung berdebar sangat kencang, untuk sepersekian detik, aku tak bisa menebak siapa yang meninggal dari anggota keluargaku. Aku hanya tertegun dan kehilangan kata kata.

Mungkin karena melihat kebingunganku pria itu lantas melanjutkan ucapannya,

"Bapak tabrakan dan meninggal di tempat pagi tadi, Bu. Jenazahnya sudah dipulangkan dari rumah sakit ke rumah duka. Ke rumah Ibu Dwiana."

"Oh ...." Aku hanya mendengar runtutan kalimat jaka, tapi aku tidak memahaminya. Aku terpana dalam pikiran kosong sementara proses di syaraf otak terus menggali kesadaran dari ceruk memori.

"Siapa yang mati ... tabrakan di tempat ... Dwiana siapa ...?"

Aku nyaris pingsan andai Jaka tidak segera mengguncang bahuku.

"Bu Susi, Bapak meninggal."

Di detik itu juga aku langsung paham informasi yang dibawa Jaka. Aku langsung lemas dan terduduk di kursi teras dalam keadaan tungkai kaki yang seolah tidak bertulang. Dadaku berdegup sangat kencang, ada perasaan ingin berteriak, tanganku gemetar pun tubuh ini juga bergetar. Aku tidak percaya bahwa dia akan membawakan kabar bahwa suamiku meninggal.

"Astaghfirullah ... tidak mungkin, Jaka."

"Katakan innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Bu...."

"Astagfirullah, tidak Jaka ...." Air mata ini mulai mengalir. Di dalam hati aku mengucapkan kalimat innalilahi ... tapi aku masih tidak percaya dengan kenyataan ini.

"Ibu mau melayat tidak, sekalian berangkat sama saya."

"Tidak Jaka, itu akan menjadi kehebohan di rumah Ibu Dwiana."

"Tapi Alisa juga berhak untuk melihat ayahnya untuk terakhir kalinya Bu, Ibu bisa mengajaknya untuk diam diam menyaksikan jasad Bapak dipersemayaman, sebelum Bapak dikuburkan."

"Astaghfirullah ya Allah ... Mas Haryadi."

Bumi seakan berhenti berputar dan matahari yang berpijar seakan pecah di atas kepalaku. Aku merasakan patah hati dan nyawa yang seolah dirampas separuhnya dengan paksa. Aku ingin bangkit tapi tubuh ini tidak bertenaga. Bahkan air mata pun tidak bisa melampiaskan segalanya.

Sepanjang perjalanan dengan mobil yang dikendarai Jaka, air mata ini terus berderai. Tak bisa kubayangkan dan tak bisa kuterima kenyataan bahwa orang yang baru saja merangkul diri ini pagi tadi sudah pergi untuk selamanya.

"Mas mengapa kau tinggalkan kami dengan keadaan seperti ini, hidupku masih bertumpu padamu dan nasib kami masih menggantung dengan posisi yang terlunta. Teganya kamu Mas ...." Aku tidak bisa menahan tangisan atau luka-luka yang kini menyayat di dalam dadaku.

"Kita mau ke mana, Bu?" tanya Alisa di dalam pangkuanku.

"Entahlah ...." Hanya jawaban itu yang bisa terucap di bibir. Aku terguncang dengan keadaan duniaku yang telah kiamat dan berakhir, aku kehilangan suamiku. Ya, cintaku.

**

Sesampainya kami di rumah Mas Haryadi, mobil Jaka ditepikan bersama jajaran mobil yang sudah mengular panjang. Posisi suamiku yang cukup penting di institusinya, membuat dia memiliki jabatan yang terhormat. Tapi Maaf aku tidak bisa menyebutkannya lebih dari ini.

Kupaksakan langkah kaki menuju rumah yang cukup mewah dan berlantai tiga itu, bagian pekarangan sudah dipasang terop dan beberapa anggota institusinya kini sedang menyiapkan upacara untuk pelepasan jenazah.

Diam diam aku dan jaka masuk, berusaha bersikap biasa saja, seperti pelayat pada umumnya.

Kududukkan diriku di sudut ruangan, kupangku putriku sementara situasi rumah itu telah kelabu.

Mbak Dwiana histeris, dia menjerit, dia terus memanggil nama suaminya. Istri pertama Mas Haryadi benar-benar terpukul rupanya. Pun anak-anaknya, yang lelaki terlihat menunduk di depan jenazah ayahnya, sementara anak perempuannya kini pingsan dan dikipasi oleh beberapa orang.

Ada mertuaku yang juga nampak sangat sedih dan tersedu-sedu di sisi kanan jenazah, dia mertua yang tidak pernah kusalami tangannya atau kuhaturkan sembah simpuh sebagai menantu. Sekali lagi aku mungkin ada wanita yang tidak diinginkan dalam keluarga itu.

"Bu, Apakah itu Ayah?" Tiba-tiba anakku berdiri kemudian bertanya padaku.

Aku tidak punya kata-kata untuk menjawab pertanyaan Alisa.

"Bu, apa Ayah meninggal?"

Hati ini semakin gamang dan gundah, jika tidak kuberitahukan yang sebenarnya maka Alisa akan merasa ditipu dan dibohongi.

"Iya, Nak, sabar ya, mari duduk dan berdoa untuk ayah dengan tenang."

"Gak mau, Bu. Gak mau ayah mati ...." Anakku yang syok mulai menangis namun suaranya masih pelan, akupun berusaha terus menenangkan dan memintanya untuk tetap diam. Tapi yang namanya anak umur 6 tahun tentu saja tidak bisa dikendalikan.

Anakku merengek dengan segala ucapan yang tidak bisa membendung kesedihanku, dia protes mengapa kami tidak boleh maju ke sana dan memeluk Mas Haryadi. Mengapa kami tidak boleh bergabung seperti layaknya anggota keluarga. Hingga tiba-tiba aku tak bisa menahannya lagi, putriku merangsek dan langsung melewati beberapa orang yang duduk. Dia menangis dan langsung menjatuhkan diri di dada ayahnya.

"A-ayah ini Alisa,Ya. Ayah kenapa nggak bangun-bangun!" Anakku mengguncang kain yang berada di bagian dada Mas Haryadi, raut wajah suamiku sudah pucat dan menguning, dia telah beristirahat dan tidak akan bisa mendengar ucapan Alisa.

Orang-orang yang tadinya berada dalam situasi sedih langsung tertegun, mereka terdiam dan menatap pada putriku dengan tatapan tajam, penuh pertanyaan.

Alisa anakku yang dilihat seperti itu semakin menangis dengan kencang dan terus meminta Mas Haryadi bangun.

"Ayah ... katanya Ayah ingin mengajakku ke taman hiburan dan beli gelang, mana janji ayah?"

Tiba-tiba Mbak Dwiana langsung datang dan mencengkeram tangan anakku, dia menghalau kehadiran anakku dan mempelototinya lalu bertanya,

"Kamu siapa?!"

Ya, Ya Tuhan hari inilah kiamatku!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   37

    Ketika kuantar Mbak Dwi ke depan pintu, tiba tiba ibu mertua sudah hadir bersama kedua adik iparku widhi dan Widya. Dalam keharuan mendalam yang baru kurasakan dengan Kakak kini tiba tiba ibu juga menunjukan ekspresi haru yang sama, menangis sambil tersenyum. "Dwi, Susi, Alhamdulillah, Nak." "Ibu ...." Aku dan Mbak Dwi mendekat dan menghambur ke pelukan mertua kami. Beliau memeluk kami dengan erat dan menciumi kami bergantian. "Alhamdulillah, jika kalian sudah saling memaafkan dan menerima kesalahan masing masing." Lelehan bening dari netra ibu mertua menunjukan bahwa dia sangat bersyukur atas apa yang terjadi barusan. "Kami sedang berusaha Mami," jawab Mbak Dwi dengan wajah canggung. "Tidak apa apa Nak, mami memuji kelapangan hatimu menerima kenyataan, menerima Susi sebagai bagian dari hidup Haryadi dan kau sudah berdamai dengan kenyataan. Alhamdulillah, Mami benar benar bersyukur, Mami menghargaimu, Nak," ucap Ibu dengan senyum mengembang paling manis yang pernah kulihat. Sela

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   36

    Secara mengejutkan Mbak Dwiana datang ke kedai di jam delapan pagi. Saat itu kedaiku masih tutup, tapi aku sudah membuka pintu samping dan sibuk menyapu. Melihatnya sudah berdiri di ujung pintu aku hanya tertegun, kami saling berpandangan dengan perasaan masing masing lalu ... di sinilah kami duduk berdua saling berhadapan dan sibuk dalam kebungkaman masing masing."Ada apa Mbak, tumben datang kemari pagi sekali?" Sebenarnya aku tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana."Aku ingin bicara?"Dia mengeluarkan sebuah foto dari dalam tasnya, foto yang cukup mengejutkan di mana aku dan Mas Haryadi juga Alisa ketika masih balita dalam frame yang sama. "Darimana Mbak dapat foto itu?" Tanyaku dengan tenggorokan terasa kering karena begitu penasaran."Seharusnya pertanyaan itu diganti, menjadi sejak kapan foto itu ada padaku," gumam wanita itu."Jadi mbak sudah tahu kalau aku adalah istri Mas Har jauh sebelum beliau meninggal?" tanyaku.Tanpa kuduga air mata meluncur begitu saja dari netra

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   35

    Kumatikan ponsel sambil menggeleng pelan, kutarik napas dalam dalam sambil menetralisir perasaan yang sekiranya mengajakku untuk terus membuat dosa. Seharusnya aku tak begitu pada ibunda Dirga dan Bella, tapi Mbak Dwi memaksaku untuk terus jahat mengikuti alur beliau.Sebenarnya, dalam hati kecil, bukannya aku tak punya malu atau rasa bersalah, aku ingin sekali minta maaf atas semua yang terjadi selama ini dan bicara baik baik pada Mbak Dwiana. Andai beliau bisa diajak duduk dan bicara, tapi sayang kakak maduku itu sangat temperamen dan kasar. Dia terus memendam sakit hati dan dendamnya hingga batas waktu yang tak ditentukan.Mungkin aku tak akan pernah dimaafkan, fine, aku menerima itu, tapi bisakah di antara kami tidak saling mengganggu saling mengusik dan menjahati? Bisakah?**Kuketuk rumah berlantai dua dengan dua pilar megah penyanggah depannya. Aku tahu kedatanganku ke tempat ini sama dengan menempatkan diri ke dalam kandang singa. Tapi aku tak punya pilihan."Siapa?" Suara ben

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   34

    Maaf ada kesalahan sehingga bab cerita tertukar ❤️🙏"Apa?" Mbak Dwiana terbelalak mendengar kata-kata ibu. Bagaimana tidak kata-kata itu sangat menyentil dan menyinggung sekali."Ibu bilang apa?""Aku tidak mau mengusik hidup dan mengganggu kencanmu! Kurang baik seperti apa lagi aku?!"Demi apa raut wajah Mbak Dwi sangat pucat dan dia langsung kelihatan sedih serta terguncang sekali."Sudah kukatakan apa urusanmu dengan hidup Susi! Jangan ganggu dia lagi sehingga kalian pun bisa hidup dengan aman dan damai!""Dia sudah memerasku sebanyak 20 juta Bu!" Mbak Dwi berteriak di luar kedai."Sebaiknya kita bicarakan ini di dalam mobil," ucap Ibu sambil mengalihkan perhatian dan berusaha untuk tidak membuat malu semua orang."Masuk ke mobil, Susi, Dwi, ayo masuk!" perintah ibu."Ba-baik."Di sinilah kami, saling berhadapan di mobil ibu mertua yang cukup mewah dan luas. Jok tengahnya bisa diputar sehingga ibu bisa mengintrogasi kami yang duduk di baris paling belakang."Jadi katakan, apa maks

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   33

    Tak lama setelah Mbak Dwi meninggalkan kedai kami, mobil ibu mertua tiba. Dengan pintu yang dibukakan supir, ibu terlihat turun dan menghampiri tempat kami. Aku yang sadar diri dan tahu rasa hormat segera membuka pintu kaca dan menyambutnya dengan uluran tangan serta menyalaminya."Akhirnya Ibu datang juga," ucapku."Hmmm, aku penasaran apa yang hendak kau sampaikan," jawabnya sambil menarik kursi dan duduk di salah satu meja pelanggan."Sesuatu yang serius, mungkin juga tidak begitu penting bagi ibu, tapi yang pasti saya ingin menunjukkannya.""Pastikan bahwa aku akan sangat tertarik," ucap ibu dengan tarikan muka tegas dan bibir yang dia sungginggkan miring."Ini tentang Mbak Dwi," gumamku."Ada apa dengannya?""Sebelum bicara, saya ingin tahu, apakah ibu tahu sesuatu tentang kakak maduku?""Tentang apa?""Hal yang dalam tanda kutip sesuatu yang dirahasiakan, aib dan lain sebagainya," jawabku setengah pelan.Iu mengernyit tidak paham, dia menggeleng dan nampak penasaran."Kataka

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   32

    Aku memang tak percaya pada siapapun saat ini, aku tidak percaya pada hal hal yang akan kuanggap mudah. Sekarang semua langkah dalam hidupku harus tertata dalam dua rencana di mana jika rencana a tidak sesuai maka aku harus melakukan rencana cadangan.Mbak dwiana sudah mengatakan akan memberikan jaminan tapi aku pun tidak bisa memberikan janji padanya. Mau tak mau, aku harus tetap memperlihatkan pada ibu mertua tentang wajah asli menantu sulungnya. Ibu harus tahu seperti apa menantu yang selama ini dia banggakan sebagai wanita anggun dan berkelas.Kutelpon Ibu mertua, kukatakan padanya bahwa aku membutuhkan dia sore nanti, aku akan berkunjung padanya."Tidak usah datang padaku karena kau akan sibuk di kedaimu, biar Ibu saja yang datang dan mengunjungi Alisa sekalian.""Ibu jangan lama, karena akan ada hal yang ibu lewatkan, kalau bisa datanglah dari pukul tiga," jawabku."Baik, tidak masalah dengan catatan bahwa hal yang akan kau sampaikan bukan sesuatu yang recehan.""Tidak demi Tuha

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   31

    Pagi pagi sekali, aku yang sedang membuang sampah membersihkan kedai bekas pengunjung semalam didatangi oleh wanita yang sudah bosan sekali kuhadapi kedatangannya.Selagi aku menunduk dan sibuk menyapu dia sudah berdiri sambil berkacak pinggang kali ini dia tidak datang mengenakan jilbab tapi baju olahraga ketat, rambut tergerai dengan setelan sepatu olahraga juga."Ada apa lagi?" tanyaku sambil bangkit."Apa yang sudah kau katakan kepada kedua anakku?""Memangnya apa yang mereka katakan?! kami semalam berbincang banyak dan bercerita, bagian mana yang tidak kau sukai!""Hah, sekarang kau berani mengejek dan melawan, ya!" ujarnya yang hendak menjambakku seperti biasa. Tapi, dengan segera kutepis tangannya dengan ujung gagang sapu lidi yang kupegang."Mengapa tidak aku juga punya tangan dan kaki, aku juga punya uang dari sumber daya seperti dirimu jadi bagian manakah aku akan takut?!" tanyaku sambil mengangkat dagu."Pelakor tak tahu malu!" Teriaknya di trotoar jalan."Daripada kamu, i

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   30

    Tak mau ikut campur tapi aku juga harus memanfaatkan kesempatan yang ada, setelah merekam kejadian itu aku segera beranjak dari restoran dan pergi melanjutkan niatku untuk belanja bahan kue."Syukurnya wanita itu tidak menyadari bahwa aku ada di sana." Sensasi gemetar dan kaget juga sports jantung membuatku sangat gugup dan takut."Sekarang akan kugunakan hal itu untuk memberi Mbak Dwi pelajaran jika dia masih menyakitiku," ujarku sambil tersenyum sendiri.Setelah sampai di toko beli bahan makanan yang aku butuhkan lalu meluncur pulang lalu membuat adonan dengan cekatan, kuproses semua bahan kue sambil menghitung waktu dan mengejar jadwal pulang sekolah Alisa.Pukul sepuluh, kutinggalkan pekerjaan untuk menjemput anakku ke sekolah yang kini tak begitu jauh dari tempatku. Ibu mertua yang baik hati memilihkan tempat yang cukup strategis dan dekat dari ruko yang kami beli sekarang. Alhamdulillah tidak begitu banyak kendala yang membuat hidupku terhalangkan dengan kesusahan. Mungkin k

  • AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU   29

    Alhamdulillah hari ini adalah hari pertama pembukaan kedai kopi dan roti milikku. Kami adakan syukuran kecil dengan mengundang tetangga dan orang-orang yang ada di sekitar tempat ini membaca doa dan menikmati hidangan kecil.Ketika tamu undangan sudah pergi, aku dan anakku sibuk membereskan bekas acara karena beberapa jam lagi kami akan melayani pelanggan dan menerima pesanan.Padahal mengejutkan ketika aku membuang sampah ke tong yang ada di sebelah kiri jalan. Mungkin itu adalah pemandangan yang cukup mengherankan namun aku masih berpikir positif dan wajar saja. Kulihat mobil Mbak Dwiana lewat, dia duduk di depan bersama seorang pria dan mereka terlihat tertawa dan bercanda, sangat akrab, tidak mungkin seakrab itu seorang supir dengan majikannya."Itu siapa ya ... Ah, terserahlah, bukan urusanku," gumamku dalam hati.Meski penasaran aku tak hendak mencari tahu, biarlah jika memang itu sahabat terdekatnya, mungkin kakak maduku butuh teman untuk bercerita, perlu bergaul untuk meluas

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status